Islam di Indonesia Mengandung Bid'ah dan Kemusyrikan (6)
Disadari atau tidak, ajaran Islam di
Indonesia sesungguhnya telah tersisipi ritual-ritual yang tidak pernah
diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan juga
tidak diamanatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur'an. Jika
ritual-ritual itu tetap dikerjakan, umat Islam yang melakukannya bukan
hanya telah melakukan bid'ah, tapi juga telah musyrik karena dalam
ritual-ritual tersebut terdapat unsur penyembahan kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Hingga kini kapan persisnya Islam masuk
ke Indonesia, masih menjadi bahan perdebatan karena ada ahli sejarah
yang mengatakan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad ke-7, namun ada
juga yang mengatakan pada ke-11 atau abad ke-13. Ahli sejarah yang
menyatakan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad ke-7 di antaranya
merujuk pada sebuah kabar dari Kerjaan Dinasti Tang, kerajaan yang
berkuasa di China pada abad itu, yang menyebutkan bahwa pada abad dimana
kerajaan mereka berdiri, telah ada pemukiman pedagang muslim dari Arab
di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.
Makam Fatimah binti Maimun
Mereka yang percaya bahwa Islam memasuki
Indonesia pada abad 11 karena merujuk pada penemuan sebuah makam
berukuran lumayan panjang di daerah Leran Manyar, Gresik. Makam tersebut
milik Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Makam ini memiliki prasati
bertuliskan huruf Arab Riq'ah yang berangka tahun 1082 jika di-tahun
Masehi-kan.
Mereka yang percaya bahwa Islam masuk
Indonesia pada Abad Ke-13 antara lain merujuk pada catatan perjalanan
Marcopolo yang menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam
Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh pada 1292 M. Selain itu, berdasarkan
Berita China, K.F.H. van Langen menyebutkan tentang adanya kerajaan
Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
Yang lebih tegas menyatakan bahwa Islam
masuk Indonesia pada abad ke-13 adalah J.P. Moquette. Dalam buku De
Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit
hindoesten, ia tegas menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke 13. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern, C. Snouck Hurgronje,
dan Schrieke juga lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-13.
Namun, meski kapan masuknya Islam ke
Indonesia masih menjadi perdebatan, para pakar itu cenderung berpendapat
sama dalam satu hal, yakni tentang pembawanya. Mereka yakin dan percaya
bahwa Islam memasuki Nusantara karena dibawa oleh para pedagang,
khususnya pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat (India) yang beragama
Islam.
Kapal Dagang Asing Merapat di Bandar.
Bandar-bandar yang menjadi tempat
berlabuh kapal-kapal pedagang asing di antaranya adalah bandara-bandar
di sepanjang pesisir Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Interaksi antara penduduk dan pedagang setempat dengan para pedagang
asing itu pada akhirnya mempengaruhi sikap, perilaku, budaya dan agama
yang dianut penduduk dan pedagang di sekitar bandar. Apalagi karena
seiring berjalannya waktu, pedagang dari bangsa tertentu membangun
perkampungannya sendiri, seperti perkampungan orang Portugis, Benggalu
China, Gujarat, Arab, dan Pegu di Aceh. Tentu saja, pembangunan
perkampungan-perkampungan tersebut atas seizin penguasa kota setempat.
Lebih jauh lagi, pesatnya perdagangan di
bandar-bandar membuat bandar-bandar itu tumbuh menjadi sebuah kota yang
maju, dan menjadi sebuah kerajaan atau kesultanan (kerajaan berasaskan
Islam), seperti Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Perlak, Kesultanan
Cirebon, Kesultanan Demak, Kerajaan Palembang, Kerajaan Banten, Jepara,
Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Jika sejarah
masuknya Islam ke Indonesia dipetakan, diketahui kalau Islam masuk Pulau
Sumatera melalui Perlak dan kemudian Samudra Pasai.
Di Pulau Jawa, Islam masuk melalui
pesisir utara Pulau Jawa yang ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah
binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082
Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya,
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di
Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim
dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau
1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan makam
Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam
ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Kampung Muslim di Palembang.
Dalam menyebarkan Islam, para pedagang
dari Arab, Persia dan Gujarat ada yang bertindak sebagai mubaligh.
Sayangnya, ketika mubligh yang sesungguhnya kemudian datang, pola dakwah
yang diterapkan menggunakan pendekatan sosial budaya yang tidak
menghilangkan budaya setempat, meski budaya itu tidak sesuai dengan
ajaran Islam (akulturasi). Tak pelak, ajaran Islam di Indonesia pun tak
sesuai yang dibawa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam karena
disisipi ritual-ritual penyembahan kepada selain Allah.
Sejarah mencatat, hingga abad ke-13,
perkembangan Islam di Indonesia belum signifikan karena masih terbatas
di kalangan penduduk yang bermukim di wilayah-wilayah pesisir yang
berdekatan dengan bandar-bandar. Di wilayah-wilayah pedalaman dan yang
jauh dari bandar, penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan
Sumatera, menganut agama Hindu dan Buddha yang masuk lebih dahulu ke
Indonesia karena dibawa oleh para pedagang dari India dan musafir dari
Tiongkok penganut kedua agama tersebut. Bahkan pada abad ke-4, di Jawa
Barat telah berdiri kerajaan bercorak Hindu-Buddha, yakni kerajaan
Tarumanagara yang kemudian, setelah melalui berbagai pergolakan, menjadi
Kerajaan Sunda yang runtuh pada abad ke-16 (lebih detil, KLIK DARI SINI).
Selain kedua kerajaan tersebut, pada
abad ke-7 Indonesia memiliki kerajaan berasaskan agama Buddha yang amat
besar yang berdiri di Sumatera dan beribukota di Palembang. Namanya
Sriwijaya. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang amat luas,
hingga Jawa Tengah dan Kamboja. Kerajaan ini runtuh pada abad ke-14.
Tokoh penyebar agama Hindu yang paling
terkenal adalah Maha Resi Agastya yang di Pulau Jawa dikenal dengan
sebutan Batara Guru atau Dwipayana. Sedang penyebar agama Buddha di
Indonesia adalah para musafir Buddha Pahiyen.
Penyebaran Islam di Indonesia mulai
meluas setelah Sultan Mehmed I Celebi, salah seorang sultan dalam
Kekaisaran Ottoman di Turki, menaruh perhatian pada penyebaran Islam di
Indonesia. Sultan yang berkuasa pada 1431-1421 M ini pernah
bercakap-cakap dengan para pedagang dari Gujarat yang singgah di
negerinya, tentang penyebaran Islam di negeri kepulauan ini. Dari para
pedagang tersebut, Sultan mengetahui bahwa di Pulau Jawa telah ada
penduduk yang beragam Islam, namun di pulau ini berkuasa dua kerajaan
berasaskan agama Hindu dan Buddha, yakni Majapahit dan Pajajaran (soal
Pajajaran, KLIK MULAI DARI SINI),
sehingga Islam hanya menyebar di kalangan keluarga pedagang dari
Gujarat, Arab dan Persia yang menikahi penduduk pribumi, dan penduduk
yang tinggal di sekitar pelabuhan-pelabuhan.
Seperti tersirat dari artikel Wikipedia
yang mengutip tulisan KH. Mohammad Dahlan dalam buku Haul Sunan Ampel
Ke-555, sebutan atau pemahaman penduduk Pulau Jawa tentang Walisongo
atau Walisanga sebenarnya keliru alias salah kaprah, karena yang disebut
Walisongo atau Walisanga sebenarnya sebuah majelis dakwah yang terdiri
dari beberapa angkatan. Para tokoh yang masuk dalam sebutan Walisongo
pun sebenarnya tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun
mempunyai ikatan kekeluargaan karena sedarah atau karena ikatan yang
timbul akibat pernikahan, serta karena hubungan guru-murid. Maka, bila
ada seorang anggota majelis yang wafat, posisinya digantikan oleh tokoh
yang lain.
Angkatan pertama "Walisongo" berangkat ke Pulau Jawa pada 808 Hijrah atau 1404 Masehi. Mereka adalah:
- Maulana Malik Ibrahim dari Turki. Dia seorang ahli mengatur negara. Dialah yang kita kenal dengan sebutan atau Sunan Gresik. Wilayah dakwahnya di Jawa bagian timur, dan wafat di Gresik pada 1419 M. Makamnya terletak 1 km dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
- Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai, ulama ini pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
- Syekh Jumadil Qubro dari Mesir. Dia berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Dia dimakamkan di Troloyo, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
- Maulana Muhammad Al Maghrobi dari Maroko. Dia juga berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Dia wafat pada 1465 M dan dimakamkan di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.
- Maulana Malik Isroil dari Turki. Dia ahli mengatur negara dan wafat pada 1435 M. Dia dimakamkan di Gunung Santri.
- Maulana Muhammad Ali Akbar dari Persia, Iran. Ulama ini ahli di bidang pengobatan, dan wafat pada 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Hasanuddin Palestina. Ulama ini berdakwah dengan berkeliling di beberapa daerah di Pulau Jawa, dan wafat pada 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
- Maulana Alayuddin dari Palestina. Ulama ini juga berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa, dan wafat pada 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
- Syekh Subakir dari Persia. Ulama ini ahli menumbali (metode rukyah) lahan angker yang dihuni jin-jin jahat yang gemar menyesatkan manusia. Setelah para jin menyingkir, di lahan tersebut didirikan pesantren. Dia kembali ke Persia pada 1452 M setelah "membersihkan" banyak lahan di Pulau Jawa dan mendirikan pesantren. Ulama ini wafat di negerinya. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir menetap di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Di rumah sahabat/muridnya itu hingga kini dikabarkan masih tersimpan sajadah yang terbuat dari batu kuno milik sang Syekh.
Angkatan kedua "Walisongo" berangkat ke
Pulau Jawa pada 1420-an. Untuk angkatan ini, yang berangkat hanya tiga
ulama dengan tujuan menggantikan tiga ulama yang dikirimkan pada
angkatan pertama, karena telah wafat. Ketiganya adalah Raden Ahmad Ali
Rahmatullah yang kemudian kita kenal dengan sebutan Sunan Ampel. Ulama
dari Champa, Muangthai (Thailand) Selatan ini menjejakkan kaki di Pulau
Jawa pada 1421 M. Dia menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada 1419 M.
Yang kedua Sayyid Ja’far Shodiq dari
Palestina. Ia menjejakkan kaki di Pulau Jawa pada 1436 M untuk
menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada 1435 M. Ulama ini tinggal di
Kudus, dan kemudian kita kenal dengan nama Sunan Kudus.
Yang terakhir atau yang ketiga adalah
Syarif Hidayatullah atau yang kita kenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati. Dia dari Palestina dan tiba di Pulau Jawa pada 1436 M. Dia dikirim
untuk menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat pada 1435 M.
Enam "Walisongo" dari angkatan pertama
dan 3 "Walisongo" angkatan kedua yang dikirim ke Tanah Jawa untuk
menggantikan 3 "Walisongo" angkatan pertama yang meninggal, kemudian
membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro
bertugas di Jawa Timur; Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah; Syarif Hidayatullah, Maulana
Hasanuddin dan Maulana Alayuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian
tugas ini, maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah
sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
Hingga di sini, dari 12 ulama yang
dikirim Mehmed I Celebi, masyarakat Jawa baru memiliki 4 wali.
Darimanakah yang 5 lagi? Jawabannya adalah dari tanah Jawa sendiri.
Mereka masuk menjadi anggota Majelis Dakwah bentukan Mehmed pada
1463-an. Mereka adalah :
Putra Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Namanya Raden Paku. Dia lahir di Blambangan dan menjadi anggota Majelis Dakwah karena ayahnya, Syekh Maulana Ishak, pindah ke Kerajaan Samudra Pasai. Dia lah yang kita kenal dengan sebutan Sunan Giri karena tinggal di sebuah daerah yang bernama Giri. Makamnya berada di Gresik, Jawa Timur.
- Raden Said, putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban, Jawa Timur. Dia menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan gurunya, Syekh Subakir, yang kembali ke Persia. Dia kita kenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
- Raden Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Dia menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan gurunya, Maulana Hasanuddin, yang wafat pada 1462. Dia kita kenal dengan nama Sunan Bonang.
Pada 1462 dan 1466, Majelis Dakwah
mengangkat dua anggota baru untuk menggantikan Maulana Ahmad Jumadil
Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi yang meninggal dunia. Namun
demikian, kedua ulama yang diangkat tersebut tidak masuk dalam daftar
Walisongo yang difahami masyarakat Pulau Jawa. Mereka adalah :
- Raden Patah, putra Raja Brawijaya dari Majapahit dan murid Sunan Ampel. Konon, pendiri Kerajaan Demak yang berkuasa pada 1500-1518 ini masih berdarah Tionghoa karena ibunya keturunan Negeri Tirai Bambu tersebut. Selain dikenal dengan nama Raden Patah, dia memiliki gelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun karena nama lain Raden Patah adalah Jin Bun.
- Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati. Dia dipilih untuk menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
Dua Walisongo yang dikenal masyarakat
Jawa, yang melengkapi jumlahnya menjadi sembilan, adalah Raden Umar
Said, putra Sunan Kalijaga diangkat menjadi anggota Majelis Dakwah
karena ada lagi anggota majelis yang meninggal dunia, dan Raden Qasim
yang bergelar Raden Syarifuddin, putra Sunan Ampel. Raden Umar Said kita
kenal sebagai Sunan Muria, sedang Raden Qasim adalah Sunan Drajat.
Sayangnya, Sang Pemburu Berita belum menemukan kapan kedua ulama ini
diangkat menjadi anggota Majelis Dakwah, namun dari beberapa referensi
yang diperoleh diketahui kalau Sunan Drajat berdakwah dan mendirikan
pesantren di Desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Hingga kini, soal apa dan bagaimana
sebenarnya Walisongo memang masih menjadi perdebatan. Untuk makna kata
misalnya, ada sejarawan yang mengatakan bahwa Walisongo berarti wali
yang berjumlah sembilan orang, sesuai jumlah wali yang dikenal
masyarakat Pulau Jawa. Selain itu, songo atau sanga dalam bahasa Jawa,
berarti sembilan.
Namun demikian, ada pula pakar yang
mengatakan kalau songo/sanga berasal dari bahasa Arab, tsana, yang
berarti mulia. Ini relevan dengan status Majelis Dakwah yang berisi
orang-orang mulia (para ulama). Apalagi karena dalam Majelis Dakwah
tersebut, yang memiliki gelar sunan bukan hanya para wali yang sembilan
itu, tapi hampir semua ulama yang pernah masuk dalam Majelis Dakwah.
Sebagai contoh, Maulana Ishak bergelar Sunan Wali Lanang, Maulana Ahmad
Jumadil Kubro bergelar Sunan Kubrawi, dan Maulana Muhammad Al-Maghrabi
bergelar Sunan Maghribi. Jadi, jika mengacu pada fakta yang sebenarnya,
jumlah wali di Pulau Jawa sebenarnya bisa lebih dari 12 orang!
Jika Anda pernah menonton film berjudul
"Walisongo" atau membaca buku-buku tentang bagaimana para wali itu
menyebarkan Islam dengan menerapkan strategi akulturasi, Anda akan
melihat betapa efektifnya penyebaran Islam yang mereka lakukan, sehingga
berkat mereka pula lah saat ini Indonesia menjadi negara dengan
mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Bahkan mereka ikut
memperkaya khazanah budaya bangsa dengan menciptakan Wayang Purwa.
Menurut berbagai referensi, sebelum
memulai syiar Islam, para ulama yang dikirim Sultan Mehmed I Celebi
terlebih dahulu mempelajari bahasa penduduk setempat agar dapat
berkomunikasi dengan baik, dan mempelajari adat istiadat budayanya yang
kala itu kental dipengaruhi agama Hindu dan Buddha. Selain itu, mereka
juga mempelajari apa yang disukai dan dibutuhkan masyarakat. Dari apa
yang mereka pelajari inilah kemudian diciptakan tembang-tembang
keislaman berbahasa Jawa, gamelan, wayang purwa, dan sebagainya, karena
mayoritas penduduk Pulau Jawa memang penyuka kesenian.
Namun, banyak kalangan yang
mempertanyakan selama syiar Islam yang dilakukan, mengapa para wali itu
tidak menjaga kemurnian ajaran Islam, sehingga tidak mengharamkan
kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian
keluarga, dan malah memodifikasinya menjadi acara tahlilan. Para wali
itu bahkan memberikan nama lain untuk shalat, yakni sembahyang yang
berasal dari kata sembah (menyembah) dan hyang (dewa). Selain itu,
masjid kecil atau surau diberi nama langgar yang mirip dengan sanggar;
tempat orang berkesenian.
Yang hingga kini masih juga menjadi
perdebatan adalah pertikaian Walisongo dengan rekannya sendiri yang juga
anggota Majelis Dakwah, Syekh Siti Jenar yang berujung dengan
dibunuhnya Syekh bernama lain Syekh Lemah Abang itu, oleh para wali.
Pasalnya, meski penghukuman terhadap Syekh Siti Jenar dianggap benar
karena sang Syekh mengajarkan Islam yang menyimpang, namun sebagian
orang justru mengklaim kalau apa yang diajarkan Syekh Siti Jenar justru
merupakan ajaran Islam yang benar, yang disebarkan sang Syekh untuk
meluruskan ajaran Islam yang disebarkan Walisongo.
Repotnya lagi, meski Walisongo
menyiarkan Islam, hanya Sunan Bonang yang meninggalkan sebuah buku yang
terkait dengan apa yang mereka ajarkan. Namanya Primbon Wejangan Sunan
Bonang. Buku ini berisi ajaran tentang fikih, tauhid, dan tasawuf
berdasarkan Ihyâ’ Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud
al-Anthaki, dan kitab Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad
Syamsu As, seorang peneliti Islam, ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah
Ahlusunah wal Jamaah dengan mazhab Syafii. "Buku itu mewakili ajaran
semua Walisongo," katanya.
"Ini menyedihkan, karena umat Islam yang
memiliki ajarannya sendiri, ikut-ikutan ajaran agama lain yang tidak
diajarkan dalam agamanya. Padahal, ajaran itu dapat menjerumuskan umat
Islam yang melakukannya dalam kemusyrikan," kata sang Ustad dalam video
yang sempat beredar di kalangan umat Muslim.
Ustad yang semula bernama Ida Bagus Erit
Budi Winarno dan pernah menjadi pendeta Hindu di salah satu pura di
Tabanan, Bali, ini menyitir hadist yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab
Al Aqdhiyah. Bunyinya; "Dari Aisyah RA: Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda; "Barangsiapa melakukan suatu
amalan, dan tidak didasarkan amalan itu dengan perintah kami, maka
amalan itu menjadi tertolak".
Melalui hadis ini, Ustad Abdul Malik
menegaskan, bahwa jika umat Islam melakukan amal kebaikan, termasuk
beribadah, namun tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi wa Sallam, maka amalan itu menjadi sia-sia belaka.
Naudzubillahiminzalik.
Dalam penjelasannya, Ustad Abdul Aziz
menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang simpel dan tidak
memberatkan penganutnya. Namun, masuknya tradisi Hindu dalam ajaran
agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini
membuat ajaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, cenderung
menjadi sebaliknya, sehingga demi pelaksanaan tradisi yang berupa
ritual-ritual tersebut, umat Islam menjadi tak segan-segan berutang atau
menjual barang berharga miliknya. "Padahal melakukan sesuatu dengan
memaksakan diri sehingga harus berutang, bukanlah hal yang baik.
Terlebih jika pemaksaan diri itu untuk melakukan suatu kegiatan yang
tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala," imbuhnya.
Dalam Surah Al Maidah ayat 3, Allah
berfirman; "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi
agamamu".
Sebagai agama yang telah disempurnakan,
Islam memiliki ajaran yang lebih baik dibanding agama Nasrani yang
dibawa Nabi Isa as maupun agama-agama tauhid yang dibawa Nabi Musa,
Daud, dan nabi-nabi sebelum mereka, karena Islam merupakan penyempurnaan
dari agama-agama tersebut. Maka, tidak heran jika begitu banyak
peringatan maupun ancaman Allah dalam Al Qur'an jika umat manusia tidak
mengamalkan ajaran Islam secara benar.
Inilah ritual-ritual agama Hindu saat
wanita sedang mengandung hingga setelah melahirkan yang hingga kini
masih dilaksanakan sebagian besar umat Islam di Indonesia, khususnya di
Pulau Jawa, yang seharusnya tidak dikerjakan.
- Sepasaran
- Telonan
- Tingkepan
- Piton-piton
- Penanaman ari-ari
Menurut Ustad Abdul Aziz, bunyi Kitab
Sama Weda Sloka 7 pada halaman 35 adalah sebagai berikut: "aranyor
nihito jataweda garbham iwet subhrto garbhi nibhi diwe diwa inayo
jagrwabdir wiwinadhir manucyebhi ragnih". Artinya: "Di antara dua tempat
nyala terdapat jata weda laksana, benih suci terpelihara dengan baik
pada wanita mengandung. Agni dari hari ke hari harus dipelihara oleh
manusia yang memelihara dengan membuat persembahan (telonan, sepasaran,
tingkepan, selapanan, setahunan, karo tengah tahunan) kepada Tuhan".
Dalam ajaran agama Hindu, tingkepan atau
yang kita kenal dengan ritual 7 bulanan, merupakan ritual yang paling
disakralkan, sehingga selama ritual dilaksanakan, dibacakan doa-doa dari
kitab-kitab suci Hindu (Wedha) agar wanita yang mengandung dan anak
yang dikandung, diberi keselamatan. Selain itu, jika anak yang dikandung
berjenis kelamin laki-laki, maka wajahnya akan sebagus/setampan Dewa
Brahma. Jika perempuan, wajahnya akan secantik Dewi Saraswati. Oleh umat
Islam, pembacaan kitab-kitab agama Hindu diganti dengan tahlilan,
salawatan, dan pembacaan surah Yusuf jika yang dikandung berjenis
kelamin laki-laki, dan surah Maryam jika yang dikandung berjenis kelamin
perempuan.
Dalam kitab Upadesa, kitab umat Hindu
yang lain, ritual tingkepan dan telonan dijelaskan secara detil di
halaman 40. Ini lah yang dilakukan saat kedua ritual tersebut
dikerjakan.
- Pengambean, atau ritual pemanggilan atman (urip/ruh)
- Sambutan, atau ritual penyambutan atau pengukuhan letak atman pada si jabang bayi
- Janganan, atau suguhan terhadap "4 saudara" yang menyertai kelahiran di jabang bayi, yaitu darah, air, barah dan ari-ari (orang Jawa menyebut ke-4 saudara ini dengan kakang kawah dan adik ari-ari, namun ada juga yang menyebutnya dengan amarah, lawwamah, suffiah dan mutmainah)
Saat ritual dilaksanakan, siapapun yang
ingin menjenguk si jabang bayi yang baru dilahirkan, harus memasuki
dapur terlebih dahulu. Cara memasuki dapur pun ada aturannya, yakni
dengan kaki kanan dahulu.
Setelah bayi dilahirkan, inilah tradisi umat Hindu terhadap ari-ari:
- Setelah ari-ari lepas, ari-ari dibersihkan dengan air lalu dimasukkan dalam tempurung kelapa atau kendi
- Ke dalam tempurung kelapa atau kendi dimasukkan AUM dengan tujuan agar Sang Hyang Widhi melindungi ari-ari
- Dimasukkan wewangian sebagai persembahan 4 Saudara yang mengiringi kelahiran jabang bayi, kepada Sang Hyang Widhi
- Ari-ari ditanam di sebelah kanan pintu rumah jika yang lahir anak laki-laki, dan di sebelah kiri pintu rumah jika yang lahir anak perempuan
- Tempat penanaman ari-ari ditutupi sesuatu, dan jika malam hari diterangi dengan lampu atau bohlam
- Jika bayi dimandikan, air bekas mandinya disiramkan ke tempat penanaman ari-ari
- Jika bayi habis diberi ASI, ASI juga dicipratkan atau disiramkan ke tempat ari-ari ditanam
- Pada pergelangan tangan atau pinggang bayi dililitkan benang pawitra. Benang ini biasanya terdiri dari jalinan tiga benang berwarna putih, merah dan hitam.
"Benang pawitra diyakini umat Hindu
sebagai penolak bala, sehingga bayi aman dari gangguan Dewa Assura yang
di kalangan umat Islam di Pulau Jawa dikenal dengan nama Betoro Kolo,"
imbuhnya.
Saat bayi telah mencapai usia 1,5 tahun,
umat Hindu menggelar ritual atonan. Dalam ritual ini, bayi dimasukkan
dalam sangkar ayam yang terbuat dari bambu, dan ke dalam kurungan itu
juga dimasukkan buku-buku, pinsil, dan berbagai peralatan lain dengan
tujuan agar jika si anak telah besar, dia akan menjadi anak yang pintar,
pintar berdandan jika perempuan, dan lain sebagainya. Ritual ini juga
diisi dengan ritual yang disebut "Naik Tujuh Tangga" agar si anak
memiliki langkah yang mantap dalam berjalan dan dalam meniti hidup. Di
kalangan umat Hindu, tujuh tangga yang harus diinjak si anak dibuat dari
tebu ireng, namun di kalangan umat Islam di Pulau Jawa, menaiki tujuh
tangga dari tebu ireng diganti dengan menginjak tujuh kue apem.
"Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya," (Surah Al A'raf ayat 96).
Ayat ini dapat menjadi bahan renungan
bagi kita karena sebagai penduduk yang hidup di sebuah negara yang kaya
akan hasil bumi dan sumber daya manusia (SDM), negara kita, Indonesia,
seolah tak putus dirundung masalah, sehingga jangankan menjadi negara
terkuat dan terkemuka di dunia, menghadapi intervensi asing pun kita tak
mampu. Bahkan, jika pada zaman revolusi dulu kita dijajah Belanda, saat
ini kita dijajah oleh para kapitalis yang mencengkeram
para penguasa negara ini dengan sedemikian rupa, sehingga
kebijakan-kebijakan yang mereka buat kerap kali tidak berpihak kepada
masyarakat, melainkan kepada para kapitalis tersebut.
Dalam skala makro, kacaunya negara ini juga diakibatkan budaya konsumtif
yang melanda semua lapisan masyarakat, sehingga demi memenuhi kebutuhan
gaya hidup modern dan gengsi, semua dihalalkan, termasuk berbohong,
bersikap manipulatif, dan korupsi hanya demi mendapatkan uang dan hidup
dalam kemewahan.
Islam sebagai agama yang sempurna,
mengharamkan perilaku buruk itu karena Islam mewajibkan penganutnya
untuk berdiri pada yang hak, dan menjauhi yang batil. Karenanya, Islam
memiliki ajaran yang simpel dan dapat diterapkan di semua zaman, serta
tidak memberatkan umatnya. Namun, pengaruh dari luar Islam yang menodai
kemurniannya, membuat agama rahmatan lil alamin ini cenderung menjadi "aneh", berbau mistik, dan ribet.
Di beberapa daerah di Pulau Jawa,
terdapat sejumlah ritual yang dilakukan umat Islam ketika salah seorang
keluarganya meninggal. Yakni :
- Berobosan, dimana anggota keluarga yang ditinggalkan menerobos di bawah keranda mayat yang akan dikuburkan dari kanan ke kiri, dan kembali lagi ke kanan.
- Ketika keranda diarak menuju tempat pemakaman, kepala keranda dimana terdapat kepala mayat, dilindungi payung.
- Keranda "dihias" dengan rangkain bunga berwarna putih, merah dan kuning yang disebut ronje.
- Saat keranda akan dibawa ke tempat pemakaman, keluarga melakukan saweran, yaitu menyebar campuran beras kuning, bunga, uang, dan daun andong puring ke arah keranda yang telah digotong, siap dibawa ke tempat pemakaman.
Jika Anda bertanya kepada umat Islam
pelaku ritual-ritual tersebut tentang makna ritual-ritual yang mereka
lakukan, mereka pasti mengatakan tak tahu karena hanya meneruskan
tradisi leluhur. Namun Ustad Abdul Aziz dapat menjelaskan, bahwa
ritual-ritual itu merupakan ajaran dalam agama Hindu. Maknanya adalah :
- Berobosan merupakan wujud bakti (penghormatan) kepada orang yang meninggal yang telah meninggalkan dunia fana ini, dan merupakan salam kepada para dewa di nirwana yang menyambut arwah si orang yang meninggal.
- Memayungi kepala keranda (kepala yang meninggal) memiliki makna bahwa si almarhum/almarhumah sedang meninggalkan alam mikrokosmos (alam dunia) menuju alam bumi agung. Bumi dilambangkan sebagai payung
- Bunga putih yang dijadikan ronje merupakan lambang Dewa Brahma; bunga merah melambangkan Dewa Wishnu; dan bunga kuning melambangkan Dewa Shiwa.
Dalam ajaran agama Hindu, jika keluarga
orang yang meninggal termasuk kalangan mampu, mayat si orang yang
meninggal langsung dibakar (ngaben). Jika dari kalangan tidak mampu,
mayat dikubur dengan diberi kijingan.
"Dalam salah satu hadist, Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda; bila makam diberi kijingan, maka
si orang yang meninggal tidak dapat bangkit dari kuburnya (pada hari
kiamat)," jelas Ustad Abdul Aziz. Naudzubillahiminzalik.
Post a Comment