Tinjauan Mahar Cincin Kawin Dalam Islam

Hukum Ijab Qabul Memakai Cincin Kawin Dalam Pertunangan dan Pernikahan

Pernikahan didalam al-Islam adalah ibadah dan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya maka ia haruslah memenuhi dua rukunnya. Pertama : Ikhlas semata-mata karena Allah swt. Kedua : Mengikuti sunah Rasulullah saw. Dua hal inilah yang dimaksud dengan amal yang terbaik didalam firman Allah swt :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ﴿٢﴾

”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al Mulk : 2)

Rasulullah saw meminta kepada setiap umatnya untuk mengambil segala sesuatu yang berasal darinya didalam setiap ibadahnya sebagai bukti kecintaan mereka terhadapnya saw. Siapa saja dari umatnya yang mencintai beliau saw maka dia kelak bersama Rasulullah saw di surga.

Ketika seorang muslim tidak mengambil sunnahnya dan justru mengambil cara-cara yang bukan berasal darinya, baik secara sadar atau tidak sadar maka dia telah menganggap apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya tidaklah lebih baik darinya. Firman Allah swt,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?(QS. Al Maidah : 50)

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ra bahwasanya ada beberapa orang dari sahabat mendatangi Nabi saw sebagian mereka mengatakan :”Aku tidak akan menikahi wanita.’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan makan daging.’ Dan sebagian lagi mengatakan,’Aku tidak akan tidur diatas tikar.’ Sebagian lagi mengatakan,’Aku akan puasa dan tidak berbuka." Maka berita itu sampai ke Rasulullah saw kemudian bersabda: "Celakalah kaum yang mengatakan ini dan itu, sesungguhnya aku mengerjakan shalat, aku berpuasa dan berbuka dan aku menikahi para wanita. Dan barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku”. (HR. Bukhori Muslim)

Adapun mengenai cincin perkawinan yang sudah menjadi kebiasaan bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang mendasar didalam suatu acara tunangan atau pernikahan maka sesungguhnya bukanlah berasal dari islam.

Penggunaan cincin didalam acara perkawainan ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu yang merupakan tradisi didalam agama Yunani dan Romawi kuno yang dianggap sebagai simbol cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cincin ini kemudian diadopsi dan dikembangkan di eropa (barat) dari mulai model hingga bahan pembuatannya.

Oleh orang-orang Eropa cincin ini pernah dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk lainnya seperti kunci dan piramida. Adapun bahan pembuatannya juga mengalami perkembangan dari sekedar lempeng besi menjadi kuningan dan perunggu. Sedangkan para bangsawan dan raja-raja di Eropa menggunakan berlian sebagai bahan pembuatan cincin. Dan akhirnya yang berkembang dan menyebar di masyarakat dunia pada umumnya adalah cincin yang terbuat dari emas atau platinum.

Ada yang mengatakan bahwa pengenaan cincin perkawinan di jari manis adalah kebiasaan orang-orang Cina dengan keyakinan bahwa ibu jari adalah sebagai simbol orang tua, telunjuk adalah simbol kakak dan adik, kelingking adalah simbol anak-anak sedang jari manis adalah simbol suami istri yang akan selalu bersatu selama hidup.

Kesimpulan ini mereka ambil dengan cara yang sangat sederhana yaitu, apabila kedua telapak tangan seseorang dibuka dan jari-jemari yang ada ditangan kanan disentuhkan dengan jari-jemari yang ada di tangan kiri (ibu jari bertemu dengan ibu jari, telunjuk bertemu dengan telunjuk begitu seterusnya kecuali kedua jari tengah yang dilipat bersentuhan) dan jika jari-jemari itu satu-persatu diangkat dan ditutup kembali maka semua jari bisa melakukannya kecuali jari manis.

Nah.. semua jari yang bisa diangkat dan ditutup kembali itu diartikan sebagai simbol untuk orang-orang sekelilingnya yang akan pergi sedangkan jari yang tidak bisa diangkat (jari manis) adalah simbol untuk suami istri yang akan langgeng selamanya.

Orang-orang biasa memberikan cincin pertunangan kepada wanita pinangannya. Ia memegang tangan wanita itu, padahal ia masih asing baginya, lalu memakaikan cincin dijari wanita pinangannya. Begitu pula sebaliknya, wanita memakaikan cincin itu dijari peminangnya, bahkan cincin tersebut kadang terbuat dari emas. Biasanya acara ini berlangsung dalam sebuah pesta yang meriah, laki-laki dan wanita bercampur-baur. Ini semua adalah kemungkaran yang nyata terjadi. Di dalam Islam tidak ada khithbah dengan proses seperti itu, sebab tradisi ini berasal dari luar agama Islam (nonmuslim). Sebagian ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa ini adalah tradisi Fir’aun, dan sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa ini adalah tradisi kaum Nasrani. Yang perlu diperhatikan bahwa melakukan hal ini sama saja mengikuti tradisi dan sikap kaum kafir.

Jadi penggunaan cincin didalam suatu acara perkawinan bukanlah berasal dari islam. Dan Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Diantara bid’ah yang masuk dari luar dan tradisi buruk yang datang dari negeri kaum kafir dan berlaku di negeri kita adalah tradisi bertukar cincin. Yakni seorang peminang memakaikan cincin dijari peminangnya, sebagai bukti bahwa wanita itu adalah miliknya, dan ia adalah milik wanita itu.”

Tradisi ini menggambarkan aqidah trinitas yang ada dalam agama Nasrani. Saat mempelai pria Nasrani memakaikan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia berkata, “Atas nama Bapa”. Kemudian ia memindahkannya ke jari telunjuknya sambil berkata, “Atas nama Putra “. Setelah itu, ia memasukkannya ke jari tengahnya seraya berkata, “Atas nama Ruh Kudus”. Dan ketika membaca “Amin”, ia memasangkan cincinnya di jari manis pasangannya.

Angela Talbott, salah satu staf redaksi majalah The Woman yang terbit di London, edisi 19 Maret 1960, hal 8, ia menjawab pertanyaan “Mengapa cincin pernikahan dipasang di jari manis tangan kiri?”. Angela Talbott menjawab dengan menulis, “Di jari manis tangan kiri ini ada satu syaraf yang berhubungan langsung dengan jantung. Asal muasal lain dari tradisi ini adalah, saat mempelai pria memasukkan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia mengucapkan, ‘Atas nama bapa’. Kemudian sambil memasukkan dijari telunjuknya , ia berkata, ‘Atas nama Putra’. Dan saat memasang di jari tengahnya, ia berkata, ‘Atas nama Ruh Kudus’. Terakhir, ia memasangkannya di jari manis istrinya hingga tetap di sana seraya mengucapkan, ‘Amin’”. (Syaikh al-Albani rahimahullah, Adab az-Zifaf, hlm. 212-213)

Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat bahwa hukum memakai cincin pertunangan ini paling sedikit adalah makruh, sebab ini adalah tradisi yang diambil dari nonmuslim. Setiap muslim hendaknya menjauhi dari tradisi ini. Jika hal ini diikuti keyakinan bahwa cincin pertunangan dapat memperkuat hubungan suami istri, sebagaimana diyakini orang-orang, hukumannya lebih berat karena masalah cincin tidak ada hubungannya dengan masalah hubungan suami istri.

Pasangan suami istri yang mengenakan cincin pertunangan atau pernikahan, pada kenyataannya ada yang masih bisa berpisah dan bercerai. Sebaliknya hal ini kadang tidak terjadi pada pasangan yang tidak memakai cincin pertunangan atau pernikahan, bahkan hidup mereka tetap harmonis dan langgeng. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm 362)

Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah mengatakan bahwa memakai emas bagi kaum lelaki, dalam bentuk cincin atau yang lain, hukumnya haram karena Nabi s.a.w. telah mengharamkan emas bagi kaum laki-laki umatnya.

Beliau pernah melihat seorang lelaki mengenakan cincin emas, lalu beliau melepas dari tangannya. Beliau bersabda “Seseorang dari kalian sengaja mengambil sepotong bara api neraka, lalu menaruhnya di jari tangannya” (Hadits sahih, riwayat muslim, Kitab al-Libas wa az-Zinah, no. 2090)

Jika saat memakai cincin pertunangan atau cincin  pernikahan diikuti keyakinan bahwa cincin itu dapat mempengaruhi hubungan suami istri, ini termasuk kemusyrikan. Karena menganggap bahwa cincinlah yang menentukan kelanggengan hubungan suami istri, padahal tak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Hlm. 363)


Islam memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan agama dan budaya selainnya. Karakteristik dan ciri islam adalah karakteristik ilahiyah yang senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan Sang Penciptanya. Karakteristik yang tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah swt sehingga ia dinilai sebagai suatu ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah swt.

Kalau seandainya mereka yang mengatakan bahwa penggunaan cincin dalam perkawinan juga berasal dari islam berdasarkan hadits Rasulullah saw kepada salah seorang sahabatnya,”Berikanlah mahar, meskipun hanya sebuah cincin besi,” , (HR. Bukhori) maka tidaklah tepat karena hadits ini berkaitan dengan mahar seorang yang ingin menikah.

Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Mahar dengan Barang dan Cincin Besi. Artinya bahwa seseorang yang ingin menikah sedang ia tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan maharnya maka ia diperbolehkan memberikan mahar walaupun hanya berupa cincin besi atau sesuatu yang tidak seberapa harganya.

Sesungguhnya saya tak lebih dari hamba Allah yang dho'if lagi faqir, serta rentan terhadap khilaf maupun salah.

Semoga tulisan tsb dapat manfaat bagi saya untuk menjemput ridha Allah, serta bagi siapa saja yang membutuhkannya, Allahumma amiin...

Maafkan saya jika terdapat banyak kekurangan, dan silakan manfaatkan semua.


Wassalamu'alaykum warohmatullaah


Tidak ada komentar

Posting Komentar