Kupas Nikah dan Kontroversi Nikah Mut'ah Antara Syiah dan Sunni
PERBEDAAN KATA NIKAH DAN KAWIN
Pengertian kawin dari segi gaya bahasa kadang kala orang-orang salah kaprah dalam penyebutan bahasanya, walaupun tujuannya pernikahan. Pengertian kawin, dalam ilmu hayati atau biologi, kawin (untuk menyebutnya kejadiannya disebut perkawinan) adalah proses pemaduan dan penggabungan sifat-sifat genetik untuk mewariskan ciri-ciri suatu spesies agar tetap lestari (disebut reproduksi). Proses ini seringkali menghasilkan dimorfisme di dalam suatu spesies sehingga dikenal adanya jenis kelamin jantan dan betina. Karena dalam perkembangan terbentuk pula sel-sel yang terspesialisasi berdasarkan tipe seksual, dikenallah sel kelamin (gametosit, gametocyte), yang untuk jantan biasanya disebut sel sperma (spermatozoid) dan untuk betina disebut sebagai sel telur (ovum).
Reproduksi yang memerlukan tahap perkawinan dikatakan sebagai reproduksi seksual, sedangkan yang tidak memerlukan proses ini disebut sebagai reproduksi aseksual, reproduksi somatik, atau reproduksi vegetatif. Jadi kata 'kawin" lebih cenderung ke hewan dan tumbuhan. Jadi perkawinan tidak terikat syariat dan hukum.
Photo 1 : Adat Nikah Sunda |
pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
Photo 2 : Adat Nikah Sunda |
- beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
- bertanggungjawab terhadap semua benda
- memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
- berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
- tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
- rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.
Photo 3 : Adat Pernikahan islam Budaya Sunda dan Jawa |
Photo 4 : Adat Pernikahan Islam Sumetera |
Photo 5 : Adat Pernikahan Islam Kalimantan dan Sulawesi |
PENYEBAB HARAMNYA SEBUAH PERNIKAHAN
1. Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa : Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.” : ibu, nenek dari ibu maupun bapak, anak perempuan dan keturunannya, Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu, anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua anak saudara perempuan.
2. Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah : ibu susuan, nenek dari saudara Ibu susuan, saudara perempuan susuan, anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan, sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan.
3. Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah : ibu mertua, ibu tiri, nenek tiri, menantu perempuan, Anak tiri perempuan dan keturunannya, Adik ipar perempuan dan keturunannya , Sepupu dari saudara istri, Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya.
Photo 6 : Adat Nikah Sunda |
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang:
"Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)
Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))
NIKAH / PERNIKAHAN
RUKUN NIKAH
- Pengantin laki-laki
- Pengantin wanita
- Wali
- Dua orang saksi laki-laki
- Mahar
- Ijab dan kabul (akad nikah)
SYARAT CALON SUAMI
- Islam
- Laki-laki yang tertentu
- Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
- Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
- Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
SYARAT BAKAL ISTRI
Islam
- Perempuan yang tertentu
- Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
- Bukan seorang banci
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak dalam iddah
- Bukan istri orang
SYARAT WALI
- Islam, bukan kafir dan murtad
- Lelaki dan bukannya perempuan
- Telah pubertas
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak fasik
- Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
- Merdeka
- Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis wali
- Wali mujbir : Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
- Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
- Wali ab’ad : Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
- Wali raja/hakim : Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
SYARAT-SYARAT SAKSI
Sekurang-kurangya dua orang
- Islam
- Berakal
- Telah pubertas
- Laki-laki
- Memahami isi lafal ijab dan qobul
- Dapat mendengar, melihat dan berbicara
- Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
- Merdeka
SYARAT IJAB QOBUL
- Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
- Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
- Diucapkan oleh wali atau wakilnya
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
- Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan).
Contoh bacaan Ijab : Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami : "Aku nikahkan Anda dengan ......Binti... dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
Keterangan Mahar Ijab-Qabul :
Mahar perkawinan yang diijab qabulkan dalam al-islam sebenarnya hanya seperangkat alat shalat, mahar cincin kawin tidak menjadi wajib (ini akan dibahas tulisan berikutnya)
Sebagian ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa ini adalah tradisi Fir’aun, dan sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa ini adalah tradisi kaum Nasrani.
Jadi penggunaan cincin didalam suatu acara perkawinan bukanlah berasal dari islam. Dan Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu.” (Hadis Sahih, riwayat Abu Daud, no. 4031).
Pasangan suami istri yang mengenakan cincin pertunangan atau pernikahan, pada kenyataannya ada yang masih bisa berpisah dan bercerai. Sebaliknya hal ini kadang tidak terjadi pada pasangan yang tidak memakai cincin pertunangan atau pernikahan, bahkan hidup mereka tetap harmonis dan langgeng. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm 362)
Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah mengatakan bahwa memakai emas bagi kaum lelaki, dalam bentuk cincin atau yang lain, hukumnya haram karena Nabi Muhammad s.a.w. telah mengharamkan emas bagi kaum laki-laki umatnya.
Beliau pernah melihat seorang lelaki mengenakan cincin emas, lalu beliau melepas dari tangannya. Beliau bersabda “Seseorang dari kalian sengaja mengambil sepotong bara api neraka, lalu menaruhnya di jari tangannya” (Hadits sahih, riwayat muslim, Kitab al-Libas wa az-Zinah, no. 2090)
Jika saat memakai cincin pertunangan atau cincin pernikahan diikuti keyakinan bahwa cincin itu dapat mempengaruhi hubungan suami istri, ini termasuk kemusyrikan. Karena menganggap bahwa cincinlah yang menentukan kelanggengan hubungan suami istri, padahal tak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Hlm. 363)
Islam memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan agama dan budaya selainnya. Karakteristik dan ciri islam adalah karakteristik ilahiyah yang senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan Sang Penciptanya. Karakteristik yang tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah swt sehingga ia dinilai sebagai suatu ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah swt.
Kalau seandainya mereka yang mengatakan bahwa penggunaan cincin dalam perkawinan juga berasal dari islam berdasarkan hadits Rasulullah saw kepada salah seorang sahabatnya,”Berikanlah mahar, meskipun hanya sebuah cincin besi,” , (HR. Bukhori) maka tidaklah tepat karena hadits ini berkaitan dengan mahar seorang yang ingin menikah.
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Mahar dengan Barang dan Cincin Besi. Artinya bahwa seseorang yang ingin menikah sedang ia tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan maharnya maka ia diperbolehkan memberikan mahar walaupun hanya berupa cincin besi atau sesuatu yang tidak seberapa harganya. Wallahu A’lam bi showab
Syarat qobul
- Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
- Tidak ada perkataan sindiran
- Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
- Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
- Menyebut nama calon istri
- Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami) : "Aku terima nikahnya dengan...... binti.... dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima ...... binti.....sebagai istriku".
Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.
Wakil Wali/Qadi
Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.
HIKMAH PERNIKAHAN
- Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
- Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman.
- Memelihara kesucian diri.
- Melaksanakan tuntutan syariat.
- Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
- Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan al-Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
- Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab.
- Dapat mengeratkan silaturahim.
LETAK PERBEDAAN NIKAH MUT'AH VERSI SYI'AH DAN SUNNI
Baiklah kita lihat letak perbedaan pernikahan Mut'ah ini berdasarkan hadits-hadits shahih dan ulama-ulama yang muktabar.
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah" (QS adz Dzariyat ayat 49). Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi masing-masing.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]
Oleh karenanya, salah satu maqashid syari'ah (pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam juga mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Di antara pernikahan yang diharamkan oleh Islam, ialah seperti :
1. Nikah tahlil, yaitu seseorang menikah dengan seorang wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar suami pertama dapat rujuk dengannya.[2]
2. Nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya dengan seseorang, dengan syarat orang yang dinikahkan tersebut juga menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar atas keduanya.[3]
3. Nikah muhrim, dan seterusnya.
Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal dengan nikah kontrak (kawin kontrak). Nikah yang biasa disebut nikah mut'ah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah mut'ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi`ah dengan mengatasnamakan agama. Berikut ini penjelasan fiqih Islam tentang hukum nikah mut'ah.
HIKMAH PERNIKAHAN
- Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
- Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman.
- Memelihara kesucian diri.
- Melaksanakan tuntutan syariat.
- Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
- Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan al-Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
- Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab.
- Dapat mengeratkan silaturahim.
DEFINISI NIKAH MUT'AH
Yang dimaksud nikah mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.[4]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut'ah menurut Syiah Imamiah ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi engkau”, atau “aku mut'ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
NIKAH MUT'AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN LARANGAN
Photo 7 : Menderitanya Kaum Hawa Nikah ala Syi'ah Rafi'dah |
Nikah mut'ah, pada awal Islam (saat kondisi darurat) diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut'ah pada awal Islam ialah :عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: "Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut'ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[7]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut'ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami". [8]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut'ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami". [9]
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut'ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut'ah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut'ah, sesuai dengan urutan waktunya.[10]
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai pada umrah qadha [11], perang Tabuk[12] dan Haji Wada [13] tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut'ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada masa perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu 'anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mut'ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[14]
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi' bin Sabrah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut'ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut'ah dengan salah seorang dari kami?" Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap". Dia berucap,"Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut'ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[15]
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut'ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan [16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu 'Abbas jauh setelah kejadian [17]. Seharusnya ucapan beliau, "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut'ah". Dengan demikian, larangan mut'ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Para ulama berselisih, apakah mut'ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu 'Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mut'ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu 'Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna".[18]
Sedangkan riwayat pengharaman mut'ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut'ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Tidak ada keraguan lagi, mut'ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali." [19]
Al Qurthubi berkata,"Telah berkata Ibnul 'Arabi,'Adapun mut'ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari'ah; karena mut'ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut'ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil'."[20]
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut'ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.[21]
Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.[22]
Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik "haramnya nikah mut'ah" karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesepakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata,”Pengharaman mut'ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan dari Ibnul 'Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma' (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahu a`lam, Pen)." [23]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT'AH
Nikah mut'ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma', dan secara akal.
• Dari al Qur`an :وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (al Maarij : 29-31)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut'ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (an Nisa : 25).
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut'ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut'ah. Di antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul 'Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,"Umar telah melarang mut'ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma' mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,"Telah terjadi Ijma' dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi'ah, Pen)". [28]
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut'ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. 'Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat 'Umar tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut'ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut'ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut'ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHU DALAM MASALAH MUT'AH [31]
Dalam permasalahan ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mempunyai tiga pendapat.[32]
• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari 'Atha`, beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berpendapat bahwa nikah mut'ah boleh …[33]
• Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari Ubaidillah [34] : "Bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa tentang mut'ah. Para ahli ilmu mencelanya karenanya, akan tetapi beliau tidak bergeming dari pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang fatwanya :
Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu 'Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut'ah tidak halal, kecuali bagi yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai, darah dan daging babi”.
• Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah. [35]
TANGGAPAN ULAMA TENTANG FATWA IBNU ABBAS RADHIYALLAHU A'NHU
• Tanggapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim budak Ibnu 'Umar, ia berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: "Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut'ah". Beliau (Ibnu 'Umar, Red) berkata,"Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu." Mereka berkata,"Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,"Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut'ah, Red) itu perbuatan zina." [36]
• Khattabi berkata,"Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak, karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari fatwa tersebut (yaitu rujuk) [36]." Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibnul Qayyim. [38]
• Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas dalam masalah mut'ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan boleh." [39]
Demikian permasalahan nikah mut'ah, atau padanan dalam bahasa kita dikenal dengan istilah kawin kontrak. Tak syak lagi, bahwa Rasulullah telah mengharamkan praktek nikah mut'ah ini. Islam menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam mengharamkan perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan.
Billahi taufiq wal hidayah semoga artikel ini bermanfaat .
________________________
Footnote dinukil dari :
[1]. Silahkan lihat Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Maktabah Ubaikan (2/104).
[2]. Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/137).
[3]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Risalah (5/108).
[4]. Jami' Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan silahkan lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[5]. Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[6]. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq (2/132).
[7]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[8]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[9]. HR Muslim, 9/157, (1405).
[10]. Silahkan lihat pembahasan ini di dalam Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/171-205).
[11]. Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal.
[12]. Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan, Jami' Ahkam Nisaa' (3/193).
[13]. Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa` Ghalil (6/312).
[14]. HR Muslim, 9/161, (1407).
[15]. HR Muslim, 9/158, (1406).
[16]. Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169),
[17]. Di dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut'ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut'ah. Kemudian Ali berkata kepadanya: “Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut'ah pada perang Khaibar”.
[18]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim (4/111).
[19]. Tafsir al Qur`anil 'Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449).
[20]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi, Dar Syi'ib (5/130-131).
[21]. Ibid. (5/131).
[22]. Silahkan lihat Zadul Ma'ad (3/460).
[23]. Jami' Ahkamil Qur`an (5/87).
[24]. Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 228.
[25]. Ibid.
[26]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
[27]. Syarh Ma'anil Atsar (3/27).
[28]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
[29]. Aunul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[30]. Silahkan lihat asy Syi'ah wal Mut'ah, Muhammad Malullah, Maktabah Ibnu Taimiyah, hlm.19; Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 227-228 dan Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq (2/130-131).
[31]. Sebagian ulama menyebutkan nama sebagian sahabat yang berpendapat bolehnya mut'ah, akan tetapi sengaja tidak kami sebutkan, karena lemahnya riwayat dari mereka, atau rujuknya mereka tentang hal itu. Silahkan lihat Fahul Bari (9/174).
[32]. Silahkan lihat Irwa` Ghalil (6/319) dan Jami` Ahkamin Nisaa` (3/195).
[33]. HR Mushannaf, Abdurrazzaq (14022)
[34]. HR Muslim (9/174), dan ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205).
[35]. Dikeluarkan oleh at Tirmidzi (1122) dan al Baihaqi (7/205). Dalam sanadnya terdapat Musa bin 'Ubaidah ar Rabzi, dan dia dha'if.
[36]. HRAbdur Razaq di Mushannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami` Ahkamin Nisaa' (3/199).
[37]. A'unul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[38]. Zadul Ma'ad (5/112).
[39]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
Post a Comment