Apa Benar Pancasila Digali Dari Bumi Indonesia?

Burung garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang tenaga pembangun. Dikenal dalam peradaban nusantara, mitos yang dilukiskan di candi Dieng, Prambanan dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai gambaran berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap, sebagaimana di Dieng yang sangat mirip dengan gambaran dewa Horus di Mesir. Kemudian di candi Prambanan dan Sukuh rupanya seperti burung dengan paruh panjang yang melambangkan proses perjalanan kepada keabadian. Meskipun rupanya agak berbeda, tetapi ide dan konsepnya sama dengan mitos burung phoenix yang menjadi salah satu dari sekian banyak simbol Freemasonry. 

A. Asal kata Pancasila

Bila kita mau ambil cangkul kembali dan membuat galian yang lebih dalam lagi, maka tentu akan segera kita dapatkan bahwa heading-nya sendiri, yaitu kata Pancasila, berasal dari bahasa asing, tepatnya hasil impor dari India. Bukan asli Indonesia. Bila kita mau sebutkan kata-kata asli Indonesianya, maka akan berbunyi Lima Dasar. Ini baru asli Indonesia. Jadi, kata Pancasila sendiri ternyata tidak digali dari bumi Indonesia. Bila ada yang ngeyel, maka orang itu nanti perlu kita beri penataran bahasa Indonesia yang baik dan benar.


B. Negara Asal Garuda dan Perancang Lambang Burung Garuda

Kemudian burung tempat Pancasila itu diletakkan, yaitu burung Garuda, juga tidak digali dari budaya asli Indonesia, tetapi berasal dari mitologi India. Tidak ada cerita rakyat di Indonesia yang berkisah tentang burung Garuda. Burung Garuda itu sendiri pun hanyalah burung mitologi saja sebab tidak ada di dunia nyata, sebagaimana juga ular naga dalam mitologi Cina atau burung phoenix dalam mitologi Mesir kuno. 

Menurut mitologi India, Garuda ini adalah putra dari Resi Kasyapa. Berasal dari telur yang dihasilkan oleh istrinya yang bernama Vinata. Opo tumon manusia bertelur? Dan telur itu baru menetas setelah dierami selama seribu tahun. Apa pantatnya tidak udunen mengerami telur selama itu? Setelah dewasa burung Garuda tadi menjadi kendaraan (vahana) Dewa Wisnu untuk mengelilingi angkasa. Sudah jelas asli India, bukan? Dalam kesenian India, Garuda ini bisa beraneka ragam bentuknya, kadang digambarkan sebagai burung elang berwarna hijau emerald dengan sayap keemasan, atau seekor rajawali, atau seorang manusia yang berparuh seperti burung rajawali, atau seekor burung berkepala manusia. Beraneka macamlah pokoknya. Jadi, burung Garuda itu memang tidak ada di dunia nyata dan tidak pula asli dari Indonesia.

Selain di Indonesia, burung Garuda juga dijadikan lambang kerajaan Thailand. Jadi, memang bukan khas lambang negara Indonesia saja seperti yang kita sangka selama ini. Hanya saja, gambar Garuda yang ada di Thailand itu memang jauh berbeda dengan yang ada di sini. Tidak murni berupa burung, tetapi manusia setengah burung seperti yang juga sering terdapat pada lukisan karya seniman India. Bisa Anda lihat pada gambar di samping. Ini sebenarnya agak membingungkan juga kenapa kerajaan Budha itu memilih simbol Hindu untuk negaranya. Nampaknya ini sisa-sisa sinkretisme dari zaman lampau. Sinkretisme semacam ini terdapat juga di Kamboja karena istana kerajaan di Phnom Penh dihiasi oleh gambar burung Garuda pula.


Perancang Lambang Negara Indonesia atau Garuda Pancasila adalah Sultan Hamid II. Jika melihat fakta yang ada sekarang ini, tentu kita harus melihat perjuangan dalam waktu penjajahannya juga. Lalu bagaimana dengan sosok Sultan Hamid II? Sultan Hamid II adalah sebuah gelar dengan nama asli Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Ia mewarisi darah masonik dari garis Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang terdaftar dalam Freemason di Surabaya pada 1944.  Jenjang pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda di Breda. 

Gerakan pemuda seperti Boedi Oetomo atau perkumpulan Jong dari berbagai propinsi, sejatinya adalah senjata kelompok Freemason atau dalam bahasa Belanda Vrijmetselarij yang turut berperan dalam proses kemerdekaan Indonesia, di mana kemerdekaan Indonesia sendiri bukanlah karena murni berdasarkan ide kemerdekaan yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45. Melainkan atas gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan perah bagi kepentingan Freemason. Mengapa? Karena sejumlah tokoh bangsa adalah anggota perkumpulan tersebut.


Monsterverbond adalah kelompok elit dalam VOC yang terdiri dari tiga pilar seperti disimbolkan dalam lambang mason. Dua pilar utama yang melambangkan pilar Jachin dan Boaz adalah gerbang menuju pilar selanjutnya dalam simbol kuil Solomon yang disebut altar batu. Monsterverbond dalam VOC digerakkan oleh dua orang asing dan seorang pribumi. Sejatinya Monsterverbond yang menjadi elit penggerak dalam VOC adalah bagian dari kelompok Freemasonry atau Vrijmetselarij. Dalam sejarah Indonesia pola ini terus menerus dipertahankan. Oleh karena itu banyak tokoh-tokoh di era awal kemerdekaan Indonesia juga masuk dalam kelompok Freemasonry ini, dan tanpa pernah ditulis di buku-buku sejarah sekolahan, merupakan rekanan dengan tokoh-tokoh VOC. (Monsterverbond  artinya sebuah perjanjian sampel adalah perjanjian di mana pihak lawan masing-masing yang biasanya mengesampingkan perbedaan mereka dan membuat perjanjian terhadap yang lain, partai yang lebih kuat. Rakasa Terhubung sering datang ke bisnis, tetapi juga negara-negara, partai politik dan sejenisnya dapat menyimpulkan perjanjian. penj)










1. Sila Pertama dengan lambang bintang

Lalu bagaimana dengan isi Pancasila sendiri, yaitu lima sila yang ada di dalamnya? Ternyata, sebagian besar bukan digali dari bumi Indonesia pula. Sila pertama berbunyi : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bila kita mau bongkar seluruh buku-buku agama dan sejarah agama yang ada di  seluruh perpustakaan-perpustakaan besar di seluruh dunia, maka kita tidak akan pernah menemukan segelintir pun kalimat yang menyatakan bahwa ajaran monoteisme itu berasal dari bumi Indonesia.

Sebagaimana kita pelajari di sekolah dulu, agama asli penduduk Indonesia memang adalah animisme dan pemujaan kepada nenek moyang. Suatu hal yang masih sangat berurat akar di banyak kalangan masyarakat Indonesia hingga zaman modern sekarang ini. Pemberian sesajen di Laut Kidul, di perempatan jalan, kepala kerbau di fondasi bangunan, membakar kemenyan, batu akik dan keris bertuah, berkah tahi kerbau Kiai Slamet, adalah sebagian di antaranya.

Pemujaan kepada nenek arwah nenek moyang ini juga masih bisa kita temui pada tradisi pemberian sesajen kepada arwah para mbah buyut yang telah wafat, yang sekarang ini seringkali berupa ketupat dan segelas kopi, atau  bisa juga disertai makanan lain yang disukai simbah tersebut semasa hidupnya. Kalau kopi itu setelah beberapa lama ditinggal diketahui isinya berkurang atau malah habis sama sekali, maka sang pemberi sesajen itu lantas dengan yakin menyatakan bahwa itu adalah “bukti” bahwa sang simbah memang sedang kehausan di alam baka sana dan lantas menyeruput kopi sesajen itu sampai habis. Mungkin arwah simbah itu memang habis jogging ngos-ngosan keliling stadion sehingga sampai kehausan sedemikian rupa. Tetapi, bila mau diselidiki lebih lanjut, sebenarnya kopi tadi telah diseruput secara diam-diam oleh anak tetangga.

Demikian kepercayaan yang masih terdapat di masyarakat Indonesia hingga saat ini. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, anismisme dan pemujaan kepada arwah nenek moyang ini pun sebenarnya tidak diyakini penduduk asli Indonesia saja, tetapi juga dianut secara merata di seluruh penjuru dunia semenjak zaman purbakala. 

Di Barat misalnya, sisa-sisa dari keyakinan semacam itu bisa kita dapati pada perayaan Halloween dan tradisi menghias pohon Natal. Halloween bermula dari tradisi masyarakat Keltik untuk menandai awal musim salju gelap dan dingin sehingga lalu dibumbui dengan beragam kisah hantu, sedangkan tradisi menghias pohon natal bermula dari kepercayaan suku-suku Jerman pagan yang menganggap pohon tersebut sebagai simbol kesuburan, dan setelah itu sekarang mengadaptasinya sebagai simbol kelahiran kembali.

Bila ternyata tidak asli digali dari bumi Indonesia lantas dari manakah asal kepercayaan kepada Tuhan YME itu? Tidak lain dan tidak bukan monoteisme tentunya berasal dari Timur Tengah, antara lain dari tiga agama Ibrahim, dan inilah yang kemudian turut dianut di Indonesia. Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-14 atau ke-15 M melalui jalur perdagangan dan cara-cara damai. Walisongo mulai menyebarkan Islam di tanah Jawa sekitar tahun 1470-an, ini bila dihitung dari berdirinya Masjid Agung Demak. 

Setelah itu, disusul agama Kristen pada awal abad ke-16 yang masuk bersama dengan para serdadu Eropa. Datangnya hampir bersamaan memang, tidak sampai 100 tahun selisihnya, terutama di pulau Jawa. Dan setelah itu berdoalah agar anak buah Sharon tidak pernah mengadakan Exodus besar-besaran ke sini. Cukuplah mereka ber-exodus ke tanah Kanaan saja. Itu pun sudah cukup untuk menimbulkan keributan besar  sampai sekarang ini.

Secara formal agama Kristen itu memang disebut sebagai agama monoteis. Tetapi, sebetulnya mazhab Kristen yang paling setia dengan keyakinan ini hanyalah kaum Unitarian karena mereka tak menganut trinitas.

Unitarianisme, gerakan keagamaan yang menegaskan kesatuan tak terbagi dari Allah, sebagai lawan untuk Trinitas, dan kemanusiaan Yesus, daripada keilahian-Nya. Para ahli Agama menekankan tanggung jawab pribadi dan ketergantungan pada hati nurani dan alasan yang agak dari pada doktrin atau otoritas eksternal.

Di Transylvania seorang pengkhotbah ke Raja John Sigismund, yang memerintah 1540-1571, dikonversi ke Unitarianisme karena ia bisa menemukan ada dasar dalam Alkitab bagi doktrin dari Trinitas. ("Unitarianisme", Microsoft Encarta Encyclopedia).

Doktrin Trinitas itu memang sebenarnya tidak ada di dalam Bible, tetapi  dirumuskan oleh para ahli teologi. Setelah itu baru disahkan secara formal oleh Gereja. Mari kita lihat darimana doktrin trinitas tersebut berasal.

Doktrin ini tidak diajarkan secara eksplisit dalam Perjanjian Baru, di mana kata Tuhan hampir selalu mengacu kepada Bapa, tetapi sudah Yesus Kristus, Putra, dipandang sebagai berdiri dalam suatu hubungan yang unik dengan Bapa, sementara Roh Kudus juga muncul sebagai pribadi ilahi yang berbeda.

Istilah trinitas pertama kali digunakan pada abad ke-2, oleh Tertullian teolog Latin, tapi konsep ini dikembangkan dalam proses perdebatan tentang sifat Kristus. Pada abad ke-4, doktrin itu akhirnya dirumuskan, menggunakan istilah masih digunakan oleh para teolog Kristen, doktrin mengajarkan coequality dari pribadi Tuhan. ("Trinity", Microsoft Encarta Encyclopedia).

Begitulah, doktrin trinitas itu memang sekedar hasil pemikiran para ahli teologi  dan sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Yesus. Baru dirumuskan pada abad ke-2 M dan setelah itu dijadikan doktrin Gereja pada abad ke-4. Tidak  pernah diajarkan oleh Yesus. Di antara beragam sekte Kristen yang ada sekarang ini, hanya kaum Unitarian yang paling konsisten dengan monoteisme. Tapi, Unitarianisme memang tak ada penganutnya di Indonesia.

Doktrin trinitas itu nampaknya hasil pengaruh dari mitologi Mesir. Terlebih lagi bila kita mengingat bahwa kota Alexandria, Mesir, merupakan salah satu pusat agama Kristen saat itu.

Dari mitos ini penciptaan datang konsepsi ennead, sekelompok sembilan dewa, dan tiga serangkai, yang terdiri dari AYAH ilahi, IBU, DAN ANAK. Setiap kuil lokal di Mesir memiliki ennead sendiri dan triad.

Pentingnya mereka meningkat dengan adanya pengaruh politik daerah di mana mereka disembah. Misalnya, ennead dari Memphis dipimpin oleh tiga serangkai yang terdiri dari ayah Ptah, yang Sekhet ibu, dan anak Imhotep. Oleh karena itu, selama dinasti Memphite, Ptah menjadi salah satu dewa terbesar di Mesir. Demikian pula, ketika dinasti Thebes memerintah Mesir, ennead Thebes diberikan paling penting, dipimpin oleh ayah Amon, Mut ibu, dan anak Khonsu. Sebagai agama menjadi lebih terlibat, dewa sejati kadang-kadang bingung dengan manusia yang telah dimuliakan setelah kematian. Dengan demikian, Imhotep, yang pada awalnya menteri-3 penguasa Dinasti Djoser, kemudian dianggap sebagai setengah dewa. Selama Dinasti 5th para firaun mulai mengklaim keturunan ilahi dan sejak saat itu disembah sebagai Anak-anak Ra. (Mitologi Mesir, Microsoft Encarta Encyclopedia)

Gelar Son of Ra milik Firaun itu tak jauh beda dengan gelar Son of God, bukan? Mempertuhankan manusia  itu nampaknya juga pengaruh dari tradisi Romawi-Yunani-Mesir. Para kaisar Romawi pada masa itu dianggap sebagai manusia setengah dewa. Setelah berkuasa di Judea mereka sering juga membantai orang Yahudi karena mereka ini suka membangkang dan tidak mau bersujud menyembah kaisar Romawi. Sedangkan di Yunani, Alexander juga dianggap manusia setengah dewa oleh pengikutnya. Sebagian orang Yunani berpendapat bahwa Alexander itu bukan putra Philipus, tetapi putra dewa. Dan setelah meninggal, ia pun lalu diangkat sebagai dewa. 

Pengangkatan manusia biasa menjadi dewa itu bukan hanya terjadi pada diri Alexander saja, tetapi juga pada banyak tokoh-tokoh besar Romawi-Yunani lainnya. Sudah menjadi tradisi mereka. Jadi, istilah Son of God itu agaknya karena  pengaruh agama-agama lama yang ada di sekitar Laut Tengah. Yesus tidak pernah mengajarkan trinitas. Perumus pertama doktrin trinitas, yaitu Tertullian, adalah orang Romawi yang tinggal di Kartago, Afrika Utara. Kota yang terhitung masih bertetangga dengan Alexandria juga. Tertullian itu adalah putra seorang centurion (kepala pasukan tentara Romawi ) yang diposkan di kota Kartago.

Selain yang berasal dari agama Ibrahim, ada juga monoteis versi yang lainnya. Tetapi, itu pun bukan asli Indonesia, tetapi berasal dari Mesir, yaitu monoteisme versi Firaun Akhenaton dan monoteisme dari Persia, yaitu Mithraisme-Zoroastrianisme. Sebagian sumber memang menggolongkan Mithraisme-Zoroastrianisme sebagai agama monoteis. Di Catholic Encyclopedia yang antara lain disebutkan: "The Avesta system may be best defined as monotheism, modified by a physical and moral dualism, with an ethical system based on a Divinely revealed moral code and human free will." (CE. ii, 156.).  Meski demikian, sebetulnya lebih tepat bila Zoroaster ini disebut menganut dualisme.

Di luar Timur Tengah sudah tidak ada lagi wilayah yang menghasilkan kepercayaan monoteis, semuanya rata-rata menganut politeisme atau animisme, termasuk Hinduisme yang ada di India. Sedangkan agama Buddha yang dulu juga banyak pengikutnya di sini, ternyata malah tidak mengenal konsep Tuhan. Mereka hanya mengenal konsep nirvana dan reinkarnasi, dan itulah antara lain hal yang paling penting di dalam ajaran agama Buddha. Tidak ada Tuhan (atheis) di dalam agama Buddha. Ini memang benar demikian, tidak mengada-ada. Ini antara lain bisa Anda lihat pada dua kutipan di bawah ini :

Buddhisme telah disebut sebuah agama ateis karena tidak mempostulatkan makhluk tertinggi. orang Jain sama-sama ateis, dan begitu juga mereka yang mengadopsi sistem sankhya filsafat dalam agama Hindu. (Ateisme, Hutchinson Pendidikan Encyclopedia)

Buddhism, as originally founded, asserted there is no God at all. Denial of God or gods is called atheism. (“Atheism”, Compton's Interactive Encyclopedia)

Ada yang terkejut setelah membacanya? Silakan bertanya sendiri kepada para Biksu kalau masih tak percaya. Atau boleh juga Anda mencari sumber-sumber yang lainnya. Meski demikian, terlepas dari masalah tersebut, boleh dikatakan agama Buddha ini lebih egaliter ketimbang agama Hindu yang membagi manusia ke dalam beragam kasta.

Karena di luar Timur Tengah sudah tak ada lagi agama yang mengajarkan monoteisme, maka ajaran kejawen yang dulu seminggu sekali disiarkan di TVRI, dengan kepercayaan kepada Tuhan YME yang turut terkandung di dalamnya, tentu saja bukan asli Indonesia seperti yang diyakini oleh para penganutnya, tetapi itu karena pengaruh ajaran monoteisme dari Timur Tengah. Agaknya mereka kurang eling lan waspodho sehingga akhirnya ora eling pula dari mana asal ajaran monoteisme itu yang sebenarnya. Bila nanti ada yang ngeyel menyatakan bahwa sila pertama itu asli digali dari bumi Indonesia, maka dia nanti bisa kita kasih penataran ilmu sejarah dunia.  Di luar Timur Tengah tidak ada yg mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan YME. Kalau tak percaya, boleh Anda bongkar buku-buku di perpustakaan seluruh di dunia yg mengupas tentang asal-usul ajaran monoteisme.

Karena tidak asli Indonesia itulah nasib dari sila pertama di sini cukup memprihatinkan pula, sering disinkretiskan dengan beragam kepercayaan lainnya. Bila tradisi animisme itu sudah kita sebutkan beberapa contohnya di atas tadi, maka kalau tradisi pemujaan nenek moyang yang asli Indonesia itu antara lain menemukan titik temunya pada ajaran tahlilan dan haul, suatu tradisi pemujaan arwah nenek moyang dari masyarakat Timur Tengah pra-Islam yang kemudian menjadi tradisi di sini pula.  


Entah dari Timur Tengah sebelah mana, tetapi yang jelas ini bukan tradisi masyarakat pra-Islam di Mekah dan Madinah sebab tidak ada riwayat/hadits yang pernah menyebutkan adanya upacara berkabung semacam ini di kedua kota tersebut. Barangkali tradisi ini berasal dari daerah sebelah Utara Jazirah Arab, mungkin di sekitar Mesopotamia atau Persia sebab saya dulu pernah membaca bahwa orang Iran menyelenggarakan semacam tahlilan untuk memperingati 40 hari kematian Khomeini. 

Keturunan orang-orang Yaman yang bermigrasi ke Indonesia yang nenek moyangnya sebagian berasal dari wilayah Irak (Mesopotamia), juga memegang kuat tradisi semacam ini. Bila memang benar berasal dari Mesopotamia dan bukan dari agama Zoroaster Persia, maka berarti tradisi tahlilan ini sudah dilaksanakan semenjak zaman Hammurabi atau zaman yang lebih kuno lagi. Bayangkan, Hammurabi ikut tahlilan. Opo ora nggumun? Kapan-kapan saya ingin meneliti  lebih lanjut tentang asal-usul tradisi ini.

Bila berkenaan dengan ajaran naik haji, ada juga kisah Haji Bawakaraeng di Sulawesi. Ini nampaknya adalah hasil sinkretisme dari ajaran naik haji dan keyakinan animisme pemujaan gunung. Menurut sumber yang saya baca, Bawakaraeng artinya adalah Mulut Tuhan. Mudah-mudahan benar ini sumber karena saya sendiri tidak paham bahasa Sulawesi. Ritual di Bawakaraeng ini dulu sempat menjadi berita nasional karena banyak calon haji yang tewas kedinginan di puncak gunung. Lalu kalau kisah Haji Nunut yang dulu itu berasal dari sinkretisme yang macam mana pula? Nah, kalau ini adalah hasil sinkretisme dari ajaran naik haji dan ajaran bonek.

Melihat beragam kepercayaan animisme yang ada di Indonesia hingga saat ini, kadang kita bisa menjadi geli juga bila mengingat kekonyolan-kekonyolan yang ada. Apalagi kepercayaan tentang adanya berkah tahi kerbau dan semacamnya yang saya sebutkan di atas tadi.  Semasa kuliah di Yogya dulu, sewaktu saya sedang di perpustakaan kebetulan membaca berita ini di koran bersama teman-teman, dan mereka langsung tertawa tergelak, lalu melontarkan beragam komentar yang lucu-lucu. Masa tahi kerbau saja dibikin rebutan. Memang ndagel  juga. Tetapi, kalau dipikir-pikir lebih lanjut, seharusnya ini bikin sedih kita juga karena hingga zaman modern sekarang ternyata masih banyak di antara masyarakat kita yang pola berpikirnya tak jauh beranjak dari zaman purba.



Salah Kaprah Tentang Bintang Sebagai Simbol Islam

Pentagram adalah sebuah lambang berbentuk bintang berujung lancip lima yang digambar dengan lima garis lurus. Kata pentagram sendiri berasal dari bahasa Yunani πεντάγραμμον (pentagrammon), bentuk kata kerja dari πεντάγραμμος (pentagrammos) atau πεντέγραμμος (pentegrammos), sebuah kata yang mempunyai makna "bergaris lima" atau "lima garis".

Nama tersebut menunjukkan bahwa pentagram bukanlah hanya sebuah bintang berujung lancip lima: lambang ini mesti terdiri dari lima garis, sehingga pentagram harus menunjukkan bagian dalamnya tersebut.

Planet Venus dan pemujaan dewi Venus telah dikaitkan dengan pentagram sejak zaman kuno. Jika dilihat dari Bumi dengan latar belakang rangkaian bintang (Zodiac), Venus membentuk sebuah bintang berujung lancip lima mengelilingi Matahari setiap delapan tahun sekali, dan kembali tepat ke letak awalnya setelah siklus sepanjang empat puluh tahun.

Pentagram digunakan secara simbolis pada masa Yunani kuno dan Babilonia. Pentagram dihubungkan dengan dunia sihir, dan banyak orang yang mempunyai kepercayaan paganisme mengenakan kalung berbentuk pentagram. 


Penyematan nama Nabi Daud  dalam penyebutan Bintang Daud, dimana Bintang / Bintang Daud (Bintang David) tersebut yang sekarang banyak digunakan oleh kaum Freemason dalam ritual sihir, okultis dan acara-acara pemanggilan roh halus yang kerap mereka lakukan; adalah merupakan kesalah-kaprahan dan kedustaan yang nyata terhadap Nabi Daud, karena Nabi Daud a.s tidak pernah mengajarkan sihir dan beliau  adalah seorang Nabi utusan Allah  yang merupakan penyeru ajaran Tauhid terhadap Bani Israil.

Bintang Daud yang berbentuk Hexagram ini sebenarnya merupakan simbol yang digunakan oleh para Tukang Sihir, penghitung bintang di langit dan para “astronom” kuno yang berasal dari kebudayaan paganisme antara lain di Mesir, Babylonia ataupun kebudayaan-kebudayaan kuno lainnya. 

a. Simbol bintang Hexagram pada Hindu:




Sab-kona Bintang Goloka atau Goloka-Yantra, tercatat dalam sejarah Weda dan kebudayaan kuno lainnya. Sebelum simbol ini muncul di dunia Barat dengan sebutan Bintang Daud atau David Star maka simbol ini juga telah digunakan di jantung spiritualitas di India dan disebut sebagai Sab Kona.

 

Sab-Kona mendefinisikan sebuah bintang bersudut enam yang mewakili ruang suci. Dibangun dengan menggabungkan dua segitiga sempurna, segitiga yang menghadap keatas disebut Purusa dan yang menghadap kebawah disebut Prakarti.
 


Dalam literatur Weda ditulis bahwa Sri Brahma Samhita tinggal di Goloka. 


Sudarsana Sab-Kona
b. Simbol bintang Hexagram di Sumeria

Museum Vorderasiatisches di Berlin menampilkan beberapa segel silinder dari abad 2500 SM, dihiasi dengan simbol langit yang menggambarkan bintang-bintang dengan enam, tujuh, dan delapan segi. Bintang-bintang tersebut digunakan di Sumeria dalam konteks astrologi atau astronomi.

c. Simbol bintang Hexagram di Assyria 

Bintang Hexagram pada Black Obelisk dari Shalamaneser III di Irak. Obelisk ini didirikan di kota Asiria, Nimrod sebagai monumen publik pada tahun 825 Sebelum Masehi sewaktu terjadi perang saudara.

d. Simbol bintang Hexagram di Minos


Di Museum Heraklion di Kreta terdapat sebuah Piringan Phaestos kuno yang terbuat dari tanah liat dibakar. Piringan ini memiliki banyak ukiran. Salah satu ukirannya adalah lingkaran dengan enam titik dalam bentuk hexagram dengan titik ketujuh di tengah. Bentuk Hexagram ini bisa terlihat jika titik-titik tersebut dihubungkan dengan sebuah garis. Piringan ini berasal dari 1700 Sebelum Masehi.

Simbol Hexagram ditemukan di Istana Festos di Kreta oleh seorang arkeolog Italia bernama Doro Levy. Simbol ini berasal dari 1700 SM, berarti 700 tahun sebelum Nabi Daud dilahirkan. Sekarang simbol ini dipamerkan di Museum Herakelion, Kreta.


e. Simbol bintang Hexagram di Carthage/Tunisia


Koin ini ditemukan di Carthage (sekarang adalah Tunisia di Afrika Utara) yang memiliki lambang hexagram, dan disebut Koin Fenisia. Berasal dari abad ke-5 SM.

f. Simbol bintang Hexagram di Jepang


The Crest Kagome dapat ditemukan di beberapa kuil Shinto tertua di Jepang yang berasal dari abad ke-5 SM. Di Kuil Utama Ise yang dibangun untuk Gedung Kekaisaran Jepang, simbol hexagram ini diukir pada semua lampu di sepanjang jalan menuju ke kuil.

g. Simbol bintang Hexagram di Yunani
Bintang Hexagram juga terdapat pada sebuah “Terracotta Drinking Cup” dari Yunani yang berasal dari 560 SM, dipamerkan di Metropolitan Museum of Art di New York.

h. Simbol bintang Hexagram di Sri Lanka


Ditemukan di Kataragama di Srilanka, sebuah situs ziarah yang terkenal untuk kepercayaan Hindu dan Budha. Ukiran ini berasal dari abad ke-3 SM, dengan huruf  Tamil ‘Om‘ di tengah. Dipamerkan di Museum für Völkerkunde, di Basel.


i. Simbol bintang Hexagram di Israel


Capernaum
Beberapa Bintang / Bintang David kuno telah ditemukan di Israel, tetapi semua itu berasal dari masa sebelum orang Yahudi mengadopsi simbol ini untuk mewakili keyakinan mereka. Bintang Hexagram juga ditemukan terukir pada guci-guci Gibeon, yang berasal dari akhir masa Kuil Pertama Kerajaan Israel, yaitu pada abad ke-6 SM. Namun, arkeolog mengatakan bahwa bisa saja ini adalah salinan lambang Thasos dan Carthago dari Yunani yang berfungsi untuk menandai anggur. Bintang Hexagram lainnya telah ditemukan di Caperneum tetapi itu kemungkinan adalah milik kuil Romawi.

Hisam Palace Israel
Hisam Palace, Yerikho memiliki hexagram dengan ukuran yang sangat besar dan paling terkenal di Israel. Hisam Palace ini dibangun oleh Penguasa Muslim Al-Walid bin Yazid yang membangun istananya pada tahun 743 M.

j. Simbol bintang Hexagram di Mesir  
Perhatikan simbol Hexagram pada logam pemberat timbangan yang hampir pudar ini, yang berasal dari abad ke-2 SM. 


Guci kaca dari Arab ini
berasal dari tahun 1000 M

k. Simbol bintang Hexagram di Romawi 
“Roman Mosaic” di Bardo Tunisia
“Roman Mosaic” di Cyprus
  
l. Simbol bintang Hexagram di Meksiko

Simbol ini diambil dari Benteng Uxma Maya di Meksiko, yang menunjukkan beberapa contoh yang menyerupai hexagram. Para sarjana Meso-amerika meyakini simbol ini adalah mewakili matahari. Benteng Uxma dibangun sekitar 700 M.



m. Simbol bintang Hexagram di India


Perisai Kaisar Akbar
Juga di India, di Istana Hisam dari Kekaisaran Moghul, maka Kaisar Akbar (abad ke-16 M) berkuda ke medan pertempuran dengan simbol Hexagram pada perisai kebanggaannya.


n. Simbol bintang Hexagram pada Alchemy
Simbol Alchemy dari abad ke-5 hingga ke-17 M, dimana Bintang Hexagram terdiri dari dua segitiga sempurna yang mewakili laki-laki (segitiga mengarah keatas) dan mewakili wanita untuk segitiga mengarah kebawah. Namun dalam Alchemy, hexagram ini selalu diartikan sebagai enam buah planet yang mengelilingi matahari ditengahnya, atau mewakili unsur api dan air, juga mewakili bumi dan langit.


o. Simbol bintang Hexagram pada penginapan Mason di Edinburgh
Simbol Freemason di sebuah
penginapan Mason di Edinburgh
p. Simbol bintang Hexagram di Kathmandu


Bintang Hexagram di Kuil
Hanuman di Kathamandu


q. Simbol bintang Hexagram di Istanbul 
Sebuah hexagram pada pintu
bangunan di Istanbul
Kalau seksama kita perhatikan, logo Hexagram hadir secara terang menyala dan diperlihatkan secara utuh. Keenam sudutnya hanya naik sedikit ke atas dan ke bawah namun tetap mengandung unsur Hexagram sebagai perlambang kaum masonik secara kuat. Karenanya, jika saja kita tatap secara fokus, kita akan terhantar pada tampilan gambar bendera Israel saat ini.



Pentagram adalah simbol religius kaum pagan. Di Indonesia, khususnya. Bahkan mungkin kita juga sudah masa bodoh apakah sebuah lambang mengandung nilai satanisme atau tidak.

Padahal Anton Lavey, penulis Injil Setan yang kerap mengkampanyekan simbol pentagram, pernah menyatakan bahwa musik adalah alat yang dipakai para penganut Kabbalah dalam melebarkan misinya. Oleh karena itu tak pelak, konon Marliyn Manson dan Black Sabbath adalah band Metal yang pertama kali terpengaruh oleh Gereja Setan buatan Anton Lavey. Simbol pentagram juga menjadi perwujudan dari Kambing Mendez-Goat alias Baphomet.

(sumber : http://ustadzrofii.wordpress.com/2012/01/16/salah-kaprah-tentang-bintang-daud)








2. Sila Kedua dengan lambang Rantai

Kemudian kita menginjak sila yang kedua. Ini nampaknya adalah sila yang nasibnya paling menyedihkan sekali, sangat menyedihkan, tak jauh berbeda dengan nasib sila kelima. Apakah ini karena unsur-unsur dari sila kedua ini banyak digali dari negeri asing pula sehingga tidak bisa mengakar di Indonesia? Sila kedua ini berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab. 


Kata adil dan adab adalah berasal dari bahasa Arab dan bukan digali dari bumi Indonesia. Mungkin itulah sebabnya orang di sini susah sekali untuk mengamalkan sila yang kedua ini. Dan yang sering diamalkan memang adalah kemanusiaan yang timpang dan biadab. Bila kita mau menemukan padanan katanya dalam bahasa Inggris, sila ini sedikit banyak menemukan padanannya dengan istilah human rights. 

Tetapi, sialnya lagi, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata human rights  ini menjadi hak asasi manusia. Kata hak dan asasi ini, lagi-lagi berasal dari bahasa asing pula, yaitu bahasa Arab, sehingga biarpun sudah semenjak lama diimpor oleh para aktifis HAM, agaknya human rights  alias hak asasi manusia ini tetap susah setengah mati untuk bisa mengakar di sini. Akibatnya, kemanusiaan yang timpang dan biadab pun terus berlangsung hingga saat ini. Dan jangankan di tanah Indonesia yang merupakan negeri asing bagi istilah-istilah tersebut. Di negeri asalnya sendiri, baik di Barat maupun di tanah Arab, nasib istilah-istilah tersebut sering hanya jadi pajangan pelengkap belaka.


3. Sila Ketiga dengan lambang Pohon Beringin

Sekarang sila yang ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Ini pun tidak asli digali dari budaya Indonesia yang ada semenjak zaman dahulu kala. Yang asli Indonesia itu cuma  perasaan kebersamaan untuk bisa membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Itulah sebabnya kenapa perasaan kebangsaan kita tidak meliputi sesama ras Melayu di Malaysia, Brunai dan Filipina misalnya. Jadi, ide persatuan Indonesia ini memang ada antara lain gara-gara kita dijajah Belanda, karena perasaan bersatu itu cuma meliputi bekas wilayah Hindia Belanda. Malaysia, Brunai dan Filipina yang sesama ras Melayu tidak diajak ikut bersatu. Sedangkan bila ada unsur asingnya bisa kita lihat pada keterangan di bawah nanti. Tetapi bila dari segi bahasa, unsur asing itu terdapat pada kata Indonesia yang digali dari bahasa Yunani yang berarti pulau-pulau India, diadaptasi dari kata Oost-Indische, alias East Indies dalam bahasa Inggrisnya. Kata Oost-Indische ini terdapat juga di dalam Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Sila ketiga ini sering juga disebut sebagai nasionalisme. Kalau kita mau meneliti kembali, nasionalisme di sini sebenarnya baru ada semenjak bangkitnya pergerakan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh Boedi Oetomo (1908). Itu pun tidaklah asli Indonesia, tetapi karena Dr. Soetomo terpengaruh nasionalisme bangsa Jepang. Kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 itulah yang kemudian menimbulkan histeria di seluruh Asia dan membangkitkan rasa percaya diri pada banyak rakyat di Asia, termasuk juga di Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa ternyata bangsa Asia bisa juga mengalahkan bangsa Eropa, bahkan meskipun negara Eropa itu mempunyai pasukan dan wilayah yang jauh lebih besar. Bahkan Rusia adalah negara Eropa yang wilayahnya terbesar dengan penduduk yang terbanyak. Itu pun bisa dikalahkan dengan mudah oleh negara kepulauan kecil seperti Jepang. Berbeda sekali dengan apa yang dicekokkan oleh para penguasa kolonial pada masa itu bahwa bangsa Asia memang sudah takdirnya hanya pantas menjadi bangsa kuli dan babu saja.

Setelah dirintis oleh Boedi Oetomo, kemudian berdirilah banyak organisasi nasional yang lainnya. Sebelum masa itu, sama sekali  belum ada kesadaran kebangsaan di Indonesia. Perjuangan kemerdekaan lebih banyak didasarkan kepada keinginan untuk membebaskan wilayah kerajaannya sendiri-sendiri. Perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan yang lain-lainnya juga bukanlah didasari oleh ide nasionalisme atau pun untuk membebaskan seluruh kepulauan Indonesia, tetapi hanya untuk membebaskan daerahnya sendiri-sendiri. Kata nasionalisme sama sekali tak dikenal pada masa itu. Bahkan, Sultan Hasanudin pun harus memerangi Aru Palaka (Pangeran Sa'duddin) sesama orang Sulawesi karena Aru Palaka ini rakyatnya ditindas oleh Sultan Hasanudin. Oleh karena itu, Aru Palaka kemudian lebih memilih bersekutu dengan Belanda.  Kisahnya tidak sesederhana yang ada di  textbook sekolah, bukan?

Bila pun pada masa yang lampau ada kerajaan Majapahit yang wilayahnya meliputi sebagian besar dari wilayah Nusantara, sebenarnya Majapahit itu tidaklah berupa kerajaan yang didasarkan kepada ide suatu bangsa yang bersatu, tetapi lebih berupa suatu imperium. Imperium ini adalah gabungan beragam bangsa atas dasar penaklukan dan upeti, seperti misalnya kalau di luar negeri dulu adalah Ottoman Empire, British Empire atau Russian Empire dan lain-lain. Beragam bangsa ditaklukkan dan kemudian dijadikan negara vasal. Orang Sunda pun pastilah tidak setuju bila Majapahit adalah sebuah negara kebangsaan sebab Gajah Mada dulu menuntut supaya Putri Dyah Pitaloka diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai upeti belaka dan bukan sebagai permaisuri dari suatu kerajaan yang sederajat. Perselisihan itu pun kemudian berakhir dengan Perang Bubat di mana tentara Sunda beserta rajanya sekalian binasa di tangan Gajah Mada. Dan sang putri kemudian menikamkan keris ke dadanya sendiri. Suatu kisah yang tragis di dalam babad tanah Pasundan.

Jadi, ide negara kebangsaan atau nasionalisme yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia itu memang adalah suatu ide baru, yang baru dimulai semenjak awal abad ke-20. Bukan budaya asli warisan nenek moyang. Kata nasionalisme sendiri juga bukan berasal dari Indonesia, tetapi digali dari bumi Eropa. Setelah itu turut dianut oleh Tenno Heika dan kemudian mempengaruhi banyak negara di Asia. Lihat saja di kamus dari mana asal kata nationalism. Apakah asli digali dari Indonesia?

Tetapi, ini bukan berarti ide persatuan Indonesia itu suatu ide yang salah dan kemudian negara kita harus dibubarkan begitu saja. Saya pribadi malah sering bercita-cita untuk mempersatukan bukan hanya kepulauan Indonesia saja, tetapi juga semua ras Melayu mulai dari Madagaskar sampai kepulauan Pasifik. Ada yang berminat mendukung cita-cita saya yang satu ini? Haha… Orang-orang itu kok jadi pada takut.

Jadi, saya tentunya tidak bisa mendukung separatisme yang ada di sebagian wilayah Indonesia. Tetapi, ini bukan berarti saya lalu mendukung kekejaman-kekejaman yang sering terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Seandainya saja sila kedua dan kelima dari Pancasila itu bisa kita kasih pupuk setiap hari, kita sirami setiap pagi, sehingga akhirnya lambat laun bisa mempunyai akar di  tanah Indonesia sini, maka tentunya separatisme dan kekejaman-kekejaman semacam itu tidak perlu terjadi. Tanpa harus dipaksa-paksa dengan bedil pun, sila persatuan Indonesia nanti bisa berjalan sendiri. 


Kalau orang sudah diperlakukan secara adil dan beradab, dan secara sosial dan ekonomi diperlakukan secara adil pula, tiada lagi penghisapan ekonomi di daerah-daerah, baik oleh pemerintahan pusat maupun kapital asing, maka tentunya tak akan pernah ada pemberontakan-pemberontakan semacam itu.

Maksud saya di sini memang untuk sekedar menerangkan supaya kita bisa mengetahui bahwa sila ketiga ini pun tidak digali dari budaya para leluhur yang telah ada semenjak zaman purbakala, itu bohong besar. Baru bermula semenjak berdirinya Boedi Oetomo, itu juga karena pengaruh kemenangan Jepang atas Rusia yang lalu menimbulkan histeria luar biasa di kalangan bangsa-bangsa Asia pada saat itu. 


Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dll sama sekali tidak pernah mengenal dan memperjuangkan kata nasionalisme. Karena kata nasionalisme sendiri memang berasal dari bumi Eropa, bukan Indonesia. Di Eropa saja baru mulai berbenih semenjak masa revolusi Perancis, bukan dari zaman purba Eropa, di mana rakyat tidak lagi diwajibkan untuk mengabdi kepada raja, tetapi mereka diseru untuk menjadi patriot yang berjuang demi negara dan bangsanya seperti yang antara lain terdapat dalam bait-bait La Marseille: Allon enfants de la patrie, le jour de gloire est arrive. Ayo maju para patriot bangsa, hari kejayaanmu telah tiba. Sebelum masa re

volusi Perancis, rakyat Eropa tidak mengenal nasionalisme, mereka cuma disuruh mengabdi kepada tiga hal, yakni God, King and Country. Tiga kata  itulah yang menjadi kata keramat di Eropa selama berabad-abad lamanya.

Bersama dengan bunyi dentuman meriam perang dan derap langkah tentara revolusioner Perancis yang berbaris menggema di segala penjuru Eropa, ide nasionalisme kemudian tersebar ke seluruh Eropa dan semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya penyatuan Jerman oleh Bismark dan Italia oleh Garibaldi pada abad ke-19. Sebelum masa itu, jangankan di Indonesia, bahkan di Eropa sendiri pun ide nasionalisme itu tidak ada dan tidak dikenal. Bisa kita lihat pada kutipan berikut ini:

Nasionalisme milik dunia modern. Sebelum abad ke-18, orang-orang memberikan kesetiaan mereka kepada komunitas mereka, suku, feodal, pangeran, kelompok agama, atau prinsip-prinsip universal lainnya. Borders sehingga bisa diubah tanpa protes populer terhadap pelanggaran integritas nasional. Misalnya, ketika Raja Louis XIV dari Perancis merebut kota kekaisaran bebas dari Strasbourg di Sungai Rhine pada 1681, orang-orang kota itu menerima dia sebagai raja mereka. Pada abad ke-19, namun, sentimen nasionalis yang kuat. Ketika Jerman mencaplok Strasbourg (dan sisanya dari Alsace-Lorraine) pada tahun 1871, warganya merasa dendam pahit pada pemotongan bangsa Perancis. ("Nasionalisme", Grolier Multimedia Encyclopedia).

Bila setelah membaca kutipan di atas tadi ada yang tetap ngeyel menyatakan bahwa nasionalisme itu asli digali dari Indonesia dan sudah ada di sini semenjak zaman purbakala, maka dia adalah pembohong besar. Boleh dia nanti boleh berziarah ke makam Bismarck atau Garibaldi supaya bisa mendapatkan ilham yang lebih benar lagi. Sebab, seperti kita lihat pada kutipan tadi: Nationalism belongs to the modern world, yang artinya adalah nasionalisme itu baru ada semenjak zaman modern. Itu pun berasal dari Eropa pula dan bukan asli digali dari bumi Indonesia. Bila ingin tahu lebih lanjut silakan baca artikel lengkapnya di GME. Atau bisa juga Anda cari artikel atau buku-buku yang lainnya.


 

4. Sila Keempat dengan lambang kepala Banteng

Kemudian kita menginjak sila yang keempat yang berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Dalam istilah populernya, ini sering juga disebut sebagai demokrasi atau musyawarah mufakat. Tapi sialnya, pada zaman orba dulu yang umumnya terjadi adalah memusyawarahkan mufakat. Jadi, mufakatnya sudah ada, yakni disusun oleh satu orang saja, lantas baru dimusyawarahkan secara beramai-ramai di gedung DPR / MPR. Dan setelah itu? Tentu saja akan segera terdengar gaung suara setuju!!! yang sungguh syahdu dan mengharu biru.

Jadi, tradisi musyawarah di dalam kehidupan bernegara pun ternyata belum lama mengakar di sini. Bukan tradisi bangsa Indonesia semenjak zaman purba. Kecuali kalau pada tingkat kampung, atau tingkat RT dan RW. Di atas itu sudah tak dikenal musyawarah mufakat. Malah tradisi bernegara yang ada di sini dahulu adalah sabdo pandhito ratu. Sabda pendeta-raja yang mutlak harus dipatuhi. Tidak ada musyawarah, apalagi perdebatan. Kalau ada yang sampai berani membangkang raja, keris bicara. Bahkan, beberapa raja di Jawa dulu punya kebiasaan untuk mengumpankan para pembangkang ke kandang buaya.

Kata ratu tadi dalam bahasa Jawa artinya adalah raja (king), bukan queen. Dan kata keraton aslinya adalah keratuan, yang berarti tempat berdiamnya ratu (raja). Jadi, jangan ada yang salah terjemah. Kata ratu ini juga dipakai di Fiji untuk menyebut kepala suku mereka. Sedangkan kalau kata raja asalnya adalah dari India, seperti juga kata maharaja.

Absolutisme yang ada di sini dulu itu kurang lebih sama dengan doktrin divine right of kings yang dulu ada di negara-negara Eropa. Raja berkuasa mutlak atas dasar keyakinan bahwa Tuhan sendirilah yang memberinya kekuasaan. Raja tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi langsung kepada Tuhan. Dan semua rakyat wajib mematuhi perintahnya tanpa banyak tanya sebab the king can do no wrong, kata-kata yang dulu sudah pernah Anda dengar waktu pelajaran sejarah di sekolah, bukan? Doktrin politik semacam ini bermula dengan dimahkotainya Pepin I oleh Paus sebagai raja Perancis pada tahun 751. Karena yang memberinya mahkota adalah Paus, yang saat itu dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi, maka raja pun lalu beranggapan bahwa Tuhan sendirilah, bukan rakyat, yang mengangkatnya sebagai raja.

Meski doktrin divine rights of the kings ini sudah digusur di Inggris dan Perancis semasa revolusi di kedua negara tersebut, tapi ia tetap bertahan di German dan Rusia bahkan hingga abad ke-20, dan doktrin ini baru bisa berakhir setelah Kaisar Wilhelm II mengungsi ke Belanda dan Nicholas II beserta keluarganya dibantai kaum Bolshevik. Bagaimana tepatnya divine right of kings yang dianut di Eropa itu bisa kita lihat antara lain pada pidato yang diucapkan oleh Raja James I dari Inggris pada tanggal 21 Maret 1609.

Negara monarki adalah hal supremasi di bumi, karena raja tidak hanya wakil Allah di bumi, dan duduk di atas takhta Allah, tetapi bahkan oleh Allah sendiri mereka disebut Dewa.

Raja-raja yang adil disebut Dewa, untuk itu mereka melaksanakan dengan cara atau kemiripan kekuatan ilahi di bumi. Karena jika Anda akan mempertimbangkan atribut kepada Allah, Anda akan melihat bagaimana mereka setuju dalam pribadi seorang raja. Allah berkuasa untuk menciptakan, atau menghancurkan, membuat atau sekaligus mengulangi di kesenangannya, untuk memberikan hidup atau mengirim mati, untuk menghakimi semua, dan untuk diadili atau bertanggung jawab tidak ada. 


Untuk meningkatkan hal-hal yang rendah, dan untuk membuat hal-hal tinggi rendah pada kesenangan, dan Tuhan adalah baik jiwa dan tubuh akibat. Dan kekuatan seperti memiliki Kings: mereka menciptakan sekaligus mengulangi pelajaran mereka: mereka memiliki kekuatan membesarkan, dan casting bawah: kehidupan dan kematian: hakim atas semua mata pelajaran mereka, dan semua penyebab, namun bertanggung jawab kepada siapapun kecuali Allah saja. 

Mereka memiliki kekuatan untuk meninggikan hal rendah, dan merendahkan hal tinggi, dan membuat mata pelajaran mereka seperti laki-laki di catur. Pion A untuk mengambil uskup atau ksatria, dan menangis atas atau bawah setiap mata pelajaran mereka, seperti yang mereka lakukan uang mereka. Dan untuk raja adalah karena kedua kasih sayang jiwa, dan layanan dari tubuh rakyatnya.

Sungguh hebat sekali bukan pidato Raja James I ini? Ia bahkan menyamakan raja dengan Tuhan. Raja yang besar kepala. Kepalanya yang kebesaran itu pun nampaknya menurun pula pada anaknya, yaitu Charles I, dan baru berhenti membesar setelah dipenggal dengan kapak oleh Oliver Cromwell.

Setelah memperbandingkan sejenak tradisi bernegara di Indonesia dengan Eropa pada zaman dahulu, maka kita kemudian meneruskan kembali kisah sejarah demokrasi di Indonesia. Pada zaman modern, tepatnya pada masa kemerdekaan, sabdo pandhito ratu tentunya secara formal sudah tak dianut lagi karena kita lalu menganut negara yang berbentuk republik. Akan tetapi, itu bukan berarti demokrasi telah berjalan dengan lancar di sini. 

 
Malah setelah pemilu yang bebas pada tahun 1955, demokrasi pun lantas memburam lagi. Boleh dikatakan doktrin sabdo pandhito ratu kemudian berlaku kembali walau tentu tidak disebut secara formal. 

Bila ada yang berani membangkang "sang ratu", maka ia langsung digebuki dan dijebloskan ke dalam bui. Dan tak jarang pula langsung dijebloskan ke kuburan sekalian, tanpa proses pengadilan. Setelah terjadinya gerakan reformasi, demokrasi baru dimulai kembali dengan terseok-seok semenjak delapan tahun kemarin. Itu pun masih dipenuhi dengan beragam kegaduhan dan keributan, baik itu di gedung parlemen maupun kerusuhan di jalanan. 

Maklumlah, bila diukur dengan sejarah hidup manusia, ia baru seusia anak kelas dua SD. Hal semacam itu pun masih ditambah lagi dengan suap-menyuap yang kerap terjadi di DPR maupun DPRD.

Jadi, bila pada setiap penataran P4 disebutkan bahwa musyawarah mufakat itu asli budaya Indonesia, maka itu hanyalah dusta belaka. Bahkan, para penganjur penatarannya sendiri tak paham, apalagi mengamalkan bahan penatarannya. 


Sebagaimana juga banyak bangsa di Eropa dan berbagai tempat lainnya, rakyat Indonesia pun harus bersimbah darah dahulu untuk memperjuangkan musyawarah mufakat alias demokrasi ini. 

Berapa banyak mahasiswa dan rakyat kita yang tewas pada tahun 1966 dan 1998? Juga berapa banyak aktifis demokrasi yang diculik dan kemudian lenyap tanpa jejak? Lenyap tak diketahui rimbanya sampai sekarang. Apakah ini yang namanya pengamalan dari sila kedua? Ataukah pengkhianatan?

Begitulah, demokrasi itu memang bukan budaya warisan yang dikasih gratis oleh para leluhur. Jangan ngawur dong. Dan jangankan di Indonesia, di negara-negara Eropa pun demokrasi bukanlah budaya para leluhur di sana, tapi diperjuangkan dengan penuh bersimbah darah jutaan rakyat Eropa pula. 


Sebagian besar negara Eropa juga masih baru saja belajar berdemokasi, seperti di Jerman Barat (1949), Italia (1946), Spanyol (1975), Portugal (1975). Sedangkan di Rusia dan berbagai negara bekas satelitnya malah baru dimulai pada akhir dekade 80-an. 

Kalau yang sudah agak lama ada di Inggris semenjak abad ke-17 dan di Perancis pada abad ke-18. Tapi, di Perancis pun demokrasi masih diselang-selingi dengan pemerintahan diktator, sedangkan di Inggris monarki tetap berkuasa hingga saat ini, dan kaum republikan pendukung Cromwell  dulu sudah dibantai habis sampai ke akarnya. 

Di beberapa negara Eropa para raja dan ratu juga masih dengan nyamannya duduk di tahta antik mereka hingga zaman twitter dan windows 8 sekarang ini. 

Tidak uptodate tenan bentuk negaranya, lha mereka tidak pernah mau di-update sih. Hitung saja sendiri berapa banyak negara kerajaan di Eropa, bahkan termasuk negara bekas penjajah kita. Belanda kan bukan negara republik, tapi monarki. 

Padahal di Indonesia disebut kata monarki saja rakyat di sini sudah bergidik antipati. Anda ada yang mau Indonesia diubah jadi negara monarki seperti sebagian negara di Eropa? Ah, rhetorical question.

Jadi, di Eropa pun demokrasi harus diperjuangkan dulu dengan bersimbah darah, bukan budaya asli mereka, apalagi sekedar hadiah gratis dari para leluhur mereka. Sebagian besar negara Eropa malah masih baru-baru saja belajar berdemokrasi. Beda jauh dengan propaganda mereka yang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah tradisi orang Eropa sejak zaman purba. Wah, bohong besar juga itu. Lihat di paragraf atas tahun dimulainya demokrasi di masing-masing negara Eropa.  Sebagian besar masih baru-baru saja. Belum ada seabad umurnya.

Sebagaimana kita ketahui, banyak kata-kata yang terkandung di dalam sila keempat ini juga tidak digali dari bumi Indonesia tetapi dari bahasa asing, tepatnya bahasa Arab, termasuk juga kata yang menjadi inti dari sila ini, yaitu kata syura (musyawarah). Kata ini digali dari Surat as-Syura ayat 38 yang berbunyi wa amruhum syura bainahum. 


Artinya adalah : Dan mereka memutuskan permasalahan di antara mereka dengan bermusyawarah. Berasal dari kata dasar syaawara yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kurang lebih berarti to confer atau to consult. Sedangkan kalau majlis syuro artinya adalah parlement. Kata parlement itu derivatif dari kata Perancis parler (berbicara, berunding), yang asalnya lagi dari kata Latin paraulare (discourse).

Karena memang tidak asli digali dari Indonesia inilah sila keempat ini nampaknya memang perlu waktu yang lama juga untuk bisa mengakar di sini walau sudah lama disemboyankan. Bahkan, di tanah asalnya sendiri pun, setelah berlalunya zaman Khulafaur Rasyidin, kata syura ini segera ditindas oleh Bani Umayyah yang kemudian mendirikan negara berbentuk kerajaan. Dan setelah itu turut dilupakan oleh para penguasa di berbagai negara Arab sampai sekarang.


Arti lambang Kepala Banteng 

Lambang banteng digunakan karena banteng merupakan hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah di mana orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu. Namun apa benar Kepala banteng arti kepala banteng ini digali dari bumi Indonesia?

Moloch
Semasa Nabi Musa meninggalkan Bani Israel bersama Nabi Harun, maka disitulah terjadinya suatu peristiwa berpalingnya kaum Bani Israel. Samiri telah mempengaruhi Bani Israel agar kembali menyembah berhala dengan membina patung lembu betina. Kisah ini telah pun dicatatkan dalam al-Quran surah Ibrahim.







 


5. Sila Kelima dengan lambang Padi dan Kapas

Yang terakhir adalah sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam istilah populernya, sila ini bisa disebut juga sebagai sosialisme. Sila terakhir ini adalah sila yang nasibnya sial sekali, bahkan reformasi 1998 kemarin pun tak jua berhasil untuk mewujudkannya. Selama 8 tahun terakhir ini (update: tahun 2013 ini reformasi malah hampir berumur 15 tahun) para penyelenggara negara juga sama sekali tak pernah ada yang nampak punya komitmen untuk mengamalkannya. Lebih sibuk dengan berbagai komitmen yang tak jelas lainnya. Bahkan ada pula yang tindakannya malah menciptakan gap yang lebih lebar lagi. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial pun tetap merajalela di negara kita dan negara kita pun hingga sekarang malah makin dikuasai oleh kapital asing. Belum lagi hutang luar negeri yang bertumpuk hingga ribuan triliun rupiah, dan soal hutang ini tak pernah ada kabar beritanya secuil pun di semua televisi kita. Disembunyikan dari mata publik.

Nampaknya tak banyak yang akan saya katakan lagi untuk sila ini. Selebihnya bisa Anda lihat sendiri saja kondisi sosial ekonomi yang ada di negara kita saat ini. Bila ada tambahan, maka itu hanya satu lagi saja, yaitu sebagaimana sila-sila yang lainnya sebagian besar kata-kata di dalam sila kelima ini yang juga digali dari bahasa asing. Hasil impor, bukan asli negeri kita sendiri.  Ke-adil-an,  kata adil dari bahasa Arab, kata sosial dari bahasa Eropa, kata rakyat dari  bahasa Arab, kata Indonesia dari bahasa Yunani.

Ternyata memang banyak sekali unsur-unsur budaya maupun kosa kata asing yang terlibat di Pancasila. Jadi, Pancasila itu memang tidak murni digali dari bumi Indonesia. Walau demikian, isi dari pancasila itu sendiri sebenarnya baik-baik saja, tapi yang parah itu memang pengamalannya. 

Mengulang pertanyaan yang sudah beberapa kali saya lontarkan di atas tadi : Apakah itu karena isi Pancasila sebagian besar digali dari unsur-unsur asing bahkan termasuk kata panca dan sila itu sendiri, sehingga lalu tidak bisa mengakar di sini? Dan pada kenyataannya memang susah sekali untuk bisa diamalkan baik oleh masyarakat maupun para penyelenggara negara di sini. Bahkan juga tidak pernah diamalkan oleh para penganjurnya yang paling fanatik.

Jadi, saya memang tak menentang unsur-unsur asing. Boleh-boleh saja kita menganut hal-hal yang berasal dari asing asal mau konsekuen mengamalkannya, tidak seperti yang terjadi selama ini. Saya bukan penganut jingoisme dan anti segala hal yang berasal dari asing. Saya ini orang yang cukup terbuka dan liberal. Toh, saya juga penggemar beragam musik, kesenian dan budaya, termasuk baik yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Saya juga suka membaca beragam buku karya penulis asing.

Sebagai wilayah yang terletak di jalur lalu lintas perdagangan internasional, mau tidak mau negara kita memang banyak terpengaruh budaya asing. Itu tidak bisa terhindarkan. Bila pada masa sekarang memang lebih banyak lewat mass media, baik cetak maupun elektronik, maka kalau pada zaman dahulu setiap budaya asing yang masuk ke Indonesia memang pertama-tama masuk melalui jalur perdagangan. 

Itu sudah menjadi resiko kita sebagai negara yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan. Berbeda misalnya dengan negara yang terletak di wilayah seperti Islandia atau Norwegia. Kalau mereka itu paling-paling hanya terpengaruh budaya pinguin atau tradisi beruang kutub.

Jadi, saya memang tak bermaksud membongkar segala yang sudah ada. Saya di sini hanya ingin mengadakan de-indoktrinasi dan de-mitologisasi dari Pancasila. Membahasnya secara rasional dan berdasarkan sejarah yang nyata. 

Bukan membahasnya menurut sejarah maya yang imajinatif belaka seperti yang selama ini ada, juga bukan secara irasional atau indoktrinasi buta seperti yang terjadi pada masa lalu. Hal itu rasanya sudah bukan zamannya lagi. Dengan membahasnya secara rasional dan menurut sejarah yang nyata, maka kita akan menjadi tahu dan benar-benar mengerti bagaimanakah asal mula dan makna dari Pancasila itu secara benarnya.

Oya, tentang kata pancasila tadi, walau kata tersebut hasil impor dari India saya tak masalah. Toh, isi kamus kita memang sejak dulu berisi ratusan kata impor, baik dari Arab, India atau Eropa.  Yang saya permasalahkan adalah bila kata tersebut dikatakan asli digali dari Indonesia, itu jelas salah. Hasil impor dari India kok. Yang asli Indonesia adalah lima dasar. 

Saya juga tidak anti India atau agama Hindu, yang saya permasalahkan adalah sistem kasta yang masih dipraktekkan di India sampai sekarang. Itu adalah penistaan kepada sesama manusia. Untuk yang di Indonesia, kalau saya lihat nampaknya orang Hindu di sini sering merasa ewuh juga dengan ajaran tersebut. 

Lalu mereka membuat istilah seperti sudraning brahmana atau sudraning satria. Tetapi, kita tahu bahwa istilah tersebut tidak ada di India, tanah asal agama Hindu, karena sistem kasta masih berlaku dan diterapkan dengan sangat ketat di sana. Apakah karena antara lain pengaruh ajaran di bawah? Silakan baca kutipan berikut.

Apabila seorang Sudra kebetulan mendengarkan kitab Veda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecorkan timah panas dan malam ke dalam kupingnya; apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Veda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk membaca Veda maka raja harus memotong badannya. (Gotama Smarti: 12)

Mengerikan sekali, bukan? Ajaran yang diskiriminatif dengan ancaman hukuman yang luar biasa kejamnya. Tidak ada istilah sudraning brahmana atau sudraning satria di India sana.

Bila kita bandingan sejenak, di dalam ajaran Islam ada hadits yang menyatakan bahwa, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslimin dan muslimat”. Tanpa peduli apa pun status sosial dan kedudukannya. Tanpa peduli apa pun jenis kelaminnya. Juga tanpa peduli berapa pun usianya. Apalagi bila itu untuk mempelajari ilmu yang ada di dalam kitab suci, sangat dianjurkan bagi siapa saja tanpa peduli apa pun latar belakang orang tersebut.

Bila mau kita gali lebih lanjut lagi, sebenarnya lambang burung Garuda ini kontradiktif juga dengan sistem republik di negara kita sebab burung Garuda adalah lambang dari negara-negara kerajaan pada zaman Hindu-Buddha dulu. Entah siapa dulu yang mengusulkan supaya negara republik ini memakai lambang burung Garuda. 

Tetapi, kalau kita ini mau bicara soal untung, sebenarnya kita ini masih beruntung juga bahwa bukan Kiai Slamet yang diusulkan untuk jadi lambang negara kita. Seandainya saja dulu Kiai Slamet yang terpilih jadi lambang, maka mungkin kita akan benar-benar menjadi bangsa yang selamat.

Para founding fathers kita memang orang-orang yang ahli di dalam ilmu politik dan pergerakan massa, tetapi kalau di dalam bidang agama, sejarah dan filsafat nampaknya sebagian di antara mereka ada yang kurang mendalaminya sehingga bisa membuat kekeliruan-kekeliruan.

Demikian pembahasan saya tentang asal-usul dari Pancasila. Mudah-mudahan ini nanti bisa untuk mengadakan de-indoktrinasi dan demitologisasi dari Pancasila. 

Dan sisa-sisa dari indoktrinasi P4 yang amat sangat digalakkan pada masa lampau itu memang masih ada bekasnya juga hingga saat ini. 

Saya harapkan itu nanti bisa pelan-pelan meluntur sehingga kita nanti bisa mempunyai cara pandang yang lebih cerah di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak lagi tertutup kabut indoktrinasi dan mitologi.

Tidak ada komentar

Posting Komentar