Fitnah Jabatan Kursi Panas
Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya menerima jabatan-jabatan politik-meski sistem parlemen tersebut kafir dan keji, lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf Alaihisallam tadi sebagai alasannya.
Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihisallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itupun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan tuntutan-tuntutan!
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:
"Dan Raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku," maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf/12:54-55].
Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran.
Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta'an. Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar'i, dan tidak menerapkan undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya:
"Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui". [Yûsuf/12:76].[7]
Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh 'Abdul-Malik ar- Ramadhani dalam kitab Madârikun-Nazhar: "Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf /12:55].
Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang bisa menjaga) dengan kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-'Âlîm (orang yang mengetahui) dengan kata al-'Âlîm (orang yang sangat mengetahui).Perhatikan benar-benar perbedaan ini, karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!
Abu Hurairah RA Menolak Jabatan
'Umar Radhiyallahu 'anhu memanggilnya kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini, yakni Nabi Yûsuf Alaihissallam?!"
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Yûsuf Alaihissallam adalah seorang nabi, putera seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara".
"Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!" sergah Umar Radhiyallahu 'anhu.
Jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu "Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!"[ HR Muslim, 1833, dari 'Adi bin Umair Radhiyallahu 'anhu]
Nabi melarang umat akhirzaman minta jabatan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan" [HR al-Bukhâri, 7148, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:
"Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".[HR Muslim, 1826, dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.
Ya 'Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik".[HR al-Bukhâri (7147) dan Muslim (1652), dari 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya". [HR al-Bukhâri (7149) dan Muslim (1733), dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu]
Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihisallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itupun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan tuntutan-tuntutan!
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
"Dan Raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku," maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf/12:54-55].
Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran.
Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta'an. Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar'i, dan tidak menerapkan undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
"Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui". [Yûsuf/12:76].[7]
Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh 'Abdul-Malik ar- Ramadhani dalam kitab Madârikun-Nazhar: "Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
"Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf /12:55].
Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang bisa menjaga) dengan kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-'Âlîm (orang yang mengetahui) dengan kata al-'Âlîm (orang yang sangat mengetahui).Perhatikan benar-benar perbedaan ini, karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!
Abu Hurairah RA Menolak Jabatan
'Umar Radhiyallahu 'anhu memanggilnya kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini, yakni Nabi Yûsuf Alaihissallam?!"
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Yûsuf Alaihissallam adalah seorang nabi, putera seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara".
"Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!" sergah Umar Radhiyallahu 'anhu.
Jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu "Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!"[ HR Muslim, 1833, dari 'Adi bin Umair Radhiyallahu 'anhu]
Nabi melarang umat akhirzaman minta jabatan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ.
"Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan" [HR al-Bukhâri, 7148, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.
"Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".[HR Muslim, 1826, dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سمرة لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا. وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.
Ya 'Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik".[HR al-Bukhâri (7147) dan Muslim (1652), dari 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّا- والله- لَا نُوَلِّي هَذَا الأمرَ أحدًا سَأَلَهُ وَلَا أحدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.
"Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya". [HR al-Bukhâri (7149) dan Muslim (1733), dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu]
Post a Comment