Oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
2. Misteri Nafs al-Wahidah
Dalam al-Qur'an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan.116
Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu Q., s. al-Nisa'/4:1 sebagai berikut :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang satu (a single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dari padanya" (minha), dan apa yang dimaksud "pasangan" (zawy) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir "ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi "dari jins (gen), unsur pembentuk Adam".117 Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan "roh" (soul).118
Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti "jiwa" (Q., s. al-Ma'idah/5:32), "nafsu" (Q., s. al-Fajr/89:27), "nyawa/roh" (Q., s. al-'Ankabut/29:57). Kata al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul kejadian" terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q., s. al-Syu'ra/42:11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang.119 Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta'kid) dengan kata "yang satu" (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafs120 masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).121
Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya (pair/zawj-nya) (Q., s. al-A'raf/7:189), sedangkan species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q., s. al-Syura/42:11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q., s. Thaha/20:53).
Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari "air"/al-ma' (Q., s. al-Furqan/25:54), "air hina"/ma'in mahin (Q., s. al-Mursalat/77:20), dan "air yang terpancar"/ma'in dafiq (Q., s. al-Thariq/86:6), "darah"/'alaq (Q., s. al-'Alaq/96:2), "saripati tanah"/sulalatin min thin (Q., s. al-Mu'minun/23:12), "tanah liat yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q., s. al--Hijr/ 15:28), "tanah yang kering seperti tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar (Q., s. al-Rahman/55:15), "dari tanah"/min thin (Q., s. al-Sajdah/32:7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q., s. al-Nisa'/4: 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction).
Ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul kejadian manusia dalam al-Qur'an karena ada loncatan atau semacam missing link dalam kisah-kisah tersebut. Al-Qur'an tidak menerangkan secara runtut dari A sampai Z, tetapi dari A meloncat ke X dan Z. Apa yang terjadi antara A dan X atau Z tidak dijelaskan. Al-Qur'an bercerita tentang asal-usul sumber manusia pertama dari "gen yang satu" (nafs al-wahidah), Gen yang melahirkan species makhluk biologis seperti jenis manusia, jenis binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Dalam komponen lain ayat-ayat berbicara tentang asal-usul manusia dalam konteks reproduksi, seperti pada Q., s. al-Mu'minun/23:12-14.
Ayat-ayat kejadian manusia dalam al-Qur'an tidak cukup kuat dijadikan alasan untuk menolak atau mendukung teori evolusi dan untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa ayat mengisyaratkan adanya makhluk sejenis manusia selain dan sebelum Adam; seperti pertanyaan malaikat yang bernada protes terhadap keinginan Tuhan untuk menciptakan khalifah di bumi yang mengkhawatirkan terjadinya pengulangan sejarah pertumpahan darah (Q.,s. al-Baqarah/2:30) dan penggunaan dlamir plural (khalaqa-kum) pada penciptaan manusia awal (Q., s. al-A'raf/7:11). Ayat-ayat itu dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya makhluk sejenis Adam pra Adam. Sementara banyak ayat mengisyaratkan manusia sebagai ciptaan yang unik the unical creation, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Konsep teologi yang menganggap Hawa/Eva berasal usul dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna lain.122 Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi123 cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad), materi hadits (matan), asal-usul (sabab wurud) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang diistilahkannya dengan hadits-hadits misogyny, disamping melakukan kajian semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan perempuan.
Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan shaleh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung terwujudnya khalifat-un fi 'l-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini perlu diadakan klarifikasi.
C. Fungsi Keberadaan Laki-laki dan Perempuan
Keberadaan Hawa untuk melengkapi salah satu hasrat Adam. Anggapan seperti ini dapat dilihat dalam Kitab Tawrat dan Kitab Injil, seperti dalam Genesis/2:18-19 ditegaskan bahwa tidak baik seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Adam (a helper suitable for him).124
Dari pasal-pasal tersebut secara teologis mengesankan kedudukan perempuan, bukan saja sebagai subordinasi laki-laki, tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat. Dalam sumber Yahudi, yakni dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect/hokhmah), sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct/ binah).125 Jika diperhatikan secara cermat beberapa pernyataan dalam Bible, terutama dalam Kitab Kejadian, pernyataan-pernyataan itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan perempuan sangat timpang dibanding kedudukan laki-laki. Persoalan ini menjadi sangat fundamental karena tersurat di dalam Kitab Suci yang harus diyakini oleh pemeluknya. Hal yang seperti ini sering dijumpai dalam masyarakat, misalnya beberapa mitos destruktif tetap lestari hingga sekarang karena dianggap sebagai bagian dari doktrin agama.
Problem teologis seperti ini menjadi hambatan terberat dialami kalangan feminis. Carmody mengungkapkan bahwa, sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai agama, misalnya tidak bisa menolak mitos di sekitar Mary (Maryam) tanpa melepaskan kepercayaan, karena dalam kepercayaan Kristen, cerita tentang Jesus dan Mary dianggap sebagai nonmythologual aspects.126
Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan suatu ayat yang menyebutkan cerita tentang asal-usul kejadian perempuan. Yang ada hanya cerita tentang kesombongan Iblis yang berdampak pada Adam dan pasangannya, harus meninggalkan sorga.127 Hanya ada beberapa riwayat yang kontroversi menceritakan asal-usul keberadaan kejadian perempuan, yang redaksinya hampir sama dengan cerita yang ada dalam Kitab Kejadian, seperti dalam hadits:
"Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari Taman lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak mempunyai teman bermain maka Allah menidurkannya kemudian mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Ia mengganti daging di tempat semula kemudian Ia menciptakan Hawa dari padanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya: Siapa anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya: Kenapa engkau diciptakan? Hawa menjawab: Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari diri saya. Para malaikat berkata: Siapa namanya? Dijawab: Hawwa. Mereka bertanya: mengapa dipanggil Hawa? dijawab: Karena diciptakan dari sebuah benda hidup".128
Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan redaksi Kitab Genesis, khususnya Pasal 21-23. Riwayat-riwayat semacam ini diragukan keabsahannya oleh, bukan saja dari kalangan feminis muslimah seperti Riffat Hasan tetapi juga kalangan ulama seperti Muhammad Rasyid Ridla. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Ridla mengesankan bahwa tradisi pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan bersumber dari al-Qur'an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya, "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalamKitab Perjanjian Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim".129
Wibke Walther mendukung pendapat tersebut dengan mengemukakan beberapa bukti sejarah bahwa pada era awal Islam, yakni pada masa Nabi, kaum perempuan mendapatkan kemerdekaan sangat berbeda dengan yang pernah membudaya sebelumnya. Belakangan setelah wilayah Islam meluas dan bersentuhan dengan budaya lain, khususnya faham asketisme Kristen kedudukan perempuan dalam dunia Islam mengalami dekadensi.130 Pendapat yang sama juga diungkapkan Fatima Mernissi dan Muhammad Iqbal.
1. Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'an
Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).
Secara ontologis, masalah-masalah substansial manusia tidak diuraikan panjang lebar di dalam al-Qur'an. Seperti mengenai roh, tidak dijelaskan karena hal itu dianggap "urusan Tuhan" (Q., s. al-Isr'a'/17:85). Yang ditekankan ialah eksistensi manusia sebagai hamba/'abid (Q., s. al-Dzariyat/51:56) dan sebagai wakil Tuhan di bumi/khalifah fi al-ardl (Q., s. al-An'am/6:165). Manusia adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q., s. al-Thin/95:4) tetapi tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah" (asfala safilin/Q., s. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah dari pada binatang (Q., s. al-A'raf/7:179).
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa'/4:124 dan s. al-Nahl/16:97).
Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-Mumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s. al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (Q., s. al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan "oposisi" terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q., s. al-Nisa'/4:75).
Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum laki-laki.
2. Penafsiran Berwawasan Jender
Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender bias. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur-Tengah yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab Tafsir tetapi juga kamus. Sebagai salah satu contoh, al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan al-dzikr berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya digunakan di dalam bentuk maskulin" (al-khalifah la yakun illa al-dzakar).
Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan (Q., s. al-Nis'a'/4: 11), persaksian (Q., s. al-Baqarah/2:228, s. al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai "pemimpin"/qawwamah (Q., s. al-Nisa'/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan. Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat essensial,131 yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a) apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'alm), atau b) berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c) hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa lain.132
Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur'an dan hadits yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan secara bertahap (al-tadrij fi al-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a'dam al-haraj). Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat.133
Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam. Misalnya dalam soal warisan; anak perempuan mendapat separoh bagian dari yang didapat anak laki-laki (Q., s. al-Nisa'/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu hanya separoh, tanggapan masyarakat ketika itu sama ketika ayat haid diturunkan (akan diuraikan tersendiri), yaitu menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar (great tradition) mereka. Ketentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa.
Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin (gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu (revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an.
Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan perempuan selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia sebagai isteri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha', memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten terhadap kaidah al-hukmu yadur ma'a al-illah (hukum mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian.
Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarat qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah,134 karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah), sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar