Awal tahun 2000, Yusril Ihza Mahendra dalam kapasitasnya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang) pada Kabinet Abdurrahman Wahid ditugaskan berdialog dengan orang-orang yang terhalang pulang ke tanah air di mana sebagian besar merupakan eks Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) yang dikirim ke negara-negara Eropah Timur pada tahun 1965. Langkah yang ditempuh Yusril sebagai implementasi atas Kebijakan Presiden tentang Rekonsiliasi ternyata mendapat perhatian serius berbagai pihak, termasuk media. Berikut petikan jawaban wawancara tertulis atas pertanyaan yang disampaikan oleh Redaktur Wawancara Majalah Tajuk, Dadi R. Sumaatmadja, 9 Pebruari 2000.
Bagaimana Anda melihat potensi berkembangnya kembali ajaran komunis di Indonesia?
Saya pernah mempelajari Komunisme dengan agak sedikit mendalam sewaktu saya menjadi mahasiswa filsafat di Fakultas Sastra UI. Hampir seluruh karya-karya Marx, Engels, Lenin, Stalin, Tito, Mao, Tan Malaka, dan Aidit saya baca, termasuk tulisan golongan kiri di tanah air sejak pra-kemerdekaan seperti tulisan Ir. Baars. Saya berkesimpulan bahwa sebagai ideologi, Komunisme tidak akan pernah mati.
Dalam perkembangannya, adakalanya Komunisme berubah bentuk menjadi pseudo-religion, walaupun pada dasarnya filsafat Marx digolongkan sebagai atheisme filosofis. Regim-regim Komunis merubahnya menjadi atheisme politik yang menindas kekuatan agama. Sebagai pseudo-religion Komunisme dapat menumbuhkan semangat fanatisme.
Analisa kelas yang menjadi struktur dasar berfikir Marxisme mengandung sifat perlawanan dan karena itu banyak menarik minat kalangan pejuang anti penindasan, walaupun keseluruhan ajaran Komunisme itu menurut pandangan saya bertentangan dengan fitrah manusia. Di masa lalu, kekuatan kaum Komunis di tanah air tidak dapat dianggap enteng. PKI adalah partai Komunis terbesar di dunia, pada sebuah negara yang secara resmi bukan negara Komunis. Arnold Barckman menyebutkan bahwa pada tahun 1963, jumlah anggota PKI adalah 3,7 juta orang. PKI adalah partai terbesar keempat dalam Pemilu 1955. Dalam Pemilu tingkat daerah tahun 1958, kekuatan PKI makin besar dibandingkan dengan Pemilu 1955. Di Yogya, Solo dan Semarang, perolehan suara PKI dalam Pemilu daerah, hampir dan bahkan melebihi setengah dari total suara yang diperoleh partai-partai lain.
Meskipun PKI telah dibubarkan pada tahun 1966, namun kekuatannya belum dapat dikatakan lumpuh samasekali. Mereka masih mempunyai potensi terpendam. Sebagai ideologi, apalagi telah berkembang menjadi pseudo-religion, Komunisme tidak akan pernah mati samasekali. Suatu saat potensi yang terpendam itu dapat tumbuh kembali, apabila ada suasana kondusif untuk itu. Situasi rawan di tanah air dewasa ini, di mana ketimpangan sosial-ekonomi demikian tinggi, konflik antar golongan yang kian merebak, serta meningkatnya jumlah orang miskin dan pengangguran, adalah kondisi-kondisi yang memberikan peluang besar bagi bangkitnya kembali Komunisme.
Saya pernah memperdebatkan masalah di atas dengan Franz Magnis Suseno di hadapan Apong Herlina, Rachland Nashidik, Gustave Dupe dan Nuku Sulaiman. Magnis mengatakan tak percaya bahwa Komunisme akan bangkit kembali dengan argumen bahwa tidak ada struktur kekuasaan politik yang menopangnya dengan hancurnya Uni Sovyet dan runtuhnya regim-regim Komunis yang lain. Dalam 20 tahun terakhir katanya, tidak ada satupun kelompok resistensi yang mendasarkan perjuangannya kepada Komunisme. Saya membantah argumentasi Magnis.
Bagi saya analisa strukturalis dalam menganalisa kekuatan Komunisme tidak akan menjelaskan apa-apa. Pikiran Magnis, saya katakan terus terang, mencerminkan analisa pikiran Jesuit abad-abad yang lalu, ketika mereka berpendapat bahwa jika Granada dan Malaka yang menjadi kekuatan struktural penopang tegaknya agama Islam di Barat dan di Timur telah dihancurkan, maka agama Islam akan mati. Kenyataannya sampai sekarang Islam tetap tegak berdiri.
Bagi saya –demikian saya katakan kepada Magnis, Komunisme bukan sekadar ideologi, tetapi pseudo-religion, walaupun hakikatnya Komunisme bersifat anti agama. Jika Komunisme telah berkembang menjadi pseudo-religion, maka analisis struktural tidak memuaskan. Magnis membantah, karena Komunis baginya bukan agama. Dalam agama ada Allah yang memberi jaminan, katanya, dalam Komunis tidak. Saya katakan, saya sadar Komunisme bukan agama, tetapi Komunisme dapat berkembang menjadi pseudo-religion, semacam ”agama” palsu yang melahirkan fanatisme baru. Magnis kemudian diam saja.
Apa Pendapat Anda dengan adanya fenomena beberapa kelompok mahasiswa yang kerap dalam aksinya bernuansa Komunis, seperti mereka mengatakan ”Revolusi sampai mati” atau Serikat Tani Indonesia?
Fenomena seperti itu memang saya rasakan sejak beberapa tahun terakhir ini, walaupun ketika saya ajak berdiskusi tentang filsafat Marxis, pengetahuan mereka sebenarnya tidak seberapa. Saya menganggap bahwa mereka itu potensial untuk menjadi Marxis sungguhan, dengan syarat ada yang membina mereka dan kondisi untuk itu juga mendukung.
Pengalaman sejarah kita mendukung hal itu. Beberapa tokoh Sosialis Kiri Belanda seperti Snievliet dan Ir. Baars di awal abad ini giat menggarap kelompok pemuda radikal di Semarang yang aktif dalam Sarekat Islam. Akhirnya pemuda-pemuda itu seperti Semaun dan Darsono menjadi tokoh-tokoh Komunis sungguhan. Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang lain tetap menjadi penganut Islam-Marxis seperti Kiyai Misbach dan KH. Ahmad Dasuki Siradj di Solo serta Haji Datuk Batuah di Minangkabau yang terlibat dalam Peristiwa Silungkang tahun 1927. Tulisan Kiyai Misbach agak mirip dengan ”Green Book”-nya Moammar Ghaddafi dari Libya. Islam dianalisis dalam paradigma Marxis ditambah dengan slogan-slogan revolusioner anti penindasan.
Ada beberapa mahasiswa yang pada awalnya ikut-ikutan menggunakan slogan-slogan yang biasa digunakan kaum Komunis dan golongan radikal kiri. Lama-kelamaan jika kurang kritisisme dan studi perbandingan, dapat ikut larut ke dalam kelompok Komunis yang sesungguhnya. Seperti kasus Snievliet dan Baars, biasanya tokoh tua yang mendalam pengetahuan Marxismenya akan berada di belakang mendorong yang muda-muda. Kelompok muda itu dapat berasal dari mana saja, bahkan, seperti saya contohkan di atas, dari mereka yang berlatar belakang gerakan Islam. Jika saja kalangan ini tidak mendalami taktik dan strategi perjuangan kaum Komunis, bukan mustahil akhirnya mereka terjerumus.
Lantas apa pertimbangan Anda mengundang mereka yang berhaluan kiri untuk kembali ke tanah air? Bukankah ideologi itu tidak pernah mati?
Saya khawatir dalam pertanyaan ke-3 ini Anda juga telah menggunakan cara-cara agitasi dan propaganda kaum Komunis untuk menyudutkan seseorang sehingga berhadap-hadapan dengan golongannya sendiri.
Saya tidak pernah ”mengundang kiri untuk kembali ke tanah air” seperti Anda katakan. Saya memang menerjemahkan kebijakan umum Presiden tentang rekonsiliasi.
Di luar negeri, sejak tahun 1965, terdapat sejumlah warganegara Indonesia yang terhalang untuk pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka adalah eks Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) yang dikirim ke negara-negara Eropah Timur. Usia mereka kini 60-84 tahun, sebagian lagi telah meninggal. Ketika saya berjumpa dengan mereka di Belanda, hanya satu orang yang usianya 58 tahun. Sejak G30S status kewarganegaraan mereka tidak jelas karena passport-nya dicabut. Akhirnya mereka terpaksa menjadi warganegara Belanda, Jerman, Perancis atau lainnya.
Sebagian mereka ingin diberi kesempatan untuk berkunjung ke tanah air, beberapa di antaranya ingin mendapatkan kembali status WNI-nya. Ada pula sebagian kecil yang ingin pulang ke tanah air. Sampai sejauh mana keterlibatan mereka dalam G30S belum jelas. Memang di antara mereka ada empat orang yang benar-benar anggota dan bahkan tokoh PKI. Mengingat usia mereka yang sudah tua renta, Pemerintah melihatnya dari sisi kemanusiaan. Masalahnya, seluruh tahanan politik PKI Golongan B yang ada di Pulau Buru, seluruhnya telah dibebaskan. Demikian pula tokoh-tokoh yang sekian lama mendekam dalam penjara seperti Soebandrio, Rewang, Latief dan lain-lain. Pembebasan mereka justru telah dilakukan di masa Pemerintahan Presiden Soeharto. Pembebasan itu tidak berarti bahwa mereka diberikan amnesti dan rehabilitasi.
Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan saya selaku Menkumdang untuk berdialog dengan mereka itu. Dalam rangka mencari masukan untuk merumuskan kebijakan dalam menyikapi orang-orang eks Mahid itu. Sebab itulah saya berdialog dengan mereka secara terbuka. Saya katakan bahwa Pemerintah Abdurrahman Wahid mempunyai ”goodwill” untuk mencari jalan keluar mengatasi orang-orang eks Mahid yang selalu menjadi bahan beberapa LSM dan beberapa negara Eropah dalam memojokkan posisi Indonesia. Hasil dari dialog itu harus saya laporkan kepada Presiden, dan saya yakin akan dibahas antar-departemen sebelum diambil kebijakan dalam menyikapi mereka.
Sampai sekarang saya belum berjumpa dengan Presiden, karena ketika saya tiba di tanah air, beliau berangkat ke luar negeri. Rencana semula, pertengahan Pebruari ini sudah ada draf kebijakan itu. Namun terpaksa tertunda menunggu Presiden pulang.
Sekali lagi saya katakan, tidak benar kalimat Anda yang mengatakan bahwa saya mengundang orang-orang kiri untuk pulang ke tanah air.
Dalam agama Islam yang saya anut, mengundang orang itu sunah hukumnya. Sedang yang diundang jika tidka ada halangan apa-apa, wajib hukumnya untuk hadir. Saya tidak pernah mengundang mereka, sehingga “wajib hukumnya” bagi mereka pulang ke tanah air jika tak ada halangan apa-apa. Hanya saja jika mereka itu WNI, mereka berhak untuk pulang ke tanah air. Itu hak mereka.
Dalam hal inilah tersangkut tugas saya selaku Menkumdang karena masalah kewarganegaraan dan imigrasi berada di bawah departemen ini. Soal mereka mau pulang atau tidak, itu urusan mereka sendiri. Pemerintah tidak pernah berpikir untuk mengundang, menjemput, apalagi sampai mengongkosi mereka jika mau berkunjung atau pulang ke tanah air.
Lebih celaka lagi, sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Yusril, Ketua Partai Bulan Bintang jauh-jauh datang ke Belanda untuk menjemput orangPKI. Kata-kata seperti ini adalah agitasi dan propaganda model PKI itu sendiri untuk memojokkan saya dan membuat saya berhadap-hadapan dengan warga Partai Bulan Bintang. Jusup Adjitorop, Ketua Departemen Agitprop PKI di masa lampau sering menggunakan teknik propaganda seperti itu.
Dalam propaganda, semua fakta diputar-balikkan demi kepentingan Sang Propagandis. Saya tegaskan sekali lagi, tidak seorangpun orang PKI yang saya jemput jauh-jauh ke negeri Belanda. Saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta berdua dengan ajudan dari Depkumdang. Samasekali tidak ada orang PKI yang ikut dengan saya. Saya sendiri tidak punya niat seperti itu.
Bagaimana caranya untuk mengantisipasi agar ideologi Komunis tidak bisa eksis. Melalui UU?
Caranya adalah dengan menyejahterakan kehidupan bangsa kita. Nabi Muhammad s.a.w., telah mengatakan bahwa kita harus hati-hati terhadap kemiskinan, karena kemiskinan itu mendekatkan manusia kepada kekufuran. Kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial adalah lahan subur tumbuhnya Komunisme. Jika masyarakat terus-menerus berada dalam situasi konflik, apalagi chaos, maka segala perangkat demokrasi seperti kebebasan berbicara, kebebasan berserikat akan dimanfaatkan untuk menghidup-suburkan Komunisme.
Kaum Komunis memang akan memanfaatkan slogan-slogan bersifat kerakyatan, demokrasi, kebebasan dan lain-lain. Tetapi itu hanya taktik saja. Ketika Komunisme telah kuat mereka akan menindas golongan-golongan lain dan menguburkan demokrasi itu sendiri. Bukti-bukti empiris yang mendukung hal ini cukup banyak dalam sejarah masyarakat di abad ini.
Undang-undang memang merupakan salah satu senjata efektif untuk mencegah kebangkitan kembali Komunisme. Ada ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang hingga kini masih berlaku, demikian pula berbagai ketentuan perundang-undangan yang lain. Tetapi itu saja tidak cukup, karena undang-undang hanyalah huruf-huruf mati yang tak bernyawa, kecuali bangsa kita bertekad untuk mewujudkannya.
Bagi saya melarang Komunisme tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Sebab dalam negara demokratis, semua golongan boleh hidup, kecuali golongan yang memusuhi demokrasi itu sendiri. Dimana-mana telah terbukti bahwa Komunisme adalah kekuatan anti demokrasi.
Selain itu, generasi muda juga harus bersikap kritis dan jangan mudah terpengaruh kepada slogan-slogan, agitasi dan propaganda kaum kiri yang secara sepintas kelihatannya menarik. Mereka juga harus mempelajari taktik dan strategi kaum Komunis untuk menjadi pengetahuan agar tidak terjerumus. Terus terang saya agak kecewa berjumpa dengan beberapa pemuda yang mengaku berasal dari organisasi pemuda dan mahasiswa Islam, tetapi sok bersikap kekiri-kirian. Omongannya penuh dengan istilah-istilah dan slogan-slogan Marxis, seolah-olah saya awam mengenai seluk-beluk Marxisme.
Saya bersyukur pernah menjadi asisten almarhum Prof Osman Raliby yang menelaah dan mengoleksi demikian lengkap literatur-literatur Marxis dan publikasi-publikasi golongan kiri di tanah air, sehingga saya dapat mempelajarinya. Prof. Osman dahulunya adalah tokoh Masyumi yang sengaja mendalami Marxisme untuk menghadapi mereka. Sayapun mengikuti jejak beliau.
Saya telah mempelajari seluk-beluk gerakan Marxis, ketika kebanyakan orang di tanah air tidak menganggap masalah ini masalah serius. Mereka hanya ditakut-takuti Pemerintah Orde Baru tentang bahaya laten Komunis, tetapi pada dasarnya tidak tahu apa itu Komunisme.
Bagaimana dengan Militer (TNI) yang hingga kini bersikeras tidak menyetujui kebijakan Pemerintah untuk menerima mereka yang diindikasikan terlibat G30S PKI kembali ke Indonesia?
Cara Anda bertanya adalah mirip taktik propaganda pers kiri di zaman Orde Lama, yakni taktik adu domba antara kekuatan dalam masyarakat.
Dari pertanyaan itu terselip maksud-maksud terselubung untuk mengadu domba antara TNI dengan Pemerintah, seolah-olah TNI bukan bagian dari Pemerintah. Padahal kebijakan Pemerintah itu belum dirumuskan seperti tadi telah saya katakan. Tidak ada langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemerintah tanpa dibawa ke dalam rapat untuk didiskusikan.
Saya sendiri membicarakan rencana kebijakan yang akan diambil Pemerintah itu bersama-sama Menko Polkam, Panglima TNI serta Kepala Bakin. Kami saling berkomunikasi dan berkoordinasi satu sama lain.
Pertanyaan Anda telah menyimpulkan bahwa Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerima mereka yang terindikasikan terlibat G30S untuk kembali ke tanah air. Anda membuat kesimpulan sendiri, bukan fakta, dan kemudian mempertentangkannya dengan sikap TNI. Apa maksud Anda?
Bagaimana pula Anda menhadapi orang-orang partai yang Anda pimpin (PBB), yang juga menentang keras langkah besar Anda itu? Anda tidak takut digoyang di tubuh partai?
Sikap saya dengan sikap PBB dalam menghadapi Komunisme adalah sama. Tetapi saya tidak menutup kemungkinan ada anggota PBB yang salah paham dengan saya. Dari kalangan generasi tua PBB mungkin pula ada yang menyangka saya tidak pernah mempelajari Komunisme, mengingat usia saya jauh lebih muda dari mereka.
Kesalahpahaman itu antara lain disebabkan juga oleh gaya tulisan media massa yang sekarang Anda lakukan. Apa yang saya katakan dalam wawancara lisan dipotong-potong, lalu diputar-balikkan.
Langkah besar apa yang saya lakukan? Kalau dikatakan bahwa saya ”menjemput orang PKI” atau ”berdamai dengan orang PKI” atau ”mengundang” mereka seperti istilah Anda, tentu saja sikap saya jadi bertentangan dengan sikap PBB. Tetapi saya tidak bersikap demikian, kecuali Majalah Tajuk –entah sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari sayap agitasi dan propaganda golongan kiri yang bermain di arena jurnalistik untuk memojokkan dan mengadu domba saya dengan tokoh-tokoh dan para pendukung PBB. Apakah demikian maksud keberadaan majalah Anda?
Demikian jawaban saya atas pertanyaan Saudara. Saya berharap Saudara akan bersikap jujur dan tidak memutar-balikkan teks wawancara ini demi keuntungan Anda sendiri. Jika Anda konsisten dengan sikap kejujuran, saya berharap Anda akan memuat jawaban ini tanpa melakukan editing terhadapnya.
Terima kasih.
Bagaimana Anda melihat potensi berkembangnya kembali ajaran komunis di Indonesia?
Saya pernah mempelajari Komunisme dengan agak sedikit mendalam sewaktu saya menjadi mahasiswa filsafat di Fakultas Sastra UI. Hampir seluruh karya-karya Marx, Engels, Lenin, Stalin, Tito, Mao, Tan Malaka, dan Aidit saya baca, termasuk tulisan golongan kiri di tanah air sejak pra-kemerdekaan seperti tulisan Ir. Baars. Saya berkesimpulan bahwa sebagai ideologi, Komunisme tidak akan pernah mati.
Dalam perkembangannya, adakalanya Komunisme berubah bentuk menjadi pseudo-religion, walaupun pada dasarnya filsafat Marx digolongkan sebagai atheisme filosofis. Regim-regim Komunis merubahnya menjadi atheisme politik yang menindas kekuatan agama. Sebagai pseudo-religion Komunisme dapat menumbuhkan semangat fanatisme.
Analisa kelas yang menjadi struktur dasar berfikir Marxisme mengandung sifat perlawanan dan karena itu banyak menarik minat kalangan pejuang anti penindasan, walaupun keseluruhan ajaran Komunisme itu menurut pandangan saya bertentangan dengan fitrah manusia. Di masa lalu, kekuatan kaum Komunis di tanah air tidak dapat dianggap enteng. PKI adalah partai Komunis terbesar di dunia, pada sebuah negara yang secara resmi bukan negara Komunis. Arnold Barckman menyebutkan bahwa pada tahun 1963, jumlah anggota PKI adalah 3,7 juta orang. PKI adalah partai terbesar keempat dalam Pemilu 1955. Dalam Pemilu tingkat daerah tahun 1958, kekuatan PKI makin besar dibandingkan dengan Pemilu 1955. Di Yogya, Solo dan Semarang, perolehan suara PKI dalam Pemilu daerah, hampir dan bahkan melebihi setengah dari total suara yang diperoleh partai-partai lain.
Meskipun PKI telah dibubarkan pada tahun 1966, namun kekuatannya belum dapat dikatakan lumpuh samasekali. Mereka masih mempunyai potensi terpendam. Sebagai ideologi, apalagi telah berkembang menjadi pseudo-religion, Komunisme tidak akan pernah mati samasekali. Suatu saat potensi yang terpendam itu dapat tumbuh kembali, apabila ada suasana kondusif untuk itu. Situasi rawan di tanah air dewasa ini, di mana ketimpangan sosial-ekonomi demikian tinggi, konflik antar golongan yang kian merebak, serta meningkatnya jumlah orang miskin dan pengangguran, adalah kondisi-kondisi yang memberikan peluang besar bagi bangkitnya kembali Komunisme.
Saya pernah memperdebatkan masalah di atas dengan Franz Magnis Suseno di hadapan Apong Herlina, Rachland Nashidik, Gustave Dupe dan Nuku Sulaiman. Magnis mengatakan tak percaya bahwa Komunisme akan bangkit kembali dengan argumen bahwa tidak ada struktur kekuasaan politik yang menopangnya dengan hancurnya Uni Sovyet dan runtuhnya regim-regim Komunis yang lain. Dalam 20 tahun terakhir katanya, tidak ada satupun kelompok resistensi yang mendasarkan perjuangannya kepada Komunisme. Saya membantah argumentasi Magnis.
Bagi saya analisa strukturalis dalam menganalisa kekuatan Komunisme tidak akan menjelaskan apa-apa. Pikiran Magnis, saya katakan terus terang, mencerminkan analisa pikiran Jesuit abad-abad yang lalu, ketika mereka berpendapat bahwa jika Granada dan Malaka yang menjadi kekuatan struktural penopang tegaknya agama Islam di Barat dan di Timur telah dihancurkan, maka agama Islam akan mati. Kenyataannya sampai sekarang Islam tetap tegak berdiri.
Bagi saya –demikian saya katakan kepada Magnis, Komunisme bukan sekadar ideologi, tetapi pseudo-religion, walaupun hakikatnya Komunisme bersifat anti agama. Jika Komunisme telah berkembang menjadi pseudo-religion, maka analisis struktural tidak memuaskan. Magnis membantah, karena Komunis baginya bukan agama. Dalam agama ada Allah yang memberi jaminan, katanya, dalam Komunis tidak. Saya katakan, saya sadar Komunisme bukan agama, tetapi Komunisme dapat berkembang menjadi pseudo-religion, semacam ”agama” palsu yang melahirkan fanatisme baru. Magnis kemudian diam saja.
Apa Pendapat Anda dengan adanya fenomena beberapa kelompok mahasiswa yang kerap dalam aksinya bernuansa Komunis, seperti mereka mengatakan ”Revolusi sampai mati” atau Serikat Tani Indonesia?
Fenomena seperti itu memang saya rasakan sejak beberapa tahun terakhir ini, walaupun ketika saya ajak berdiskusi tentang filsafat Marxis, pengetahuan mereka sebenarnya tidak seberapa. Saya menganggap bahwa mereka itu potensial untuk menjadi Marxis sungguhan, dengan syarat ada yang membina mereka dan kondisi untuk itu juga mendukung.
Pengalaman sejarah kita mendukung hal itu. Beberapa tokoh Sosialis Kiri Belanda seperti Snievliet dan Ir. Baars di awal abad ini giat menggarap kelompok pemuda radikal di Semarang yang aktif dalam Sarekat Islam. Akhirnya pemuda-pemuda itu seperti Semaun dan Darsono menjadi tokoh-tokoh Komunis sungguhan. Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang lain tetap menjadi penganut Islam-Marxis seperti Kiyai Misbach dan KH. Ahmad Dasuki Siradj di Solo serta Haji Datuk Batuah di Minangkabau yang terlibat dalam Peristiwa Silungkang tahun 1927. Tulisan Kiyai Misbach agak mirip dengan ”Green Book”-nya Moammar Ghaddafi dari Libya. Islam dianalisis dalam paradigma Marxis ditambah dengan slogan-slogan revolusioner anti penindasan.
Ada beberapa mahasiswa yang pada awalnya ikut-ikutan menggunakan slogan-slogan yang biasa digunakan kaum Komunis dan golongan radikal kiri. Lama-kelamaan jika kurang kritisisme dan studi perbandingan, dapat ikut larut ke dalam kelompok Komunis yang sesungguhnya. Seperti kasus Snievliet dan Baars, biasanya tokoh tua yang mendalam pengetahuan Marxismenya akan berada di belakang mendorong yang muda-muda. Kelompok muda itu dapat berasal dari mana saja, bahkan, seperti saya contohkan di atas, dari mereka yang berlatar belakang gerakan Islam. Jika saja kalangan ini tidak mendalami taktik dan strategi perjuangan kaum Komunis, bukan mustahil akhirnya mereka terjerumus.
Lantas apa pertimbangan Anda mengundang mereka yang berhaluan kiri untuk kembali ke tanah air? Bukankah ideologi itu tidak pernah mati?
Saya khawatir dalam pertanyaan ke-3 ini Anda juga telah menggunakan cara-cara agitasi dan propaganda kaum Komunis untuk menyudutkan seseorang sehingga berhadap-hadapan dengan golongannya sendiri.
Saya tidak pernah ”mengundang kiri untuk kembali ke tanah air” seperti Anda katakan. Saya memang menerjemahkan kebijakan umum Presiden tentang rekonsiliasi.
Di luar negeri, sejak tahun 1965, terdapat sejumlah warganegara Indonesia yang terhalang untuk pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka adalah eks Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) yang dikirim ke negara-negara Eropah Timur. Usia mereka kini 60-84 tahun, sebagian lagi telah meninggal. Ketika saya berjumpa dengan mereka di Belanda, hanya satu orang yang usianya 58 tahun. Sejak G30S status kewarganegaraan mereka tidak jelas karena passport-nya dicabut. Akhirnya mereka terpaksa menjadi warganegara Belanda, Jerman, Perancis atau lainnya.
Sebagian mereka ingin diberi kesempatan untuk berkunjung ke tanah air, beberapa di antaranya ingin mendapatkan kembali status WNI-nya. Ada pula sebagian kecil yang ingin pulang ke tanah air. Sampai sejauh mana keterlibatan mereka dalam G30S belum jelas. Memang di antara mereka ada empat orang yang benar-benar anggota dan bahkan tokoh PKI. Mengingat usia mereka yang sudah tua renta, Pemerintah melihatnya dari sisi kemanusiaan. Masalahnya, seluruh tahanan politik PKI Golongan B yang ada di Pulau Buru, seluruhnya telah dibebaskan. Demikian pula tokoh-tokoh yang sekian lama mendekam dalam penjara seperti Soebandrio, Rewang, Latief dan lain-lain. Pembebasan mereka justru telah dilakukan di masa Pemerintahan Presiden Soeharto. Pembebasan itu tidak berarti bahwa mereka diberikan amnesti dan rehabilitasi.
Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan saya selaku Menkumdang untuk berdialog dengan mereka itu. Dalam rangka mencari masukan untuk merumuskan kebijakan dalam menyikapi orang-orang eks Mahid itu. Sebab itulah saya berdialog dengan mereka secara terbuka. Saya katakan bahwa Pemerintah Abdurrahman Wahid mempunyai ”goodwill” untuk mencari jalan keluar mengatasi orang-orang eks Mahid yang selalu menjadi bahan beberapa LSM dan beberapa negara Eropah dalam memojokkan posisi Indonesia. Hasil dari dialog itu harus saya laporkan kepada Presiden, dan saya yakin akan dibahas antar-departemen sebelum diambil kebijakan dalam menyikapi mereka.
Sampai sekarang saya belum berjumpa dengan Presiden, karena ketika saya tiba di tanah air, beliau berangkat ke luar negeri. Rencana semula, pertengahan Pebruari ini sudah ada draf kebijakan itu. Namun terpaksa tertunda menunggu Presiden pulang.
Sekali lagi saya katakan, tidak benar kalimat Anda yang mengatakan bahwa saya mengundang orang-orang kiri untuk pulang ke tanah air.
Dalam agama Islam yang saya anut, mengundang orang itu sunah hukumnya. Sedang yang diundang jika tidka ada halangan apa-apa, wajib hukumnya untuk hadir. Saya tidak pernah mengundang mereka, sehingga “wajib hukumnya” bagi mereka pulang ke tanah air jika tak ada halangan apa-apa. Hanya saja jika mereka itu WNI, mereka berhak untuk pulang ke tanah air. Itu hak mereka.
Dalam hal inilah tersangkut tugas saya selaku Menkumdang karena masalah kewarganegaraan dan imigrasi berada di bawah departemen ini. Soal mereka mau pulang atau tidak, itu urusan mereka sendiri. Pemerintah tidak pernah berpikir untuk mengundang, menjemput, apalagi sampai mengongkosi mereka jika mau berkunjung atau pulang ke tanah air.
Lebih celaka lagi, sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Yusril, Ketua Partai Bulan Bintang jauh-jauh datang ke Belanda untuk menjemput orangPKI. Kata-kata seperti ini adalah agitasi dan propaganda model PKI itu sendiri untuk memojokkan saya dan membuat saya berhadap-hadapan dengan warga Partai Bulan Bintang. Jusup Adjitorop, Ketua Departemen Agitprop PKI di masa lampau sering menggunakan teknik propaganda seperti itu.
Dalam propaganda, semua fakta diputar-balikkan demi kepentingan Sang Propagandis. Saya tegaskan sekali lagi, tidak seorangpun orang PKI yang saya jemput jauh-jauh ke negeri Belanda. Saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta berdua dengan ajudan dari Depkumdang. Samasekali tidak ada orang PKI yang ikut dengan saya. Saya sendiri tidak punya niat seperti itu.
Bagaimana caranya untuk mengantisipasi agar ideologi Komunis tidak bisa eksis. Melalui UU?
Caranya adalah dengan menyejahterakan kehidupan bangsa kita. Nabi Muhammad s.a.w., telah mengatakan bahwa kita harus hati-hati terhadap kemiskinan, karena kemiskinan itu mendekatkan manusia kepada kekufuran. Kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial adalah lahan subur tumbuhnya Komunisme. Jika masyarakat terus-menerus berada dalam situasi konflik, apalagi chaos, maka segala perangkat demokrasi seperti kebebasan berbicara, kebebasan berserikat akan dimanfaatkan untuk menghidup-suburkan Komunisme.
Kaum Komunis memang akan memanfaatkan slogan-slogan bersifat kerakyatan, demokrasi, kebebasan dan lain-lain. Tetapi itu hanya taktik saja. Ketika Komunisme telah kuat mereka akan menindas golongan-golongan lain dan menguburkan demokrasi itu sendiri. Bukti-bukti empiris yang mendukung hal ini cukup banyak dalam sejarah masyarakat di abad ini.
Undang-undang memang merupakan salah satu senjata efektif untuk mencegah kebangkitan kembali Komunisme. Ada ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang hingga kini masih berlaku, demikian pula berbagai ketentuan perundang-undangan yang lain. Tetapi itu saja tidak cukup, karena undang-undang hanyalah huruf-huruf mati yang tak bernyawa, kecuali bangsa kita bertekad untuk mewujudkannya.
Bagi saya melarang Komunisme tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Sebab dalam negara demokratis, semua golongan boleh hidup, kecuali golongan yang memusuhi demokrasi itu sendiri. Dimana-mana telah terbukti bahwa Komunisme adalah kekuatan anti demokrasi.
Selain itu, generasi muda juga harus bersikap kritis dan jangan mudah terpengaruh kepada slogan-slogan, agitasi dan propaganda kaum kiri yang secara sepintas kelihatannya menarik. Mereka juga harus mempelajari taktik dan strategi kaum Komunis untuk menjadi pengetahuan agar tidak terjerumus. Terus terang saya agak kecewa berjumpa dengan beberapa pemuda yang mengaku berasal dari organisasi pemuda dan mahasiswa Islam, tetapi sok bersikap kekiri-kirian. Omongannya penuh dengan istilah-istilah dan slogan-slogan Marxis, seolah-olah saya awam mengenai seluk-beluk Marxisme.
Saya bersyukur pernah menjadi asisten almarhum Prof Osman Raliby yang menelaah dan mengoleksi demikian lengkap literatur-literatur Marxis dan publikasi-publikasi golongan kiri di tanah air, sehingga saya dapat mempelajarinya. Prof. Osman dahulunya adalah tokoh Masyumi yang sengaja mendalami Marxisme untuk menghadapi mereka. Sayapun mengikuti jejak beliau.
Saya telah mempelajari seluk-beluk gerakan Marxis, ketika kebanyakan orang di tanah air tidak menganggap masalah ini masalah serius. Mereka hanya ditakut-takuti Pemerintah Orde Baru tentang bahaya laten Komunis, tetapi pada dasarnya tidak tahu apa itu Komunisme.
Bagaimana dengan Militer (TNI) yang hingga kini bersikeras tidak menyetujui kebijakan Pemerintah untuk menerima mereka yang diindikasikan terlibat G30S PKI kembali ke Indonesia?
Cara Anda bertanya adalah mirip taktik propaganda pers kiri di zaman Orde Lama, yakni taktik adu domba antara kekuatan dalam masyarakat.
Dari pertanyaan itu terselip maksud-maksud terselubung untuk mengadu domba antara TNI dengan Pemerintah, seolah-olah TNI bukan bagian dari Pemerintah. Padahal kebijakan Pemerintah itu belum dirumuskan seperti tadi telah saya katakan. Tidak ada langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemerintah tanpa dibawa ke dalam rapat untuk didiskusikan.
Saya sendiri membicarakan rencana kebijakan yang akan diambil Pemerintah itu bersama-sama Menko Polkam, Panglima TNI serta Kepala Bakin. Kami saling berkomunikasi dan berkoordinasi satu sama lain.
Pertanyaan Anda telah menyimpulkan bahwa Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerima mereka yang terindikasikan terlibat G30S untuk kembali ke tanah air. Anda membuat kesimpulan sendiri, bukan fakta, dan kemudian mempertentangkannya dengan sikap TNI. Apa maksud Anda?
Bagaimana pula Anda menhadapi orang-orang partai yang Anda pimpin (PBB), yang juga menentang keras langkah besar Anda itu? Anda tidak takut digoyang di tubuh partai?
Sikap saya dengan sikap PBB dalam menghadapi Komunisme adalah sama. Tetapi saya tidak menutup kemungkinan ada anggota PBB yang salah paham dengan saya. Dari kalangan generasi tua PBB mungkin pula ada yang menyangka saya tidak pernah mempelajari Komunisme, mengingat usia saya jauh lebih muda dari mereka.
Kesalahpahaman itu antara lain disebabkan juga oleh gaya tulisan media massa yang sekarang Anda lakukan. Apa yang saya katakan dalam wawancara lisan dipotong-potong, lalu diputar-balikkan.
Langkah besar apa yang saya lakukan? Kalau dikatakan bahwa saya ”menjemput orang PKI” atau ”berdamai dengan orang PKI” atau ”mengundang” mereka seperti istilah Anda, tentu saja sikap saya jadi bertentangan dengan sikap PBB. Tetapi saya tidak bersikap demikian, kecuali Majalah Tajuk –entah sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari sayap agitasi dan propaganda golongan kiri yang bermain di arena jurnalistik untuk memojokkan dan mengadu domba saya dengan tokoh-tokoh dan para pendukung PBB. Apakah demikian maksud keberadaan majalah Anda?
Demikian jawaban saya atas pertanyaan Saudara. Saya berharap Saudara akan bersikap jujur dan tidak memutar-balikkan teks wawancara ini demi keuntungan Anda sendiri. Jika Anda konsisten dengan sikap kejujuran, saya berharap Anda akan memuat jawaban ini tanpa melakukan editing terhadapnya.
Terima kasih.
Salam hormat,
Yusril Ihza Mahendra
Tidak ada komentar
Posting Komentar