Deradikalisme dan Dekorupsisme

Akhir-akhir ini, kita kerap kali disuguhi berita dan tayangan tentang amuk massa. Di beberapa wilayah tanah air, tak jarang amuk massa disebabkan persoalan sepele. Namun warga atau rakyat dengan mudahnya tersulut emosinya.

Amuk massa juga kerap disulut oleh persoalan laten, kecemburuan sosial. Dan tidak jarang pula, amuk massa juga digerakkan untuk kepentingan politik atau kepentingan kelompok, atau kepentingan yang lainnya.

Yang lebih menyakitkan lagi, amuk massa seringkali juga ditunggangi kelompok massa yang mengatasnamakan agama. Agama seolah-olah dibuat main-main untuk melegitimasikan kepentingan mereka.


Pengertian dan Tujuan Deradikalisme

Sebenarnya istilah radikal sendiri masih banyak dipersoalkan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan bahwa radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, berpikir asasi, dan bertindak ekstrim (pengertian yang biasa digunakan BNPT dalam setiap proyek deradikalisasi-nya). Adapun deradikalisasi, berasal dari kata radikal lalu ditambah “de-“ di depan yang artinya mengurangi atau mereduksi dan kata “-isasi“ di belakang yang artinya proses, cara, atau perbuatan. Jadi deradikalisasi bisa diartikan sebagai upaya untuk mereduksi kegiatan-kegiatan yang berbau radikal atau penuh dengan tindak kekerasan. Sayangnya makna radikal ini telah diokupasi oleh beberapa pihak yang kebetulan memiliki kekuasaan di negeri ini dengan membuat asumsi bahwa radikal itu Islam. Buktinya istilah “fundamental“, “militan“, “garis keras“, ataupun “radikal“ hanya disematkan kepada Islam. Ada Islam radikal-lah, atau Islam garis

keras, Islam fundamental, ataupun Islam militan. Tapi tidak kita temukan Kristen radikal, atau Hindu fundamental, atau Budha militan.

Menurut Prof.Dr.Sarlito Wirawan Sarwono, Ph.D seorang Psikolog dari Universitas Indonesia yang juga penasehat BNPT, radikalisme itu gaya hidup, bukan berasal dari ideologi tententu. Menurut beliau program deradikalisasi tahun 2011 terbilang gagal, karena terjadi “perang ayat“. Beliau mengatakan bahwa lebih efektif menggunakan pendekatan narasi daripada “perang ayat“. Perang ayat yang dimaksud di sini adalah perdebatan masalah dalil-dalil yang ada baik di Al-Qur’an dan As-Sunnah yang digunkan yang berhubungan dengan masalah radikalisasi. Yang sering digunakan biasanya surat Al-Anbiya‘ ayat 107 yang artinya :

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.“

Para penggagas gerakan deradikalisai biasanya menggunakan ayat ini. Bahwa berdasarkan ayat ini Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Rahmatan lil ‘alamin yang dimaksud di sini adalah, Islam sebagai agama yang damai, dan menerima keberagaman beragama, termasuk Islam menerima sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme. Dan ini adalah upaya mereka untuk menjadikan seluruh ummat Islam di Indonesia ke dalam satu penafsiran.

Sedangkan menurut Prof.Dr.Yunahar Ilyas, Lc, M.Ag seorang guru besar ‘Ulumul Qur’an di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, radikal memiliki dua makna, baik itu bermakna positif ataupun bermakna negatif. Adapun makna positif dari radikal adalah menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) dan tidak setengah-setengah. Sedangkan makna negatif dari radikal adalah apabila tidak dapat menerima perbedaan yang ada di antara ummat Islam (perbedaan khilafy seperti masalah Fiqih atau tata cara peribadatan bukan aqidah).

Gerakan deradikalisasi ini dimaksudkan sebagai langkah tepat dan efektif untuk memberangus terorisme hingga ke akar-akarnya. Bapak M. Mahendradatta, advokat ketua dewan pembina tim pengacara Muslim, mengatakan bahwa salah satu tujuan dari upaya deradikalisasi ini adalah mereduksi kegiatan “terorisme“. Yang lucunya hingga saat ini pemaknaan istilah “terorisme“ masih menjadi perdebatan di tingkat internasional. Densu 88 sendiri yang mengurusi masalah terorisme tidak dapat mengartikan kata “terorisme“ secara pas. Dalam presentasinya mereka hanya mendefinisikannya dengan “No global consensus“ atau tidak ada kesepakatan tentang definisinya. Dan selama ini hukumnya hanya ditafsirkan sepihak oleh penguasa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penguasa berhak mengambil keputusan terkait dengan istilah “terorisme“ ini.

Disamping itu, deradikalisasi juga merupakan upaya untuk mereduksi dan mengeliminasi kekerasan yang dilakukan oleh ummat Islam dengan dasar penafsiran agama Islam seperti di atas. Jadi apabila kekerasan itu tidak dilandasi dengan penafsiran agama Islam dan tidak dilakukan oleh umat Islam, maka tidak perlu direduksi. 
Kalau ada orang Islam yang mencoba menutup tempat hiburan dan menjalankan syariat disebut sebagai teroris atau kelompok radikal. Sedangkan orang-orang Kristiani yang membantai ummat Islam di Ambon saat hari raya Iedul Fitri tidak dicap sebagai radikalisme atau terorisme. Begitu juga dengan para bocah Gaza yang mencoba melindungi dirinya dari serangan tentara Israel dengan melempar batu dianggap sebagai tindak kekerasan dan terorisme. Sedangkan tindakan Israel yang setiap detiknya menjatuhkan bom di tanah Gaza dan melukai banyak warga Palestina tidak dianggap sebagai tindak kekerasan. Dan hanya dianggap sebagai upaya pembelaan diri. Kasus penembakan warga sipil oleh aparat tidak dianggap sebagai terorisme. Begitu juga dengan kasus pembantaian di Mesuji yang menewaskan beberapa warga sipil juga tidak dianggap sebagai tindakan radikal.


Ciri-ciri dan Penyebab Radikalisme

Dalam gerakan deradikalisasi yang dicanangkan pemerintah melalui BNPT dan beberapa aktivis Muslim Indonesia, disebutkan beberapa ciri gerakan radikalisme. Beberapa di antaranya adalah :

1. Islam adalah agama komprehensif yang harus mengatur segala aspek kehidupan : sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain. (Bukankah Islam memang agama yang komprehensif dan mengatur semua aspek kehidupan)

2. Ideologi masyarakat Barat sekuler dan materialistik harus ditolak. (Ideologi sekuler sudah seharusnya ditolak oleh ummat Islam. Karena dapat membahayakan aqidah ummat Islam)

3. Mengajak pengikutnya untuk “kembali kepada Islam“ sebagai usaha untuk melakukan perubahan sosial. (Salahkah apabila seorang Muslim selalu kembali dan mendasarkan setiap perubahan yang ia lakukan baik untuk dirinya maupun lingkungannya kepada Islam?)

4. Upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim melalui pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat. (Salahkah apabila diadakan upaya Islamisasi untuk ummat Islam itu sendiri)[1]

Dikatakan pula bahwa radikalisme ini disebabkan oleh dua faktor, internal dan eksternal. Adapun faktor internal berupa kelemahan pengatahuan, baik itu pengetahuan keagamaan, sejarah, ataupun realitas kehidupan. Sedangkan faktor eksternal berupa konspirasi pihak luar terhadap ummat Islam, tidak adanya kebebasan dan tindakan represif pemerintah. Kalau misalkan dua hal ini yang menyebabkan adanya radikalisme, maka alangkah lebih baiknya apabila setiap ummat Islam lebih menguatkan pengetahuan dan amalan keislaman. Juga tidak menuruti dan mendukung konspirasi pihak luar terhadap ummat Islam. Begitu juga dengan konspirasi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap ummat Islam dengan membiayai gerakan Islam liberal di Indonesia.

Sedangkan menurut Densus 88 dalam seminar deradikalisasinya, akar masalah dari terorisme dan tindakan radikalisme adalah masalah ekonomi (kemiskinan), pendidikan yang terbelakang, marginalisasi, pemerintahan yang otoriter, dominasi dari negara super power, globalisasi, tidak adanya single faktor, dan kristalisasi menjadi rasa ketidakadilan. Mayoritas kasus “terorisme“ terjadi karena ketidakpuasan para teroris terhadap kepemerintahan yang ada saat ini.



Korupsi dan Pernak-perniknya

Korupsi bukan hal yang tabu lagi di Indonesia. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan suatu kebiasaan. Bisa dibilang korupsi adalah pencurian secara sistematik atau maling intelektual. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin, corruptio dari kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Dalam KBBI disebutkan korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi dan orang lain. Berdasarkan sudut pandang hukum perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, memperkaya pribadi atau diri sendiri.

Perkembangan korupsi di Indonesia mendorong pemerintah untuk memberantas korupsi. Hal itu dibuktikan dengan dibentuknya lembaga pemerintahan yang dikhususkan mengatasi masalah korupsi. Walau begitu, hingga kini pemberantasan korupsi belum menunjukkan titik terang. KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi sudah berjuang untuk memberantas korupsi, tapi belum sampai ke akarnya. Korupsi sudah menjadi penyakit yang menyebar di seluruh elemen, terutama setelah otonomi daerah diberlakukan. Saat ini, korupsi tidak hanya terjadi di pusat pemerintahan, seperti di masa pemerintahan Soeharto. Tapi sekarang tidak hanya di pusat pemerintahan, jajaran-jajaran di bawah pun ikut-ikutan latah korupsi. Tak heran sekarang di tingkat RT-RW pun terjadi kasus korupsi.

Yang paling miris adalah korupsi pada lembaga-lembaga dan departemen pendidikan. Pemerintah menyediakan dana yang tidak sedikit dengan maksud untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Namun dana-dana yang harusnya dimanfaatkan untuk sekolah-sekolah ataupun lembaga pendidikan yang membutuhkan dana, malah masuk ke kantong pribadi para birokrat di lembaga pendidikan. Dari mulai korupsi di bawah meja, lalu di atas meja, bahkan sampai mejanya pun di bawa.

Menurut Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesian Corruptor Watch (ICW), mengatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah dalam hal memberantas korupsi sejauh ini hanyalah sebatas pencitraan public. Supaya publik tahu bahwa pemerintah sudah bekerja. Salah satu bentuk pencitraannya adalah dengan pembuatan lembaga-lembaga baru seperti KPK, ataupun Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Jika kita perhatikan, masalah tergenting yang saat ini dihadapi Indonesia adalah menjamurnya kasus korupsi. Para koruptor makin bertambah bak jamur di musim hujan. Bahkan Indonesia menduduki peringkat pertama negara terkorup di Asia Tenggara. Berdasarkan riset yang diadakan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong pada Maret 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 16 negara terkorup se-Asia Pasifik. Maka saya pikir akan lebih baik apabila di Indonesia diadakan upaya gerakan dekorupsisasi daripada deradikalisasi. Banyak koruptor yang bisa bebas atau hidup dengan tenang walaupun telah memakan uang Negara yang tidak sedikit.

Namun, lain halnya dengan para da’i yang berjuang menegakkan syariat Islam. Mereka justru dianggap sebagai teroris dan radikalis. Mirisnya para penegak syariat ini dijebloskan ke dalam penjara tanpa bukti yang otentik. Misalnya saja kasus penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang diduga sebagai gembong teroris. Beliau dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan belum terdapat bukti. Akhirnya bukti untuk menangkap beliau pun diada-ada. Sedangkan para koruptor bisa tetap bebas walaupun banyak bukti dan saksi ditemukan. Hebatnya lagi walaupun tinggal di hotel prodeo, ada koruptor yang bisa melancong ke luar negeri menonton pertandingan tenis.

Sepertinya korupsi juga salah satu efek dari penderitaan bangsa Indonesia yang dijajah berabad-abad. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia tertindas dan miskin. Sehingga setelah merdeka, banyak orang yang ingin mendapatkan kekayaan secara instan dan “membalas” nasib buruknya di masa penjajahan. Dan korupsi adalah cara tercepat untuk memperkaya diri. Sogok-menyogok pun menjadi hal yang wajar. Keadilan saat ini bisa dibeli. Kalau dulu ada istilah “maju tak gentar membela yang benar” saat ini telah berubah menjadi “maju tak gentar membela yang bayar.”

Teringat dengan kasus yang menimpa seorang siswa SMK kelas 1 di Palu, Sulawesi Tengah yang mencuri sepasang sandal jepit. Siswa dengan inisial AAL ini diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Sedangkan koruptor yang mencuri uang negara bermilyar-milyar bahkan hingga trilyunan dibiarkan saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal jika dibandingkan apalah artinya sepasang sandal jepit dengan uang negara yang jumlahnya trilyunan yang bisa digunakan untuk memakmurkan masyarakat. Inikah yang dinamakan dengan keadilan?

Padahal pemerintah selalu menggembor-gemborkan untuk kembali kepada Pancasila sebagai asas Negara. Tetapi kenyataannya, pemerintah sendiri belum mengamalkan butir-butir Pancasila itu sendiri. Misalnya saja pada sila kelima yang bunyinya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Seharusnya seluruh warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam keadilan. Sedangkan saat ini keadilan hanya berpihak pada kalangan yang berkuasa dan beruang.

Program “deradikalisasi“ yang dicanangkan oleh BNPT dan beberapa ulama di Indonesia yang awalnya dimaksudkan untuk mempersatukan umat, justru akan menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam. Jika ditelaah lebih dalam, program deradikalisasi ini sama dengan roadmap RAND Corporation yang merupakan NGO (Non Governmental Organization), sebuah LSM dari Amerika Serikat. Yang salah satu program terpopulernya adalah war on terrorism atau perang melawan teroris. Sebagaimana ditulis dalam mnografi terbitan RAND Corporation yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan judul “Building Moderate Muslims Networks“.

Yang sinopsinya :

“Radical and dogmatic interpretations of Islam have gained ground in recent years in many Muslim societies via extensive Islamist networks spanning the Muslim world and the Muslim Diaspora communities of North America and Europe. Although a majority throughout the Muslim world, moderates have not developed similar networks to amplify their message and to provide protection from violence and intimidation. With considerable experience fostering networks of people committed to free and democratic ideas during the Cold War, the United States has a critical role to play in leveling the playing field for Muslim moderates. The authors derive lessons from the U.S. and allied Cold War network-building experience, determine their applicability to the current situation in the Muslim world, assess the effectiveness of U.S. government programs of engagement with the Muslim world, and develop a “road map” to foster the construction of moderate Muslim networks.”[2]

Yang terjemahannya antara lain :

Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah mendapatkan tempat dalam beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam melalui jaringan Islam dunia dan Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan Eropa. Meskipun mayoritas di seluruh dunia Muslim, kaum moderat belum mengembangkan jaringan yang sama untuk memperkuat pesan mereka dan untuk memberikan perlindungan dari kekerasan dan intimidasi. 

Dengan pengalaman yang cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen untuk ide-ide bebas dan demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran penting sebagai pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat. 

Para penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan bangunan pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di dunia Islam, menilai efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan dunia Muslim, dan mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan Muslim moderat.

Pemerintah dan jajarannya seharusnya berlaku adil dan tidak bersikap ambivalen. Proyek deradikalisasi yang dicanangkan BNPT dibiayai dengan APBN yang menghabiskan biaya sekitar 470 milyar rupiah. Buku-buku yang berkaitan dengan upaya deradikalisasi dibagikan dan disebarluaskan secara bebas. 

Sedangkan upaya MUI Kota Surakarta untuk meng-counter gerakan deradikalisasi tidak dibiayai. Bahkan buku-buku yang disebarkan oleh MUI Kota Surakarta ditarik dari peredaran dan dilarang untuk disebarkan. Ini membuktikan bahwa pemerintah telah bersikap ambilvalen dan tidak fair.

Padahal dalam UU No 1/PNPS/1965 dan juga ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh UU RI No.12 Tahun 2005, kebebasan individu seseorang untuk meyakini keyakinan, baik agama maupun tafsir tertentu tidak boleh dicampuri apalagi oleh kekuasaan Negara. Dalam pasal 18 ayat 4 yang berbunyi : “Negara pihak dalam konvenan ini berjanji menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan sendiri.“

Padahal negara dilarang untuk ikut campur dalam forum internum (keyakinan) masyarakatnya sesuai dengan UU RI No. 12 tahun 2005. Yang tidak boleh diganggu oleh negara adalah forum internum (keyakinan). Berarti apabila ada orang yang nungging-nungging menyembah kursi negara tidak boleh mencampurinya. 

Yang menjadi masalah adalah apabila orang yang menyembah kursi tadi mulai memasuki ranah forum eksternum (mencampuri dan mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang dia yakini). Apalagi kalau sudah mencampuri keyakinan orang lain dan memaksakan orang lain untuk meninggalkan keyakinannya dan mengikuti keyakinan lain.

Begitu juga apabila negara memaksakan satu penafsiran dalam suatu keyakinan. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1/PNPS/1965 pasal 1 disebutkan bahwa : “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan kegamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.“

Wallahu ta’ala a’lam

_______________________
Sumber :
1. “Kritik Evaluasi dan Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang diterbitkan oleh MUI Kota Surakarta
2. Seminar “Meniti dan Mencegah Gerakan Radikalisme di Kampus” yang diadakan di Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, hari Sabtu (03/03/2012)
3.  Monografi "”Building Moderate Muslim Network” yang ditulis oleh Angel rabasa, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, dan Peter Sickle yang diterbitkan oleh RAND Corporation.
[1] “Kritik Evaluasi dan Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia“ yang diterbitkan oleh MUI Kota Surakarta
[2] Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle, “Building Moderate Muslim Network“, (RAND Corporation:2007)

Tidak ada komentar

Posting Komentar