Menjawab Tuduhan Syiah Terhadap Ahlu Sunnah Puasa 10 Muharam Dikaitkan Dengan Kematian Al Husein
Orang-orang Syiah mengatakan bahwa Ahlu Sunnah yang berpuasa di hari Asyura yaitu tanggal 10 Muharram itu dikarenakan mereka bergembira dengan kematian Al-Husein di padang Karbala.
Bentuk kebid’ahan yang paling pamor di bulan Muharram ini, yang menyesatkan dan sudah berlangsung lama diantaranya adalah perayaan hari Asyura’ yang diadakan oleh pemeluk agama Syi’ah (dimana mereka selalu menisbatkan diri termasuk ke dalam golongan muslim). Mereka menganggap bahwa hari Asyura’ adalah hari berkabung atas kematian Husain ra. Di saat itu mereka akan mengungkapkan kesedihannya dengan menangis seraya menampar-nampar wajah mereka sendiri, merobek-robek pakaiannya, hingga mereka tak segan-segan melukai diri mereka sendiri dengan berbagai alat yang bisa melukai, seperti cambuk, rantai besi, pedang, dan sebagainya. Mereka menganggap dengan berprilaku begitu akan bisa turut merasakan penderitaan dan kesakitan yang dialami cucu Rasulullah tersebut.
Bagi
pemeluk agama Syi’ah, peristiwa terbunuhnya Husein ra merupakan
peristiwa besar yang sangat diagung-agungkan. Begitupun dengan Padang
Karbala yang telah dijadikan tempat sakral mereka dalam melakukan
peribadahan melebihi kota Mekkah dan Masjidil Haram. Mereka justru lebih
memuliakan tempat itu ketimbang dua tempat yang telah dimuliakan Allah
Ta’ala tersebut.
Ritual yang dilaksanakan di hari Asyura’ yang mereka yakini diantaranya dengan mengenakan busana berwarna hitam dengan saling mengucapkan kalimat bela-sungkawa yang ditujukan kepada Husain ra. Mereka mengadakan Manakib Husainiyah atau aksi arak-arakan kubah Husain yang terbuat dari kayu ke jalan-jalan sambil melakukan niyahah. Sesekali terdengar teriakan keras mereka memekikkan nama Husain ra. Sementara itu bagi mereka yang kebetulan membawa-serta anak-anaknya, tampak mengajarkan ritual itu agar anak-anak tersebut dapat turut menangis saat mengikuti jalannya prosesi. Seorang ulama’ Syi’ah dalam Man Qatalal Husain menyatakan bahwa meratapi kematian Husein ra dengan berteriak-teriak, hukumnya wajib ‘ain.
Para penganut Syi’ah dewasa yang ekstrimis biasanya unjuk ‘keberanian’ dengan melukai anggota tubuh mereka sendiri hingga mengalirnya darah. Aksi ekstrim yang biasanya dilakukan di daerah Karbala ini, mereka tunaikan sebagai bentuk ikut merasakan penderitaan Husain yang terluka kala itu. Ayatullah al-’Uzhma Syaikh Muhammad Husain an-Nati dalam Man Qatalal Husain hal. 65 mengatakan, “Tidak ada masalah tentang hukumnya menampar pipi dan dada dengan tangan sampai memerah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi memukul pundak dan punggung dengan rantai hingga kulit menjadi kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu sampai mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan menggunakan pedang.”
Ritual penyiksaan ini biasanya terlaksana di negara-negara yang penganut Syi’ahnya mencapai jumlah mayoritas, seperti Iran, Irak, dan India. (Tidak tertutup kemungkinan kelompok Syi’ah di Indonesia akan menunaikan bentuk penyiksaan diri seperti demikian, apalagi isyu berkembangnya aliran sesat ini kian santer di negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini).
Di tengah-tengah perayaan Asyura’ itu, mirisnya mereka juga tak ketinggalan memaki-maki para khulafaur rasyidin yang amat dicintai Rasulullah saw. Wal ‘iyadzubillahi.
Dalam menyambut hari Asyura’ juga beredar hadits-hadits maudhu’, diantaranya yang berbunyi, “Barangsiapa yang memakai celak di hari Asyuro’, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu.” Atau hadits lain berbunyi, “Barangsiapa yang melebihkan nafkah bagi keluarganya di hari Asyura’, maka Allah akan melapangkan rezekinya selama setahun itu.”
Penganut Syi’ah juga menganggap hari Asyura’ sebagai hari penuh kesialan. Oleh karena anggapan itu, maka mereka banyak menunda berbagai aktivitasnya, seperti menunda pernikahan, tidak melakukan safar, tidak berpakaian bagus, dan sebagainya.
Kita semua tahu ketika berpuasa Asyura tidak berniat seperti itu. Justru kita berpuasa pada hari tersebut karena perintah Rasulullah SAW. Diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Lantas, beliau pun bertanya kepada mereka, “Puasa apakah ini?” Mereka menjawab bahwa puasa ini adalah tanda syukur mereka kepada Allah SWT karena Allah SWT telah menyelamatkan Nabi Musa AS dari kejaran tentara Firaun. Maka beliau bersabda, ”Kami lebih berhak kepada Musa daripada kalian.”
Oleh karena Syiah menuduh seperti ini, maka kata mereka, pada saat Imam Mahdi muncul, maka dia akan membantai seluruh Ahlu Sunnah, karena mereka telah bergembira di hari Asyura atas wafatnya Husain yang merupakan nenek moyang Al Mahdi.
Mari kita lihat hadits tentang puasa Asyura di bawah ini :
Dari Ibnu Abbas RA: ”Sesungguhnya pada saat Rasulullah SAW tiba di kota Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu di hari Asyura (10 Muharram). Maka mereka berkata bahwa hari ini adalah hari yang agung. Yaitu hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan menenggelamkan Fir’aun. Maka Nabi Musa AS berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah SWT. Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Aku lebih berhak terhadap Nabi Musa AS daripada mereka. Maka beliau pun berpuasa dan menyuruh para sahabat agar berpuasa juga.” (HR Al-Bukhari, jilid 11 hal, 195).
Riwayat Shohih Tentang Peristiwa Karbala
Riwayat yang paling shohih berikut ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari, no.3748:
Dia mengatakan, “Kepala Husein ra dibawa dan didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Kepala itu ditaruh di bejana, lalu Ubaidullah bin Ziyad menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas ra mengatakan, “Diantara ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu Husein disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan sejenis pacar yang warnanya condong ke warna hitam).”
Kisahnya, Husein bin Ali bin Abi Thalib tinggal di Mekah bersama beberapa para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair. Ketika Muawwiyah meninggal dunia pada tahun 60 Hijriyah, anak beliau Yazid bin Muawwiyah menggantikannya sebagai khalifah. Saat itu penduduk Iraq yang didominasi oleh pengikut Ali ra menulis surat kepada Husein untuk meminta beliau berpindah ke Iraq. Mereka berjanji akan membai’at Husein sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazid bin Muawwiyah menjadi khalifah. Ternyata tidak hanya melalui surat, mereka pun terkadang mendatangi Husein di Mekah dan mengajak beliau untuk berangkat ke Kuffah dan berjanji akan menyediakan pasukan.
Para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas kerap kali menasehati Husein agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husein, Ali bin Abi Thalib juga dibunuh di Kuffah sehingga Ibnu ‘Abbas mengkhawatirkan keselamatan Husein pula. Namun Husein mengatakan bahwa ia telah melaksanakan sholat istikharoh dan telah memutuskan akan berangkat ke Kuffah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau mengambil keputusan itu karena belum mendengar bahwa sepupunya yaitu Muslim bin ‘Aqil telah dibunuh di tempat itu juga. Akhirnya berangkatlah Husein dan keluarganya menuju ke Kuffah.
Sementara di pihak lain, Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid bin Muawwiyah untuk mengatasi pergolakan di Iraq. Akhirnya Ubaidullah dan pasukannya berhadapan dengan Husein yang sedang berada dalam perjalanan bersama keluarganya menuju Iraq. Pergolakan itu sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husein. Dua pasukan yang tidak imbang ini bertemu di Karbala, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husein untuk membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husein dan keluarganya untuk berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Hingga akhirnya terbunuhlah Husein sebagai orang yang terzhalimi dan dalam keadaan syahid. Kepalanya lalu dipenggal dan dibawa ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad kemudian diletakkan di dalam bejana. Ubaidullah yang tidak pernah diperintahkan untuk membunuh Husein ini pun lalu menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung, mulut, dan gigi Husein, padahal disana ada Anas bin Malik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Melihat perbuatan yang sangat tak manusiawi itu, Anas ra lantas mengatakan,
“Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah mencium mulut itu!” Mendengar kata-kata Anas ra, Ubaidullah pun marah lalu mengatakan, “Seandainya aku tidak melihatmu sebagai seorang-tua yang telah renta dan yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu akan kupenggal!” Dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Hafshah binti Sirrin dari Anas ra dinyatakan, “Lalu Ubaidullah mulai menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung Husein ra.”
Adapun riwayat palsu yang beredar tentang peristiwa ini menyatakan bahwa kepala Husein diarak dan diletakkan di depan Yazid bin Muawwiyah. Ini sesuatu yang mustahil, sebab saat itu Yazid bin Muawwiyah berada di negeri Syams, sedangkan peristiwa yang menimpa Husein terjadi di Karbala, Irak. Sementara itu dikatakan pula bahwa kaum perempuan dari keluarga Husein disebutkan diarak dengan kendaraan tanpa pelana dan ditawan. Ini hanyalah kisah dusta yang ditambah-tambah penganut Syi’ah semata. Tak cukup hanya merubah dan menambah sehingga bercampur dengan cerita fiktif tentang peristiwa Karbala, mereka pun nekat menyusun hadits-hadits maudhu’ untuk mendukung sikap ghuluw mereka terhadap Husein ra.
Syaikhul Islam rahimahullah telah membagi tiga kelompok manusia dalam kaitannya menyikapi tragedi Karbala, yaitu:
1. Kelompok yang menyatakan secara terang-terangan bahwa tragedi pembunuhan itu layak diterima Husein ra karena adanya anggapan bahwa Husein ra telah memberontak kepada Yazid bin Muawwiyah yang tengah berkuasa saat itu. Begitu juga dengan tuduhan kelompok ini bahwa Husein ra berniat memecah-belah umat. Oleh sebab itu kelompok ini selalu membawa hujjah sebuah hadits dari Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ جَاءَكُمْ وَ أَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ.
Artinya, “Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu kepemimpinan, lalu datanglah seseorang yang akan memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim)
2. Kelompok yang sangat taklid kepada Husein ra sehingga mengatakan bahwa keta’atan adalah dibawah perintah Husein ra. Kelompok yang sangat mendewakan Husein ra ini dipimpin oleh Muchtar bin Abi ‘Ubaid yang kemudian menugaskan pasukannya untuk membunuh dan memenggal kepala Ubaidullah bin Ziyad.
3. Kelompok yang menghormati Husein ra sebagai seorang ahli bait yang sholih dan menepis tudingan kelompok pertama yang menghujat Husein ra sebagai pemberontak. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Husein ra tewas dalam keadaan dizhalimi dan mendapat kesyahidan. Syaikhul Islam rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (IV/550) mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Husein ra terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadapnya merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantunya. Selain itu, ini merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah, dan yang lainnya. Husein ra berhak mendapatkan gelar asy-syahid, kedudukan, serta derajat yang tinggi. Kelompok ketiga inilah yang merupakan golongan ahlussunnah wal jama’ah.
Petunjuk Allah Ta’ala ketika musibah menimpa seorang muslim
Dalam tuntunan Allah Ta’ala yang telah disampaikan melalui Rasulullah saw, ada beberapa yang seharusnya dijadikan rujukan bagi setiap muslim dalam menghadapi sebuah musibah, misalnya kematian keluarga atau kerabat. Diantaranya adalah firman-Nya,
Artinya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah, 2:155-157)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir jelas dijabarkan bahwa Allah Ta’ala telah memastikan bahwa setiap hamba akan menerima ujiannya masing-masing. Ujian tersebut kadang berupa kebaikan dan kadang berupa keburukan yang sangat tidak disukai oleh seorang hamba. Namun Allah Ta’ala juga memberikan petunjuk bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan beroleh kegembiraan, yaitu berupa pahala keberkahan yang sempurna dan rahmat-Nya. Sebaliknya, bila ujian itu membuat hamba tersebut selalu berkeluh-kesah, menyesalinya, bahkan bersuudzhon kepada Allah Ta’ala, maka kemurkaan dan kerugianlah yang diperolehnya.
Dalam ayat tersebut juga diperintahkan apabila seorang hamba tertimpa musibah, maka disunnahkan membaca kalimat istirja’ yaitu ucapan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Perbuatan ini memiliki nilai pahala di sisi Allah azza wa jalla, yaitu seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra yang mendengar Rasulullah bersabda :
Artinya, “Tiada seorang hamba yang mendapat musibah, lalu dia mengucapkan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Ya Allah, berilah aku pahala disebabkan musibah ini dan gantilah ia dengan yang lebih baik daripadanya.” melainkan Allah memberinya pahala atas musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.” (HR. Muslim)
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan dalam sanadnya dari Husein bin Ali dari Rasulullah saw, bahwa beliau pernah bersabda,
Artinya, “Tiada seorang muslimpun, baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat musibah, lalu dia mengingatnya sesudah lama berlalu, kemudian membaca kalimat istirja’ meskipun sudah berlalu lama, melainkan Allah akan memeberinya kembali pahala bacaan yang sama dengan pahala bacaan ketika musibah itu pertama-kali terjadi.” (HR. Imam Ahmad)
Rasulullah pun sudah tegas dalam sabda lainnya yang melarang perbuatan yang bukan mencerminkan sikap sebagai seorang muslim, yaitu :
Artinya, “Tidak termasuk golongan kami—orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Merujuk kepada ayat dan hadits-hadits Rasulullah diatas, jelas perbuatan penganut Syi’ah yang selalu menisbatkan-diri kepada Islam itu tidak sejalan dengan petunjuk dien Islam. Ritual yang mereka jalankan berupa menangis histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, penyiksaan diri dengan melukai anggota tubuh, mengucapkan kalimat-kalimat penuh kemarahan, dan sebagainya yang terlarang merupakan cerminan sikap mereka yang berkiblat kepada adab-adab jahiliyah. Selayaknya seorang muslim sudah sangat bisa memahami keyakinan mereka yang sesat sebab perihal ini sudah sangat nyata dan gamblang Allah Ta’ala sampaikan, baik melalui firman-Nya maupun hadits rasul-Nya. Bukan malah ikut-ikutan apalagi memfasilitasi ritual sesat tersebut. Kenyataan ini memang memprihatinkan, dimana kesesatan dianggap tradisi, lalu tradisi lebih mendapat pengayoman sehingga dirasa patut untuk dijaga kelestariannya.
Dalam menyambut hari Asyura’, Rasulullah mencukupkan diri dengan melaksanakan Puasa sunnah. Tidak ada perintah lain dan tambahan-tambahan perayaan didalamnya sehingga tidaklah layak kita membuat-buat dalil yang justru menyelisihinya, karena sebaik-baik pedoman bagi umat Islam adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rasul-Nya, yang tidak ada petunjuk selainnya kecuali hanya dengan berpegang-teguh kepada kedua hal tersebut. Selayaknya umat Islam hidup dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Berhati-hatilah terhadap bid’ah karena tak ada balasannya melainkan an-Naar.
Naudzubillahi min dzaalika.
Demikian, semoga memberi manfaat.
Bantahan :
Lihatlah, betapa jahatnya mereka! Sampai ke arah sini mereka menuduh Ahlu Sunnah! Kematian seseorang adalah taqdir Allah SWT. Apakah ditemukan di dalam hadits-hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa berpuasa di hari Asyura itu adalah untuk merayakan kematian Husain yang merupakan cucu beliau?Bentuk kebid’ahan yang paling pamor di bulan Muharram ini, yang menyesatkan dan sudah berlangsung lama diantaranya adalah perayaan hari Asyura’ yang diadakan oleh pemeluk agama Syi’ah (dimana mereka selalu menisbatkan diri termasuk ke dalam golongan muslim). Mereka menganggap bahwa hari Asyura’ adalah hari berkabung atas kematian Husain ra. Di saat itu mereka akan mengungkapkan kesedihannya dengan menangis seraya menampar-nampar wajah mereka sendiri, merobek-robek pakaiannya, hingga mereka tak segan-segan melukai diri mereka sendiri dengan berbagai alat yang bisa melukai, seperti cambuk, rantai besi, pedang, dan sebagainya. Mereka menganggap dengan berprilaku begitu akan bisa turut merasakan penderitaan dan kesakitan yang dialami cucu Rasulullah tersebut.
Ritual yang dilaksanakan di hari Asyura’ yang mereka yakini diantaranya dengan mengenakan busana berwarna hitam dengan saling mengucapkan kalimat bela-sungkawa yang ditujukan kepada Husain ra. Mereka mengadakan Manakib Husainiyah atau aksi arak-arakan kubah Husain yang terbuat dari kayu ke jalan-jalan sambil melakukan niyahah. Sesekali terdengar teriakan keras mereka memekikkan nama Husain ra. Sementara itu bagi mereka yang kebetulan membawa-serta anak-anaknya, tampak mengajarkan ritual itu agar anak-anak tersebut dapat turut menangis saat mengikuti jalannya prosesi. Seorang ulama’ Syi’ah dalam Man Qatalal Husain menyatakan bahwa meratapi kematian Husein ra dengan berteriak-teriak, hukumnya wajib ‘ain.
Para penganut Syi’ah dewasa yang ekstrimis biasanya unjuk ‘keberanian’ dengan melukai anggota tubuh mereka sendiri hingga mengalirnya darah. Aksi ekstrim yang biasanya dilakukan di daerah Karbala ini, mereka tunaikan sebagai bentuk ikut merasakan penderitaan Husain yang terluka kala itu. Ayatullah al-’Uzhma Syaikh Muhammad Husain an-Nati dalam Man Qatalal Husain hal. 65 mengatakan, “Tidak ada masalah tentang hukumnya menampar pipi dan dada dengan tangan sampai memerah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi memukul pundak dan punggung dengan rantai hingga kulit menjadi kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu sampai mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan menggunakan pedang.”
Ritual penyiksaan ini biasanya terlaksana di negara-negara yang penganut Syi’ahnya mencapai jumlah mayoritas, seperti Iran, Irak, dan India. (Tidak tertutup kemungkinan kelompok Syi’ah di Indonesia akan menunaikan bentuk penyiksaan diri seperti demikian, apalagi isyu berkembangnya aliran sesat ini kian santer di negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini).
Di tengah-tengah perayaan Asyura’ itu, mirisnya mereka juga tak ketinggalan memaki-maki para khulafaur rasyidin yang amat dicintai Rasulullah saw. Wal ‘iyadzubillahi.
Dalam menyambut hari Asyura’ juga beredar hadits-hadits maudhu’, diantaranya yang berbunyi, “Barangsiapa yang memakai celak di hari Asyuro’, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu.” Atau hadits lain berbunyi, “Barangsiapa yang melebihkan nafkah bagi keluarganya di hari Asyura’, maka Allah akan melapangkan rezekinya selama setahun itu.”
Penganut Syi’ah juga menganggap hari Asyura’ sebagai hari penuh kesialan. Oleh karena anggapan itu, maka mereka banyak menunda berbagai aktivitasnya, seperti menunda pernikahan, tidak melakukan safar, tidak berpakaian bagus, dan sebagainya.
Kita semua tahu ketika berpuasa Asyura tidak berniat seperti itu. Justru kita berpuasa pada hari tersebut karena perintah Rasulullah SAW. Diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Lantas, beliau pun bertanya kepada mereka, “Puasa apakah ini?” Mereka menjawab bahwa puasa ini adalah tanda syukur mereka kepada Allah SWT karena Allah SWT telah menyelamatkan Nabi Musa AS dari kejaran tentara Firaun. Maka beliau bersabda, ”Kami lebih berhak kepada Musa daripada kalian.”
Oleh karena Syiah menuduh seperti ini, maka kata mereka, pada saat Imam Mahdi muncul, maka dia akan membantai seluruh Ahlu Sunnah, karena mereka telah bergembira di hari Asyura atas wafatnya Husain yang merupakan nenek moyang Al Mahdi.
Mari kita lihat hadits tentang puasa Asyura di bawah ini :
Dari Ibnu Abbas RA: ”Sesungguhnya pada saat Rasulullah SAW tiba di kota Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu di hari Asyura (10 Muharram). Maka mereka berkata bahwa hari ini adalah hari yang agung. Yaitu hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan menenggelamkan Fir’aun. Maka Nabi Musa AS berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah SWT. Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Aku lebih berhak terhadap Nabi Musa AS daripada mereka. Maka beliau pun berpuasa dan menyuruh para sahabat agar berpuasa juga.” (HR Al-Bukhari, jilid 11 hal, 195).
Riwayat Shohih Tentang Peristiwa Karbala
Riwayat yang paling shohih berikut ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari, no.3748:
Dia mengatakan, “Kepala Husein ra dibawa dan didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Kepala itu ditaruh di bejana, lalu Ubaidullah bin Ziyad menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas ra mengatakan, “Diantara ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu Husein disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan sejenis pacar yang warnanya condong ke warna hitam).”
Kisahnya, Husein bin Ali bin Abi Thalib tinggal di Mekah bersama beberapa para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair. Ketika Muawwiyah meninggal dunia pada tahun 60 Hijriyah, anak beliau Yazid bin Muawwiyah menggantikannya sebagai khalifah. Saat itu penduduk Iraq yang didominasi oleh pengikut Ali ra menulis surat kepada Husein untuk meminta beliau berpindah ke Iraq. Mereka berjanji akan membai’at Husein sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazid bin Muawwiyah menjadi khalifah. Ternyata tidak hanya melalui surat, mereka pun terkadang mendatangi Husein di Mekah dan mengajak beliau untuk berangkat ke Kuffah dan berjanji akan menyediakan pasukan.
Para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas kerap kali menasehati Husein agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husein, Ali bin Abi Thalib juga dibunuh di Kuffah sehingga Ibnu ‘Abbas mengkhawatirkan keselamatan Husein pula. Namun Husein mengatakan bahwa ia telah melaksanakan sholat istikharoh dan telah memutuskan akan berangkat ke Kuffah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau mengambil keputusan itu karena belum mendengar bahwa sepupunya yaitu Muslim bin ‘Aqil telah dibunuh di tempat itu juga. Akhirnya berangkatlah Husein dan keluarganya menuju ke Kuffah.
Sementara di pihak lain, Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid bin Muawwiyah untuk mengatasi pergolakan di Iraq. Akhirnya Ubaidullah dan pasukannya berhadapan dengan Husein yang sedang berada dalam perjalanan bersama keluarganya menuju Iraq. Pergolakan itu sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husein. Dua pasukan yang tidak imbang ini bertemu di Karbala, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husein untuk membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husein dan keluarganya untuk berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Hingga akhirnya terbunuhlah Husein sebagai orang yang terzhalimi dan dalam keadaan syahid. Kepalanya lalu dipenggal dan dibawa ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad kemudian diletakkan di dalam bejana. Ubaidullah yang tidak pernah diperintahkan untuk membunuh Husein ini pun lalu menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung, mulut, dan gigi Husein, padahal disana ada Anas bin Malik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Melihat perbuatan yang sangat tak manusiawi itu, Anas ra lantas mengatakan,
“Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah mencium mulut itu!” Mendengar kata-kata Anas ra, Ubaidullah pun marah lalu mengatakan, “Seandainya aku tidak melihatmu sebagai seorang-tua yang telah renta dan yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu akan kupenggal!” Dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Hafshah binti Sirrin dari Anas ra dinyatakan, “Lalu Ubaidullah mulai menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung Husein ra.”
Adapun riwayat palsu yang beredar tentang peristiwa ini menyatakan bahwa kepala Husein diarak dan diletakkan di depan Yazid bin Muawwiyah. Ini sesuatu yang mustahil, sebab saat itu Yazid bin Muawwiyah berada di negeri Syams, sedangkan peristiwa yang menimpa Husein terjadi di Karbala, Irak. Sementara itu dikatakan pula bahwa kaum perempuan dari keluarga Husein disebutkan diarak dengan kendaraan tanpa pelana dan ditawan. Ini hanyalah kisah dusta yang ditambah-tambah penganut Syi’ah semata. Tak cukup hanya merubah dan menambah sehingga bercampur dengan cerita fiktif tentang peristiwa Karbala, mereka pun nekat menyusun hadits-hadits maudhu’ untuk mendukung sikap ghuluw mereka terhadap Husein ra.
Syaikhul Islam rahimahullah telah membagi tiga kelompok manusia dalam kaitannya menyikapi tragedi Karbala, yaitu:
1. Kelompok yang menyatakan secara terang-terangan bahwa tragedi pembunuhan itu layak diterima Husein ra karena adanya anggapan bahwa Husein ra telah memberontak kepada Yazid bin Muawwiyah yang tengah berkuasa saat itu. Begitu juga dengan tuduhan kelompok ini bahwa Husein ra berniat memecah-belah umat. Oleh sebab itu kelompok ini selalu membawa hujjah sebuah hadits dari Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ جَاءَكُمْ وَ أَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ.
Artinya, “Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu kepemimpinan, lalu datanglah seseorang yang akan memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim)
2. Kelompok yang sangat taklid kepada Husein ra sehingga mengatakan bahwa keta’atan adalah dibawah perintah Husein ra. Kelompok yang sangat mendewakan Husein ra ini dipimpin oleh Muchtar bin Abi ‘Ubaid yang kemudian menugaskan pasukannya untuk membunuh dan memenggal kepala Ubaidullah bin Ziyad.
3. Kelompok yang menghormati Husein ra sebagai seorang ahli bait yang sholih dan menepis tudingan kelompok pertama yang menghujat Husein ra sebagai pemberontak. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Husein ra tewas dalam keadaan dizhalimi dan mendapat kesyahidan. Syaikhul Islam rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (IV/550) mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Husein ra terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadapnya merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantunya. Selain itu, ini merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah, dan yang lainnya. Husein ra berhak mendapatkan gelar asy-syahid, kedudukan, serta derajat yang tinggi. Kelompok ketiga inilah yang merupakan golongan ahlussunnah wal jama’ah.
Petunjuk Allah Ta’ala ketika musibah menimpa seorang muslim
Dalam tuntunan Allah Ta’ala yang telah disampaikan melalui Rasulullah saw, ada beberapa yang seharusnya dijadikan rujukan bagi setiap muslim dalam menghadapi sebuah musibah, misalnya kematian keluarga atau kerabat. Diantaranya adalah firman-Nya,
Artinya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah, 2:155-157)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir jelas dijabarkan bahwa Allah Ta’ala telah memastikan bahwa setiap hamba akan menerima ujiannya masing-masing. Ujian tersebut kadang berupa kebaikan dan kadang berupa keburukan yang sangat tidak disukai oleh seorang hamba. Namun Allah Ta’ala juga memberikan petunjuk bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan beroleh kegembiraan, yaitu berupa pahala keberkahan yang sempurna dan rahmat-Nya. Sebaliknya, bila ujian itu membuat hamba tersebut selalu berkeluh-kesah, menyesalinya, bahkan bersuudzhon kepada Allah Ta’ala, maka kemurkaan dan kerugianlah yang diperolehnya.
Dalam ayat tersebut juga diperintahkan apabila seorang hamba tertimpa musibah, maka disunnahkan membaca kalimat istirja’ yaitu ucapan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Perbuatan ini memiliki nilai pahala di sisi Allah azza wa jalla, yaitu seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra yang mendengar Rasulullah bersabda :
مَا مِنْ عَبْدٍ يُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: إِنَّا لِلَّهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ, اَللَّهُمَّ أَجِرْنِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَ أَخْلُفْلِيْ خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ ىاَجَرَهُ اللهُ فِيْ مُصِيْبَةِ وَ أَخْلَفَ لَهُ خَيْرَا مِنْهَا.
Artinya, “Tiada seorang hamba yang mendapat musibah, lalu dia mengucapkan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Ya Allah, berilah aku pahala disebabkan musibah ini dan gantilah ia dengan yang lebih baik daripadanya.” melainkan Allah memberinya pahala atas musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.” (HR. Muslim)
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan dalam sanadnya dari Husein bin Ali dari Rasulullah saw, bahwa beliau pernah bersabda,
Artinya, “Tiada seorang muslimpun, baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat musibah, lalu dia mengingatnya sesudah lama berlalu, kemudian membaca kalimat istirja’ meskipun sudah berlalu lama, melainkan Allah akan memeberinya kembali pahala bacaan yang sama dengan pahala bacaan ketika musibah itu pertama-kali terjadi.” (HR. Imam Ahmad)
Rasulullah pun sudah tegas dalam sabda lainnya yang melarang perbuatan yang bukan mencerminkan sikap sebagai seorang muslim, yaitu :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْحُدُوْدَ وَ شَقَّ الْجُيُوْبَ وَ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.
Artinya, “Tidak termasuk golongan kami—orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Merujuk kepada ayat dan hadits-hadits Rasulullah diatas, jelas perbuatan penganut Syi’ah yang selalu menisbatkan-diri kepada Islam itu tidak sejalan dengan petunjuk dien Islam. Ritual yang mereka jalankan berupa menangis histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, penyiksaan diri dengan melukai anggota tubuh, mengucapkan kalimat-kalimat penuh kemarahan, dan sebagainya yang terlarang merupakan cerminan sikap mereka yang berkiblat kepada adab-adab jahiliyah. Selayaknya seorang muslim sudah sangat bisa memahami keyakinan mereka yang sesat sebab perihal ini sudah sangat nyata dan gamblang Allah Ta’ala sampaikan, baik melalui firman-Nya maupun hadits rasul-Nya. Bukan malah ikut-ikutan apalagi memfasilitasi ritual sesat tersebut. Kenyataan ini memang memprihatinkan, dimana kesesatan dianggap tradisi, lalu tradisi lebih mendapat pengayoman sehingga dirasa patut untuk dijaga kelestariannya.
Dalam menyambut hari Asyura’, Rasulullah mencukupkan diri dengan melaksanakan Puasa sunnah. Tidak ada perintah lain dan tambahan-tambahan perayaan didalamnya sehingga tidaklah layak kita membuat-buat dalil yang justru menyelisihinya, karena sebaik-baik pedoman bagi umat Islam adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rasul-Nya, yang tidak ada petunjuk selainnya kecuali hanya dengan berpegang-teguh kepada kedua hal tersebut. Selayaknya umat Islam hidup dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Berhati-hatilah terhadap bid’ah karena tak ada balasannya melainkan an-Naar.
Naudzubillahi min dzaalika.
Demikian, semoga memberi manfaat.
Post a Comment