Pernah mendengar tentang sebuah tempat di mana orang-orang menyampaikan keluhan-keluhannya, doa-doanya, harapan-harapannya, hingga semua hal yang ada di pikirannya, ia tumpahkan di tempat itu? Pernah? Saya tidak sedang membicarakan masjid. Tempat yang saya maksud ini adalah sebuah tembok.
Bagaimana? Sudah tahu?
Ya, tempat itu bernama Tembok Ratapan (Wailing Wall). Tembok Ratapan terletak di Palestina dan kini dicaplok oleh Israel. Terlepas dari kontroversi akar sejarahnya yang diklaim sebagai bagian dari Haikal Sulaiman ataupun indikasi kuatnya propaganda zionis untuk menguasai al-Aqsa dan legitimasi politik atas pendudukan mereka di Al-Aqsa, saat ini masyarakat internasional mengenalnya sebagai Tembok Ratapan.
Tembok Ratapan adalah tempat yang dianggap penting dan suci oleh orang Yahudi. Awalnya ia hanya dikenal sebagai Tembok Barat, tetapi belakangan disebut "Tembok Ratapan" (Wailing Wall) karena di sana orang Yahudi berdoa dan meratapi dosa-dosa mereka dengan penuh penyesalan. Selain berdoa dan meratap, mereka juga meletakkan doa mereka yang ditulis pada sepotong kertas yang disisipkan pada celah-celah dinding itu. Mereka juga berdoa dan mengharapkan datangnya Messiah sang penyelamat.
Tembok ratapan itu kini masih berdiri, dan masih banyak orang datang ke sana untuk berdoa dan meratap sekaligus menuliskan harapan-harapannya lalu menyelipkannya ke dinding-dinding tembok itu. Nah, kini ada sebuah tembok baru yang dibuat di luar tembok ratapan itu. Jika yang datang ke tembok ratapan sebagian besar adalah orang-orang Yahudi, maka di tembok baru itu, yang datang meratap bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi juga orang-orang Muslim dan orang-orang umum. Mereka dengan leluasa meratap, mengeluarkan keluh kesahnya, menuliskan harapan-harapannya, dan menghaturkan doa-doanya. Bahkan, jika Tembok Ratapan di Palestina hanya sedikit pengunjungnya, itu pun tidak setiap hari, maka tembok yang baru ini selalu dipenuhi oleh pengunjung dari segala penjuru dunia tiap harinya. Bahkan ada yang setiap hari tidak pernah meninggalkan tembok baru ini saking khusyuknya ibadah mereka di tempat itu.
Meski begitu, ia tidak pernah sesak, para pengunjungnya bisa dengan leluasa mengunjungi tembok-tembok itu. Bahkan, mereka diberikan kemudahan dengan dibebaskannya mereka membuat privatisasi pada sebagian tembok tertentu. Mereka bisa menuliskan harapannya, menyelipkan keluh kesah dan doa-doa panjangnya di dinding-dinding tembok itu, bahkan kini mereka juga dapat menyelipkan foto-foto diri mereka. Mereka juga dapat berinteraksi dengan pengunjung lain yang juga menjadi peratap di tembok itu. Kadang, mereka saling bertukar komentar atas keluhan, harapan, doa, atau sekadar celoteh kecil yang disisipkan di dinding mereka. Begitu mudah, begitu akrab, dan begitu alami…
Ya.. tahukah kalian? Kini, tembok ratapan itu bernama Facebook. Di Facebook, kita mengenal istilah wall / dinding. Di sana kita biasa mencurahkan isi kepala kita, harapan, doa dan sebagainya. Secara konseptual, ini sama dengan konsep tembok ratapannya orang yahudi. Bedanya, tembok ratapan kita itu adalah tembok maya, sementara tembok ratapan orang Yahudi itu bersifat nyata.
Ya, di sini kita bisa melihat bagaimana orang Yahudi itu mengamalkan ajaran agamanya, bahkan sampai di dunia maya. Bukankah pemilik dan penggagas facebook ini adalah orang Yahudi?
Nah, selamat datang di era peribadatan virtual. Tetapi bukan itu saja, dinding-dinding itu kini memiliki banyak nama baru… ia bisa jadi MP, Twitter, dsb..
Namun, satu hal yang perlu diingat sebenarnya adalah, sebuah alat sejatinya bisa berguna sebaik ia bisa merugikan. Tergantung dari siapa yang memanfaatkan. Just be wise...
Bagaimana? Sudah tahu?
Ya, tempat itu bernama Tembok Ratapan (Wailing Wall). Tembok Ratapan terletak di Palestina dan kini dicaplok oleh Israel. Terlepas dari kontroversi akar sejarahnya yang diklaim sebagai bagian dari Haikal Sulaiman ataupun indikasi kuatnya propaganda zionis untuk menguasai al-Aqsa dan legitimasi politik atas pendudukan mereka di Al-Aqsa, saat ini masyarakat internasional mengenalnya sebagai Tembok Ratapan.
Tembok Ratapan adalah tempat yang dianggap penting dan suci oleh orang Yahudi. Awalnya ia hanya dikenal sebagai Tembok Barat, tetapi belakangan disebut "Tembok Ratapan" (Wailing Wall) karena di sana orang Yahudi berdoa dan meratapi dosa-dosa mereka dengan penuh penyesalan. Selain berdoa dan meratap, mereka juga meletakkan doa mereka yang ditulis pada sepotong kertas yang disisipkan pada celah-celah dinding itu. Mereka juga berdoa dan mengharapkan datangnya Messiah sang penyelamat.
Tembok ratapan itu kini masih berdiri, dan masih banyak orang datang ke sana untuk berdoa dan meratap sekaligus menuliskan harapan-harapannya lalu menyelipkannya ke dinding-dinding tembok itu. Nah, kini ada sebuah tembok baru yang dibuat di luar tembok ratapan itu. Jika yang datang ke tembok ratapan sebagian besar adalah orang-orang Yahudi, maka di tembok baru itu, yang datang meratap bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi juga orang-orang Muslim dan orang-orang umum. Mereka dengan leluasa meratap, mengeluarkan keluh kesahnya, menuliskan harapan-harapannya, dan menghaturkan doa-doanya. Bahkan, jika Tembok Ratapan di Palestina hanya sedikit pengunjungnya, itu pun tidak setiap hari, maka tembok yang baru ini selalu dipenuhi oleh pengunjung dari segala penjuru dunia tiap harinya. Bahkan ada yang setiap hari tidak pernah meninggalkan tembok baru ini saking khusyuknya ibadah mereka di tempat itu.
Meski begitu, ia tidak pernah sesak, para pengunjungnya bisa dengan leluasa mengunjungi tembok-tembok itu. Bahkan, mereka diberikan kemudahan dengan dibebaskannya mereka membuat privatisasi pada sebagian tembok tertentu. Mereka bisa menuliskan harapannya, menyelipkan keluh kesah dan doa-doa panjangnya di dinding-dinding tembok itu, bahkan kini mereka juga dapat menyelipkan foto-foto diri mereka. Mereka juga dapat berinteraksi dengan pengunjung lain yang juga menjadi peratap di tembok itu. Kadang, mereka saling bertukar komentar atas keluhan, harapan, doa, atau sekadar celoteh kecil yang disisipkan di dinding mereka. Begitu mudah, begitu akrab, dan begitu alami…
Ya.. tahukah kalian? Kini, tembok ratapan itu bernama Facebook. Di Facebook, kita mengenal istilah wall / dinding. Di sana kita biasa mencurahkan isi kepala kita, harapan, doa dan sebagainya. Secara konseptual, ini sama dengan konsep tembok ratapannya orang yahudi. Bedanya, tembok ratapan kita itu adalah tembok maya, sementara tembok ratapan orang Yahudi itu bersifat nyata.
Ya, di sini kita bisa melihat bagaimana orang Yahudi itu mengamalkan ajaran agamanya, bahkan sampai di dunia maya. Bukankah pemilik dan penggagas facebook ini adalah orang Yahudi?
Nah, selamat datang di era peribadatan virtual. Tetapi bukan itu saja, dinding-dinding itu kini memiliki banyak nama baru… ia bisa jadi MP, Twitter, dsb..
Namun, satu hal yang perlu diingat sebenarnya adalah, sebuah alat sejatinya bisa berguna sebaik ia bisa merugikan. Tergantung dari siapa yang memanfaatkan. Just be wise...
Tidak ada komentar
Posting Komentar