Jejak Bangsa Yahudi Di Medinah

Seputar Terminologi Yahudi Dan Bani Isra’il
Yahudi dan Bani Isra’il merupakan kata yang selalu digunakan pada periode Sirah untuk menyebut para pengikut ajaran Taurat. Meskipun tampak menonjolkan aspek keagamaan, tapi sebenarnya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Bahkan, pemaknaan Yahudi sendiri tidak bersifat baku, melainkan mengalami perkembangan yang cukup radikal mengikuti fase­fase sejarah yang dilalui oleh salah satu rumpun bangsa Semit ini.
Pada dasarnya, kata Yahudi merupakan penisbatan yang memiliki sifat hubungan darah, yakni keturunan Yahuda (Yahudza) bin Ya`qub. Dari garis keturunan inilah lahir Dawud as. dan Sulaiman as. yang merupakan simbol kebesaran bangsa ini sepanjang masa. Kebanggaan Yahudi adalah kata yang dinisbatkan kepada Yahuda, salah seorang putera Nabi Ya`qub as.
Masyarakat Yahudi di Hijaz Sebelum Islam
Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan asal­usul keberadaan Yahudi di wilayah Hijaz yang meliputi Mekah, Madinah, Thaif, Khaibar, Fadak, Taima dan sekitarnya. Sumber sejarah yang ada, terbatas pada beberapa catatan sejarawan muslim, yang berarti penulisannya dilakukan setelah kedatangan Islam. Sementara catatan sejarah sebelum Islam, bisa dikatakan sangat langka. Itupun terbatas pada ungkapan para penyair dalam puisi­puisi mereka. Alhasil, permulaan kedatangan masyarakat Yahudi ke Hijaz tidak dapat dipastikan, karena tidak didukung data dan fakta yang memadai.
Namun berbagai indikator menunjukkan, keberadaan masyarakat Yahudi di tanah Hijaz sudah berlangsung sejak lama. Kondisi politik yang tidak di stabil di Palestina sejak penyerangan Babilonia hingga Romawi, mendesak masyarakat Yahudi mencari perlindungan bahkan pemukiman baru di pelbagai daerah, terutama daerah­daerah yang memiliki hubungan langsung dengan Palestina, seperti Hijaz. Selain faktor politik di Palestina, kesuburan tanah di beberapa wilayah Hijaz, seperti Yatsrib (Madinah), Khaibar, Taima, Wadi al­Qura dan Fadak, mendorong masyarakat Yahudi untuk menjadikannya sebagai alternatif pemukiman baru bagi mereka (Jawad Ali : 3675).
a. Aspek Sosial Politik
Di pemukiman baru tersebut, masyarakat Yahudi hidup berdampingan dengan pribumi yang telah lebih dulu tinggal di tempat itu. Kondisi ini memaksa mereka melakukan penyesuaian dengan budaya dan tradisi lokal. Meskipun di Madinah, Khaibar dan Wadi al­Quran, mereka berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan tapi mereka tetap tidak dapat menghindari tuntutan-­tuntutan pragmatis di tempat baru. Cara berpakaian dan nama mengikuti tradisi Arab. Samuel bin Yazid, Zubair bin Batha, Sallam bin Misykam, Huyay bin Akhthab, adalah nama­nama tokoh Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir. Komunikasi sehari­haripun menggunakan bahasa Arab, meskipun masih ada pengaruh aksen Ibrani. Bahkan sebagian dari kalangan Yahudi dikenal pandai berpuisi dalam bahasa Arab, diantaranya adalah Ka`b bin Sa`d al­Qurazhi, Sarah al­ Qurazhiyah, Rabi` bin Abi al­Huqaiq dan Ka`b bin Asyraf (Jawad Ali: 3738).
Tidak hanya bahasa dan budaya, pernikahan antara etnik Bani Israil dan Arab juga tidak dapat dihindari. Ka`b bin Asyraf adalah contohnya. Menurut salah satu riwayat, ayahnya adalah keturunan Arab Thai’ sedangkan ibunya berdarah asli Bani Israil. Jawad Ali memberi alasan, perkawinan silang antar etnik ini dapat terjadi karena –antara lain— sejumlah orang Arab memeluk agama Yahudi.
Ketika masyarakat Yahudi tiba di Madinah, sejumlah kabilah Arab kecil telah mendiami kota tersebut. Namun demikian, klan­klan besar Yahudi, seperti Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa` berhasil menempati tempat­tempat strategis. Daerah `Awali (Wadi Mudzainib), Wadi Mahzur dan Wadi Buth­han yang merupakan sumber air di Madinah, berhasil dikuasai. Selain tanah, mereka juga menguasai perdagangan. Pasar Bani Qainuqa` menjadi pasar paling ramai dan lengkap, sekaligus jantung perekonomian Madinah.
Sejak kedatangan Aus dan Khazraj, dua klan Arab berasal dari Azd (Yaman), dominasi Yahudi di Madinah mulai pudar. Aus dan Khazraj berhasil menggeser posisi Yahudi meskipun tidak dapat menguasai daerah­daerah subur yang menjadi pemukiman dan kebun mereka.
Kehadiran Aus dan Khazraj yang mengancam hegemoni dan stabilitas masyarakat Yahudi tidak disikapi secara konfrontatif. Masyarakat Yahudi lebih mengutamakan perlindungan internal dengan membangun bangunan-­bangunan kokoh di daerah pemukimannya dalam bentuk benteng, atham (semi benteng) dan ratij (rumah berdinding tanah liat). As­Samhudi –dalam kitab Wafa’ al­Wafa—menyatakan terdapat lebih dari 59 atham dan ratij milik Yahudi di Madinah.
Di dalam batas lingkungan eksklusif itulah, masyarakat Yahudi melakukan segala aktivitas yang terkait antara sesama mereka, sehingga kondisinya mirip dengan komunitas Ghetto yang identik dengan budaya masyarakat Yahudi di seluruh penjuru dunia semasa diaspora.
Dalam berhubungan dengan komunitas lain di Madinah, masyarakat Yahudi tampaknya lebih bersikap pragmatis. Perpecahan di kalangan internal Yahudi mendorong mereka untuk membangun aliansi dengan masyarakat Arab guna memperkuat posisinya. Bani Qainuqa` beraliansi dengan Khazraj, sedangkan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah beraliansi dengan Aus (al­Syarif: 267).
Perpecahan internal Yahudi bukan semata­mata strategi jitu mereka untuk memecah belah kekuatan Aus dan Khazraj yang menjadi rival mereka. Sekalipun secara tidak langsung, tujuan tersebut tercapai. Pada kenyataannya, klan-­klan Yahudi itu memang pecah, terutama setelah menapaki puncak kekuasaan di Madinah. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah memandang status mereka lebih terhormat daripada Bani Qainuqa`. Kedua klan Yahudi tersebut berasal dari garis keturunan al­Kahin (Cohen), keturunan Nabi Harun as yang dikenal relijius dan sangat terhormat (Ibn Hisyam: 2/202).
b. Aspek Ekonomi
Sejak sebelum kedatangan Aus dan Khazraj hingga masa Islam. Yahudi Madinah tetap menguasai perekonomian kota tersebut. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah menguasai tanah­tanah tersubur, sedangkan Bani Qainuqa` mengusai pasar terbesar. Kemahiran masyarakat Yahudi dalam bercocok tanam yang diwarisi dari Palestina juga mereka terapkan. Begitu juga kelihaian membuat perhiasan, pakaian, baju perang, senjata, alat­ alat pertanian dan profesi lainnya semakin mengokohkan dominasi mereka atas perekonomian Madinah.
Perdagangan valuta dan praktik riba juga dikenal luas di Madinah. Dalam hal ini, tokoh­ tokoh Yahudi dan Arab memainkan peran yang sama. Bunga riba yang dibebankan kepada peminjam kadang-­kadang lebih besar dari jumlah utang, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan memicu banyak konflik (al­Syarif: 301­302).
Hubungan dagang para saudagar Yahudi Madinah dan Khaibar terjalin dengan baik. Letak Madinah sebagai transit kafilah-­kafilah dagang Quraisy yang bertolak menuju pasar­-pasar besar di Gaza dan Syam tentu dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang domestik Madinah. Begitu juga Khaibar yang terletak di persimpangan jalan dagang kafilah-­kafilah Ghathafan dan beberapa kabilah Najed lainnya.
Aspek Pendidikan dan Keagamaan
Lingkungan eksklusif masyarakat Yahudi di Madinah menjadi tempat ideal untuk mengembangkan pendidikan dan tradisi keagamaan. Lembaga pendidikan Yahudi di Madinah dikenal dengan nama Bait al­Midras yang berasal dari bahasa Ibrani, Midrash, yang berarti kajian dan penjelasan teks­teks keagamaan. Tampaknya, Midras juga berfungsi sebagai tempat ibadah dan pertemuan penting untuk membahas masalah­ masalah agama (Jawad Ali: 4876).
Meskipun orang­orang Yahudi tidak tertarik menyebarkan agama, tapi bukan berarti tidak ada orang Arab yang memeluk Yahudi. Kondisi sosial yang majemuk, kebutuhan pragmatis yang berkaitan dengan ekonomi dan keamanan, serta faktor­-faktor lainnya, membuat orang-­orang Yahudi berkepentingan dengan adanya orang­-orang Arab yang memeluk agama mereka. Namun perlu dicatat, pilihan memeluk agama Yahudi ini dilakukan oleh individu­individu dan tidak ada fakta yang menyebutkan perpindahan agama secara masif yang dilakukan oleh satu kabilah Arab secara bersama­sama (al­ Syarif: 248).
Hubungan Yahudi dengan Masyarakat Muslim
a. Apakah Rasulullah saw. Berhubungan dengan Penganut Yahudi di Mekah?
Banyak ayat Al­Qur’an yang menyinggung Bani Isra’il dan agama Yahudi. Kedudukan mereka sebagai Ahl al­Kitab menjadi sorotan tersendiri, karena sepatutnya merekalah orang yang lebih cepat menerima ajaran Al­Qur’an yang merupakan penerus dan membenarkan ajaran asli Taurat. Persinggungan wacana yang dikembangkan dalam Al­Qur’an mendahului kontak fisik antara Rasulullah saw. dan kaum muslimin dengan masyarakat Yahudi. Meskipun sulit dipungkiri adanya sejumlah saudagar Yahudi yang berdagang ke Mekah dan tinggal disana untuk urusan berbisnis, namun tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berhubungan dengan mereka, terlebih lagi dalam masalah agama.
Kabar tentang masayarakat Yahudi tentu diketahui, bahkan dikuasai dengan baik oleh Rasulullah saw. Selain cepat atau lambat, pasti akan berhubungan dengan penganut Taurat tersebut, harapan Rasulullah saw. untuk menemukan alternatif pusat dakwah Islam selain Mekah, mendesak beliau untuk mengetahui lebih detail kondisi masyarakat­ masyarakat di sekitarnya, termasuk Madinah.
Karena itu, saat menemui sekelompok pemuda Khazraj di Mina, pertanyaan pertama yang beliau sampaikan adalah, “Apakah kalian orang-­orang yang beraliansi dengan Yahudi?”. (Ibn Hisyam: 428). Tampaknya beliau sudah sangat menguasai seluk beluk karakter sosial Madinah, termasuk hubungan Aus dan Khazraj dengan klan­klan Yahudi yang tinggal berdampingan dengan mereka itu.
b. Dakwah Rasulullah saw. kepada Masyarakat Yahudi
Hubungan dakwah Rasulullah saw. dengan Yahudi Madinah terjalin sejak dini. Riwayat Bukhari dan Ibn Ishaq mengisyaratkan kedatangan Abdullah bin Salam, seorang ulama Yahudi Bani Qainuqa`, dan keputusannya memeluk Islam terjadi hanya beberapa saat setelah beliau menetap di Madinah. Peristiwa ini pula yang memicu undangan Rasulullah saw. kepada masyarakat Yahudi untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjadikan Abdullah bin Salam sebagai bukti pembenarannya (al­Mubarakfuri: 140).
c. Piagam Madinah; Konsepsi Konstitusi Islam untuk Masyarakat Plural
Kedatangan Rasulullah saw. ke Madinah secara langsung menjadi penguasa baru di kota tersebut, karena Aus dan Khazraj, dua klan Arab yang mendominasi Madinah, adalah pihak yang mengundang sekaligus mengangkat beliau sebagai pemimpin. Latar belakang masyarakat Madinah yang sangat majemuk, karena terdiri dari beberapa etnik Arab dan Yahudi mendesak adanya peraturan umum yang mengatur kehidupan bersama dengan baik. Disinilah letak pentingnya Piagam Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan kaedah dan prinsip Islam. Hal ini juga membuktikan, ajaran Islam dapat mengatur kepentingan bersama masyarakat muslim dan non muslim, tanpa harus menghilangkan karakter khas masing­masing, terutama agama.
Al­Mubarakfuri merangkum beberapa bagian pasal Piagam Madinah yang mengatur hubungan masyarakat Muslim dengan Yahudi seperti berikut,
1. Yahudi Bani `Auf merupakan satu komunitas bersama masyarakat Mu’min. Orang­orang Yahudi berhak menjalankan agama mereka dan orang­orang muslim berhak menjalankan agama mereka…begitu juga klan­klan Yahudi lainnya diluar Bani `Auf.
2. Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya hidupnya sendiri dan orang­orang muslim juga harus menanggung biaya hidupnya sendiri.
3. Masyarakat Yahudi dan Muslim harus saling bahu membahu melawan musuh yang menyerang pihak yang menandatangani Piagam ini.
4. Mereka juga harus saling memberi saran dan nasihat dalam kebaikan, tapi tidak demikian dalam kejahatan.
5. Siapa pun yang dizalami maka wajib ditolong.
6. Masyarakat Yahudi dan Mu’min harus bersatu padu ketika diserang musuh.
7. Jika terjadi perselisihan atau pertikaian antara pihak­pihak yang menyepakati Piagam ini, sehingga khawatir akan merusak hubungan, maka keputusannya harus dikembalikan kepada hukum Allah azza wa jalla dan Muhammad, utusan Allah SAW
8. Siapa pun tidak boleh memberi suaka (perlindungan) kepada Quraisy dan pendukungnya (al­Mubarakfuri: 182).

Pengkhianatan dan Konspirasi Yahudi
Dipandang  dari  sudut  mana  pun,  bagi  masyarakat  Yahudi,  kedatangan  Rasulullah  saw. dan kaum  muslimin ke Madinah tidak  menguntungkan. Keharmonisan Aus dan Khazraj adalah  ancaman  terbesar  sejak  lama, apalagi  ditambah  pihak  ketiga  yang  menjadi kekuatan  baru  yang  semakin  merekatkan  hubungan  mereka. Masyarakat  Yahudi  tidak pernah  dapat  menghapus  trauma  kehadiran  pihak  asing  yang  bertentangan  dengan kepentingan mereka. Eksistensi Yahudi di Madinah benar­benar diambang kehancuran.
Terlebih  lagi,  masyarakat  Muhajirin  Mekah  adalah  pedagang­pedagang  handal.  Sejak hari­hari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan kepiawaian dalam  meraih  keuntungan  di  pasar  Bani Qainuqa`  (Bukhari:  no.  1908).  Seiring  dengan perjalanan  waktu,  Usman  bin  `Affan,  Zubair  bin  `Awwam dan  nama­nama  populer lainnya  dalam  kancah  perdagangan  Arab  masa  itu  menjadi pesaing­pesaing  baru bagi pedagang Yahudi.
Persaingan  di  pasar  diperparah  dengan  kehadiran  aturan­aturan  baru  dalam  segala transaksi  ekonomi  yang dibuat  oleh  Rasulullah  saw.  Larangan  menipu,  menimbun, menjual khamr dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang sistem  ‘pasar bebas’  yang  berkembang  sebelumnya.  Khamr  (arak)  merupakan  komoditi yang  sangat potensial  bagi  masyarakat  Yahudi.  Selain  menjajakan  arak  lokal,  mereka  biasa mengimpornya dari Syam.
Semua  faktor di atas, selain tentu saja keyakinan  dan  agama,  meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu ataupun  kolektif  kelompok  Yahudi  untuk memicu  perselisihan  hingga  perang  besar­ besaran.
a. Benih­benih Pengkhianatan
Ibn  Ishaq  meriwayatkan,  Syas  bin  Qais,  seorang  sesepuh  Yahudi  melewati  sekelompok pemuda  Aus  dan Khazraj  yang  sedang  berkumpul.  Mereka  terlibat  perbincangan  yang hangat dan akrab. Pemandangan  ini membakar  hati Syas,  maka segera  ia suruh seorang pemuda  Yahudi  untuk  ikut  dalam  pembicaraan  tersebut dengan  mengingatkan  mereka kepada  peristiwa  kelam  di  masa  lalu,  perang  Bu`ats  yang  telah  menelan korban  tokoh­ tokoh besar Aus dan Khazraj.
Kehangatan segera berubah menjadi ketegangan. Kedua kelompok Anshar tersebut nyaris saja  baku  hantam, bahkan  terlibat  pertumpahan  darah,  jika  saja  Rasulullah  saw.  tidak segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553­554).
Kasus  Ka`b  bin  Asyraf, tokoh terkemuka Bani Nadhir,  merupakan  model paling krusial penaburan benih pengkhiantan dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media propaganda  paling  efektif  masa  itu, menempatkan  Ka`b  dalam  posisi  yang  sangat membahayakan.  Setelah  kemenangan  kaum  muslimin  dalam perang  Badar,  Ka`b menunjukkan  permusuhannya  secara  terbuka.  Ia  segera  pergi  ke  Mekah  untuk mengucapkan simpati dan  bela  sungkawa atas terbunuhnya pembesar­pembesar Quraisy di  Badar  dalam rangakaian  puisi  yang  menyayat  hati.  Tidak  cukup  disitu,  ia  juga mengobarkan  semangat  Quraisy  untuk segera  melupakan  kekalahan  dan  menyiapkan pembalasan yang jauh lebih hebat (al­Shallabi: 2/56­58).
b. Konspirasi Yahudi
Bani  Qainuqa`  adalah  klan  Yahudi  yang  lebih  dulu  menunjukkan  aksi  pengkhianatan kolektif  terhadap kesepakatan  Piagam  Madinah.  Kemenangan  kaum  muslimin  di  Badar membuka  mata  mereka,  bahwa kekuatan  dan  dominasi  kaum  muslimin  di  Madinah menjadi  kenyataan.  Bagi  Bani  Qainuqa`,  ketergantungan ekonomi  kepada  mekanisme pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.
Tampaknya  benih  pengkhiantan  kolektif  Bani  Qainuqa`  telah  tercium  oleh  Rasulullah saw.  Menurut  Abu Dawud,  beberapa  saat  setelah  kembali  dari  Badar,  Rasulullah  saw. mengumpulkan  Bani Qainuqa` di pasar mereka untuk  memberi peringatan. Namun  juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab, “Hai Muhammad! Jangan pernah merasa bangga hanya  karena  berhasil  membunuh  segelintir  orang­orang  Quraisy  yang  tidak  pandai berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak berkutik melawan kami”. (al­Mubarakfuri: 226)
Sebatas  perlawanan  verbal,  Rasulullah  saw.  hanya  melihatnya  sebagai  indikator pengkhianatan. Tapi  setelah terjadi  kasus  pelecehan  wanita  muslim  di  pasar  Bani Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya, Rasulullah saw. mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari Madinah. Pembunuhan Ka`b  bin  Asyraf  dan  pengusiran  Bani  Qainuqa`  dari  Madinah  cukup meredam  gejolak  pengkhianatan  klan Yahudi  lainnya.  Tapi  kekalahan  kaum  muslimin dalam  perang  Uhud  dan  tragedi  Bi’r  Ma`unah menumbuhkan  kepercayaan  diri  Yahudi. Bani  Nadhir,  klan  yang  paling  kuat  saat  itu,  berkhianat.  Diawali dengan  memberi perlindungan  kepada  Abu  Sufyan  saat  melakukan  oprasi  militer  (Perang  Sawiq)  ke Madinah (Ibn Ishaq: 108).
Pelanggaran  terhadap  salah  satu  pasal  Piagam  Madinah  tersebut  disusul  dengan pelanggaran  lain.  Bani Nadhir  tidak  bersedia  menanggung  biaya  diyat  (denda pembunuhan)  yang  seharusnya  dipikul  bersama. Bahkan  lebih  jauh  lagi,  mereka menyusun  rencana  pembunuhan  Nabi  saw.  (al­`Umari:  146).  Rencana busuk  itupun terbongkar, sehingga Rasulullah saw. segera mengumumkan ultimatum pengusiran Bani
Nadhir dari Madinah.
Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay, pemimpin kelompok Munafik  menjanjikan bantuan  (al­Mubarakfuri:  280),  tapi  kemudian  menyerah  dan terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada dasarnya, mereka diusir  ke  Syam,  tapi  sejumlah  tokoh  penting  Bani  Nadhir  seperti Huyay  bin  Akhthab, Salam bin Abi al­Huqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (al­Umari: 149).
c. Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab
Ahzab  adalah  aliansi  sejumlah  klan  Arab  besar  yang  meliputi  Quraisy,  Ahbasy, Ghathafan  bersama sekutunya.  Mereka  melakukan  kesepakatan  dengan  Yahudi  untuk menyerang  Madinah.  Perang  Ahzab  yang mencatat  rekor  fantastik  dalam  sejarah peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti kelihaian lobi Yahudi. Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di  Khaibar dan dipimpin oleh kalangan elit Bani Nadhir,  yaitu Sallam  bin  Abi al­Huqaiq, Huyay bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar (al­Shallabi:  2/256).  Pembentukan  tim  ini  tentu disetujui  oleh  tokoh­tokoh  Yahudi Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.
Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy dan Ghathafan. Selain merupakan  kabilah besar  dan  memiliki  sekutu  yang  loyal,  keduanya  memiliki kepentingan  langsung  dengan  Madinah. Menggalang  dukungan  Quraisy  tentu  lebih mudah,  karena  permusuhan  mereka  dengan  Madinah  sudah cukup  menjadi  pemicu utama. Tapi para provokator ini  menambahkan dukungan  moral  yang tidak kecil,  yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy  lebih  baik daripada agama Muhammad saw.
Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah al­Nisa’: 51­52: “Apakah  kamu  tidak memperhatikan  orang­orang  yang  diberi  bagian  dari  Al  kitab? Mereka  percaya  kepada  jibt  dan  thaghut, dan  mengatakan  kepada  orang­orang  Kafir (musyrik  Mekah),  bahwa  mereka  itu  lebih  benar  jalannya  dari orang­orang  yang beriman.  Mereka  itulah  orang  yang  dikutuki  Allah.  Barangsiapa  yang  dikutuki  Allah, niscaya kamu sekali­kali tidak akan memperoleh penolong baginya”.
Sedangkan  untuk  meraih  dukungan  Ghathafan,  tim  Yahudi  melakukan  kontrak kesepakatan  dengan  kabilah besar  Najed  tersebut  dalam  dua  pasal  yang  saling menguntungkan;  1).  Ghthafan  harus  menghimpun pasukan  sebanyak  6000  orang;  2). Yahudi  akan  membayar  klan­klan  Ghathafan  yang  bergabung  dalam pasukan  tersebut dengan seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (al­Shallabi: 2/257).
Lobi Yahudi  ini  berhasil dengan gemilang.  Kabilah­kabilah  Arab  yang telah  melakukan kesepakatan  itu berdatangan  ke  Madinah  dengan  seluruh  kekuatan  yang  mereka  miliki. Tidak  tanggung­tanggung,  jumlah mereka  mencapai  10.000  pasukan.  Jumlah  yang disebut  al­Mubarakfuri  sebagai  catatan  rekor  fantastis dalam  sejarah  kemiliteran  Arab pada masa itu.
Merasa  tidak  cukup  dengan  menggalang  kekuatan  Arab.  Huyay  bin  Akhthab  berusaha keras  membujuk klan  Yahudi  terakhir  yang  masih  berada  di  Madinah  dan  mentaati kesepakatan  Piagam  Madinah,  Bani Quraizhah,  untuk  mendukung  logistik  Ahzab  dan menggerogoti  kekuatan  Madinah  dari  dalam.  Lobi  inipun akhirnya  berhasil.  Quraizhah berkhianat,  sehingga  Madinah  semakin  terjepit  (al­Mubarakfuri: 293).  Namun dengan strategi  yang  jitu  dan  pertolongan  Allah  swt.,  akhirnya  kaum  muslimin  berhasil  keluar dari medan perang sebagai pemenang.
Dengan  pengkhianatan  Bani  Quraizhah,  habislah  kekuatan  Yahudi  di  Madinah. Rasulullah  saw.  menghukum meraka  sebagai  pengkhianat  perang,  semua  laki­laki  Bani Quraizhah  yang  terlibat  perang  dipancung,  anak­anak  dan  wanita  ditawan,  dan  harta benda mereka dirampas (al­Mubarakfuri: 301).
Setelah  itu, kekuatan Yahudi  yang signifikan  hanya tersisa di  Khaibar. Di tempat  inilah tersimpan  potensi ancaman  yang  tidak  dapat  diremehkan.  Selain  menjdai  rahim  yang melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki benteng­benteng yang kuat dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang menghubungkan daerah timur dan selatan Jazirah Arab.
Rasulullah  saw.  harus  konsentrasi  penuh  guna  melumpuhkan  kekuatan  Khaibar. Gencatan  senjata  yang disepakati  dengan  Quraisy  dalam  Perjanjian  Hudaibiyah  pada tahun  6H  menjadi  momentum  yang  sangat tepat.  Beberapa  saat  setelah  itu  Rasulullah saw. langsung melancarkan serangan besar­besaran ke Khaibar dan menang. Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari daerah tersebut, melainkan diizinkan  tinggal  untuk  mengelola  kebun­kebun  Khaibar  dan  berbagi  hasil  dengan  para pemilik barunya, kaum muslimin.

PENUTUP
Demikianlah  sekelumit  gambaran  kehidupan  masyarakat  Yahudi,  terutama  di  Madinah, dan  persentuhan mereka  dengan  kaum  muslimin  pada  permulaan  sejarah  Islam. Penyimpangan  dari  ajaran  Taurat  yang mengkristal  dalam  nilai  dan  sistem  yang mendasari  kehidupan  sosial,  ekonomi  dan  politik,  berakibat  pada penolakan  mereka terhadap ajaran Islam.
Namun  demikian,  bukan  berarti  seluruh  masyarakat  Yahudi  menolak  Islam.  Sejarah mencatat  bebarapa individu  Yahudi  memeluk  Islam  saat  itu.  Diantaranya  Abdullah  bin Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516) 1 ; Yamin bin `Amr dan Abu Sa`d  bin  Wahb  dari  Bani  Nadhir  (al­`Umari:  149); dan  `Athiyyah  al­Qurazhi, Abdurrahman  bin  Zubair  bin  Batha,  Rifa`ah  bin  Samuel  dan  beberapa  orang  lagi dari Bani Quraizhah (al­Mubarakfuri: 302).
Rujukan
  1. Al­Qur’an al­Karim
  2. Shahih al­Bukhari [al­Maktabah al­Syamilah]
  3. Ibn Hisyam, al­Sirah al­Nabawiyyah [al­Maktabah al­Syamilah]
  4. Ali, Jawad, al­Mufashshal fi Tarikh al­Arab Qabl al­Islam [al­Maktabah al­Syamilah]
  5. Al­Syarif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al­Madinah fi al­Jahiliyyah wa `Ahd al­Rasul saw. [al­Maktabah al­Syamilah]
  6. Al­`Umari,  Akram  Dhiya’,  al­Mujtama`  al­Madani  fi  `Ahd  al­Nubuwwah  [al­
  7. Maktabah al­Syamilah]
  8. Al­Mubarakfuri,  Shafiy  al­Rahman,  al­Rahiq  al­Makhtum,  Dar  al­Salam­Riyadh,
1418H
  1. Al­Shallabi,  Ali  Muhammad,  al­Sirah  al­Nabawiyyah;  `Ardh  Waqa’i`  wa  Tahlil  Ahdats, Dar Ibn Katsir­Beirut, 1425H/2004
Asep Sobari Lc

Tidak ada komentar

Posting Komentar