Mirza Ghulam Ahmad Mati Kolera, Malah Disebut Mati Shahid

Mirza Ghulam Ahmad  lahir di Qadian, Punjab, India, 13 Februari 1835 – meninggal 26 Mei 1908 pada umur 73 tahun, seorang tokoh rohaniawan dari Qadian, India, dia adalah pendiri gerakan keagamaan Ahmadiyah. Dia mengaku sebagai “kedatangan Yesus/Isa yang kedua kalinya”, Mesias yang dijanjikan, Imam Mahdi, begitu juga sebagai Mujaddid diabad ke 14 Islam. bagaimanapun, pengakuannya tidak begitu saja diterima oleh sebagian umat Muslim dan sebagian besar melihatnya sebagai nabi palsu (false mesias).

Masa awal
Mirza Ghulam Ahmad, al-Masih al-Mau’ud alaihis salam, demikian namanya disebutkan. Nama yang asli hanyalah Ghulam Ahmad. Sedangkan "Hazrat" adalah kata penghormatan kepada dia oleh para pengikutnya. Kata "Mirza" melambangkan keturunan bangsawan dari Moghul. Adalah merupakan kebiasaan, dia suka menggunakan nama Ahmad agar lebih ringkas.

Mirza Ghulam Ahmad adalah keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh, yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand, dan mulai menetap disana. Tetapi pada abad ke 10 Hijriah atau abad ke 16 Masehi, seorang keturunan Haji Barlas bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang pengikutnya hijrah dari Khorasan ke India karena beberapa hal, dan tinggal di kawasan sungai Bias dengan mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur, 9 km jauhnya dari sungai tersebut.

Mirza Ghulam Ahmad lahir di Punjab, India pada 13 Februari 1835 atau 14 Syawal 1250 H, pada waktu salat subuh hari Jumat, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Ia lahir dalam sebuah keluarga yang berkecukupan sebagai bayi kembar, namun kembarannya meninggal saat lahir.

Dia dikabarkan selalu menghabiskan waktunya di mesjid dengan mempelajari Al Qur'an dan pelajaran agamanya, Islam. Hal itu tidak sesuai dengan kemauan ayahnya yang ingin agar dia menjadi seorang pengacara atau seorang pegawai negeri. Dalam mempelajari hal-hal keagamaan, dia selalu berinteraksi dengan banyak orang Islam, orang non Islam, dan dengan misionaris Kristen yang selalu diajaknya berdiskusi.

Awal Pengakuannya
Ketika Mirza Ghulam Ahmad berumur 40 tahun, ayahnya wafat. Waktu itu Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa Tuhan telah berkomunikasi dengannya melalui wahyu (suatu kesesatan yang nyata). Sejak saat itu Mirza Ghulam Ahmad banyak menulis untuk melawan apa yang menurutnya sebagai tulisan-tulisan anti Islam dari berbagai kelompok misionaris Kristen. Dia juga fokus dalam melawan berbagai dampak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti Brahma Samaj. Selama periode ini dia sangat diterima oleh berbagai golongan Islam yang ada saat itu.

Kematian Mirza Ghulam Ahmad

Tidak sedikit para ulama yang menentang dan berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad  agar ia bertaubat dan menghentikan dakwah yang dibawanya itu. Namun, usaha itu tidak juga membuat pemimpin Ahmadiyah ini surut dalam menyebarkan dakwahnya.

Salah satu keberatan yang dialamatkan kepada Pendiri Jemaat Ahmadiyah adalah Mirza Ghulam Ahmad telah mengajukan sebuah doa untuk menantang (Mubāhalah) Maulvi Sanaullah yakni jika di antara mereka berdua salah satunya adalah orang yang sesat dan palsu. Saat itu Mirza Ghulam Ahmad berumur 62 tahun dan Maulvi Sanaullah yang berasal dari Amritsar adalah seorang muda berusia 29 tahun. Daftar nama para ulama yang diajak bermubahalah oleh Mirza Ghulam Ahmad telah di lampirkan dalam buku Anjam-e-Aatham (1897).

Maulvi Sanaullah diam beberapa tahun lamanya tidak menanggapi tantangan tersebut. Setelah sekitar lima tahun lamanya, para pendukungnya mulai menekan dia untuk menanggapi mubāhalah itu. Menanggapi hal itu Mirza Ghulam Ahmad kemudian menulis dalam buku Ijaz Ahmadi yang di terbitkan pada tahun 1902 sebagai berikut:

"Saya telah melihat pemberitahuan Maulvi Sanaullah dari Amritsar yang mana ia menyatakan memiliki keinginan yang tulus suatu keputusan, bahwa ia dan saya seyogyanya berdoa sehingga salah seorang di antara kita yang berdusta akan menemui ajal semasa hidup orang yang benar"

Tahun 1902 dan buku Ijaz Ahmadi diterbitkan pada bulan November di tahun yang sama. Menanggapi hal itu Maulvi Sanaullah menerbitkan sebuah buku berjudul Ilhamat Mirza (Wahyu-wahyu Mirza),  ia menulis :

"Saya tidak pernah mendakwakan diri seperti Anda bahwa saya seorang Nabi, atau seorang Rasul, atau seorang anak Tuhan, atau seorang penerima wahyu. Saya tidak dapat, oleh karena itu, tidak berani untuk ikut dalam pertandingan semacam itu. Perkataan Anda bahwa jika saya mati sebelum Anda, Anda akan menyatakan bahwa itu adalah bukti kebenaran Anda dan jika Anda mati sebelum saya, maka siapakah yang akan pergi ke kuburan Anda untuk diminta pertanggung-jawabannya? Itulah sebabnya mengapa Anda mengemukakan tantangan yang konyol itu. Saya menyesal bagaimana pun juga, saya tidak berani ikut dalam kontroversi seperti itu dan kurangnya keberanian saya ini merupakan sumber kehormatan bagi saya dan bukanlah suatu sumber kehinaan."

Di dalam buku, “Bukan Sekedar Hitam Putih,” hal. 231 dikatakan, ”Setelah mengetahui fakta mengenai sakit dan wafatnya Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s., sekarang yang menjadi persoalan dari segi aqidah adalah: Apakah sakit diare akut yang menyerang isi perut Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. dapat dikategorikan sebagai penyakit yang diridhai oleh Tuhan atau tidak?”

Setelah mengajukan pertanyaan ini, penulis membuat ”keterangan hadits” secara sepihak, tanpa merujuk kepada duduk permasalahan ”diare”-nya ”nabi” mereka, Mirza Ghulam Ahmad, yaitu dia menderita penyakit diare dan kolera sehingga mati di tempat tidur berlumuran muntah dan kotoran (menurut sebagian pendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad mati di WC, berlumuran muntah dan kotoran). Kalau menurut pengakuan isteri Mirza Ghulam Ahmad bahwa suaminya itu mati di kasurnya berlumuran muntah dan kotoran. Lihat kitab Siratul Mahdi, jilid 1 hal. 11).

Anaknya Mirza Ghulam Ahmad (yang mengarang kitab Siratul Mahdi) berkata :

أثناء وصفها للحظات الأخيرة من حياة الميرزا غلام تحدثت زوجة الميرزا عن مرحاض الطواريء الذي أعدته للميرزا بجانب سرير الموت حيث قالت نصرة جيهان ما يلي: بعد فترة قصيرة انتابته نوبة أخرى لكن هذه المرة كان ضعفه شديدا جدا بحيث لم يستطع الذهاب إلى الحمام، فقمت بالترتيبات قرب السرير حيث جلس هو هناك لقضاء حاجته، ثم نهض و استلقى على السرير ثم قمت بتدليك قدميه، لكن ضعفه كان شديدا جدا، وبعد ذلك أصابته نوبة أخرى ثم استقاء، و بعد أن انتهى من القيء حاول أن يستلقي لكن ضعفه هذه المرة كان أكثر بحيث لم تحمله يداه فانقلب على ظهره و ضرب رأسه بخشب السرير.


”Ketika isteri Mirza Ghulam Ahmad menggambarkan detik-detik terakhir dari kehidupan Mirza Ghulam Ahmad, maka istri Mirza berkata tentang toilet darurat yang disiapkannya untuk Mirza di samping tempat tidur kematiannya, di mana Nushrat Jihan berkata sebagai berikut, ”Sejenak kemudian, Mirza Ghulam Ahmad terserang lagi kolera, tapi kali ini badannya sangat lemah, sehingga ia tidak kuat untuk pergi ke WC. Maka aku (isteri Mirza Ghulam Ahmad) berdiri di dekat ranjangnya, di mana ia (Mirza Ghulam Ahmad) duduk di sana untuk buang air besar. Lalu ia pun bangkit dan berbaring di atas ranjangnya, dan kemudian aku pun memijat kakinya. Tapi badannya sangat lemah, dan sejurus kemudian Mirza Ghulam Ahmad terkena serangan kolera lagi, dan kemudian ia muntah, dan setelah dia (Mirza Ghulam Ahmad) selesai muntah, dia mencoba untuk berbaring, tapi karena badannya sudah lemah, dan kelemahan kali ini sangat lemah sekali, sehingga kedua tangannya tidak kuat lagi maka Mirza Ghulam Ahmad pun terjengkakng kepalanya membentur kayu ranjangnya,” (Lihat Siratul Mahdi, jilid 1, hal. 11).

Inilah keterangan menurut penulis buku, ”Bukan Sekedar Hitam Putih,” sebagai berikut, ”Ternyata kita dapatkan keterangannya dalam Hadits sebagai berikut: Dari Jabir bin Atik, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Mati syahid itu adalah tujuh macam, di luar mati syahid terbunuh di jalan Allah: Orang mati karena penyakit tha'un, itu syahid. Orang mati karena tenggelam, itu syahid. Orang mati karena sakit panas, itu syahid. Orang mati karena sakit perut, itu syahid. Orang mati karena terbakar, itu syahid. Orang mati karena tertimbun reruntuhan, itu mati syahid dan orang mati karena melahirkan, itu mati syahid.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dengan sanad yang Shahih).

Dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w. bersabda: Rasulullah bertanya “Bagaimana caramu menghitung syahid?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, orang yang mati terbunuh di jalan Allah itu mati syahid.” Rasulullah bersabda: “Jika demikian, orang-orang syahid dari umatku itu sedikit.” Mereka bertanya: “Jika demikian siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Orang yang terbunuh di jalan Allah, itu syahid. Orang yang mati di jalan Allah, itu syahid. Orang yang mati terserang penyakit tha'un, itu syahid. Orang yang mati karena penyakit perut, itu syahid. Orang yang mati tenggelam, itu syahid.” (H.R. Muslim). Jadi, tidak diragukan lagi bahwa sakit serta kewafatannya Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. adalah diridhai oleh Allah Ta'ala menurut keterangan Hadits di atas, sebab diare termasuk dalam kategori sakit perut. Dan menurut Hz. Sayyidina Muhammad Musthafa s.a.w., barangsiapa yang wafat karena sakit perut, maka kematiannya digolongkan dalam kematian syahid. (Bukan Sekedar Hitam Putih, hal. 231)

Banyak dari penentang Ahmadiyah membuat cerita mengenai penyebab kematian Mirza Ghulam Ahmad, dikatakan oleh penentang Mirza Ghulam Ahmad meninggal di kamar mandi akibat ratusan kali buang air besar karena sakit kolera. Memang benar Mirza Ghulam Ahmad beberapa kali buang air besar karena sakit diare bukan kolera. Mirza Ghulam Ahmad wafat dengan tenang diatas peraduannya dan kepergiannya disaksikan oleh keluarga, Sahabat dan kerabatnya pada tanggal 26 Mei 1908, pukul 10:30 pagi. Mirza Ghulam Ahmad wafat setelah 10 tahun ber-mubāhalah dengan Maulvi Sanaullah, dan pada saat itu (1907) Maulvi pun menulis karangannya Ahlul Hadits, sebagai berrikut:

"Al-Qur'an menyatakan bahwa orang-orang yang berbuat kezaliman mendapat kelonggaran dari Tuhan. Sebagai contoh dikatakan "Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya" (QS. Maryam 19:76), dan: "Kami memberikan kelonggaran bagi mereka sehingga mereka dapat memperbanyak dosanya" (QS. Ali 'Imran 3:178), "Tuhan akan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka" (QS. Al-Baqarah 2:15), dan: "Sebenarnya Kami telah memberikan mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan sehingga panjanglah umur mereka" (QS. Al-Anbiyā 21:44)."

Dengan demikian Maulvi Sanaullah tidak hanya menolak tantangan Mirza Ghulam Ahmad untuk ber-mubāhalah, melainkan ia telah mengemukakan suatu prinsip bahwa para pendusta, penipu, perusuh dan pemberontak diberikan umur yang panjang.

Setelah mengetahui fakta mengenai sakit dan wafatnya Mirza Ghulam Ahmad, sekarang yang menjadi persoalan dari segi aqidah adalah : Apakah sakit diare akut yang menyerang isi perut Mirza Ghulam Ahmad dapat dikategorikan sebagai penyakit yang diridhai oleh Tuhan atau tidak?

Masa seorang Nabi yang dilindungi Allah SWT mesti mati konyol setelah mubahalah malah dikatakan mati syahid...beginilah nasibnya para pembela aliran sesat Ahmadiyah, sudah jelas-jelas mati kolera akibat mubahalah, masih saja dikatakan mati syahid dengan memelintir hadits Rasulullah SAW. Boleh saja disebut mati syahid untuk seseorang yang mati dikarenakan penyakit kolera (sakit perut dan lain-lainnya), tetapi dengan syarat jangan sakit kolera setelah mubahalah! Seharusnya para pengikut Ahmadiyah sadar dan bertaubat kepada Allah SWT, jangan malah mengait-ngaitkan sebuah hadits untuk membela kebusukan Mirza Ghulam Ahmad. Untuk apa dibela, di dunia pun sudah diperlihatkan, betapa busuknya dia sehingga harus meninggal dunia dalam keadaan yang menjijikkan.
Sumber : wikipedia.com

Wa allahu allam bishowab

Tidak ada komentar

Posting Komentar