Mengenal Apakah Musik dan Rokok Itu Haram? itulah yang tema tulisanku hari ini, banyak yang menulis tentang haram rokok begitu juga musik berdasarkan hadits dan dalil-dalil syari tentang haramnya sesuatu. Di antara koment-koment yang paling menarik antara haram sesuatu ada tulisan yang menarik untuk disimak" Lebih bahaya mana dengan penyelewengan akidah."
”Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah "HATI“(Riwayat Bukhori dan Muslim).
Hendaknya kaum Muslimin sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa kalau “gawang” ke-Iman-an didalam diri kaum Muslimin itu sendiri “kebobolan” (runtuh), maka pastilah mereka akan menjadi seperti yang disabdakan oleh Rasulullah dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ahmad dalam Musnadnya no: 22450 dan berkata Syaikh Syu’aiib Al Arnaa’uth bahwa Sanad Hadits ini Hasan, dijelaskan sebagai berikut :
عن ثوبان مولى رسول الله صلى
الله عليه و سلم قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يوشك ان تداعى
عليكم الأمم من كل أفق كما تداعى الآكلة على قصعتها قال قلنا يا رسول الله
أمن قلة بنا يومئذ قال أنتم يومئذ كثير ولكن تكونون غثاء كغثاء السيل …
Artinya : Dari Tsauban Maula Rasulullah berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Hampir ummat menerkam kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana orang lapar mengeroyok nampan mereka.’
Kami para Shohabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, karena minoritasnya kami saat itu?’
Beliau menjawab, ‘Justru kalian saat itu adalah berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih di air bah banjir.’…”
Juga dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 4299, dari Shohabat
Tsaubaan, bahwa Rasulullah bersabda :
يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى
عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا » فَقَالَ
قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ « بَلْ أَنْتُمْ
يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ
وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ
وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ » فَقَالَ قَائِلٌ يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ
الْمَوْتِ
Artinya : “Ummat-ummat ini (bangsa-bangsa) hampir menerkam kalian sebagaimana orang-orang lapar menerkam nampan makanan mereka.”
Seseorang bertanya, “Karena sedikitkah jumlah kita pada hari itu?”
Rasulullah menjawab, “Bahkan pada hari
itu, kalian berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih di air
bah; sungguh Allah akan cabut dari dada-dada musuh kalian rasa segan
(wibawa) terhadap kalian, dan sungguh Allah akan campakkan pada
hati-hati kalian Al Wahnu.”
Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Al Wahnu itu?’
Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
Bukankah kita, kaum Muslimin di zaman sekarang ini dapat menyaksikan
sendiri kebenaran Hadits tersebut diatas? Dimana ummat Islam dikerumuni,
“dikeroyok”, dan digempur habis-habisan oleh kaum Musyrikin dan Ahlul Kitab.
Haramnya Nyanyian dan Alat Musik
Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)
Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah-adalah nyanyian.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Itu adalah nyanyian, demin yang tidak ada sembahan yang berhak selain-Nya,” beliau mengulanginya sebanyak 3 kali.
Ini juga merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah dari kalangan sahabat. Dan dari kalangan tabi’in : Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, Al-Hasan Al-Bashri, dan selainnya. (Lihat selengkapnya dalam Tafsir Ibnu Katsir: 3/460)
Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ
“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Kalimat ‘akan menghalalkan’ menunjukkan bahwa keempat hal ini asalnya adalah haram, lalu mereka menghalalkannya.
Lihat pembahasan lengkap mengenai keshahihan hadits ini serta sanggahan bagi mereka yang menyatakannya sebagai hadits yang lemah, di dalam kitab Fath Al-Bari: 10/52 karya Al-Hafizh dan kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Penjelasan ringkas:
Nyanyian secara mutlak adalah hal yang diharamkan, baik disertai dengan musik maupun tanpa alat musik, apalagi liriknya berbau maksiat. Hal itu karena dalil-dalil di atas bersifat umum dan tidak ada satupun dalil yang nyanyian tanpa musik.
Jadi nyanyian dan musik ini adalah dua hal yang mempunyai hukum tersendiri. Surah Luqman di atas mengharamkan nyanyian, sementara hadits di atas mengharamkan alat musik. Jadi sebagaimana musik tanpa nyanyian itu haram, maka demikian pula nyanyian tanpa musik juga haram, karena keduanya mempunyai dalil tersendiri yang mengharamkannya.
Sebagai pelengkap, berikut kami membawakan beberapa ucapan dari keempat mazhab mengenai haramnya musik dan nyanyian:
A. Al-Hanafiah.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Nyanyian itu adalah haram dalam semua agama.” (Ruh Al-Ma’ani: 21/67 karya Al-Alusi)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian dan menghukumi perbuatan mendengar nyanyian adalah dosa.” (Talbis Iblis hal. 282 karya Ibnu Al-Jauzi)
B. Al-Malikiah
Ishaq bin Isa Ath-Thabba’ berkata, “Aku bertanya kepada Malik bin Anas mengenai nyanyian yang dilakukan oleh sebagian penduduk Madinah. Maka beliau menjawab, “Tidak ada yang melakukukan hal itu (menyanyi) di negeri kami ini kecuali orang-orang yang fasik.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar hal. 142, Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 282, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 98)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Adapun Malik bin Anas, maka beliau telah melarang dari menyanyi dan mendengarkan nyanyian. Dan ini adalah mazhab semua penduduk Madinah.” (Talbis Iblis hal. 282)
C. Asy-Syafi’iyah.
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku mendapati di Iraq sesuatu yang bernama taghbir, yang dimunculkan oleh orang-orang zindiq guna menghalangi orang-orang dari membaca AL-Qur`an.” (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah: 9/146 dan Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 283 dengan sanad yang shahih)
Taghbir adalah kumpulan bait syair yang berisi anjuran untuk zuhud terhadap dunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi sementara yang hadir memukul rebana mengiringinya.
Kami katakan: Kalau lirik taghbir ini seperti itu (anjuran zuhur terhadap dunia) dan hanya diiringi dengan satu alat musik sederhana, tapi tetap saja dibenci oleh Imam Asy-Syafi’i, maka bagaimana lagi kira-kira jika beliau melihat nasyid yang ada sekarang, apalagi jika melihat nyanyian non religi sekarang?
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah berkata mengomentari ucapan Asy-Syafi’i di atas, “Apa yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i bahwa taghbir ini dimunculkan oleh orang-orang zindiq adalah ucapan dari seorang imam yang mengetahui betul tentang landasan-landasan Islam. Karena mendengar taghbir ini, pada dasarnya tidak ada yang senang dan tidak ada yang mengajak untuk mendengarnya kecuali orang yang tertuduh sebagai zindiq.” (Majmu’ Al-Fatawa: 11/507)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Murid-murid senior Asy-Syafi’i radhiallahu anhum mengingkari perbuatan mendengar (nyanyian).” (Talbis Iblis hal. 283)
Ibnu Al-Qayyim juga berkata dalam Ighatsah Al-Luhfan hal. 350, “Asy-Syafi’i dan murid-murid seniornya serta orang-orang yang mengetahui mazhabnya, termasuk dari ulama yang paling keras ibaratnya dalam hal ini (pengharaman nyanyian).”
Karenanya Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbi Iblis hal. 283, “Maka inilah ucapan para ulama Syafi’iyah dan orang-orang yang baik agamanya di antara mereka (yakni pengharaman nyanyian). Tidak ada yang memberikan keringanan mendengarkan musik kecuali orang-orang belakangan dalam mazhabnya, mereka yang minim ilmunya dan telah dikuasai oleh hawa nafsunya.”
D. Al-Hanabilah
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, maka beliau menjawab, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, saya tidak menyukainya.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 142)
Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbis Iblis hal. 284, “Adapun nyanyian yang ada di zaman ini, maka terlarang di sisi beliau (Imam Ahmad), maka bagaimana lagi jika beliau mengetahui tambahan-tambahan yang dilakukan orang-orang di zaman ini.”
Kami katakan: Itu di zaman Ibnu Al-Jauzi, maka bagaimana lagi jika Ibnu Al-Jauzi dan Imam Ahmad mengetahui bentuk alat musik dan lirik nyanyian di zaman modern seperti ini?!
Kesimpulannya:
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Imam Empat, mereka telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik yang merupakan alat-alat permainan yang tidak berguna.” (Minhaj As-Sunnah: 3/439)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Hendaknya diketahui bahwa jika rebana, penyanyi wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka mendengarnya adalah haram menurut semua imam mazhab dan selain mereka dari para ulama kaum muslimin.” (Ighatsah Al-Luhfan: 1/350)
Al-Albani rahimahullah berkata dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 105 berkata, “Para ulama dan fuqaha -dan di antara mereka ada Imam Empat- telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik, guna mengikuti hadits-hadits nabawiah dan atsar-atsar dari para ulama salaf.”
Dari Haram Musik ini apakah Nasheed atau Nasyid itu haram juga?
mari kita tinjauan dari dua rujukan :
Makna "Nasyid" ( النشيد )
Kata نشيد (nasyid) berarti رفع الصوت (mengeraskan suara), dan dari kata ini, diturunkan kata انشاد (yang maknanya: mengeraskan suara) dan kata الشعر (yang maknanya : syair/sajak) yaitu meninggikan suara dengan memperindah intonasi dan melembutkannya.
Rangkaian kata-kata memiliki kekuatan dan pengaruh tersendiri, sama saja apakah rangkaian kata-kata tersebut ditulis atau diucapkan dengan lisan, sehingga jika rangkaian kata tersebut indah dan baik isinya, maka bagus pula efek dan buahnya. Sebaliknya, jika susunannya jelek dan maknanya buruk maka tidak baik pula nilainya.
Kadang-kadang kata yang diucapkan dengan lisan itu lebih kuat daripada kata yang tertulis, karena kata yang diucapkan menggabungkan dua kesan sekaligus yaitu kesan dari kata-kata itu sendiri dan kesan dari orang yang mengucapkannya yang telah terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Sehingga bila kata-kata yang diucapkan itu adalah sebuah syair / sajak / puisi maka kesan yang ditimbulkan akan menjadi semakin dalam dengan sebab adanya not/irama syair itu dan keteraturannya.
Jika kita bicara tentang musik, dapat dipastikan bahwa mayoritas penduduk dunia ini menyukainya. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua gemar mendengarkan lagu-lagu nan merdu. Dari artikel yang lalu, kita telah mengetahui keharaman hukum nyanyian dan musik sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai hadits yang shahih. Tidak pula diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama salaf mengenai hal ini. Tapi, kemudian timbul wacana baru yang dilontarkan oleh orang-orang yang menamai dirinya sebagai seniman muslim tentang nasyid islami. Mereka menganggap nasyid Islami sebagai sarana dakwah dan cara lain dalam bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Betulkah demikian?
Orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling bersahut-sahutan melemparkan sya’ir. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah spontanitas, tidak berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut nasyid. Nasyid itu meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.
Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga dibolehkan secara mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena nasyid bisa saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau peringatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad (III/456, V/125), ad-Daarimi (II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sya’ir, maka beliau bersabda,
“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik, dan sya’ir yang buruk adalah buruk.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan takhrijnya telah diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah no. 447)
Nasyid Islami dapat dikelompokkan manjadi 3 jenis:
1. Nasyid-nasyid Islami yang isinya lantunan suara penyanyinya saja tanpa diiringi alat musik apapun (nada murni).
2. Nasyid-nasyid Islami yang diiringi rebana.
3. Nasyid-nasyid Islami yang diiringi alat-alat musik.
Nasyid-nasyid ini bercerita tentang kecintaan kapada Alloh Azza Wa Jalla dan kecintaan kepada Rasulullah saw, tafakkur tentang kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada kedua orang tua, kecintaan kepada tanah air, dan kemuliaan akhlaq. Selanjutnya, nasyid jenis pertama, apabila maksud dan kandungan maknanya halal, maka hukumnya pun halal. Kemudian karena alat-alat musik selain rebana dan genderang perang itu haram, maka untuk nasyid jenis ketiga pun haram pula hukumnya. Oleh sebab itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum nasyid jenis ketiga antara mubah atau haram.
Dalil-dalil para ulama yang mengharamkan nasyid islami:
1. Kaidah usul fiqih saddudz dzara'i' (menutup celah untuk berbuat maksiat)
Karena mendengarkan nasyid-nasyid Islami yang tidak menyerupai lagu-lagu dan klub-klub penyanyi pada umumnya itu merupakan celah/ penuntun kepada mendengarkan nasyid-nasyid yang menyerupai lagu-lagu umum.
2. Nasyid-nasyid itu merupakan salah satu bentuk tradisi sufi, sedang dalam tradisi tersebut terdapat unsur penyelisihan syariat. Akibatnya, maka nasyid Islami juga dilarang
3. Bila hal ini tidak termasuk petunjuk Nabi saw. dan tidak pernah dikenal oleh pokok generasi-generasi yang diakui kualitasnya dan telah mem-fatwakan ketidakbolehannya banyak ulama diantaranya Muh. Nashiruddin Al-Albani, Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dan Shalih Al-Fauzan, maka kesimpulannya adalah bahwa nasyid-nasyid Islami merupakan bid'ah dalam agama yang menyerupai bid'ah orang-orang sufi.
4. Termasuk bukti yang sangat kuat adalah ketergantungan para pemuda yang hobi mendengarkan nasyid-nasyid tersebut dan keterlewatbatasan mereka dalam mendengarkannya sehingga hal itu melalaikan manusia dari mencari ilmu yang bermanfaat, khususnya para personil grup nasyid yang dituntut untuk menghafal lirik-lirik nasyid yang akan dibawakannya, menguasai melodi yang pas yang telah diciptakan untuk nasyid tersebut, menghadiri latihan-latihan/gladi-gladi, dan lain-lain. Pada gilirannya nanti, ketergantungan para pemuda itu kepada nasyid mengakibatkan mereka terlalu tersibukkan dengan urusan nasyid melulu. Syeikh Al-Albani mengatakan, "Kita melihat pemuda-pemuda muslim terlenakan dengan nasyid-nasyid religi dan mereka bersenandung dengannya. Hal itu telah memalingkan mereka dari mementingkan tilawah Al-Qur'an, dzikrullah, bershalawat kepada Nabi saw. Maka kewajiban pemuda muslim sebenarnya adalah mendendangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan selalu bersenandung dengannya untuk selamanya.
5. Menyerupai orang-orang yang tak bermoral dalam irama lagu-lagu mereka. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Nasyid-nasyid Islami, aku telah mendengarnya dari dulu dan tidak ada sesuatu yang membikin benci, tapi yang akhir-akhir ini aku mendengarnya dan aku dapati nasyid telah diaransemen dan dinyanyikan layaknya lagu-lagu yang diiringi musik. Nasyid-nasyid yang seperti ini aku tidak berpendapat bahwa orang boleh mendengarkannya."
6. Menyerupai orang-orang kafir karena sebab-sebab berikut ini:
a. Digubahnya nasyid-nasyid tersebut menurut not-not/nada-nada musik yang datang kepada kita dari orang-orang kafir.
b. Dimasukkannya nasyid-nasyid tersebut dalam urusan agama menyerupai orang-orang nasrani dalam menjadikan agama mereka sebagai paduan suara dan irama lagu yang dinyanyikan.
c. Menyerupai mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur'an, sebagaimana Alloh Ta'ala mengabarkan tentang mereka dalam Kalam-Nya Ta'ala:
وَ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآَنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ (26) فصلت.
"Dan orang-orang yang kafir berkata, "Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur'an ini (saat dibacakan) dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka."
7. Menimbulkan fitnah karena suara-suara yang merdu. Bukan rahasia lagi bahwa produser nasyid akan memilih suara yang bagus dan merdu agar bisa berkesan bagi pendengar nasyid. Tak jarang yang dipilih untuk menyanyikannya adalah anak kecil atau remaja ABG yang bisa memperbesar fitnah dan mengobarkan apinya, lebih-lebih lagi apabila suaranya terekam dalam pita gambar (VCD/DVD) atau terlihat performanya secara langsung (live concert). Para ulama pada zaman dulu dan sekarang telah memperingatkan akan bahaya fitnah suara-suara merdu dan ketergantungan padanya.
8. Diiringinya nasyid tersebut dengan berbagai alat musik, seperti rebana pada saat tidak bertepatan dengan hari Ied atau perayaan pernikahan, dan dimainkan oleh para lelaki.
9. Membiasakan para penikmatnya untuk mendengarkan lagu-lagu yang majin (tidak serius).
10. Disandarkannya nasyid kepada Islam padahal Al-Islam tidak pernah mensyariatkannya.
11. Penggunaan nasyid sebagai media untuk mengkampanyekan partai.
12. Nasyid dianalogikan dengan bertepuk tangan dan bersiul.
Dalam sebuah jawaban dari satu pertanyaan tentang nasyid-nasyid Islami, dan sesudah menyebutkan pentingnya kembali kepada Al-Kitab (Al-Qura'n) dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para salafus shalih, Syaikh Al-Albani bertutur, "Tiap orang yang mengkaji kitab Allah, Hadits Rasulullah saw. dan manhaj yang dipegang oleh salafus shalih, tidak akan mendapati sama sekali apa yang mereka namakan sebagai nasyid religi ini, meskipun nasyid-nasyid tersebut berbeda dengan nasyid-nasyid lama yang di dalamnya terdapat sanjungan yang berlebihan terhadap Rasulullah saw."
Syeikh Ibnu Utsaimin menuturkan, "Nasyid-nasyid Islami merupakan nasyid bid'ah yang menyerupai apa yang diada-adakan oleh orang-orang sufi. Inilah sebabnya ia layak untuk disingkiri dan kembali kepada nasehat-nasehat Al-Kitab dan As-Sunnah."
Beliau juga berkata, "Tentang nasyid-nasyid Islami ini, sejak semula aku tidak melihat bahwa orang bisa menjadikannya jalan untuk mengambil nasehat/pelajaran, karena asal nasyid adalah warisan orang-orang sufi sebab orang-orang sufilah yang telah menghimpun dzikir-dzikir mereka semisal nasyid-nasyid ini."
Syeikh Sholeh Al-Fauzan berkata, "Al-Islam tidak mensyariatkan nasyid-nasyid itu bagi kita. Sesungguhnya tiada lain dia mensyariatkan bagi kita dzikrullah, tilawah Al-Qur'an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid, maka itu merupakan agama orang sufi yang membuat bid'ah, orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan kesia-siaan, sedang menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama termasuk perbuatan meniru orang-orang nasrani yang menjadikan agama mereka sebagai paduan suara dan irama-irama yang dinyanyikan. Maka kewajiban kita adalah waspada terhadap nasyid-nasyid ini, melarang jual beli nasyid dan mencegah peredarannya."
Dalil-dalil Ulama yang Membolehkan Nasyid Islami
Pembicaraan dalam masalah ini terpecah dalam tiga bagian:
Bagian pertama: Pokok permasalahan.
Salah satu ketetapan yang dibuat oleh ulama ushul fiqih adalah bahwa asal hukum dalam berbagai hal adalah mubah (boleh) dan tidak akan berubah menjadi haram, wajib, sunnah, ataupun makruh kecuali dengan dalil. Termasuk diantaranya nasyid-nasyid Islami ini, sebab asal hukumnya adalah mubah. Penetapan hukum ini berdasarkan beberapa dalil:
1. Asal hukum itu berlaku secara umum bagi segala sesuatu.
2. Tidak adanya dalil yang melarang nasyid
3. Dijumpainya hal tersebut dalam sunnah, sebab terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi saw. dan para sahabat yang mulia -mudah-mudahan Alloh meridloi mereka- telah mendengarkan syair, melantunkannya pada waktu mereka bepergian dan saat tidak bepergian, dalam majlis-majlis mereka, dan dalam berbagai aktivitas mereka dengan suara tunggal atau bersama-sama (koor).
Sebagian contohnya adalah:
1. Diriwayatkan dari Anas bahwa dia berkata, Rasulullah saw. keluar menuju khandaq (parit). Maka ternyata orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali pada suatu pagi yang dingin. Pada waktu itu mereka belum dikaruniai budak-budak yang akan melakukan pekerjaan itu untuk mereka. Tatkala melihat kepayahan dan rasa lapar pada diri mereka beliau berkata:
اَللّهُمَّ اِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ اْلآخِرَةِْ ... فَاغْفِرْ لِـْلأَنْصَارِ وَ الْمُهَاجِرَةِْ ...
Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang haqiqi adalah kehidupan akhirah … Maka berilah ampunan kepada orang-orang Anshar dan Muhajirah ….
Serentak mereka menjawab beliau secara berkata, "Kami adalah orang-orang yang membaiat Muhammad untuk berjihad selagi nyawa dikandung badan." [Muttafaqun 'alaih]
2. Dua budak perempuan kecil menyanyi di Rumah Nabi.
Aisyah ra. berkata, Abu Bakar mengunjungiku, sedang di tempat-ku ada dua budak perempuan kecil dari budak-budak perempuan orang-orang Anshar. Keduanya sedang mendendangkan syair yang diucapkan orang-orang Anshar tentang perang Bu'ats. Aisyah ra. berkata, "Keduanya bukanlah biduanita." Lalu Abu Bakar menggertak, "Apakah pantas seruling-seruling setan ditiupkan di rumah Rasullah?" Padahal hari itu adalah hari 'Id. Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Wahai Abu Bakar sesung-guhnya setiap kaum itu memiliki hari raya dan inilah hari raya kita."
'Aisyah berkata, "Rasulullah saw. masuk ke tempatku sedang di tempatku ada budak perempuan kecil sedang mendendangkan nyanyian Bu'ats, lalu beliau berbaring di atas tempat tidur dan beliau memalingkan wajahnya.
Tiba-tiba Abu Bakar datang mengunjungiku, lalu dia membentakku, dia berkata, "Pantaskah seruling setan ditiupkan di hadapan Nabi saw?!" Maka beliau saw. datang seraya berkata, "Biarkanlah keduanya." Lalu saat beliau tidak memperhatikan, aku mencolek keduanya maka keduanya pun keluar (dari tempatku) dan hari itu adalah hari 'Id.
Pada hari tersebut orang-orang berkulit hitam sedang bermain perisai dan belati/bayonet (bermain perang-perangan).
Lalu entah 'Aisyah yang meminta kepada beliau Rasulullah saw atau beliau yang menawari, beliau bersabda, "Kamu ingin melihat?" Lalu dia 'Aisyah berkata, "Ya." Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel dengan pipi beliau. Beliau bersabda, "Hati-hati wahai Bani Arfidah!" Ketika aku telah bosan beliau bersabda, "Sudah cukup?" 'Aisyah berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Kalau begitu pergilah!" [Muttafaqun 'alaih]
3. Kisah Rubayyi' binti Muawwidz
Rubayyi' binti Muawwidz bin Afra' berkata, "Nabi saw. datang pada perayaan pernikahanku, lalu beliau masuk. Beliau duduk di atas selembar lemek seperti posisi dudukmu di hadapanku saat ini.
Maka mulailah budak perempuan kecil kami memukul rebana, menyayikan lagu elegi bagi orang-orang yang terbunuh dari leluhur kami pada perang badar. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdendang, "Di kalangan kami ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari." Maka beliaupun menegur, "Tinggalkan perkataan itu dan ucapkan apa yang kamu ucapkan sebelumnya." [HR. Bukhari]
4. Hadits tentang rebana, seperti sabda Rasulullah s.a.w:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ. (الصَّوْتُ أَيْ الذِّكْرُ وَالتَّشْهِيرُ
وَالدُّفُّ أَيْ ضَرْبُهُ فَإِنَّهُ يَتِمُّ بِهِ الْإِعْلَانُ)
"Perbedaan antara yang halal dan yang haram dalam pernikahan (antara lain adalah) tabuhan rebana dan suara." [HR Ahmad, Turmudzi, Nasa`I, dan Ibnu Majah, dari hadits Muhammad bin Hathib al-Jumahi ra.; hadits hasan]
Asy-Syaukani berkata, "Dalam perayaan pernikahan boleh menabuh rebana dan meninggikan suara-suara nyanyian seperi perkataan: "Kami telah datang kepada kalian, Kami telah datang kepada kalian …".
5. Salamah bin Al-Akwa' ra. berkata, "Kami keluar bersama Nabi saw. menuju Khaibar. Lalu kami menempuh perjalanan pada suatu malam. Lalu berkatalah salah seorang dari rombongan tersebut kepada 'Amir, "Maukah Anda bersajak untuk kami perihal pengalaman Anda?" Amir adalah seorang penyair. Lalu iapun turun dan menuntut ontanya sambil berdendang untuk mereka: "Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, kami tak kan pernah tertunjuki, tak kan bershadaqah, dan tak pernah melakukan shalat …." Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Siapakah pengemudi onta (yang berdendang) ini?" Mereka menjawab: "Amir bin Akwa'." Beliau bersabda: "Mudah-mudahan Alloh merahmatinya." [Muttafaqun 'alaih]
6. Dari Anas ra., bahwa Nabi saw mendatangi istri-istri beliau sementara mereka sedang berkendaraan onta dengan disetir oleh seorang sopir yang biasa dipanggil 'Anjasyah'. Lalu beliau bersabda, "Celaka kamu, Anjasyah! Pelan-pelanlah dalam menyetir para wanita (penumpangmu) ini."
Dan hadits-hadis lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw mendengar nasyid dan beliau mentaqrirnya (mendiamkan dan tidak mengingkarinya).
Sesudah bahasan ini:
Sebagaimana ketetapan para ahli ushul fikih, perkara mubah mengambil hukum dari perkara-perkara yang diakibatkan darinya, baik itu wajib, haram, dan lainnya. Nasyid termasuk dari bagian perkara mubah ini, sehingga nasyid mengambil hukum dari perkara lainnya (yang menjadi efek dari nasyid), melalui salah satu dari tiga segi:
Pertama: segi kandungan makna.
Jika lirik / syair yang dilagukan mengandung bait-bait yang memiliki makna-makna yang tinggi dan etika yang mulia maka ia tidak mengapa, bahkan termasuk jenis syair / lirik yang bagus. Adapun bila keadaannya tidak seperti itu dan bahkan sebaliknya, maka syair itu haram untuk diucapkan, disajakkan, atau dilagukan. Pengharaman tersebut bukan karena dzatnya sendiri, tetapi lantaran kandungannya menyelisihi perkara yang utama dan menyalahi adab.
Kedua: segi apa yang mengiringinya.
Syair / lirik lagu tersebut apabila diiringi alat permainan atau perangkat musik baik dari pelantunnya sendiri ataupun orang lain maka, hukumnya haram. Pengharamannya lantaran sesuatu yang mengiringinya itu.
Ketiga: segi akibat yang ditimbulkan dan efek yang diciptakan.
Para penulis lirik lagu berbeda-beda dalam menyisipkan pesan syair-syair mereka. Diantara mereka ada yang memasukkan pesan moral yang tinggi dan agung dan ada pula yang mewarnainya dengan nilai-nilai yang rendah lagi hina. Dari dua macam pesan inilah diketahui nilai syair atau lirik tersebut sesudah didengarkan. Karenanya jika nasyid tersebut menghantar-kan ke gerbang kesempurnaan budi pekerti dan mampu menjadikan pendengarnya menapaki jalan adab, maka alangkah cantik nasyid tersebut untuk diucapkan, didengarkan, dan didendangkan. Namun jika sebaliknya, maka jangan sekali-kali berinteraksi!
Bagian Kedua: Maslahat & kerusakan yang terdapat pada nasyid-nasyid Islami.
Manakala masalah ini dicermati dari sudut pandang kaidah maslahat dan madharat, kita akan melihat bahwa masalah ini memiliki bagian besar dan porsi yang banyak di dalamnya. Maslahat yang dimunculkan nasyid-nasyid Islami banyak jumlahnya, melebihi dari apa yang diduga dan dianggap sebagai madharat. Adalah suatu kekeliruan bila sebagian penuntut ilmu memandang bahwa minoritas "madharat" dapat mengalahkan mayoritas "maslahat".
Sejumlah manfaat nasyid islami antara lain:
1. Mendengarkan nasyid merupakan relaksasi bagi jiwa.
2. Dengan adanya nasyid Islami maka tidak perlu mendengarkan lagu-lagu jahiliyah dengan lirik-lirik yang jorok.
3. Bait-bait yang terangkai dengan kata-kata yang mulia nan sarat makna yang dikandungnya cukup layak untuk didengar dan dipilih.
4. Nasyid-nasyid Islami merupakan sebuah cangkul yang dapat digunakan untuk menghancurkan kaset lagu jahiliyyah.
5. Merupakan tarbiyah bagi jiwa lantaran pesan moral dan etika yang terdapat di dalamnya.
Sedangkan sebagian dari madharat nasyid-nasyid Islami (dan sebenarnya ini bukan apa-apa) antara lain:
1. Terlalu sering mendengarkannya dapat menjadi faktor pelalai dari hal-hal yang lebih penting.
2. Pada sebagian nasyid ditemui irama-irama yang jorok, tapi ini jarang.
Bagian Ketiga: Perbedaan Kasidah Sufi & Nasyid Islami
Salah satu hal yang dianggap sebagai alasan bagi mereka yang melarang nasyid-nasyid Islami ini adalah keadaanya yang menyerupai kasidah sufi. Namun pemberian alasan ini sangat perlu ditinjau ulang. Justru diantara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok yang membuat keduanya tidak bisa dibandingkan dan diserupakan.
Ya, antara dua tradisi tersebut ada kemiripan dalam dua hal:
1. Bahwa keduanya merupakan syair yang bersajak, yang diatur bunyinya.
2. Melodi/irama yang ada pada keduanya.
Sedang perbedaan antara keduanya terlihat dari dua segi :
1. Segi kandungan / isi
Kasidah sufi biasanya berisi dua perkara yang sekaligus cukup untuk men-
jelaskan perbedaan tersebut, yaitu:
1) Kesyirikan dan bid'ah dalam bait-bait lirik lagu mereka. Tidak ada yang lebih jelas menunjukkan hal itu daripada kasidah burdah ciptaan Al-Bushiri.
2) Kefasikan dan kecabulan seperti cumbu rayu dan pemujaan. Sementara itu nasyid-nasyid Islami bersih dari yang demikian itu alhamdulillah, bahkan mencakup nilai-nilai yang luhur, akhlaq yang tinggi, dan etika yang sempurna.
2. Pelaksanaan / praktek
Kasidah sufi dan nasyid Islami mempunyai kesamaan dalam hal bahwa keduanya merupakan syair / sajak yang dilagukan. Namun kasidah-kasidah sufi berbeda dengan nasyid-nasyid Islami dari segi adanya tangisan dan ratapan.
Untuk memperkuat kontrol-kontrol yang sangat diperhatikan dalam masalah nasyid-nasyid Islami, Ibnu Rajab As-Salafi menyebutkan syarat-syarat berikut ini:
1. Tidak mempergunakan alat-alat musik yang diharamkan untuk mengiringi nasyid.
2. Tidak berlebihan dalam nasyid dan tidak menjadikannya kebiasaan seorang muslim sehingga membengkalaikan berbagai tugas dan perkara-perkara yang menjadi kewajibannya.
3. Tidak boleh dilantunkan oleh suara perempuan.
4. Tidak boleh disisipi perkataan yang diharamkan atau tidak sopan.
5. Tidak menyerupai irama-irama lagu orang-orang fasiq dan orang-orang yang tidak bermoral.
6. Bersih dari efek-efek suara yang menghasilkan suara-suara seperti suara-suara alat-alat musik.
7. Diusahakan supaya nasyid tidak memiliki suatu tehnik tertentu yang menjadikan pendengarnya bisa meniru melagukannya dan mem-buatnya terfitnah, layaknya orang yang mendengarkan nyanyian-nyanyian pada umumnya.
Dewan Fatwa Lajnah Da`imah [di Arab Yaudi] menilai bahwa nasyid-nasyid tersebut bisa menjadi alternatif yang syar'i sebagai pengganti dari nyanyian yang diharamkan, sebab dinyatakan dalam fatwa-fatwanya: "Anda boleh mengganti lagu-lagu ini dengan nasyid-nasyid Islami karena di dalamnya terkandung hikmah-hikmah, nasihat-nasihat dan ibrah-ibrah yang dapat mengobarkan semangat dan gairah beragama, menggerakkan sentimen keislaman, serta menjauhi keburukan berikut hal-hal yang mengarah kepadanya. Nasyid-nasyid itu dapat membangkitkan jiwa orang yang menasyidkannya dan orang yang mendengarkannya untuk taat kepada Alloh dan dapat memunculkan rasa benci untuk berbuat maksiat kepada-Nya Ta'ala, dan menerjang batas-batas-Nya, untuk kemudian berlindung di bawah naungan syariat-syariat-Nya, dan berjihad di jalan-Nya"
"Namun sudah selayaknya hal itu tidak dijadikan sebagai wirid bagi jiwa sehingga selalu ditelateni olehnya, atau dijadikan rutinitas yang senantiasa dikerjakan, tetapi hendaknya dilakukan kadang-kadang, saat ada kesempatan-kesempatan khusus dan situasi-situasi yang mendorong untuk bernasyid seperti perayaan penikahan, safar untuk berjihad, dan semisalnya, saat semangat mengendur untuk memotivasi diri dan membangkitkannya agar mau berbuat kebaikan dan sewaktu jiwa cenderung kepada kejelekan, hati terasa mengeras, supaya ia jera dan benci terhadapnya."
"Namun adalah lebih baik dari itu bila ia selalu mentargetkan dirinya untuk mengambil satu hizb (bagian) dari Al-Qur'an yang dibacanya setiap hari [minimal 1 juz untuk non santri dan 2 juz untuk kaum santri pesantren; bagi yang telah lancar], dan wirid dari dzikir-dzikir Nabawi yang shahih, sebab hal itu lebih mensucikan jiwa, lebih membersihkan, dan lebih kuat efeknya dalam melonggarkan dada dan menenangkan hati."
Alloh Ta'ala menegaskan:
اللّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللّهِ ذلِكَ هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَ مَنْ يُضْلِلِ اللّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (23) الزمر.
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang; gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian menjadi tenang lagi kulit dan hati mereka di waktu disebut (janji-janji menggembirakan dari) Alloh. Itulah petunjuk Alloh yang dengannya Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pun yang (dapat) menunjuki."
Allah Subhana Wa Ta'ala juga menegaskan:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (28) الرعد.
"(Orang-orang yang kembali kepada Allah yaitu) orang-orang yang beriman dan dengan mengingat Alloh hati mereka manjadi tenteram. Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah hati menjadi tenteram."
"Adalah kebiasaan dan keadaan para sahabat ra. mengindahkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan cara menghafal, mempelajari, dan mengamal-kannya, dan bersama itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan hida' (nyanyian-nyanyian pengemudi onta/nyanyian penggembala) yang mereka dendangkan pada kesempatan-kesempatan tertentu semisal menggali parit, membangun masjid, dalam perjalanan mereka menuju medan jihad, dan saat-saat lainnya, tanpa menjadikannya sebagai trade mark (cap) mereka dan tidak menjadikannya sebagai obsesi tertinggi dan curahan perhatian mereka. Akan tetapi nasyid bagi mereka merupakan salah satu hal yang bisa menciptakan kedamaian pada jiwa mereka dan mengobarkan semangat mereka." (Silakan tinjau tentang fatwa ini selengkapnya di dalam kitab "Fatawa Al-Islamiyah Li Ashhabil Fadlilah Ulama'" yang dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz al-Musnid: 4 /533)
Syaikh Ibnu Bazz berkata:
"Bila nasyid-nasyid itu sehat, dalam artian tidak ada di dalamnya kecuali seruan kepada kebaikan, peringatan untuk berbuat baik dan taat kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan seruan untuk menjaga tanah air dari musuh dan bersiap untuk menghadapi musuh dan yang semisal itu, maka itu tidak mengapa. Adapun bila isinya selain itu, mengajak untuk berbuat maksiat, berikhtilat antara laki-laki dan perempuan atau menyingkap aurat perempuan di hadapan mereka atau perbuatan rusak apapun lainnya, maka mendengarkannya hukumnya tidak boleh."
Tarjih (menilai pendapat terkuat):
Sesudah mengkaji dalil-dalil dari kedua belah pihak, aku menilai bahwa dalil-dalil para ulama yang membolehkan nasyid-nasyid Islami lebih kuat. Karena itu aku membenarkan pendapat bahwa nasyid-nasyid Islami dengan syarat-syarat yang telah disebutkan adalah mubah.
Khulashah (kesimpulan akhir):
Setelah menyelesaikan kajian yang kumemohon kepada Alloh supaya Dia berkenan menerima amalanku dan menempatkannya dalam timbangan amal kebajikanku ini, kita dapatkan keharaman alat-alat musik selain rebana dan genderang perang berdasarkan dalil-dalil yang kuat.
Harapanku kepada Allah:
1. Semoga banyak orang yang peduli terhadap masalah vital yang menyangkut kepentingan umum ini. Hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat brosur-brosur kecil yang diedarkan di khalayak karena banyak sekali masyarakat yang belum mendapatkan informasi tentang keharaman musik dan tidak mengetahui hadits-hadits yang mengupas masalah tersebut. Aku mengharapkan Dr. Hisamuddin Affanah [dosen penguji bagi makalah ini] untuk mengurusi penulisan brosur ini.
2. Dicurahkan perhatian yang besar terhadap komunitas remaja putri dan putra yang masih dalam usia belajar, sebab umat tidak akan menjadi kuat kecuali lantaran pemuda-pemudanya. Bersikap concern terhadap komunitas ini penting sekali artinya. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan mata pelajaran-mata pelajaran khusus di sekolah-sekolah dan melibatkan para tokoh bagi mereka dalam ruang pembelajaran.
3. Mengadakan alternatif bagi masyarakat awam [yaitu mereka yang menyukai lagu-lagu bermusik] dan hal itu dapat dilakukan dengan menambah jumlah dan variasi nasyid-nasyid Islami [dengan memenuhi syarat-syarat yang telah dikupas di muka] yang sekelompok orang belum mengetahui bahwa itu tidak mengapa.
4. Dicurahkan perhatian yang besar terhadap fakultas dakwah. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menuntut para mahasiswa dan mahasiswinya untuk menyiapkan laporan studi yang bertemakan musik dan nyanyian, karena setiap pribadi di dalamnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Alloh atas setiap amalan yang dia kerjakan dan setiap kata yang dia ucapkan karena kedudukannya sebagai tauladan bagi manusia.
Sebagai kata penutup, siapapun yang mampu menyingkir dan menghindar dari mendengarkan musik di zaman yang sarat dengan ujian ini, maka sabda Rasulullah saw berikut ini mencakup dirinya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللّهِ: يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ.
Anas bin Malik ra. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Akan datang kepada manusia satu masa, di mana orang yang bersabar dalam memegang teguh agamanya bagaikan orang yang menggenggam bara." [HR Turmudzi, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dengan adanya banyak hadits syahid yang memperkuatnya]
Semoga shalawat dan salam yang banyak dari Allah tetap tercurah kepada panutan kita Muhammad saw, keluarga, dan para sahabat beliau. aamiin.
_____________________________
Penulis : Sima Rotib Adnan Abu Romuz.
Sepervisi : Dr. Hisamuddin Affanah. (Al-Quds, Palestina, 1426 H – 2005 M)
Penerjemah : Akhawatuna. Editor: AZ. Solo.
Sepervisi : Dr. Hisamuddin Affanah. (Al-Quds, Palestina, 1426 H – 2005 M)
Penerjemah : Akhawatuna. Editor: AZ. Solo.
Fatwa Rokok Haram
Salah satu masalah yang diputuskan dalam Ijtima' Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang pada tanggal 24-26 Januari 2009 adalah masalah rokok. Setelah melalui pembahasan yang panjang, akhirnya MUI memutuskan mengenai rokok ini sebagai berikut:
1. Seluruh peserta Sidang Pleno Ijtima' sepakat:
a. bahwa hukum merokok tidak wajib,
b. bahwa hukum merokok tidak sunat, dan
c. bahwa hukum merokok tidak mubah.
2. Peserta Sidang berbeda pendapat tentang tingkat larangan merokok tersebut, sehingga hukum merokok terjadi khilaf ma baiyna al-makruh wa al-haram (perbedaan pendapat antara haram dan makruh).
3. Seluruh peserta Sidang Pleno Ijtima' sepakat bahwa merokok hukumnya haram:
2. Peserta Sidang berbeda pendapat tentang tingkat larangan merokok tersebut, sehingga hukum merokok terjadi khilaf ma baiyna al-makruh wa al-haram (perbedaan pendapat antara haram dan makruh).
3. Seluruh peserta Sidang Pleno Ijtima' sepakat bahwa merokok hukumnya haram:
a. Di tempat umum,
b. bagi anak-anak;
c. bagi wanita hamil.
(http://www.mui.or.id/konten/berita/diktum-keputusan-fatwa-tentang-rokok)
Dari keputusan MUI di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum merokok terbagi dua. Pertama, haram untuk anak-anak, wanita hamil dan siapa saja yang merokok di tempat umum. Kedua, bisa haram atau bisa makruh untuk selain anak-anak, wanita hamil dan yang merokok di tempat umum. Fatwa MUI mengenai rokok ini kemudian mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat. Ada yang mendukung, ada yang menolak karena lebih setuju diharamkan total dan ada pula yang menolak untuk diharamkan.
Dari keputusan MUI di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum merokok terbagi dua. Pertama, haram untuk anak-anak, wanita hamil dan siapa saja yang merokok di tempat umum. Kedua, bisa haram atau bisa makruh untuk selain anak-anak, wanita hamil dan yang merokok di tempat umum. Fatwa MUI mengenai rokok ini kemudian mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat. Ada yang mendukung, ada yang menolak karena lebih setuju diharamkan total dan ada pula yang menolak untuk diharamkan.
Dari PP No. 81/1999 Pasal 1 Ayat (1), rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Mangku Sitepu mengatakan bahwa merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar, dan 30 derajat Celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok.[1]
Merokok itu sangat membahayakan kesehatan dan bersifat merusak. Sesungguhnya kehidupan kita, kesehatan dan harta kita merupakan titipan Allah kepada kita. Oleh karena itu kita harus menjaganya dengan baik dan tidak boleh mempergunakan sekehendak kita.
Keberadaan Industri Rokok di Indonesia di samping menyumbang juga merugikan. Menurut harian Kompas 21 Maret 2000 memberitakan bahwa: "Di Indonesia ada 57.000 jiwa meninggal setiap tahun akibat merokok atau 158 jiwa meninggal setiap hari akibat merokok. Selain itu, dijumpai 85 juta perokok berat dan 12-13 juta jiwa di antaranya akan meninggal pada usia muda".
Pada awal Maret 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengeluarkan fatwa baru terhadap hukum merokok. Setelah menelaah manfaat dan mudarat rokok melalui Haloqoh Fiqih Pengendalian Tembakau di Gedung PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berkesimpulan bahwa merokok secara syariah Islam masuk dalam kategori haram.
Muhammadiyah mengeluarkan surat fatwa haram Nomor 6//SM/MTT/III/2010 berisi merokok hukumnya adalah haram pada Senin 8 Maret 2010.
Bagaimana media mengemas atau mengkonstruksi sebuah peristiwa dalam bentuk berita yang akan dikonsumsi oleh khalayak luas. Akan tetapi NU dan MUI tidak sependapat dengan rumusan yang di kemukakan PP Muhammadiyah. Pertanyaanya. Apakah benar rokok itu adalah sebuah Hal yang diharamkan?
Sekilas Sejarah Rokok
Berbicara soal sejarah rokok, ada beberapa artikel yang menyebutkan bahwa merokok pertama kalidilakukan oleh orang Indian penduduk asli Amerika. Suku Indian melakukan hal tersebut karena adanya kaitan dengan pemujaan dewa/roh. Budaya ini kemudian ditirukan oleh orang eropa yang pada saat itu melakukan ekspedisi ke benua Amerika.
Sekilas Sejarah Rokok
Berbicara soal sejarah rokok, ada beberapa artikel yang menyebutkan bahwa merokok pertama kalidilakukan oleh orang Indian penduduk asli Amerika. Suku Indian melakukan hal tersebut karena adanya kaitan dengan pemujaan dewa/roh. Budaya ini kemudian ditirukan oleh orang eropa yang pada saat itu melakukan ekspedisi ke benua Amerika.
Dalam ekspedisinya, mereka menemukan penduduk pribumi–Indian mengisap tembakau yang digulung seperti cerutu. Para petualang Eropa ini kemudian menirukan budaya ini dan menganggapnya sebagai lifestyle baru.
Budaya ini kemudian menular diantara para penduduk Eropa, mereka menganggapnya Sejak saat itulah, bersamaan dengan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa eropa ke seluruh dunia, rokok pun ikut tersebar keseluruh dunia. Jika artikel tersebut terbukti kebenarannya, bisa disimpulkan bahwa masa dimana budaya rokok ini pertama kali ditemukan jauh terjadi setelah masa hidup Nabi Muhammad SAW. Karenanya tidaklah mengherankan jika di dalam haditsnya Nabi tidak pernah meriwayatkan hukum soal rokok ini secara jelas dan hanya tersirat dari hadits-haditsnya yang bersifat umum.
Sementara itu, di nusantara sejarah rokok yang paling tua konon kabarnya ditemukan di Kudus dalam bentuk rokok kretek.
Penemunya adalah Haji Djamhari pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Konon, pada waktu itu Djamhari merasa sakit pada bagian dada karena menderita penyakit asma.
Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh pada bagian tubuhnya yang sakit. Ternyata sakitnya pun reda.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Djamari pun lantas bereksperimen dengan memotong-motong cengkeh kecil-kecil (merajang) dan mencampurnya dengan rajangan tembakau untuk kemudian dilinting menjadi rokok. Dari bunyi rokok yang 'kemeretek' pada waktu diisap tersebut kemudian lahirlah nama 'rokok kretek'.
Sayangnya, Djamhari keburu wafat sebelum dapat meraup kekayaan dari rokok kretek. Temuan Djamhari ini yang menyebar dari mulut ke mulut ini kemudian diteruskan oleh salah seorang warga Kudus lain, yaitu Nitisemito.
Ia menjadikan rokok sebagai industri rumahan untuk diproduksi massal pertama kalinya di Indonesia. Pada tahun 1908 perusahaan Nitisemito mendapat ijin dari Pemerintah Hindia Belanda dengan merk Bal tiga.
Setahun kemudian Nitisemito mulai membuat rokok kretek dan di tahun inilah sebenarnya rokok kretek tumbuh menjadi industri, meski masih berupa home industri yang dikerjakan Nitisemito dan keluarganya.
Maka untuk pertama kalinya pada waktu itu, rokok kretek temuan Djamhari dijual tanpa bungkus dengan harga sekitar 2,5 sen seikat (25 batang ukuran kecil) dan 3 sen seikat untuk 25 batang ukuran besar.
Kesuksesan Nitisemito kemudian banyak ditiru orang, sehingga antara tahun 1915 -1918 bermunculan ratusan pabrik rokok kretek baru tidak hanya di Kudus tetapi juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri dan Malang. Sehingga tidaklah berlebihan bila rokok kretek penciptanya adalah orang Indonesia (http://kabarindonesia.com/)
Telaah
Perbedaan pendapat tentang bagaimana hukum merokok dalam pandangan hukum Islam, sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang hangat dan kontroversial. Perdebatan yang muncul, bermuara dari tidak terdapatnya ketentuan secara tekstual di dalam al-Qur‟an maupun al-hadist mengenai masalah merokok. Sehingga, muncullah beberapa pendapat yang mengatakan bahwa merokok hukumnya boleh, ada yang mengatakan hukumnya makruh, dan adapula yang mengatakan hukumnya haram.
Perbedaan pendapat tentang bagaimana hukum merokok dalam pandangan hukum Islam, sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang hangat dan kontroversial. Perdebatan yang muncul, bermuara dari tidak terdapatnya ketentuan secara tekstual di dalam al-Qur‟an maupun al-hadist mengenai masalah merokok. Sehingga, muncullah beberapa pendapat yang mengatakan bahwa merokok hukumnya boleh, ada yang mengatakan hukumnya makruh, dan adapula yang mengatakan hukumnya haram.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang memberikan pandangan, nasehat, maupun fatwa bagi umat Islam di Indonesia, menjawab permasalahan hukum merokok ini dengan mengeluarkan fatwa dalam sidang Ijtima‟ Ulama fatwa MUI III di Padang Panjang, Sumatra Barat pada tanggal 24-26 Januari 2009 tentang fatwa rokok, bahwa merokok hukumnya adalah haram jika di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil. Keterangan mengenai proses penetapan fatwa tersebut tertera dalam Diktum Keputusan Fatwa Tentang Rokok Tanggal: 31 Januari 2009.[2]
Pendapat yang mendukung dengan fatwa tersebut salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak.
Jakarta–Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok untuk anak-anak dan remaja dinilai sebagai langkah maju. Tapi langkah itu dinilai belum cukup. “Komnas PA (Perlindungan Anak) memberikan apresiasi pada MUI sebagai langkah awal untuk melindungi hak hidup anak. Ini langkah maju melindungi hak hidup anak dari bahaya tembakau.” Ujar Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait kepada detikcom, Minggu (25/1/09).[3]
Prof. Dr. Syamsul Anwar menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah ditelaah dan diteliti baik secara ilmiah maupun dari sudut pandang Agama. “Dari sisi agama sesuatu yang membahayakan itu dilarang, sehingga ada keselarasan antara ketentuan agama dan fakta ilmiah" terangnya. "Berdasar hasil kajian dari ahli medis dan akademisi, semua pihak sepakat bahwa rokok adalah sesuatu yang membahayakan karena mengandung zat aditif dan zat berbahaya lainnya, mengandung 4000 zat kimia, 69 diantaranya adalah karsinogenik atau pencetus kanker". Selain itu juga menjadi penyebab timbulnya penyakit sosial yang harus segera ditanggulangi.[4]
Pendapat yang kontra dengan fatwa MUI sebagian adalah NU dan masyarakat Kudus. Nahdhatul Ulama (NU) sejak dulu menganggap merokok masih tergolong makruh. “Kalau dari dulu di NU hukumnya makruh tidak sampai haram. Karena itu berdasarkan tingkat bahayanya yang relatif. Jadi tidak sampai haram,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi. Menurut Hasyim. Merokok berbeda dengan minuman keras yang hukumnya memang signifikan haram. Orang merokok punya relativitas, ada yang kuat dan ada yang tidak kuat. “ Ada relativitas dari perokok dan pada bahanyanya. Silahkan MUI, tapi NU tetap makruh,” ujarnya. (Sumber: Setelah diringkas, Tribun Kaltim, 27 Januari 2009).[5]
Dr Sudibyo Markus selaku Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Kesehatan, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan menyatakan bahwa fatwa merokok adalah haram adalah dalam rangka merevisi fatwa Majlis Tarjid tahun 2005 , yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah, boleh dikerjakan, tapi ditinggalkan lebih baik. Namun dengan semakin terbukanya informasi mengenai dampak buruk merokok dibidang kesehatan, sosial dan ekonomi, terlebih bagi keluarga miskin, serta memperhatikan beberapa ketentuan hukum positif tentang diperlukannya lingkungan dan perilaku hidup sehat bagi masyarakat, apalagi ketentuan UU No. 39 Tahun 2009 pasal 113, bahwa tembakau mengandung zat adiktif, maka Majelis Tarjih dan Tajdid merasakan perlunya merevisi ketentuan lama tersebut.
Ada beberapa pendapat ulama dulu, mengenai mengenai hukum rokok :
1. Imam Ibnu 'Abidin (1151-1203 H) dalam kitabnya Tanqih al-Hamidiyah mengatakan: "Jika rokok benar-benar mengandung banyak bahaya, silahkan mengeluarkan fatwa tentang haramnya merokok"
Pendapat yang mendukung dengan fatwa tersebut salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak.
Jakarta–Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok untuk anak-anak dan remaja dinilai sebagai langkah maju. Tapi langkah itu dinilai belum cukup. “Komnas PA (Perlindungan Anak) memberikan apresiasi pada MUI sebagai langkah awal untuk melindungi hak hidup anak. Ini langkah maju melindungi hak hidup anak dari bahaya tembakau.” Ujar Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait kepada detikcom, Minggu (25/1/09).[3]
Prof. Dr. Syamsul Anwar menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah ditelaah dan diteliti baik secara ilmiah maupun dari sudut pandang Agama. “Dari sisi agama sesuatu yang membahayakan itu dilarang, sehingga ada keselarasan antara ketentuan agama dan fakta ilmiah" terangnya. "Berdasar hasil kajian dari ahli medis dan akademisi, semua pihak sepakat bahwa rokok adalah sesuatu yang membahayakan karena mengandung zat aditif dan zat berbahaya lainnya, mengandung 4000 zat kimia, 69 diantaranya adalah karsinogenik atau pencetus kanker". Selain itu juga menjadi penyebab timbulnya penyakit sosial yang harus segera ditanggulangi.[4]
Pendapat yang kontra dengan fatwa MUI sebagian adalah NU dan masyarakat Kudus. Nahdhatul Ulama (NU) sejak dulu menganggap merokok masih tergolong makruh. “Kalau dari dulu di NU hukumnya makruh tidak sampai haram. Karena itu berdasarkan tingkat bahayanya yang relatif. Jadi tidak sampai haram,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi. Menurut Hasyim. Merokok berbeda dengan minuman keras yang hukumnya memang signifikan haram. Orang merokok punya relativitas, ada yang kuat dan ada yang tidak kuat. “ Ada relativitas dari perokok dan pada bahanyanya. Silahkan MUI, tapi NU tetap makruh,” ujarnya. (Sumber: Setelah diringkas, Tribun Kaltim, 27 Januari 2009).[5]
Dr Sudibyo Markus selaku Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Kesehatan, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan menyatakan bahwa fatwa merokok adalah haram adalah dalam rangka merevisi fatwa Majlis Tarjid tahun 2005 , yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah, boleh dikerjakan, tapi ditinggalkan lebih baik. Namun dengan semakin terbukanya informasi mengenai dampak buruk merokok dibidang kesehatan, sosial dan ekonomi, terlebih bagi keluarga miskin, serta memperhatikan beberapa ketentuan hukum positif tentang diperlukannya lingkungan dan perilaku hidup sehat bagi masyarakat, apalagi ketentuan UU No. 39 Tahun 2009 pasal 113, bahwa tembakau mengandung zat adiktif, maka Majelis Tarjih dan Tajdid merasakan perlunya merevisi ketentuan lama tersebut.
Ada beberapa pendapat ulama dulu, mengenai mengenai hukum rokok :
1. Imam Ibnu 'Abidin (1151-1203 H) dalam kitabnya Tanqih al-Hamidiyah mengatakan: "Jika rokok benar-benar mengandung banyak bahaya, silahkan mengeluarkan fatwa tentang haramnya merokok"
2. Imam al-Bajuri mengatakan: "Rokok itu bisa haram, jika terbukti mengandung bahaya di dalamnya."
3. Syaikh al-Qalyûbi mengharamkan rokok, setelah melalui berbagai penelitian, selain sebagai ulama beliau juga seorang dokter.
4. Syaikh 'Abdullah bin as-Syeikh berpendapat: "Berdasarkan hadits-hadits yang saya telaah, jelaslah keharaman tembakau (rokok) yang banyak dikonsumsi sekarang ini".
5. Syaikh Musthafa Hammani asal Mesir, dalam kitab an-Nahdhah al-Islahiyah (hal.489) berpesan: "Mayoritas 'ulama mengharamkan rokok dan fatwa ini terutama merokok di tempat yang mulia, seperti di masjid, majlis Qur'an, majlis ilmu dan majlis zikir.
Aku tidak meragukan keharaman hukum haram rokok bagi orang yang mendapatkan bahaya rokok. Karena menjaga kesehatan adalah sebuah kewajiban."
6. Syaikh Bin Baz (1330-1420 H/1912-1999 M), Mufti Agung Saudi Arabia, ketika ditanya mengenai hukum rokok, hukum menjual dan memperdagangkannya, menjawab: "Rokok diharamkan karena ia termasuk Khabits (sesuatu yang buruk) dan mengandung banyak sekali madharat, sementara Allah hanya membolehkan makanan, minuman dan selain keduanya yang baik-baik saja bagi para hamba-Nya dan mengharamkan bagi mereka semua yang buruk. Allah berfirman : "Mereka menanyakan kepadamu, 'Apakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah, 'Dihalalkan bagimu yang baik-baik" (Q.S. Al-Maaidah 5 : 4).
7. Syaikh bin Baz : "Jadi, rokok dengan segala jenisnya bukan termasuk at-Thayyibat (segala yang baik) tetapi ia adalah al-Khaba'its (segala yang buruk). Oleh karenanya, tidak boleh merokok. (Kitabut Da'wah, dari Fatwa Syaikh Ibn Baz, hal.236).
Firman Allah ta'ala:
Firman Allah ta'ala:
{وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} [الأعراف: 157]
Artinya: "Dan mengharamkan bagi mereka al khaba-its (segala yang buruk)".
Dan rokok membahayakan, oleh kareba itu ia masuk ke dalam hadits:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Artinya: "Tidak ada bahaya dan tidak membuat bahaya."
8. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh, mufti negeri Saudi Arabia, mengatakan: "Kami dari kalangan para ulama dan syaikh-syaikh kita yang dahulu, para ahli ilmu, para imam dakwah, ahli Nejed dulu sampai sekarang menghukumi bahwa rokok itu haram berdasarkan nash yang shahih dan akal yang benar, serta penelitian para dokter yang terpercaya".
9. Syaikh Utsaimin (1347-1421 H/1925-2000 M) ketika ditanya mengenai hukum rokok menjawab: "Merokok hukumnya haram berdasarkan makna yang terkandung dalam beberapa ayat Qur'an dan Sunnah serta i'tibar (logika) yang benar. (www. attasmeem.com)
10.Al-Ustadz Muhammad Abdul Ghofar Al Hasyimi Al Afghani menjelaskan bahwa pengisap rokok dapat terjangkit sembilan puluh sembilan macam penyakit, beliau menjelaskannya satu per satu dalam risalahnya yang berjudul Masha'ib ad-Dukhan (Bahaya Merokok).
11.Dr.'Abdullah Nashih 'Ulwan, memberi kesimpulan terhadap hukum merokok sebagai berikut:
- Sudah menjadi kesepakatan para fuqaha dan imam mujtahid, bahwa setiap penyebab bahaya yang dapat menjerumuskan ke dalam kehancuran, wajib dijauhi dan haram dikerjakan
- Karena bahaya merokok terhadap fisik dan kesehatan sudah terbukti, maka wajib dijauhi dan haram dikerjakan.
Selanjutnya mari kita perhatikan fakta-fakta berikut:
1. Rekomendasi WHO(10/10/1983) menyebutkan, seandainya 2/3 dari yang dibelanjakan dunia untuk membeli rokok digunakan untuk kepentingan kesehatan, niscaya bisa memenuhi kesehatan asasi manusia di muka bumi.
9. Syaikh Utsaimin (1347-1421 H/1925-2000 M) ketika ditanya mengenai hukum rokok menjawab: "Merokok hukumnya haram berdasarkan makna yang terkandung dalam beberapa ayat Qur'an dan Sunnah serta i'tibar (logika) yang benar. (www. attasmeem.com)
10.Al-Ustadz Muhammad Abdul Ghofar Al Hasyimi Al Afghani menjelaskan bahwa pengisap rokok dapat terjangkit sembilan puluh sembilan macam penyakit, beliau menjelaskannya satu per satu dalam risalahnya yang berjudul Masha'ib ad-Dukhan (Bahaya Merokok).
11.Dr.'Abdullah Nashih 'Ulwan, memberi kesimpulan terhadap hukum merokok sebagai berikut:
- Sudah menjadi kesepakatan para fuqaha dan imam mujtahid, bahwa setiap penyebab bahaya yang dapat menjerumuskan ke dalam kehancuran, wajib dijauhi dan haram dikerjakan
- Karena bahaya merokok terhadap fisik dan kesehatan sudah terbukti, maka wajib dijauhi dan haram dikerjakan.
Selanjutnya mari kita perhatikan fakta-fakta berikut:
1. Rekomendasi WHO(10/10/1983) menyebutkan, seandainya 2/3 dari yang dibelanjakan dunia untuk membeli rokok digunakan untuk kepentingan kesehatan, niscaya bisa memenuhi kesehatan asasi manusia di muka bumi.
2. WHO juga menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun disebabkan rokok.
3. 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Shanghai di Cina disebabkan rokok.
4. 20 batang rokok perhari menyebabkan berkurangnya 15% haemoglobin, yakni zat asasi pembentuk darah merah.
5. Prosentase kematian orang yang berusia 46 tahun atau lebih adalah 25 % lebih bagi perokok.
6. Prosentase kematian disebabkan rokok lebih tinggi dibandingkan karena perang dan kecelakaan lalulintas.
7. Tiap satu batang rokok yang anda hisap, memperpendek 12 menit umur anda.
Kesimpulan :
Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.
Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:
Al-Qur'an :
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:
لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة
Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW.
Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang.
Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr.
Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut :
إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.
Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi.
Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya.
Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut :
القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما
Masalah kopi dan rokok ; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya.
Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram.
Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.
Ulasan 'Illah (reason of law)
Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama ; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua ; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
Ketiga ; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat ; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.
Untuk menutup tulisan ini, kita simak penggalan puisi dari pujangga kita, Taufiq Ismail, berikut ini: “25 penyakit ada dalam khamr, khamr (Minuman Keras) diharamkan. 15 penyakit ada dalam babi, daging babi diharamkan!!!.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?” Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala rokok ini.
______________________
Footnote
[1] Istiqomah Umi, Upaya Menuju Generasi Tanpa Merokok Pendekatan Analisis untuk Menanggulangi dan Mengantisipasi Remaja Merokok (Surakarta: CV„‟SETI-AJI‟‟,2003), h. 20.
[2] htpp://ordinaryplain.e-jogja.com/fatwa-mui-mengharamkan-merokok.html.
[3] Muhammad Jaya, Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok. (Sleman: PT Riz‟ma, 2009), h. 134.
[4] http://Muhammadiyah.or.id
[5] Ibid., h. 114.
Tidak ada komentar
Posting Komentar