Tinjaun Perceraian Di Dalam Agama Islam dan Agama Nasrani

Perceraian banyak dipertontonkan oleh kalangan artis di TV swasta indonesia seperti RCTI, SCTV, Indosiar, TV One, Trans TV, dsb. Seolah-olah kasus tersebut bukan hal aib lagi.

Perceraian adalah suatu musibah dan bencana dalam sebuah rumah tangga jika dipergunakan secara asal-asalan. Sebaliknya jika digunakan dengan bijak perceraian adalah sebuah solusi yang penuh dengan kasih sayang tatkala seorang suami telah kehabisan segala cara untuk berdamai dengan istri, atau setelah istri kehabisan cara untuk berdamai dengan suaminya.

Kasus Perceraian Meningkat. Siapa Yang Salah? 
 
Uang memang bukan segalahnya, tapi banyak hal yang membutuhkan uang, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Ada banyak pertengkaran dalam rumah tangga yang disebabkan oleh faktor ekonomi.

Berdasarkan data Pengadilan Tinggi tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.

Ada banyak faktor yang memicu terjadinya perceraian. Jika diurutkan, faktor keharmonisan diurutan pertama dengan sebanyak 91.841 kasus perkara, tidak ada tanggung jawab 78.407 perkara, dan persoalan ekonomi ada 67.891 perkara.

Angka-angka tersebut sangat fantastis sebab Negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini menjadi jawara se-Asia Pasifik dalam hal tingkat perceraian. Lalu siapa yang akan disalahkan? Para pemimpin Republik inikah? Pelaku perceraiannyakah? Atau para pemuka agama dan tokoh masyarakat? Sepertinya tidak ada yang perlu disalahkan dalam hal ini. Sangat kecil kemungkinannya seseorang dengan sengaja menginginkan perceraian bagi dirinya sendirinya dengan sengaja.

Namun secara pribadi saya cukup prihatin melihat angka-angka tersebut, dan saya percaya bahwa angka tersebut belum diangka maksimal, sebab ada banyak perceraian yang tidak terdata, termasuk perceraian pasangan yang menikah siri.

Jika merujuk pada data tersebut, ternyata pernikahan yang berlandaskan semata-mata karena saling mencintai tidak ada jaminan akan langgeng. Keharmonisan, kebahagiaan sebuah pernikahan bukan hanya melalui penyatuan fisiki, akan tetapi puncak sempurnanya kehidupan pernikahan hanya bisa tercapai apabila adanya penyatuan emosinal spiritual. dengan demikian setiap pasangan akan menyadari fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing.

Dalam ajaran yang agama Islam, pernikahan dianggap sebagai penyempurnaan agama sebab pernikahan adalah bagian dari syariat Islam itu sendiri. Oleh karena itu pernikahan seharusnya dipahami dan dijalankan sebagai ibadah yang bersyariatkan Islam, bukan semata-mata hanya sebagai sarana penyatuan untuk meningkatkan produktivitas hewani.

Walau realitasnya banyak perecraian yang terjadi dikalangan Islam, itu bukan berarti ajaran Islam sangat menyetujui secara mutlak perceraian dan tidak mengaturnya dalam syariat Islam, justru dalam agama Islam diajarkan bahwa Allah SWT membenci perceraian. Namun tidak bermakna bahwa ajaran Islam melarang perceraian.

Mengapa demikian? Karena ajaran Islam adalah ajaran yang sederhana. Ajaran Islam dengan tepat mengatur syarat-syarat perceraian, termasuk adanya talak 1, talak dan talak 3. Dengan begitu seseorang masih punya kesempatan mempertimbangkan perceraiannya.

Perceraian adalah hal yang dibenci oleh Allah, namun Allah tidak mengharamkan perceraian. Allah tentu tidak ingin menyiksa hambanya dengan menjalani rumah tangga yang tidak lagi harmonis dan hanya menimbulkan keributan. Namun demikian jangan pula dipahami bahwa ada pembenaran untuk perceraian, lagi saya tekankan bahwa Allah membenci perceraian.

Setiap sisi kehidupan pasti ada baik dan buruknya, itu tergantung bagaimana kita menerimanya dan menjalaninya. Namun saya yakin bahwa kehidupan yang dijalankan sesuai syariat Islam tentu akan berjalan dengan baik.

"Maka itu ketika ada timbul keinginan untuk bercerai, ingatlah bahwa kita pernah berjanji untuk selalu bersama dalam suka dan duka. Dan ingatlah bahwa pernah ada hari-hari indah yang terlewati bersama. Setiap masalah pasti memiliki solusi penyelesaiannya, maka itu bersabarlah, pertolongan Allah pasti datang"

Perceraian Dalam Agama Nasrani

Pada kitab pertama Al kitab, “manusia” didefinisikan sebagai pria dan wanita. Juga dikatakan, mereka diciptakan menurut gambar Allah (Taurat, Kitab Kejadian 1:27).
 
Dalam pernikahan, dua manusia ini menjadi “satu daging” (Taurat, Kitab Kejadian 2:24). Dan Isa Al-Masih menjelaskan bahwa Allah hanya memperbolehkan perceraian apabila adanya kasus perzinahan (Injil, Rasul Besar Matius 19:3-12).


Apakah Nabi Isa a.s pernah menikah baca Disini. Nabi Isa a.s juga menikah lantas mengapa para penginjil tidak melakukan pernikahanan dan Nabi Isa-pun menikah tiga kali, padahal : Al-kitab mengajarkan tentang kekudusan pernikahan, namun nyatanya tingkat perceraian di negara-negara Barat begitu tinggi. Jelas ini suatu masalah broo. Bahkan Nabi Isa a.s pun Poligami dan Bercerai. (Baca DISINI)
 
Namun inilah faktanya, bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Itulah sebabnya, manusia membutuhkan Juru selamat (Injil, Surat Roma 3:22-24). 
Juru selamat yang mana? Apakah juru selamat yang mengajarkan yang kaum Nasrani dengan  ajaran Trinitas, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Rohul kudus yang merupakan ajaran dari Yahudi Paulus dari Tarsius dan berlaku hingga sekarang?

Perceraian Dalam Agama Islam 

Sesungguhnya, terjadinya perceraian dalam prosentase yang tinggi di tengah-tengah komunitas kaum muslimin, atau penerapan yang keliru dalam kasus-kasus perceraian, tidak sepantasnya dijadikan alasan untuk mencela disyariatkannya perceraian dalam Islam. Karena perceraian sendiri adalah sebuah mashlahat (kebaikan) bagi sebuah rumah tangga pada saat kehidupan berkeluarga mustahil untuk tetap dipertahankan. Berubahnya kata-kata “cerai” sebagai permainan lisan sebagian laki-laki, atau menjadikannya sebagai hiburan dan pereda emosi adalah seperti penggunaan pisau. Jika pisau digunakan untuk mengupas atau membelah buah maka ini adalah penggunaan yang tepat, sedangkan bila pisau tersebut digunakan untuk menusuk orang maka ini adalah penggunaan yang tidak pada tempatnya. Apakah dikarenakan ada orang yang mempergunakan pisau tidak pada tempatnya lalu kita menyalahkan pisaunya?

Jika sepasang suami istri sudah gagal dalam menjalani hidup rumah tangga dan tidak ada lagi kestabilan dalam keluarga tersebut maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu mempertahankan kehidupan rumah tangga meski tidak lagi ada rasa cinta di antara keduanya, interaksi yang tidak menyenangkan, perpecahan dan pertikaian. Ataukah berpisah dengan bercerai baik-baik sehingga masing-masing bisa mejalani hidup sebagaimana yang dia inginkan.

Tidak diragukan lagi bahwa mempertahankan kehidupan rumah tangga dalam suasana yang tidak harmonis bukanlah solusi yang bijak, tidak sebagaimana persepsi sebagian orang yang menganggap hal tersebut lebih baik daripada perceraian. Bahkan perceraianlah solusi yang tepat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyiksa diri sendiri atau menyiksa orang lain dengan cara apapun. Tidak disangsikan lagi bahwa hubungan yang tidak harmonis merupakan salah satu bentuk menyiksa pihak lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hakekat dan urgensi perceraian ketika kehidupan rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

“Perceraian yang masih dapat dirujuk sebanyak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula.” (QS. al-Baqarah:229).

Perceraian dalam Islam yang diatur dengan berbagai ketentuan syar’i yang ada hanyalah digunakan sebagai solusi terakhir ketika mengembalikan kestabilan rumah tangga dinilai sebagai suatu hal yang tidak lagi memungkinkan.

Masyarakat barat yang melarang terjadinya perceraian dan menghina Islam karena membolehkan perceraian dan menganggap perceraian itu sebagai hal yang bertentangan dengan hak seorang wanita sudah mulai berpikir ulang. Mereka sudah membolehkan terjadinya perceraian, suatu hal yang tabu selama berabad-abad lamanya. Mulailah pintu perceraian dibuka lebar-lebar. Perceraian mereka laksanakan dengan pemberkatan gereja atau dengan persetujuan undang-undang Negara yang tidak terkait dengan otoritas gereja. Fakta dan angka perceraian yang sedemikian mencengangkan terjadi, suatu hal yang menyerupai imajinasi semata. Seorang pakar filsafat bernama Bernard Rossell dalam bukunya “Pernikahan dan Moralitas”  menyerukan agar perceraian diperbolehkan apapun resikonya. Dia mengatakan, “Sesungguhnya Amerika telah mendapatkan solusi untuk permasalahan timbulnya ketidaksukaan antara suami istri dengan membolehkan adanya perceraian. Karena itu saya berharap agar Inggris mengikuti langkah Amerika dalam hal ini dengan memperbolehkan terjadinya perceraian dalam ruang lingkup yang lebih luas  daripada kondisi saat ini yang sudah berlangsung.”

Perhatikanlah orang-orang yang mencela ajaran Islam dan kaum muslimin karena permasalahan perceraian yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah telah menimpakan bencana yang besar atas mereka berkenaan dengan hubungan suami istri. Pada akhirnya kondisi mereka mendorong untuk tidak mematuhi aturan gereja yang mencela Islam dan kaum muslimin karena permasalahan ini. Masyarakat barat lantas membuat undang-undang sipil yang membolehkan terjadinya perceraian pada saat ada salah satu pihak yang menginginkan. Jadi terjadinya sekulerisasi di dunia barat  merupakan pukulan telak untuk orang-orang yang menghina Islam dan kaum muslimin, serta pengakuan secara tidak langsung terhadap manfaat besar dengan adanya aturan perceraian dalam Islam, disamping merupakan pernyataan terus terang bahwasanya mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu.

Berbagai penelitian dan investigasi menunjukkan bahwa orang-orang barat pada saat ini menggampangkan praktek perceraian sesudah perceraian dilegalkan oleh undang-undang. Sampai-sampai penelitian di Prancis menunjukkan bahwa satu dari tiga pasangan suami istri (pasutri) Prancis pada akhirnya bercerai dan satu dari setiap pasutri Amerika, mereka bercerai. Lebih dari hal itu di sebagian Negara Eropa prosentase perceraian sampai 70%.

Dalam Islam, perceraian memiliki ketentuan-ketentuan khusus, syarat dan adab. Perceraian bukanlah tempat untuk bermain-main, bahkan perceraian adalah satu syariat bijaksana yang mengandung hikmah yang luar biasa. Oleh karena itu menganggap perceraian sebagai alasan unuk melimpahkan berbagai tuduhan dan sebab timbulnya berbagai masalah sosial adalah anggapan yang tidak beralasan. Perceraian sudah pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Terjadi pada Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy. Ada juga seorang wanita yang menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan minta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam solusi agar berpisah dari suaminya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda kepadanya, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang menjadi mahar suamimu?” Ia jawab, “Ya”. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepada sang suami, “Terima kembali kebun itu dan ceraikanlah istrimu.” Kejadian-kejadian di atas bukanlah ajakan untuk melakukan perceraian akan tetapi merupakan ajakan untuk mempergunakan perceraian secara tepat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syar’i yang ada, sehingga diharapkan perceraian tidak terjadi secara serampangan dan tanpa memahami kekeliruan yang dilakukan banyak orang yang berkaitan dalam hal ini.

Praktek perceraian yang keliru


Kata-kata “cerai” demikian mudah terluncur dari lisan banyak para suami. Sesungguhnya perceraian bukanlah media untuk menghibur diri atau meredakan emosi sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian para suami. Mereka menjatuhkan cerai kepada istrinya disebabkan perselisihan atau emosi. Saat emosi berkobar-kobar dan tidak menemukan penenang selain kata-kata cerai atau ingin memaksakan pendapat  pada istri, atau untuk memaksa  istri melakukan  perbuatan yang diinginkan suami, sebagian suami lantas mengucapkan kalimat cerai yang bersyarat. Misalnya ucapan, “Jika engkau melakukan demikian, maka engkau kucerai!” Atau ucapan, “Jika engkau pergi ke tempat ini maka engkau kucerai!” Sebagian orang mempergunakan  kata-kata cerai tidak pada tempatnya, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak cerai pada suami untuk mengakhiri pernikahan pada saat adanya kebutuhan, bukan karena mengikuti hawa nafsu atau karena terpancing emosi.

Prosentase perceraian yang tinggi di negeri kita  merupakan bukti paling nyata adanya penggunaan hak cerai tidak pada tempatnya. Sebagian kasus perceraian terjadi karena masalah yang remeh dan sepele. Hal ini menunjukkan bahwa banyak suami menganggap kata-kata cerai sebagai media untuk mengancam istrinya. Apakah bisa diterima oleh akal sehat, seorang yang memutuskan ikatan yang kuat –yaitu ikatan pernikahan– disebabkan  semata-mata kesalahan yang sepele? Meluncurnya kata-kata cerai karena permasalahan sepele merupakan bukti kurangnya rasa cinta yang ada di antara pasutri tersebut. Banyak rumah tangga yang kondisinya tak ubah sebagaimana rumah laba-laba yang mudah terkoyak disebabkan tiupan angin yang tidak kuat sekalipun.

Sesungguhnya Islam mewanti-wanti sikap meremehkan penggunaan kata-kata cerai. Perceraian merupakan solusi terakhir ketika timbul perpecahan di antara pasutri, sesudah berbagai upaya untuk mengharmoniskan kembali keduanya menemukan jalan buntu. Bahkan Islam melarang keras seorang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang kuat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



Ø£َÙŠُّÙ…َا امْرَØ£َØ©ٍ سَØ£َÙ„َتْ زَÙˆْجَÙ‡َا الطَّلاَّÙ‚َ Ù…ِÙ†ْ غَÙŠْرِ بَØ£ْسٍ Ø­َرَّÙ…َ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡َا Ø£َÙ†ْ تَرِÙŠْØ­َ رَائِØ­َØ©َ الْجَÙ†َّØ©ِ

“Setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengharamkannya untuk mendapatkan bau surga”.

Oleh karena itu seorang istri berkewajiban untuk lebih memahami masalah ini dan lebih bersabar dan lebih keras berusaha menjaga keberlangsungan hidup rumah tangga seberapapun besar tebusannya.

Sesungguhnya anggapan bahwa perceraian merupakan solusi yang ideal adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh banyak suami meskipun sesudah menikah untuk yang kedua kalinya. Sesungguhnya cerai merupakan titik awal penyimpangan dan pintu jurang kehancuran, karena perceraian itu menjadi faktor penyebab dekadensi moral, berbagai penyakit kejiwaan serta berakibat terlantarnya anak-anak.


Semoga tulisan tsb dapat manfaat bagi saya untuk menjemput ridha Allah, serta bagi siapa saja yang membutuhkannya, Allahumma amiin. Maafkan saya jika terdapat banyak kekurangan.(sayabukanustad.com)

Wassalamu'alaykum warohmatullaah

 

Tidak ada komentar