Interpretasi Benang Merah Sholat Muhammad dan Adhama di Buku "ARKHYTIREMA"
Judul Buku : ARKHYTIREMA
Pengarang : Dicky Zainal Arifin
Halaman : 346 Halaman + 77 Halaman Glosarium
Penerbit : Lemurian Production
Tahun Terbit : April 2011
Pengarang : Dicky Zainal Arifin
Halaman : 346 Halaman + 77 Halaman Glosarium
Penerbit : Lemurian Production
Tahun Terbit : April 2011
Dalam teori sejarah disebutkan bahwa bangunan peradaban atau kebudayaan memiliki banyak tafsir atau interpretasi. Struktur interpretasi tersebut berada pada wilayah otonomisasi “kebenaran” yang dipahami saat itu. Artinya, eksistensi sebuah “kebenaran” pun pada masanya, memiliki interpretasi (penafsiran) yang berbeda-beda. Keadaan ini disebabkan system kehidupan personal yang ada saat itu cenderung berbeda dalam pengalaman psikologis, social, agama, dan politik. Keadaan ini ditambah lagi dengan munculnya sebuah bentuk “kontinyuitas” atau reinterpretasi yang tidak pernah berhenti, sehingga merubah pemahaman terhadap objek yang diinterpretasi. Efeknya, terjadi perspektif perubahan terhadap system social kehidupan.
Perubahan-perubahan ini yang disebut Michel Foucault, seorang Postmodernis Perancis yang dikutip Muhammad Abid Aljabiri (Budayawan dan Pemikir Islam Asal Maghribi, Maroko), sebagai Struktur Bangunan yang tidak berdiri sendiri. Keterkaitan sejarah pada masanya tidak sepenuhnya indah, romantis, atau ideal. Sejarah mesti didudukan dalam sebuah dialektika atau sebuah wacana yang memunculkan tarik ulur kepentingan kekuasaan.
Istilah sejarah ditulis oleh para “pemenang” perang adalah sebuah realitas historis (genealogi) dimana kekuasaan memiliki peran penting dalam “menstabilisasi”, “mengkondisikan”, atau “mendudukan” kepentingan mereka dalam sebuah system kehidupan, baik secara ideologis maupun implementasi. Terkadang kekuasaan tidak sedikit melakukan “penekanan”, “pemaksaan”, intimidasi, agar tercipta sebuah kekuasaan yang status quo. Celakanya, keadaan ini dibangun dalam sebuah epistemologi (system pengetahuan) yang sangat apik, structural, dan sistemik sehingga mempengaruhi seluruh system kehidupan.
Reinterpretasi yang dilakukan berulang-ulang, tanpa henti, ditambah munculnya konflik kepentingan, maka bangunan objek interpretasi tersebut akan “memendar” kearah interpretasi yang memungkinkan jauh dari makna asalnya. Tentunya, keadaan ini dilakukan atas sebuah kepentingan kekuasaan yang secara sadar “dilesakan” dalam sebuah perencanaan epistemologi (sitem pengetahuan).
Mungkin penulis mencoba menganalogikan Islam (teroris) sebagai sebuah contoh fenomena bangunan sejarah yang telah disebutkan di atas tadi.
Masyarakat dunia dulu menganggap ISLAM merujuk pada sebuah system agama yang santun, ramah, berahlak mulia, maju, serta menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan rasionalisme. Faktanya, ISLAM dapat merubah struktur masyarakat Arab Paganis yang kasar, suka berperang menjadi sebuah system masyarakat yang sadar akan perbedaan, sadar akan eksistensi kekhalifahan (pemimpin di muka bumi), serta menjadi masyarakat yang maju baik secara ilmu maupun teknologi.
Bangunan sejarah itu bertahan lama, karena saat ini, keadaan tersebut berubah secara drastis. Islam digambarkan sebuah agama pembunuh, kasar, bahkan teroris. Pencitraan tersebut dilakukan secara sadar untuk membangun sebuah interpretasi ulang atas bangunan Islam sebenarnya. Bahkan dilakukan sangat massif, baik melalui media elektornik maupun media cetak, sehingga konsumsi masyarakat terus menerus (tanpa henti) “dipaksa”, “ditekan”, bahkan “dibrain wash” agar melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) atas Islam. Ternyata berhasil!! Islam menjadi sebuah agama yang menyeramkan, bahkan ditakuti oleh pemeluknya sendiri.
Bangunan sejarah ini, ternyata tidak hanya dilakukan pada masa Agama sekarang, tetapi dilakukan setiap masa agama-agama besar yang diturunkan ke muka bumi.
Mungkin anggapan “Agama benar pada masanya” nampaknya bukan sebuah slogan semata. Sejatinya, sampai sekarang agama yang dibawa MUSA pada masanya memiliki struktur bangunan kesejarahan yang benar, begitu juga ISA memiliki struktur bangunan kesejarahan yang benar, persoalannya apakah selama ini masyarakat dunia sadar bahwa ternyata bangunan (sejarah) agama mereka mengalami reinterpretasi yang “memendar” jauh dari kebenaran yang dibawa oleh Nabi-nabinya.
Pada kasus ini, ternyata agama-agama semitis tersebut memiliki nasib yang sama. Mengalami sebuah reinterpretasi (baik itu pasif or aktif) yang dilakukan setiap waktu, tanpa henti, sehingga menyebabkan bangunan sejarah yang berbeda dari sejatinya.
Lalu, bagaimanakah fenomena sebelum IBRAHIM sebagai perintis jalan besar agama-agama semitis? Apakah sama, mengalami perubahan interpetasi? Bagaimana kondisi system agama atau simbol ibadah atau teknis ibadah pada masa ADHAMA?
Pertanyaan ini sangat menarik, karena sampai saat ini, Umat Islam (mungkin) belum ada yang melakukan kajian atau bahkan penelitian secara khusus mengenai “titik temu” agama HANIF ADHAMA hingga ajaran HANIFnya IBRAHIM, MUSA, ISA, hingga MUHAMMAD. Padahal MUHAMMAD sering mengatakan melakukan “penyempurnaan” teknis ibadah kepada Sang Pencipta (SHOLAT). Bahkan QUR’AN sendiri mengatakan AL YAUMA AKMALTU (pada hari ini telah aku sempurnakan….), yang berarti bangunan sejarah sebelumnya (bukan tidak sempurna), namun karena telah mengalami reinterpretasi yang “memendar” jauh dari sejatinya, maka MUHAMMAD mengembalikan teknis ibadah tersebut ke keadaan SEJATINYA, dengan melakukan tambahan-tambahan gerakan yang diberikan contoh sendiri oleh MUHAMMAD. (SHOLLU KAMA ROAYTUMUUNI USHOLLI, Sholatlah kalian seperti kalian melihat gerakan Sholat yang dilakukan olehKu).
Lalu bagaimana SHOLAT yang diajarkan ADHAMA?
Pertanyaan ini yang paling menarik, karena istilah SHOLAT tidak ditemukan pada masa ADHAMA. Sebab SHOLAT adalah Bahasa Arab yang redaksinya baru muncul beberapa puluh ribu tahun kemudian. Dalam Bahasa Arab, secara etimologi (asal usul kata) SHOLAT yaitu, SHOLLA-YUSHOLLI=DA’AA-YAD’UU artinya berdo’a. Sedangkan sesuai terminologi (atau istilah) adalah sebuah pekerjaan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Jika kita menganggap ajaran HANIF ADHAMA sinkron dengan MUHAMMAD, tentu ada kesesuaian-kesesuaian teknis ibadah SHOLAT. Lalu apa istilah SHOLAT saat ADHAMA menyebarkan ajaran HANIF?
Mengutip Novel ARKHYTIREMA, karangan Dicky Zainal Arifin halaman 62-76 dijelaskan sebuah symbol ibadah yang diajarkan ADHAMA secara turun temurun. Uniknya, setiap istilah tersebut memiliki filosofi gerakan yang kesemuanya mendudukan proses KETAUHIDAN kepada Sang Pencipta (ALLOH SWT). KETAUHIDAN tersebut divisualisasi dalam sebuah system kehidupan, sehingga setiap gerakan memiliki MAKNA utuh dan total yang langsung dipraktekan dalam kehidupan.
Dalam Novel itu, pengarang memang tidak menyebutkan secara langsung padanan REDAKSI bahasa yang sama dengan SHOLAT, namun dalam hal ini, penulis mencoba mengkorelasikan (mengubungkan) bangunan teknis ibadah ADHAMA secara simbolik yang memiliki kemiripan GERAKAN bahkan MAKNA dengan SHOLAT. ADHAMA menurut Novel itu secara turun temurun mengajarkan WASKITA, IRAADA, SATYA, HAMBALAA, NAARITHA, UMADITHA, atau jika diambil hurup depannya yang kemudian disatukan ke dalam satu kata menjadi WISHNU.
WASKITA adalah sebuah prinsip dimana kita mewaspadai nafsu-nafsu yang ada di dalam diri kita. Bagaimana nafsu tersebut secara cerdas membuat semua hal yang buruk tentang diri kita menjadi indah dan terlihat baik, dalam artian kita selalu membuat pembenaran-pembenaran terhadap kesalahan yang kita buat. WASKITA ini berlaku ke dalam diri kita dan juga keluar diri kita. Kewaspadaan ini adalah kewaspadaan universal. WASKITA akan membuat nafsu menjadi alat untuk kemajuan, bukan nafsu menjadi alat untuk mencari kesenangan dimana kita selalu ingin mencari enaknya sendiri. Sering tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain. WASKITA ini hanya bisa dicapai apabila kita benar-benar berfikir dengan tanpa beban untung dan rugi serta tanpa melibatkan enak atau tidak enak ketika melakukan sesuatu. WASKITA mengajarkan kita hanya memberi, tak harap kembali.
WASKITA, bentuknya tangan satu menempel di dada, satu di perut dengan dada tegak.
Kemudian, IRAADA. Yaitu kembali kepada Sang Pencipta. Segala sesuatu tidak pernah kita miliki secara pribadi. Semua yang datang dari Sang Pencipta akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Semua yang dimiliki oleh manusia hanyalah ujian.Tidak ada kepentingan lain, kecuali kita bekerja untuk Sang Pencipta. Karena kita diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Bentuk symbol dari IRAADA adalah seperti RUKU’.
SATYA, artinya konsisten pada satu jalan, yaitu jalan Sang Pencipta. Posisi SATYA, tangan di samping badan berdiri tegak (I’ITIDAL). Posisi tersebut dimaksudkan agar kita benar-benar tidak melenceng dari jalan Sang Pencipta dan kita tidak akan berpindah kepada ajaran yang menyesatkan.
Selanjutnya adalah HAMBAALA. Adalah penyerahan total kepada Sang Pencipta tanpa syarat, dengan posisi SUJUD tetapi tangan lurus ke depan. Itu adalah symbol kepasrahan yang sangat total. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi kekhawatiran, tidak ada lagi tawar-menawar didalam memasrahkan diri kepada Sang Pencipta.
NAARITHA, adalah satu sikap dimana kita akan dihadapkan pada suatu keadaan bersimpuh di hadapan Sang Pencipta dengan posisi seperti duduk di antara dua sujud (IFTIROSY). Itu adalah symbol dimana kita akan dimintai pertanggungjawaban kepada Sang Maha Kuasa dan kita akan dihadapkan kepada pengadilan yang seadil-adilnya. Tidak ada hakim yang Maha Adil selain Sang Pencipta.
UMADITHA adalah sikap menerima dari semua keputusan Sang Pencipta tanpa protes. Jadi, semua keputusan akhir, apapun yang kita lakukan, terkembali lagi kepada Sang Pencipta, baik di dunia maupun di akhirat (TAWARRUK).
Terlepas dari bangunan sejarah sekarang yang memaknai WISHNU sebagai seorang dewa, penulis tidak bermaksud menyinggung atau menyamakan bangunan pemahaman yang sudah ada sekarang, karena seperti yang penulis sampaikan di atas, bahwa bangunan-bangunan sejarah tersebut multi interpretasi, banyak tafsir, sehingga bangunan sejarah pada masanya tidak selamanya utuh. Terkadang ada bangunan sejarah yang dilebih-lebihkan, bahkan terkadang sering juga dikurangi.
Lagi-lagi pernyataan sejarah ditulis oleh para “pemenang” perang tidak dapat dilihat sebelah mata. sebab bisa jadi sejarah saat itu mengalami reinterpertasi tanpa henti terhadap WISHNU. Bangunan sejarah ini yang tanpa disadari berjalan setiap waktu, sehingga merubah pemahaman masyarakat. Seiring dengan waktu, kesadaran kolektif ini terus terbangun dalam sebuah system social, ekonomi, politik, dan agama, sehingga muncul bangunan baru pemahaman terhadap interpretasi tersebut. Bangunan-bangunan baru tersebut tidak berdiri sendiri, ada system yang saling mendukung atau saling menopang untuk memperkuat bangunan tersebut menjadi status quo.
Alhasil, artikel ini mudah-mudahan menjadi sebuah perenungan dalam membuka mata hati untuk lebih terbuka dalam mengkaji dan meneliti kesesusian (benang merah) sejarah Ajaran HANIF ADHAMA hingga MUHAMMAD. Harapan ini tentunya bukan sebuah dekonstruksi, apalagi destruksi, namun lebih pada upaya menata kembali bangunan sejarah manusia atau benang merah tadi sebagai KHALIFAH di muka bumi ini.
Perubahan-perubahan ini yang disebut Michel Foucault, seorang Postmodernis Perancis yang dikutip Muhammad Abid Aljabiri (Budayawan dan Pemikir Islam Asal Maghribi, Maroko), sebagai Struktur Bangunan yang tidak berdiri sendiri. Keterkaitan sejarah pada masanya tidak sepenuhnya indah, romantis, atau ideal. Sejarah mesti didudukan dalam sebuah dialektika atau sebuah wacana yang memunculkan tarik ulur kepentingan kekuasaan.
Istilah sejarah ditulis oleh para “pemenang” perang adalah sebuah realitas historis (genealogi) dimana kekuasaan memiliki peran penting dalam “menstabilisasi”, “mengkondisikan”, atau “mendudukan” kepentingan mereka dalam sebuah system kehidupan, baik secara ideologis maupun implementasi. Terkadang kekuasaan tidak sedikit melakukan “penekanan”, “pemaksaan”, intimidasi, agar tercipta sebuah kekuasaan yang status quo. Celakanya, keadaan ini dibangun dalam sebuah epistemologi (system pengetahuan) yang sangat apik, structural, dan sistemik sehingga mempengaruhi seluruh system kehidupan.
Reinterpretasi yang dilakukan berulang-ulang, tanpa henti, ditambah munculnya konflik kepentingan, maka bangunan objek interpretasi tersebut akan “memendar” kearah interpretasi yang memungkinkan jauh dari makna asalnya. Tentunya, keadaan ini dilakukan atas sebuah kepentingan kekuasaan yang secara sadar “dilesakan” dalam sebuah perencanaan epistemologi (sitem pengetahuan).
Mungkin penulis mencoba menganalogikan Islam (teroris) sebagai sebuah contoh fenomena bangunan sejarah yang telah disebutkan di atas tadi.
Masyarakat dunia dulu menganggap ISLAM merujuk pada sebuah system agama yang santun, ramah, berahlak mulia, maju, serta menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan rasionalisme. Faktanya, ISLAM dapat merubah struktur masyarakat Arab Paganis yang kasar, suka berperang menjadi sebuah system masyarakat yang sadar akan perbedaan, sadar akan eksistensi kekhalifahan (pemimpin di muka bumi), serta menjadi masyarakat yang maju baik secara ilmu maupun teknologi.
Bangunan sejarah itu bertahan lama, karena saat ini, keadaan tersebut berubah secara drastis. Islam digambarkan sebuah agama pembunuh, kasar, bahkan teroris. Pencitraan tersebut dilakukan secara sadar untuk membangun sebuah interpretasi ulang atas bangunan Islam sebenarnya. Bahkan dilakukan sangat massif, baik melalui media elektornik maupun media cetak, sehingga konsumsi masyarakat terus menerus (tanpa henti) “dipaksa”, “ditekan”, bahkan “dibrain wash” agar melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) atas Islam. Ternyata berhasil!! Islam menjadi sebuah agama yang menyeramkan, bahkan ditakuti oleh pemeluknya sendiri.
Bangunan sejarah ini, ternyata tidak hanya dilakukan pada masa Agama sekarang, tetapi dilakukan setiap masa agama-agama besar yang diturunkan ke muka bumi.
Mungkin anggapan “Agama benar pada masanya” nampaknya bukan sebuah slogan semata. Sejatinya, sampai sekarang agama yang dibawa MUSA pada masanya memiliki struktur bangunan kesejarahan yang benar, begitu juga ISA memiliki struktur bangunan kesejarahan yang benar, persoalannya apakah selama ini masyarakat dunia sadar bahwa ternyata bangunan (sejarah) agama mereka mengalami reinterpretasi yang “memendar” jauh dari kebenaran yang dibawa oleh Nabi-nabinya.
Pada kasus ini, ternyata agama-agama semitis tersebut memiliki nasib yang sama. Mengalami sebuah reinterpretasi (baik itu pasif or aktif) yang dilakukan setiap waktu, tanpa henti, sehingga menyebabkan bangunan sejarah yang berbeda dari sejatinya.
Lalu, bagaimanakah fenomena sebelum IBRAHIM sebagai perintis jalan besar agama-agama semitis? Apakah sama, mengalami perubahan interpetasi? Bagaimana kondisi system agama atau simbol ibadah atau teknis ibadah pada masa ADHAMA?
Pertanyaan ini sangat menarik, karena sampai saat ini, Umat Islam (mungkin) belum ada yang melakukan kajian atau bahkan penelitian secara khusus mengenai “titik temu” agama HANIF ADHAMA hingga ajaran HANIFnya IBRAHIM, MUSA, ISA, hingga MUHAMMAD. Padahal MUHAMMAD sering mengatakan melakukan “penyempurnaan” teknis ibadah kepada Sang Pencipta (SHOLAT). Bahkan QUR’AN sendiri mengatakan AL YAUMA AKMALTU (pada hari ini telah aku sempurnakan….), yang berarti bangunan sejarah sebelumnya (bukan tidak sempurna), namun karena telah mengalami reinterpretasi yang “memendar” jauh dari sejatinya, maka MUHAMMAD mengembalikan teknis ibadah tersebut ke keadaan SEJATINYA, dengan melakukan tambahan-tambahan gerakan yang diberikan contoh sendiri oleh MUHAMMAD. (SHOLLU KAMA ROAYTUMUUNI USHOLLI, Sholatlah kalian seperti kalian melihat gerakan Sholat yang dilakukan olehKu).
Lalu bagaimana SHOLAT yang diajarkan ADHAMA?
Pertanyaan ini yang paling menarik, karena istilah SHOLAT tidak ditemukan pada masa ADHAMA. Sebab SHOLAT adalah Bahasa Arab yang redaksinya baru muncul beberapa puluh ribu tahun kemudian. Dalam Bahasa Arab, secara etimologi (asal usul kata) SHOLAT yaitu, SHOLLA-YUSHOLLI=DA’AA-YAD’UU artinya berdo’a. Sedangkan sesuai terminologi (atau istilah) adalah sebuah pekerjaan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Jika kita menganggap ajaran HANIF ADHAMA sinkron dengan MUHAMMAD, tentu ada kesesuaian-kesesuaian teknis ibadah SHOLAT. Lalu apa istilah SHOLAT saat ADHAMA menyebarkan ajaran HANIF?
Mengutip Novel ARKHYTIREMA, karangan Dicky Zainal Arifin halaman 62-76 dijelaskan sebuah symbol ibadah yang diajarkan ADHAMA secara turun temurun. Uniknya, setiap istilah tersebut memiliki filosofi gerakan yang kesemuanya mendudukan proses KETAUHIDAN kepada Sang Pencipta (ALLOH SWT). KETAUHIDAN tersebut divisualisasi dalam sebuah system kehidupan, sehingga setiap gerakan memiliki MAKNA utuh dan total yang langsung dipraktekan dalam kehidupan.
Dalam Novel itu, pengarang memang tidak menyebutkan secara langsung padanan REDAKSI bahasa yang sama dengan SHOLAT, namun dalam hal ini, penulis mencoba mengkorelasikan (mengubungkan) bangunan teknis ibadah ADHAMA secara simbolik yang memiliki kemiripan GERAKAN bahkan MAKNA dengan SHOLAT. ADHAMA menurut Novel itu secara turun temurun mengajarkan WASKITA, IRAADA, SATYA, HAMBALAA, NAARITHA, UMADITHA, atau jika diambil hurup depannya yang kemudian disatukan ke dalam satu kata menjadi WISHNU.
WASKITA adalah sebuah prinsip dimana kita mewaspadai nafsu-nafsu yang ada di dalam diri kita. Bagaimana nafsu tersebut secara cerdas membuat semua hal yang buruk tentang diri kita menjadi indah dan terlihat baik, dalam artian kita selalu membuat pembenaran-pembenaran terhadap kesalahan yang kita buat. WASKITA ini berlaku ke dalam diri kita dan juga keluar diri kita. Kewaspadaan ini adalah kewaspadaan universal. WASKITA akan membuat nafsu menjadi alat untuk kemajuan, bukan nafsu menjadi alat untuk mencari kesenangan dimana kita selalu ingin mencari enaknya sendiri. Sering tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain. WASKITA ini hanya bisa dicapai apabila kita benar-benar berfikir dengan tanpa beban untung dan rugi serta tanpa melibatkan enak atau tidak enak ketika melakukan sesuatu. WASKITA mengajarkan kita hanya memberi, tak harap kembali.
WASKITA, bentuknya tangan satu menempel di dada, satu di perut dengan dada tegak.
Kemudian, IRAADA. Yaitu kembali kepada Sang Pencipta. Segala sesuatu tidak pernah kita miliki secara pribadi. Semua yang datang dari Sang Pencipta akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Semua yang dimiliki oleh manusia hanyalah ujian.Tidak ada kepentingan lain, kecuali kita bekerja untuk Sang Pencipta. Karena kita diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Bentuk symbol dari IRAADA adalah seperti RUKU’.
SATYA, artinya konsisten pada satu jalan, yaitu jalan Sang Pencipta. Posisi SATYA, tangan di samping badan berdiri tegak (I’ITIDAL). Posisi tersebut dimaksudkan agar kita benar-benar tidak melenceng dari jalan Sang Pencipta dan kita tidak akan berpindah kepada ajaran yang menyesatkan.
Selanjutnya adalah HAMBAALA. Adalah penyerahan total kepada Sang Pencipta tanpa syarat, dengan posisi SUJUD tetapi tangan lurus ke depan. Itu adalah symbol kepasrahan yang sangat total. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi kekhawatiran, tidak ada lagi tawar-menawar didalam memasrahkan diri kepada Sang Pencipta.
NAARITHA, adalah satu sikap dimana kita akan dihadapkan pada suatu keadaan bersimpuh di hadapan Sang Pencipta dengan posisi seperti duduk di antara dua sujud (IFTIROSY). Itu adalah symbol dimana kita akan dimintai pertanggungjawaban kepada Sang Maha Kuasa dan kita akan dihadapkan kepada pengadilan yang seadil-adilnya. Tidak ada hakim yang Maha Adil selain Sang Pencipta.
UMADITHA adalah sikap menerima dari semua keputusan Sang Pencipta tanpa protes. Jadi, semua keputusan akhir, apapun yang kita lakukan, terkembali lagi kepada Sang Pencipta, baik di dunia maupun di akhirat (TAWARRUK).
Terlepas dari bangunan sejarah sekarang yang memaknai WISHNU sebagai seorang dewa, penulis tidak bermaksud menyinggung atau menyamakan bangunan pemahaman yang sudah ada sekarang, karena seperti yang penulis sampaikan di atas, bahwa bangunan-bangunan sejarah tersebut multi interpretasi, banyak tafsir, sehingga bangunan sejarah pada masanya tidak selamanya utuh. Terkadang ada bangunan sejarah yang dilebih-lebihkan, bahkan terkadang sering juga dikurangi.
Lagi-lagi pernyataan sejarah ditulis oleh para “pemenang” perang tidak dapat dilihat sebelah mata. sebab bisa jadi sejarah saat itu mengalami reinterpertasi tanpa henti terhadap WISHNU. Bangunan sejarah ini yang tanpa disadari berjalan setiap waktu, sehingga merubah pemahaman masyarakat. Seiring dengan waktu, kesadaran kolektif ini terus terbangun dalam sebuah system social, ekonomi, politik, dan agama, sehingga muncul bangunan baru pemahaman terhadap interpretasi tersebut. Bangunan-bangunan baru tersebut tidak berdiri sendiri, ada system yang saling mendukung atau saling menopang untuk memperkuat bangunan tersebut menjadi status quo.
Alhasil, artikel ini mudah-mudahan menjadi sebuah perenungan dalam membuka mata hati untuk lebih terbuka dalam mengkaji dan meneliti kesesusian (benang merah) sejarah Ajaran HANIF ADHAMA hingga MUHAMMAD. Harapan ini tentunya bukan sebuah dekonstruksi, apalagi destruksi, namun lebih pada upaya menata kembali bangunan sejarah manusia atau benang merah tadi sebagai KHALIFAH di muka bumi ini.
Wallahu’allam bishawab.
________________________
Post a Comment