Peristiwa Karbala Dalam Pandangan Sunni
Peristiwa Karbala Dalam Pandangan Sunni
Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Syaikhul IslamIbnu
Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah :
“Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang
terjadi diantara para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dan
mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan
dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat
Radhiyallahu ‘anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada
juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula
yang shahih-pen). Riwayat yang shahih. menyatakan, bahwa para Sahabat
Radhiyallahu ‘anhum ini ma’dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik
dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan
benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”[1]
Ahlussunah wal Jama’ah memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.
Sufyan
ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Sanad itu senjata kaum muslimin,
jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam
berperang” Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab
al-Madkhal. ‘Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan, “Sanad ini
termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa
berbicara semaunya.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Muqaddimah kitab Shahih beliau rahimahullah.
Di
tempat yang sama, Imam Muslim raimahullah juga membawakan perkataan
Ibnu Sîrin, “Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika
fitnah mulai banyak, mereka mengatakan, “Sebutkanlah nama orang-orangmu
yang meriwayatkannya” !
KRONOLOGI TERBUNUHNYA HUSAIN RADHIYALLAHU ‘ANHUMA
Berkait
dengan peristiwa Karbala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengatakan, “Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain
Radhiyallahu ‘anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak,
sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa
pembunuhan terhadap ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana mereka juga
memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin
mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan,
kemenangan dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan
Husain Radhiyallahu ‘anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu
(ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain
sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada
yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang
peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak”[2]
Oleh karenanya, dalam pembahasan tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.
RIWAYAT SHAHIH TENTANG PERISTIWA KARBALA
Riwayat yang paling shahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, no, 3748 :
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ
بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ
بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي
حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
“Aku
diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan : aku
diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari
Muhammad dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan : Kepala
Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd[3]. Kepala
itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan
pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas
Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Diantara Ahlul bait, Husain adalah orang
yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Saat itu, Husain Radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah
(tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)”
Kisahnya,
Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa
Shahabat, seperti Ibnu ‘Abbâs dan Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhuma.
Ketika Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak
beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya sebagai imam kaum muslimin
atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut
‘Ali Radhiyallahu ‘anhu menulis surat
kepada Husain Radhiyallahu ‘anhuma meminta beliau Radhiyallahu ‘anhuma
pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai’at Husain Radhiyallahu
‘anhuma sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin
Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah. Tidak cukup dengan surat,
mereka terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu ‘anhuma di Mekah
mengajak beliau Radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan
menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu
‘anhuma kerap kali menasehati Husain Radhiyallahu ‘anhuma agar tidak
memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain Radhiyallahu ‘anhuma, Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain juga disana. Husain
Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Saya sudah melakukan istikharah dan
akan berangkat kesana”.
Sebagian
riwayat menyatakan bahwa beliau Radhiyallahu ‘anhuma mengambil
keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin
‘Aqil yang telah dibunuh di sana.
Akhirnya, berangkatlah Husain Radhiyallahu ‘anhuma bersama keluarga menuju Kufah.
Sementara di
pihak yang lain, ‘Ubaidullah bi n Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah
untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan
pasukannya berhadapan dengan Husain Radhiyallahu ‘anhuma bersama
keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini
sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain
Radhiyallahu ‘anhuma. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu,
sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain Radhiyallahu ‘anhuma,
dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri
meninggalkan Husain c dan keluarganya berhadapan dengan pasukan
Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain Radhiyallahu ‘anhuma
sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal
lalu dibawa kehadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di
bejana.
Lalu
‘Ubaidullah yang durhaka[4] ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan
gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu
Barzah al-Aslami Radhiyallahu ‘anhum. Anas Radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah
melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut
itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, “Seandainya saya tidak
melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah sudah rusak, maka pasti
kepalamu saya penggal.”
Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dinyatakan :
فَجَعَلَ يَقُوْلُ بِقَضِيْبٍ لَهُ فِي أَنْفِهِ
“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu ‘anhu”.
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu :
فَجَعَلَ
قَضِيْبًا فِي يَدِهِ فِي عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ فَقُلْتُ ارْفَعْ
قَضِيْبَكَ فَقَدْ رَأَيْتُ فَمَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي مَوْضِعِهِ
“Lalu
dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain
Radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan, “Angkat pedangmu,
sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu”.
Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu :
فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْثِمُ حَيْثُ تَضَعُ قَضِيْبَكَ , قَالَ : ” فَانْقَبَضَ
Aku
(Anas bin Malik) mengatakan kepadanya, “Sungguh aku telah melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau
menaruh pedangmu itu.” Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.
Demikianlah
kejadiannya, setelah Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh, kepala
beliau Radhiyallahu ‘anha dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata,
hidung dan gigi beliau Radhiyallahu ‘anhu ditusuk-tusuk dengan pedang.
Para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menyaksikan hal ini meminta kepada
‘Ubaidullah orang durhaka ini, agar menyingkirkan pedang itu, karena
mulut Rasulullah pernah menempel tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat
mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah
sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu ‘aiahi wa
sallam, orang kesayangan beliau n dihinakan di depan mata mereka.
Dari
sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini
yang menyatakan bahwa kepala Husain Radhiyallahu ‘anhuma diarak sampai
diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para
wanita dari keluarga Husain Radhiyallahu ‘anhuma dikelilingkan ke
seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas.
Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid
t saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini
berlangsung di Irak.
Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Dalam
riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan
ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain Radhiyallahu ‘anhuma dibawa
kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husain Radhiyallahu
‘anhuma. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang
menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red)
para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di
Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang
dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak
memerintahkan ‘Ubaidullah untuk membunuh Husain.”[5]
Yazid
rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu.
Karena Mu’awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain
dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat ‘Ubaidullah. Hanya saja
dia tidak menghukum dan mengqisas ‘Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan
terhadap Husain secara tegas.[6]
Jadi
memang benar, Husain Radhiyallahu ‘anhuma dibunuh dan kepalanya
dipotong, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan
kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah
banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini
sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas.
Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala
ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini
bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah
kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan
dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus
Sunnah IV/517 dan 554, 556 :
- Ketika Hari
pembunuhan terhadap Husain, langit menurunkan hujan darah lalu menempel
di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang
tidak pernah terlihat sebelum itu.
- Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain Radhiyallahu ‘anhuma.
- Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi :
هَؤُلَاءِ وَدِيْعَتِيْ عِنْدَكُمْ
Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat :
“Katakanlah:”Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan” [asy Syûrâ/42:23]
Riwayat ini
dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan
mengatakan, “Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menitipkan kepada makhluk padahal Allah Azza wa Jalla tempat penitip
yang terbaik. Sedangkan ayat di atas yang mereka anggap diturunkan Allah
Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu
‘anhuma, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena
ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah
Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali Radhiyallahu ‘anhu dan
Fathimah Radhiyallahu anha menikah.
HUSAIN RADHIYALLAHU ‘ANHUMA TERBUNUH SEBAGAI ORANG YANG TERZHALIMI DAN MATI SYAHID
Ini
merupakan keyakinan Ahlussunnah. Pendapat ini berada diantara dua
pendapat yang saling berlawanan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan,
“Tidak
disangsikan lagi bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam
keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu
‘anhuma merupakan tindakan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan
rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para pelaku pembunuhan dan
orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan
musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain Radhiyallahu ‘anhuma berhak
mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan”.[7]
Kemudian,
di halaman yang sama, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa
pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma tidak lebih besar
daripada pembunuhan terhadap para rasul. Allah Azza wa Jalla telah
memberitahukan bahwa bani Israil telah membunuh para nabi tanpa alasan
yang benar. Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar dosanya dan
merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap
‘Ali Radhiyallahu ‘anhu (bapak Husain Radhiyallahu ‘anhuma) lebih besar
dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap ‘Utsman juga
Radhiyallahu ‘anhu.
Ini
merupakan bantahan telak bagi kaum Syi’ah yang meratapi kematian Husain
Radhiyallahu ‘anhuma, namun, tidak meratapi kematian para nabi .
Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh bani Israil terhadap para nabi
tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga
menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain
Radhiyallahu ‘anhu.
Sikap
ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadits palsu. Misalnya,
riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan, pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu akan berada di tabut
(peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan siksa setengah siksa
penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api
neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam keadaan
berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari
orang tersebut dan dia kekal di dalamnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan
mengatakan, “Hadits ini termasuk di antara riwayat yang berasal dari
para pendusta”.
MENYIKAPI PERISTIWA KARBALA
Menyikapi
peristiwa wafatnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma, umat manusia terbagi
menjadi tiga golongan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Dalam
menyikapi peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhuma, manusia
terbagi menjadi tiga : dua golongan yang ekstrim dan satu berada di
tengah-tengah.
Golongan
Pertama : Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu
‘anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain Radhiyallahu ‘anhuma
ingin memecah belah kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ
“Jika
ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada
dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jama’ah kalian,
maka bunuhlah dia” [8]
Kelompok
pertama ini mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma datang saat
urusan kaum muslimin berada di bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin
Muawiyah) dan Husain Radhiyallahu ‘anhuma hendak memecah belah umat.
Sebagian
lagi mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma merupakan orang
pertama yang memberontak kepada penguasa.. Kelompok ini melampaui batas,
sampai berani menghinakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Inilah kelompok
‘Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid
bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum
‘Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.
Golongan
Kedua : Mereka mengatakan Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang
wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan
perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama’ah kecuali di belakangnya
atau orang yang ditunjuknya, baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum’at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan idzinnya dan lain sebagainya. [9]
Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj
bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada
Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara
kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid yang mengaku
mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain Radhiyallahu ‘anuhma.
Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh
‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.
Golongan
Ketiga : Yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak sejalan dengan
pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua.
Mereka mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam
keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal
Jama’ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.
Ahlussunnah
mengatakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma bukanlah pemberontak. Sebab,
kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau
memberontak, beliau Radhiyallahu ‘anhuma bisa mengerahkan penduduk Mekah
dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau
Radhiyallahu ‘anhuma. Karena, saat beliau Radhiyallahu ‘anhuma di Mekah,
kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada
masa itu di Mekkah. Beliau Radhiyallahu ‘anhuma seorang alim dan ahli
ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena
beliaulah Ahli Bait yang paling besar.
Jadi Husain
Radhiyallahu ‘anhuma sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu,
ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim
bin ‘Aqîl dibunuh di Irak, beliau Radhiyallahu ‘anhuma berniat untuk
kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau Radhiyallahu ‘anhuma ditahan dan
dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah
bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu ‘anhuma tewas terbunuh dalam
keadaan terzhalimi dan mati syahid.
SETAN MENYEBARKAN BID’AH
Ulama Syaithoon |
Syaikhul
Islam mengatakan[10], “Dengan sebab kematian Husain Radhiyallahu
‘anhuma, setan memunculkan dua bid’ah di tengah manusia.
Pertama
: Bid’ah kesedihan dan ratapan para hari Asyûra (di negeri kita ini,
acara bid’ah ini sudah mulai diadakan-pen) seperi menampar-nampar,
berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci maki dan melaknat
generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam
golongan orang yang berdosa. (Para Sahabat seperti Abu Bakar dan Umar
dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil
dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala
itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal awwalûn. Kemudian
riwayat-riwayat tentang Husain Radhiyallahu ‘anhuma dibacakan yang
kebanyakan merupakan kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka
pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat.
Kemudian
Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan , “Di Kufah, saat itu
terdapat kaum yang senantiasa membela Husain Radhiyallahu ‘anhuma yang
dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku
mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci
‘Ali dan keturunan beliau Radhiyallahu ‘anhum. Di antara kelompok ini
adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh
dijelaskan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
سَيَكُوْنُ فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ
“Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak”
Orang
Syi’ah yang bernama Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid itulah sang pendusta .
Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj. Yang pertama membuat bid’ah
kesedihan, sementara yang kedua membuat bid’ah kesenangan. Kelompok
kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa barangsiapa
melebihkan nafkah keluarganya pada hari ‘Asyûra, maka Allah Azza wa
Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu.”
Juga
hadits, “barangsiapa memakai celak pada hari ‘Asyûra, maka tidak akan
mengalami sakit mata pada tahun itu dan lain sebagainya.
Kedua
: Bida’ah yang kedua adalah bid’ah kesenangan pada hari Asyura : Karena
itu, para khatib yang sering membawakan riwayat ini – karena
ketidaktahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah – , sebenarnya secara
tidak langsung, masuk ke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat
membenci Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Padahal wajib bagi kita meyakini
bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan
mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan
tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya, tidak mengatakan
Husain c seorang imam yang ma’sum (terbebas dari semua kesalahan), tidak
pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain c itu adalah tindakan
yang benar. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma adalah
tindakan maksiat kepada Allah dan RasulNya.
Itulah sekilas
mengenai beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa
pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Semoga bermanfaat dan memberikan
pencerahan. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menghindarkan
kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh setan dan para
tentaranya.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Syarhu al’Aqidah al-Wâsithiyyah Syaikh Sholeh al-Fauzan hal.198,
[2]. Minhâjus Sunnah (IV/556)
[3]. Komandan pasukan yang memerangi Husain, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama Karbala
[4]. Ia disebut orang durhaka, karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhuma, namun melakukannya.
[5]. Minhâjus Sunnah (IV/557)
[6]. Lihat Minhâjus Sunnah (V/557-558)
[7]. Minhâjus Sunnah (IV/550)
[8]. HR. Muslim, kitabul Imârah
[9]. Minhâjus Sunnah (IV/553)
[10]. IV/554
Sumber : almanhaj.or.id
Post a Comment