Kita lanjutkan telaahan kita terhadap Kitab Daniel 2:30-35. Dalam kajian sebelumnya telah banyak kesimpulan yang dapat dipahami oleh pembaca sekalian, baik dari pihak Muslim maupun dari pihak Kristiani, hanya keterbukaan dalam memahami kebenaran lah yang dapat membuat orang-orang yang masih meragukan tafsir kritis dari Daniel 2:30-35 tersebut mau menerima dan mengakui kebenaran yang disampaikan dalam pemaparan rinci ini. Beberapa kesimpulan tersebut adalah:
1. Daniel 2:30-35 yang disandarkan sebagai mimpi Raja Nebukadnezar sesungguhnya merupakan nubuat terhadap masa depan bagi Kekristenan dan dogmanya dan bukan nubuat mengenai kerajaan secara harfiah.
2. Daniel 2:30-35 mencatat secara pasti bahwa simbologi dan bahasa metafora dalam mimpi Raja Nebukadnezar dimana inti ceritanya adalah sebuah Patung, sebenarnya merupakan sesuatu yang menggambarkan mengenai Kekristenan dan sejarah terbentuknya doktrin ketuhanan Gereja.
3. Daniel 2:30-35 menjelaskan secara nyata bahwa "Patung" (Kekristenan) tersebut akan hancur dan lulu lantah oleh sesuatu yang digambarkan dengan sebuah "Batu".
Batu Penghancur Dogma Kekristenan
Daniel 2:34 Sementara tuanku melihatnya, terungkit lepas sebuah batu tanpa perbuatan tangan manusia, lalu menimpa patung itu, tepat pada kakinya yang dari besi dan tanah liat itu, sehingga remuk.
Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan "sebuah batu" tersebut, dan apa yang sesungguhnya dibawa olehnya, sehingga ia mampu meremukkan Doktrin Trinitas yang sudah ribuan tahun menjadi Dogma Ketuhanan bagi milyaran Kristiani di dunia ini?
Kalau kita belajar dan membaca literatur-literatur tentang sejarah perkembangan agama-agama di dunia ini, maka sangat bisa dipastikan bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang secara terang-terangan dan terbuka berani menohok sebuah dogma ketuhanan agama tertentu, kecuali Agama Islam. Jadi, satu-satu-nya agama di dunia ini yang secara terus-terang dan terbuka berani berbenturan dan mengoreksi sebuah dogma ketuhanan (Doktrin Trinitas) yang dimiliki oleh sebuah agama tertentu (Kristen), hanyalah agama "ISLAM".
Agama Islam di dalam konteks Kitab Daniel Pasal 2:34, adalah laksana "sebuah batu" yang memiliki karakter keras dan kuat, namun juga memiliki bentuk yang natural dan alami. Itu sesungguhnya menggambarkan bahwa ajaran atau "rule of law" yang dibawa oleh Nabi Muhammad dari Allah adalah bersifat tegas dan dalam penerapannya (law inforcement) pun senantiasa dilandasi oleh semangat yang sangat kuat. Demikian juga ajaran Islam, yang laksana "sebuah batu" yang memiliki bentuk natural dan alami, maka ajaran Islam sebagai "way of life" pun sesungguhnya juga telah dipersiapkan oleh Allah sebagai pedoman hidup yang applicable, membumi, dan membawa rahmat bagi semesta alam, atau dalam istilah Al-Qur'an disebut sebagai "Rahmatan Lil Alamin".
Di dalam Al-Qur'an sebenarnya terdapat banyak sekali bertebaran ayat-ayat yang memberikan koreksi terhadap ajaran-ajaran yang bernuansa musyrik (mempersekutukan Allah), baik yang bersifat koreksi secara umum mau pun koreksi secara khusus.
1. Daniel 2:30-35 yang disandarkan sebagai mimpi Raja Nebukadnezar sesungguhnya merupakan nubuat terhadap masa depan bagi Kekristenan dan dogmanya dan bukan nubuat mengenai kerajaan secara harfiah.
2. Daniel 2:30-35 mencatat secara pasti bahwa simbologi dan bahasa metafora dalam mimpi Raja Nebukadnezar dimana inti ceritanya adalah sebuah Patung, sebenarnya merupakan sesuatu yang menggambarkan mengenai Kekristenan dan sejarah terbentuknya doktrin ketuhanan Gereja.
3. Daniel 2:30-35 menjelaskan secara nyata bahwa "Patung" (Kekristenan) tersebut akan hancur dan lulu lantah oleh sesuatu yang digambarkan dengan sebuah "Batu".
Batu Penghancur Dogma Kekristenan
Daniel 2:34 Sementara tuanku melihatnya, terungkit lepas sebuah batu tanpa perbuatan tangan manusia, lalu menimpa patung itu, tepat pada kakinya yang dari besi dan tanah liat itu, sehingga remuk.
Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan "sebuah batu" tersebut, dan apa yang sesungguhnya dibawa olehnya, sehingga ia mampu meremukkan Doktrin Trinitas yang sudah ribuan tahun menjadi Dogma Ketuhanan bagi milyaran Kristiani di dunia ini?
Kalau kita belajar dan membaca literatur-literatur tentang sejarah perkembangan agama-agama di dunia ini, maka sangat bisa dipastikan bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang secara terang-terangan dan terbuka berani menohok sebuah dogma ketuhanan agama tertentu, kecuali Agama Islam. Jadi, satu-satu-nya agama di dunia ini yang secara terus-terang dan terbuka berani berbenturan dan mengoreksi sebuah dogma ketuhanan (Doktrin Trinitas) yang dimiliki oleh sebuah agama tertentu (Kristen), hanyalah agama "ISLAM".
Agama Islam di dalam konteks Kitab Daniel Pasal 2:34, adalah laksana "sebuah batu" yang memiliki karakter keras dan kuat, namun juga memiliki bentuk yang natural dan alami. Itu sesungguhnya menggambarkan bahwa ajaran atau "rule of law" yang dibawa oleh Nabi Muhammad dari Allah adalah bersifat tegas dan dalam penerapannya (law inforcement) pun senantiasa dilandasi oleh semangat yang sangat kuat. Demikian juga ajaran Islam, yang laksana "sebuah batu" yang memiliki bentuk natural dan alami, maka ajaran Islam sebagai "way of life" pun sesungguhnya juga telah dipersiapkan oleh Allah sebagai pedoman hidup yang applicable, membumi, dan membawa rahmat bagi semesta alam, atau dalam istilah Al-Qur'an disebut sebagai "Rahmatan Lil Alamin".
Di dalam Al-Qur'an sebenarnya terdapat banyak sekali bertebaran ayat-ayat yang memberikan koreksi terhadap ajaran-ajaran yang bernuansa musyrik (mempersekutukan Allah), baik yang bersifat koreksi secara umum mau pun koreksi secara khusus.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas' 112:1-4)
Kalau kita perhatikan QS. Al-Ikhlas' 112:1-4 tersebut di atas, jika ditinjau berdasarkan obyek yang menjadi sasaran koreksi, maka Surat Al-Ikhlas ini termasuk kategori yang bersifat koreksi secara umum, tetapi kalau ditinjau dari isi kandungannya, sesungguhnya termasuk kategori yang bersifat koreksi secara khusus, karena langsung menjurus pada substansi dogma ketuhanan yang dianut oleh umat Kristen.
1. Ayat "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu", langsung mengoreksi keyakinan bahwa Tuhan adalah Tri Tunggal (Tuhan terdiri dari 3 oknum: Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus, tetapi tetap 1 Tuhan).
2. Ayat "Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan", langsung mengoreksi keyakinan bahwa di dalam Trinitas ada Tuhan Bapa (Allah) dan Tuhan Anak (Yesus Kristus).
3. Ayat "dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia", langsung mengoreksi keyakinan bahwa Tuhan Allah menjelma menjadi manusia (Yesus Kristus) sebagai wujud Tuhan dalam bentuk kedagingan.
Berikut kutipan lain dari Al-Qur'an yang dengan jelas merupakan bentuk koreksi secara khusus terhadap dogma Kristen.
Kalau kita perhatikan QS. Al-Ikhlas' 112:1-4 tersebut di atas, jika ditinjau berdasarkan obyek yang menjadi sasaran koreksi, maka Surat Al-Ikhlas ini termasuk kategori yang bersifat koreksi secara umum, tetapi kalau ditinjau dari isi kandungannya, sesungguhnya termasuk kategori yang bersifat koreksi secara khusus, karena langsung menjurus pada substansi dogma ketuhanan yang dianut oleh umat Kristen.
1. Ayat "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu", langsung mengoreksi keyakinan bahwa Tuhan adalah Tri Tunggal (Tuhan terdiri dari 3 oknum: Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus, tetapi tetap 1 Tuhan).
2. Ayat "Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan", langsung mengoreksi keyakinan bahwa di dalam Trinitas ada Tuhan Bapa (Allah) dan Tuhan Anak (Yesus Kristus).
3. Ayat "dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia", langsung mengoreksi keyakinan bahwa Tuhan Allah menjelma menjadi manusia (Yesus Kristus) sebagai wujud Tuhan dalam bentuk kedagingan.
Berikut kutipan lain dari Al-Qur'an yang dengan jelas merupakan bentuk koreksi secara khusus terhadap dogma Kristen.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam." Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?." Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Maaidah' 5:17)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun." (QS. Al-Maaidah' 15:72)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih." (QS. Al-Maaidah' 15:73)
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu)." (QS. Al-Maaidah' 15:75)
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maaidah' 15:77)
Demikianlah beberapa Surat dan ayat dalam Al-Qur'an yang secara terang-terangan dan terbuka mengoreksi dogma ketuhanan yang diimani oleh Kristiani, yaitu Doktrin Trinitas. Dan hal ini juga mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dimaksud sebagai "sebuah batu" dan satu-satunya, adalah Agama Islam.
Hajar Aswad, Monumen Spiritual Umat Islam
Sebelum kita lanjutkan telaahan terhadap Kitab Daniel 2:35, berikut info tambahan untuk melengkapi penjelasan sebelumnya berkaitan dengan makna kata "sebuah batu" dalam Kitab Daniel 2:34.
Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa makna kata "sebuah batu" dalam Kitab Daniel 2:34 telah disimpulkan sebagai tamsil yang menunjuk kepada risalah atau "rule of law" yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yaitu diin ul haq, jalan kebenaran Islam. Namun demikian, secara faktual pun sesungguhnya agama Islam memiliki sebuah monumen spiritual yang juga berbentuk "sebuah batu", yang hingga kini masih terus terawat dan terjaga keberadaannya, di mana umat Islam di seluruh dunia mengenalnya sebagai Hajar Aswad.
Hajar Aswad adalah sebuah monumen spiritual yang sarat akan makna-makna simbolik bagi umat Islam. Hajar Aswad bukan-lah merupakan sebuah berhala yang disembah-sembah oleh umat Islam, dan bukan pula merupakan sebuah bentuk simbolisasi Tuhan, serta bukan merupakan sebuah lambang untuk mempersekutukan Allah (Na'uudzu billaahi minzalik..). Di dalam Islam tidak mengenal simbolisasi Tuhan, karena Allah memiliki sifat "mukholawatu lil khawadist" dan "lam yakullaahu kufuwan ahad", Allah tidaklah sama dengan makhluk ciptaan-Nya, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Islam tidak menganut paham anthropomorphisme atau sebuah paham yang mempersonifikasikan Tuhan sebagaimana layaknya seperti manusia, sebagaimana yang terjadi dalam Kekristenan.
Di dalam terminologi Islam, Hajar Aswad sesungguhnya memiliki banyak makna simbolik bagi umat dan makna simbolik tersebut memang harus senantiasa terpelihara dan terhayati dalam diri setiap muslim, agar umat muslim tidak mengalami suatu dis-orientasi terhadap ajaran dan sejarah agamanya. Makna-makna simbolik Hajar Aswad tersebut antara lain meliputi:
Pertama, Hajar Aswad memiliki makna: Mutual Assistance (simbol kerjasama dan kebersamaan)
Demikianlah beberapa Surat dan ayat dalam Al-Qur'an yang secara terang-terangan dan terbuka mengoreksi dogma ketuhanan yang diimani oleh Kristiani, yaitu Doktrin Trinitas. Dan hal ini juga mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dimaksud sebagai "sebuah batu" dan satu-satunya, adalah Agama Islam.
Hajar Aswad, Monumen Spiritual Umat Islam
Sebelum kita lanjutkan telaahan terhadap Kitab Daniel 2:35, berikut info tambahan untuk melengkapi penjelasan sebelumnya berkaitan dengan makna kata "sebuah batu" dalam Kitab Daniel 2:34.
Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa makna kata "sebuah batu" dalam Kitab Daniel 2:34 telah disimpulkan sebagai tamsil yang menunjuk kepada risalah atau "rule of law" yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yaitu diin ul haq, jalan kebenaran Islam. Namun demikian, secara faktual pun sesungguhnya agama Islam memiliki sebuah monumen spiritual yang juga berbentuk "sebuah batu", yang hingga kini masih terus terawat dan terjaga keberadaannya, di mana umat Islam di seluruh dunia mengenalnya sebagai Hajar Aswad.
Hajar Aswad adalah sebuah monumen spiritual yang sarat akan makna-makna simbolik bagi umat Islam. Hajar Aswad bukan-lah merupakan sebuah berhala yang disembah-sembah oleh umat Islam, dan bukan pula merupakan sebuah bentuk simbolisasi Tuhan, serta bukan merupakan sebuah lambang untuk mempersekutukan Allah (Na'uudzu billaahi minzalik..). Di dalam Islam tidak mengenal simbolisasi Tuhan, karena Allah memiliki sifat "mukholawatu lil khawadist" dan "lam yakullaahu kufuwan ahad", Allah tidaklah sama dengan makhluk ciptaan-Nya, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Islam tidak menganut paham anthropomorphisme atau sebuah paham yang mempersonifikasikan Tuhan sebagaimana layaknya seperti manusia, sebagaimana yang terjadi dalam Kekristenan.
Di dalam terminologi Islam, Hajar Aswad sesungguhnya memiliki banyak makna simbolik bagi umat dan makna simbolik tersebut memang harus senantiasa terpelihara dan terhayati dalam diri setiap muslim, agar umat muslim tidak mengalami suatu dis-orientasi terhadap ajaran dan sejarah agamanya. Makna-makna simbolik Hajar Aswad tersebut antara lain meliputi:
Pertama, Hajar Aswad memiliki makna: Mutual Assistance (simbol kerjasama dan kebersamaan)
Bahwa ketika Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun kembali Ka'bah yang telah lama runtuh, Hajar Aswad adalah merupakan batu terakhir yang dipasang pada bangunan Ka'bah tersebut. Hajar Aswad merupakan batu yang diberikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Ismail, ketika Nabi Ismail sudah tidak dapat menemukan batu lain lagi untuk menyempurnakan berdirinya bangunan Ka'bah. Peristiwa ini merupakan simbol keterlibatan Malaikat Jibril dalam ikut serta membangun kembali Baitullah, Rumah Allah, Rumah Ibadah untuk menyembah dan mengagungkan Ke-Esa-an Allah. Ka'bah adalah sebuah rumah ibadah yang pertama kali didirikan di bumi ini oleh Nabi Adam, setelah dulu mereka (Adam dan Hawa) dipersona non grata-kan oleh Allah dari surga ke dunia fana ini.
Keterlibatan Malaikat Jibril pada pembangunan kembali Ka'bah itu, sesungguhnya menyiratkan sebuah kerjasama dan kebersamaan antara sesama makhluk Allah dalam membangun kembali Agama Tauhid (agama yang benar-benar meng-Esa-kan Allah). Alam semesta, manusia dan malaikat saling meleburkan diri dalam sebuah "mutual asisstance", tidak hanya secara spiritual saja, tetapi juga keterlibatan secara fisik.
Kedua, Hajar Aswad memiliki makna: Anti Racial Discrimination (simbol perlawanan terhadap rasisme dan diskriminasi).
Ketika kita berbicara tentang Hajar Aswad, maka hal itu juga mengingatkan kita kepada seorang perempuan berkulit hitam ibunda Nabi Ismail, beliau adalah Hajar, seorang budak yang diperistri oleh Nabi Ibrahim atas kehendak istri pertamanya, yaitu Sarah. Sarah meminta Nabi Ibrahim agar memperistri Hajar karena dalam umur yang sudah tua, Sarah tidak juga dikaruniai seorang anak.
Dan kemudian beberapa tahun setelah kelahiran Nabi Ismail dari rahim Hajar, ternyata Sarah pun akhirnya juga mengandung dan melahirkan seorang putra, yang diberi nama Ishak. Tidak lama kemudian, Hajar dan Ismail diusir oleh Sarah, gara-gara Sarah melihat anaknya yaitu Ishak sedang bercanda dengan anak keturunan seorang budak, yaitu Ismail. Sarah merasa tidak senang dan akhirnya menyuruh Ibrahim mengusir Hajar dan Nabi Ismail, membawa dan meninggalkannya di sebuah gurun tandus.
Di sinilah berawalnya sebuah tragedi rasisme dan diskriminasi terhadap keturunan-keturunan Nabi Ibrahim/Abraham yang berasal dari Hajar (yang merupakan seorang perempuan budak) dan keturunan-keturunan yang berasal dari Ketura (yang dituduh sebagai perempuan gundik) terjadi. Sebagaimana keyakinan Kristiani, bahwa anak yang dijanjikan oleh Allah bukanlah Ismail tetapi Ishak. Walau pun Ismail lebih dulu lahir dibandingkan Ishak, tetapi karena Ismail adalah anak keturunan budak, maka predikat anak yang dijanjikan dianggap tidak berlaku, dan Ismail cukup diberi predikat sebagai anak yang diberkati saja.
Namun yang lebih tragis lagi adalah nasib anak-anak dari keturunan Ketura, tercatat dalam Bible sebagai istri ketiga Abrahim. Karena ternyata mereka tidak mendapat predikat apa pun dari Tuhan, bahkan anak-anak dari keturunan Ketura tersebut dinyatakan sebagai anak-anak yang tidak diberkati Tuhan, karena mereka dianggap sebagai anak keturunan gundik.
Setelah Hajar dan Ismail diusir ke sebuah gurun tandus, di sanalah keperkasaan, ketegaran, kesabaran dan ketawakalan Hajar sebagai seorang perempuan yang teraniaya diuji. Beliau berlari antara Shafa dan Marwah sampai sebanyak 7 kali (sa'i), beliau bersusah payah dan berjuang demi untuk mendapatkan air yang sesungguhnya sangat mustahil ada di gurun yang amat tandus tersebut. Namun demikian atas Kasih Sayang Allah, memancarlah sebuah mata air di dekat keberadaan nabi Ismail ketika ditinggalkan sementara oleh ibunda-nya, di mana mata air tersebut sekarang lebih dikenal sebagai mata air Zam-zam. Berawal dari tempat itulah kemudian keturunan Nabi Ismail berkembang biak berdampingan dengan masyarakat sekitarnya menjadi bangsa-bangsa yang besar, yang kemudian dari anak keturunannya-lah lahir seorang manusia yang amat mulia bernama Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yang memiliki predikat sebagai Nabi Terakhir.
Dan berkaitan dengan semangat perlawanan terhadap segala bentuk rasisme dan diskriminasi dalam konteks yang lebih luas, maka turunlah Firman Allah di dalam Al-Qur'an surat Al-Hujurat Ayat 13 kepada Nabi Muhammad dan seluruh umat manusia.
Keterlibatan Malaikat Jibril pada pembangunan kembali Ka'bah itu, sesungguhnya menyiratkan sebuah kerjasama dan kebersamaan antara sesama makhluk Allah dalam membangun kembali Agama Tauhid (agama yang benar-benar meng-Esa-kan Allah). Alam semesta, manusia dan malaikat saling meleburkan diri dalam sebuah "mutual asisstance", tidak hanya secara spiritual saja, tetapi juga keterlibatan secara fisik.
Kedua, Hajar Aswad memiliki makna: Anti Racial Discrimination (simbol perlawanan terhadap rasisme dan diskriminasi).
Ketika kita berbicara tentang Hajar Aswad, maka hal itu juga mengingatkan kita kepada seorang perempuan berkulit hitam ibunda Nabi Ismail, beliau adalah Hajar, seorang budak yang diperistri oleh Nabi Ibrahim atas kehendak istri pertamanya, yaitu Sarah. Sarah meminta Nabi Ibrahim agar memperistri Hajar karena dalam umur yang sudah tua, Sarah tidak juga dikaruniai seorang anak.
Dan kemudian beberapa tahun setelah kelahiran Nabi Ismail dari rahim Hajar, ternyata Sarah pun akhirnya juga mengandung dan melahirkan seorang putra, yang diberi nama Ishak. Tidak lama kemudian, Hajar dan Ismail diusir oleh Sarah, gara-gara Sarah melihat anaknya yaitu Ishak sedang bercanda dengan anak keturunan seorang budak, yaitu Ismail. Sarah merasa tidak senang dan akhirnya menyuruh Ibrahim mengusir Hajar dan Nabi Ismail, membawa dan meninggalkannya di sebuah gurun tandus.
Di sinilah berawalnya sebuah tragedi rasisme dan diskriminasi terhadap keturunan-keturunan Nabi Ibrahim/Abraham yang berasal dari Hajar (yang merupakan seorang perempuan budak) dan keturunan-keturunan yang berasal dari Ketura (yang dituduh sebagai perempuan gundik) terjadi. Sebagaimana keyakinan Kristiani, bahwa anak yang dijanjikan oleh Allah bukanlah Ismail tetapi Ishak. Walau pun Ismail lebih dulu lahir dibandingkan Ishak, tetapi karena Ismail adalah anak keturunan budak, maka predikat anak yang dijanjikan dianggap tidak berlaku, dan Ismail cukup diberi predikat sebagai anak yang diberkati saja.
Namun yang lebih tragis lagi adalah nasib anak-anak dari keturunan Ketura, tercatat dalam Bible sebagai istri ketiga Abrahim. Karena ternyata mereka tidak mendapat predikat apa pun dari Tuhan, bahkan anak-anak dari keturunan Ketura tersebut dinyatakan sebagai anak-anak yang tidak diberkati Tuhan, karena mereka dianggap sebagai anak keturunan gundik.
Setelah Hajar dan Ismail diusir ke sebuah gurun tandus, di sanalah keperkasaan, ketegaran, kesabaran dan ketawakalan Hajar sebagai seorang perempuan yang teraniaya diuji. Beliau berlari antara Shafa dan Marwah sampai sebanyak 7 kali (sa'i), beliau bersusah payah dan berjuang demi untuk mendapatkan air yang sesungguhnya sangat mustahil ada di gurun yang amat tandus tersebut. Namun demikian atas Kasih Sayang Allah, memancarlah sebuah mata air di dekat keberadaan nabi Ismail ketika ditinggalkan sementara oleh ibunda-nya, di mana mata air tersebut sekarang lebih dikenal sebagai mata air Zam-zam. Berawal dari tempat itulah kemudian keturunan Nabi Ismail berkembang biak berdampingan dengan masyarakat sekitarnya menjadi bangsa-bangsa yang besar, yang kemudian dari anak keturunannya-lah lahir seorang manusia yang amat mulia bernama Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yang memiliki predikat sebagai Nabi Terakhir.
Dan berkaitan dengan semangat perlawanan terhadap segala bentuk rasisme dan diskriminasi dalam konteks yang lebih luas, maka turunlah Firman Allah di dalam Al-Qur'an surat Al-Hujurat Ayat 13 kepada Nabi Muhammad dan seluruh umat manusia.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat' 49:13)
Islam mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang bukanlah berdasarkan garis keturunan, mulia bukan karena keturunan majikan, terbuang bukan karena keturunan budak, tidak diberkati bukan karena keturunan gundik, dan kemuliaan bukan berdasarkan atas bangsa atau pun suku. Tetapi bahwa, kemuliaan seseorang dalam Islam sesungguhnya ditentukan oleh tingkat ketakwaan-nya.
Ketiga, Hajar Aswad memiliki makna: Egalitarian and Smart Leadership (simbol egalitarian dan kepemimpinan yang cerdas).
Ketika dulu pada saat masyarakat dari kabilah-kabilah sekitar Ka'bah melakukan renovasi kembali terhadap bangunan Ka'bah, di antara mereka terjadi perselisihan yang berpotensi bisa menimbulkan perpecahan. Perselisihan tersebut disebabkan karena masing-masing kabilah merasa yang paling berhak untuk memasang kembali batu terakhir ke dalam bangunan Ka'bah, yaitu Hajar Aswad. Perselisihan tersebut akhirnya berakhir ketika kabilah-kabilah itu bersepakat meminta advice dari seorang pemuda yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mereka menunjuk Nabi Muhammad sebagai "Problem Solver", karena beliau dikenal di kalangan masyarakat memiliki akhlak yang paling baik dan terpuji, yaitu amanah, fathonah, tabligh, dan shidiq.
Beliau memiliki sifat "amanah", yaitu sangat dapat dipercaya karena beliau selalu mampu memegang dan melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya, sehingga beliau dijuluki oleh masyarakatnya sebagai Al-Amin. Beliau juga merupakan seorang yang "fathonah", karena beliau terkenal sangat cerdas dalam memecahkan berbagai masalah atau sangat piawai dalam memberikan jalan keluar atas setiap problema yang terjadi di dalam lingkungan masyarakatnya. Beliau pun merupakan seorang yang sangat "tabligh", karena dalam setiap musyawarah untuk memecahkan suatu masalah, beliau memiliki sifat terbuka dan respectful terhadap masukan dan kritik yang membangun dari orang lain, sehingga dalam setiap pengambilan keputusan senantiasa didukung penuh oleh seluruh masyarakat. Kemudian, beliau juga dikenal di dalam lingkungan masyarakatnya sebagai orang yang senantiasa berpikir, berbicara dan bertindak benar, sehingga beliau juga disebut sebagai orang yang "shidiq".
Untuk memecahkan masalah tersebut, akhirnya Nabi Muhammad menggelar sorban miliknya di tanah, dan tiap-tiap pemimpin kabilah memegang ujung sorban tersebut, lalu Hajar Aswad diletakkan di atas sorban, kemudian secara bersama-sama para pemimpin kabilah mengangkat Hajar Aswad dari ujung-ujung sorban, sementara Nabi Muhammad memegang bagian tengah sorban dimana Hajar Aswad telah diletakkan di atasnya. Lantas memasangkan dan meletakkan Hajar Aswad ke dalam konstruksi bangunan Ka'bah, sebagai batu terakhir yang dipasang secara bersama-sama.
Demikianlah, Hajar Aswad sesungguhnya juga memiliki makna simbolik tentang dikedepankan-nya semangat egalitarian dan disingkirkannya sifat egoisme atau ego-centris dalam diri seorang Muslim. Dijunjung tingginya semangat egalitarian tersebut tentu tidak terlepas dari "smart leadership" yang dimiliki oleh seorang Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Keempat, Hajar Aswad memiliki makna: The Last Prophet (simbol khatamman nabiyyin, nabi terakhir).
Hajar Aswad merupakan batu terakhir yang dipasangkan pada konstruksi bangunan Ka'bah, baik pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mau pun pada saat dilakukan renovasi oleh masyarakat sekitar pada zaman Nabi Muhammad. Hal ini sesungguhnya juga memiliki makna simbolik bahwa batu terakhir tersebut ialah Nabi Muhammad yang merupakan "khataman nabiyyin" atau nabi penutup yang berfungsi untuk menyempurnakan bangunan Agama Tauhid (Islam, agama yang benar-benar meng-Esa-kan Allah), yaitu sebuah agama yang pernah di sampaikan juga oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada umat manusia di dunia ini.
Demikianlah beberapa makna simbolik dari Hajar Aswad yang tentu harus senantiasa terpelihara dan terhayati oleh seluruh umat Islam agar tidak mengalami dis-orientasi terhadap sejarah dan ajaran agamanya. Keberadaan Hajar Aswad di dalam bangunan Ka'bah yang senantiasa dipertahankan oleh umat Islam bukanlah untuk diberhalakan atau disembah-sembah, melainkan semata-mata hanya dijadikan sebagai sebuah monumen spiritual yang berfungsi untuk mengingatkan umat Islam tentang pentingnya makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
Kalau kemudian ternyata banyak umat Islam yang ketika melaksanakan ibadah umrah atau haji sangat antusias untuk mencium Hajar Aswad, hal tersebut sangat wajar, karena hal itu sesungguhnya merupakan manifestasi kerinduan umat Islam yang mendalam kepada insan-insan atau makhluk mulia ciptaan Allah, yaitu Nabi Ibrahim, Ibunda Hajar, Nabi Ismail, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan wajar juga, ketika umat Islam melaksanakan ibadah umrah atau haji lantas sangat antusias untuk menyentuh Hajar Aswad, karena memang batu tersebut dahulu juga pernah disentuh oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Jadi keinginan umat Islam untuk menyentuh Hajar Aswad atau menciumnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh insan-insan mulia ciptaan Allah sebelumnya adalah hal yang wajar dan biasa saja, sama sekali tidak mencerminkan bentuk pemberhalaan atau pengkhultusan dan sebagainya.
Demikianlah tambahan penjelasan berkaitan dengan makna "sebuah batu" dalam Kitab Daniel 2:34, sebagaimana yang telah disebutkan dalam kajian yang terdahulu. Penjelasan tersebut tentu dimaksudkan untuk dapat lebih memperkuat penemuan identitas makna "sebuah batu" yang telah berani berbenturan dengan "sebuah patung" yang amat besar, tinggi, dan tampak mendahsyatkan.
Islam mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang bukanlah berdasarkan garis keturunan, mulia bukan karena keturunan majikan, terbuang bukan karena keturunan budak, tidak diberkati bukan karena keturunan gundik, dan kemuliaan bukan berdasarkan atas bangsa atau pun suku. Tetapi bahwa, kemuliaan seseorang dalam Islam sesungguhnya ditentukan oleh tingkat ketakwaan-nya.
Ketiga, Hajar Aswad memiliki makna: Egalitarian and Smart Leadership (simbol egalitarian dan kepemimpinan yang cerdas).
Ketika dulu pada saat masyarakat dari kabilah-kabilah sekitar Ka'bah melakukan renovasi kembali terhadap bangunan Ka'bah, di antara mereka terjadi perselisihan yang berpotensi bisa menimbulkan perpecahan. Perselisihan tersebut disebabkan karena masing-masing kabilah merasa yang paling berhak untuk memasang kembali batu terakhir ke dalam bangunan Ka'bah, yaitu Hajar Aswad. Perselisihan tersebut akhirnya berakhir ketika kabilah-kabilah itu bersepakat meminta advice dari seorang pemuda yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mereka menunjuk Nabi Muhammad sebagai "Problem Solver", karena beliau dikenal di kalangan masyarakat memiliki akhlak yang paling baik dan terpuji, yaitu amanah, fathonah, tabligh, dan shidiq.
Beliau memiliki sifat "amanah", yaitu sangat dapat dipercaya karena beliau selalu mampu memegang dan melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya, sehingga beliau dijuluki oleh masyarakatnya sebagai Al-Amin. Beliau juga merupakan seorang yang "fathonah", karena beliau terkenal sangat cerdas dalam memecahkan berbagai masalah atau sangat piawai dalam memberikan jalan keluar atas setiap problema yang terjadi di dalam lingkungan masyarakatnya. Beliau pun merupakan seorang yang sangat "tabligh", karena dalam setiap musyawarah untuk memecahkan suatu masalah, beliau memiliki sifat terbuka dan respectful terhadap masukan dan kritik yang membangun dari orang lain, sehingga dalam setiap pengambilan keputusan senantiasa didukung penuh oleh seluruh masyarakat. Kemudian, beliau juga dikenal di dalam lingkungan masyarakatnya sebagai orang yang senantiasa berpikir, berbicara dan bertindak benar, sehingga beliau juga disebut sebagai orang yang "shidiq".
Untuk memecahkan masalah tersebut, akhirnya Nabi Muhammad menggelar sorban miliknya di tanah, dan tiap-tiap pemimpin kabilah memegang ujung sorban tersebut, lalu Hajar Aswad diletakkan di atas sorban, kemudian secara bersama-sama para pemimpin kabilah mengangkat Hajar Aswad dari ujung-ujung sorban, sementara Nabi Muhammad memegang bagian tengah sorban dimana Hajar Aswad telah diletakkan di atasnya. Lantas memasangkan dan meletakkan Hajar Aswad ke dalam konstruksi bangunan Ka'bah, sebagai batu terakhir yang dipasang secara bersama-sama.
Demikianlah, Hajar Aswad sesungguhnya juga memiliki makna simbolik tentang dikedepankan-nya semangat egalitarian dan disingkirkannya sifat egoisme atau ego-centris dalam diri seorang Muslim. Dijunjung tingginya semangat egalitarian tersebut tentu tidak terlepas dari "smart leadership" yang dimiliki oleh seorang Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Keempat, Hajar Aswad memiliki makna: The Last Prophet (simbol khatamman nabiyyin, nabi terakhir).
Hajar Aswad merupakan batu terakhir yang dipasangkan pada konstruksi bangunan Ka'bah, baik pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mau pun pada saat dilakukan renovasi oleh masyarakat sekitar pada zaman Nabi Muhammad. Hal ini sesungguhnya juga memiliki makna simbolik bahwa batu terakhir tersebut ialah Nabi Muhammad yang merupakan "khataman nabiyyin" atau nabi penutup yang berfungsi untuk menyempurnakan bangunan Agama Tauhid (Islam, agama yang benar-benar meng-Esa-kan Allah), yaitu sebuah agama yang pernah di sampaikan juga oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada umat manusia di dunia ini.
Demikianlah beberapa makna simbolik dari Hajar Aswad yang tentu harus senantiasa terpelihara dan terhayati oleh seluruh umat Islam agar tidak mengalami dis-orientasi terhadap sejarah dan ajaran agamanya. Keberadaan Hajar Aswad di dalam bangunan Ka'bah yang senantiasa dipertahankan oleh umat Islam bukanlah untuk diberhalakan atau disembah-sembah, melainkan semata-mata hanya dijadikan sebagai sebuah monumen spiritual yang berfungsi untuk mengingatkan umat Islam tentang pentingnya makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
Kalau kemudian ternyata banyak umat Islam yang ketika melaksanakan ibadah umrah atau haji sangat antusias untuk mencium Hajar Aswad, hal tersebut sangat wajar, karena hal itu sesungguhnya merupakan manifestasi kerinduan umat Islam yang mendalam kepada insan-insan atau makhluk mulia ciptaan Allah, yaitu Nabi Ibrahim, Ibunda Hajar, Nabi Ismail, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan wajar juga, ketika umat Islam melaksanakan ibadah umrah atau haji lantas sangat antusias untuk menyentuh Hajar Aswad, karena memang batu tersebut dahulu juga pernah disentuh oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Jadi keinginan umat Islam untuk menyentuh Hajar Aswad atau menciumnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh insan-insan mulia ciptaan Allah sebelumnya adalah hal yang wajar dan biasa saja, sama sekali tidak mencerminkan bentuk pemberhalaan atau pengkhultusan dan sebagainya.
Demikianlah tambahan penjelasan berkaitan dengan makna "sebuah batu" dalam Kitab Daniel 2:34, sebagaimana yang telah disebutkan dalam kajian yang terdahulu. Penjelasan tersebut tentu dimaksudkan untuk dapat lebih memperkuat penemuan identitas makna "sebuah batu" yang telah berani berbenturan dengan "sebuah patung" yang amat besar, tinggi, dan tampak mendahsyatkan.
Nubuat Terakhir, punahnya Kristen dan Universalnya Islam
Selanjutnya akan kita teruskan telaahan terhadap Kitab Daniel 2:35, yang merupakan ayat terakhir dalam inti mimpi raja Nebukadnezar.
Daniel 2:35 Maka dengan sekaligus diremukkannyalah juga besi, tanah liat, tembaga, perak dan emas itu, dan semuanya menjadi seperti sekam di tempat pengirikan pada musim panas, lalu angin menghembuskannya, sehingga tidak ada bekas-bekasnya yang ditemukan. Tetapi batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi.
Kalimat: "...Maka dengan sekaligus diremukkannya juga besi, tanah liat, tembaga, perak dan emas itu..."
Rangkaian kata "...Maka dengan sekaligus diremukkannya juga...", Rangkaian kata tersebut memiliki makna bahwa langkah koreksi ajaran Islam yang dinyatakan dalam Al-Qur'an secara terus terang dan sangat terbuka terhadap kekeliruan Doktrin Trinitas agama Kristen itu, yang akhirnya akan mengakibatkan keruntuhan sosok Kekristenan secara keseluruhan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada kajian terdahulu, bahwa koreksi yang dilakukan terhadap Doktrin Trinitas itu akan memberikan inspirasi dan dorongan kepada sekalian manusia untuk segera bergegas menyelami dan mengkritisi dogma ketuhanan agama Kristen tersebut. Dan hal itu akan mengakibatkan terjadinya benturan-benturan keras, antara iman yang dilandasi oleh hati yang jernih, benar, dan dilatarbelakangi oleh akal sehat dengan Doktrin Trinitas yang penuh dengan kekeliruan, khayalan dan kesesatan.
Dan benturan-benturan keras yang terjadi itu, akhirnya akan mengakibatkan Doktrin Trinitas mengalami kehancuran, baik dari sisi integritas mau pun dari sisi substansi yang akhirnya dengan seiring berjalannya waktu agama Kristen akan ditinggalkan oleh umatnya sendiri, karena sangat bertentangan dengan keimanan yang benar dan akal sehat manusia.
Rangkaian kata "...Maka dengan sekaligus diremukkannya juga besi, tanah liat, tembaga, perak dan emas itu,...", Rangkaian kata tersebut sesungguhnya memberikan gambaran bahwa agama Kristen akan mengalami sebuah proses kehancuran secara simultan, atau dalam istilah Kitab Daniel 2:35 dengan sekaligus diremukkan, yang akan terjadi seiring terus berjalannya waktu dan seiring kemajuan perkembangan peradaban umat manusia.
Ketika kebebasan berpikir mengeluarkan pendapat dan keleluasaan menyampaikan gagasan umat manusia, menjadi sesuatu yang sangat dihargai dan biasa dalam peri kehidupan bermasyarakat dan beragama, maka pada titik inilah yang merupakan episentrum terjadinya sebuah bencana gempa bagi keberadaan Doktrin Trinitas. Sebuah dogma ketuhanan Kristen yang penuh rekayasa, khayalan, dan tidak masuk akal akan segera ditinggalkan oleh pemeluknya yang sudah tidak sudi lagi terbelenggu dan terperangkap dalam mindset dan mindstream kaum konservatif dari Konsili Nicea 325 M dan Konsili Konstantinopel 381 M yang bebal, yang telah mengambil keputusan keliru dan sesat dalam menetapkan Doktrin Trinitas sebagai Dogma Ketuhanan.
Dan di sinilah mulai nampak bahwa peran dan pengaruh Konsili/Dewan Gereja (PGI, KWI, Uskup/Bishop, Pastur, Pendeta dan lembaga sejenis-nya) dalam kehidupan Kristen secara perlahan mulai luntur, di mana semua fatwa dan kebijakan yang putuskan oleh Konsili/Dewan Gereja tersebut sudah dianggap tak bernilai dan sudah tidak dihiraukan lagi oleh segenap Kristiani di dunia. Antusiasme Kristiani baik secara individu mau pun secara kelembagaan untuk beramal guna mendukung sistem keuangan gereja pun secara perlahan mulai menurun, dan Kristiani yang murtad dari keyakinan agamanya pun semakin marak, hingga akhirnya agama Kristen suatu saat akan mengalami kebangkrutan baik secara spiritual mau pun secara material.
Runtuhnya hegemoni agama Kristen tersebut, telah, sedang dan akan diawali dari internal agama itu sendiri. Proses murtadnya Kristiani dari agamanya itu bukan karena sekedar iming-iming duniawi, namun eksodus–nya mereka dari agama Kristen adalah karena merupakan buah dari suatu proses pergulatan pemikiran dan iman yang lama dan seru. Jadi jangan heran jika ternyata di belahan benua Eropa dan Amerika sana, Kristiani yang keluar dari Kekristenan kebanyakan justru dilakukan oleh orang-orang terpelajar dan orang-orang yang berpunya. Di Indonesia pun tidak sedikit Muallaf yang justru berasal dari kalangan pendeta/pastur, biarawati, aktivis dan tokoh penting Gereja, mahasiswa serta kalangan terpelajar dan mapan lainnya yang telah tercerahkan oleh cahaya kebenaran Islam.
Rangkaian kata "...dan semuanya menjadi seperti sekam di tempat pengirikan pada musim panas, lalu angin menghembuskannya, sehingga tidak ada bekas-bekasnya yang ditemukan...", Dalam ilmu gramatika (tata bahasa), rangkaian kata tersebut termasuk dalam kategori kalimat hiperbola, yang menggambarkan sesuatu dengan ungkapan kata-kata yang berlebih. Dalam konteks ini, Kitab Daniel sesungguhnya ingin mengabarkan kepada umat Kristen, bahwa suatu saat tertentu agama Kristen akan berada pada suatu titik akhir dan akan mengalami sebuah nasib yang sangat tak berdaya dan amat mengenaskan, hingga akhirnya akan mengalami kemusnahan dari muka bumi ini.
Kata "sekam", merupakan sampah berupa kulit padi hasil dari proses pengirikan padi. Dalam hal ini artinya bahwa telah terjadi proses pemisahan antara bulir-bulir padi (beras) dengan kulitnya (sekam). Jadi, dalam ke-tidakberdayaan-nya tersebut, Kristen akan terpecah-pecah menjadi ratusan bahkan ribuan aliran dan sekte, namun semuanya sesungguhnya telah mengalami dis-orientasi atau kebingungan karena mereka telah kehilangan pedoman tentang dogma ketuhanannya. Dalam konteks padi, mereka bagaikan kulit padi (sekam) yang telah kehilangan intinya (bulir padinya).
Mereka sebenarnya ingin tetap setia kepada agamanya, tetapi di sisi lain mereka sudah tidak percaya lagi dengan Doktrin Trinitas. Dalam kondisi seperti inilah, Kristiani bagaikan sekam di tempat pengirikan pada musim panas, di mana sekam tersebut tidak mengendap di permukaan tanah karena basah oleh air, tetapi kondisinya sangat kering, ringan dan berserakan di permukaan tanah, sehingga begitu angin berhembus menerpanya, maka sekam itu pun berhamburan dan berterbangan entah ke mana hingga tidak ada bekasnya sama sekali.
Demikianlah gambaran proses remuknya Doktrin Trinitas dan proses kemusnahan dogma Kekristenan dari muka bumi ini. Di mana proses kemusnahan agama Kristen tersebut bukan karena diakibatkan oleh sebuah peperangan secara fisik yang menggunakan persenjataan dan peralatan modern, atau pun dengan serbuan dan pertarungan antar jutaan personil pasukan elit melawan pihak tertentu, tetapi fenomena kemusnahan agama Kristen ini adalah karena diakibatkan oleh terjadinya proses pembusukan keimanan yang dialami oleh Kristiani sendiri, yang merupakan efek domino atas koreksi ajaran Islam terhadap Doktrin Trinitas yang diwartakan di dalam Al-Qur'an.
Rangkaian kata "...Tetapi batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi...", Rangkaian kata terakhir pada Kitab Daniel 2:35 ini, jika kita analogikan ke dalam sebuah cerita drama, maka rangkaian kata tersebut sesungguhnya dapat juga dikatakan sebagai sebuah "unhappy ending" bagi hegemoni "sebuah patung" (Agama Kristen) dan merupakan "happy ending" untuk "sebuah batu" (Agama Islam), yang tentu apa pun akhir cerita tersebut sangat dinanti-nantikan oleh pembaca atau penontonnya.
Dari rangkaian kata terakhir tersebut, akan dipilah dan dikelompokkan menjadi 3 bagian, yang masing-masing bagian tersebut akan kita lebih pertajam maknanya.
Pertama, rangkaian kata "...Tetapi batu yang menimpa patung itu...", di mana makna sesungguhnya telah diuraikan secara jelas pada kajian sebelumnya.
Kedua, rangkaian kata "...menjadi gunung besar...", rangkaian kata tersebut merupakan sebuah kata pilihan yang tepat untuk menggambarkan masa depan sebuah ajaran kebenaran, Islam. Dalam Kitab Daniel 2:35 ternyata batu yang menimpa patung itu tidak lantas menjadi tebaran butir-butir pasir di sebuah padang tandus, atau pun menjadi milayaran bebatuan yang berserak di padang gersang, namun batu tersebut ternyata menjadi sebuah gunung besar yang memenuhi seluruh bumi. Apa yang terjadi?
Itulah sebuah kata pilihan yang sesungguhnya dapat memberikan gambaran yang tepat dan sesuai dengan rencana Allah, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur'an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiyaa' 21:107)
Kata "gunung", merupakan sebuah benda alam ciptaan Allah yang melambangkan sebuah keperkasaan, sebuah kewibawaan, sebuah keindahan, dan juga melambangkan sebuah kehidupan yang alami, sejuk, sehat, bersih, damai, tentram, teratur, sejahtera, aman dan sebagainya.
Sosok gunung, sesungguhnya disamping ia menampakkan sebuah performa yang tinggi dan besar, di mana dalamnya mencerminkan sebuah konstruksi benda alam yang kokoh, kuat, dan penuh ancaman hukuman bagi siapa pun yang merusaknya, maka sosok gunung pun sesungguhnya menyajikan sebuah panorama yang penuh dengan kehijauan dan kedamaian. Karena di dalam gunung itulah, segala jenis flora dan fauna, tanah, air, mineral, angin, hujan, sinar matahari, dan manusia dapat tumbuh dan berkembang bersama dan saling meleburkan diri dalam sebuah mutual assistance dan symbiosis mutualism dalam kerangka kehidupan harmonis dengan alam semesta, blessing to all, Rahmatan Lil 'Alamin.
Dan ketika Risalah Islam telah merasuk kedalam diri setiap manusia dan ketika jalan kebenaran Islam telah di diterima sebagai "way of life", jalan dalam menempu kehidupan dan ditegakkan oleh segenap umat manusia, maka keselamatan dan kesejahteraan seluruh alam semesta akan segera terwujud di seluruh penjuru dunia ini bahkan sampai di akhirat nanti. (Aamiin Ya Rabbal'alamin..)
Ketiga, rangkaian kata "...yang memenuhi seluruh bumi...", rangkaian kata tersebut sesungguhnya juga merupakan sebuah kata pilihan yang tepat untuk menggambarkan realitas penyebaran jalan kebenaran Islam di seluruh penjuru dunia, yang merasuk ke dalam relung hati sanubari setiap manusia tanpa ada paksaan.
Sebagaimana Firman Allah sebagai berikut:
Kata "gunung", merupakan sebuah benda alam ciptaan Allah yang melambangkan sebuah keperkasaan, sebuah kewibawaan, sebuah keindahan, dan juga melambangkan sebuah kehidupan yang alami, sejuk, sehat, bersih, damai, tentram, teratur, sejahtera, aman dan sebagainya.
Sosok gunung, sesungguhnya disamping ia menampakkan sebuah performa yang tinggi dan besar, di mana dalamnya mencerminkan sebuah konstruksi benda alam yang kokoh, kuat, dan penuh ancaman hukuman bagi siapa pun yang merusaknya, maka sosok gunung pun sesungguhnya menyajikan sebuah panorama yang penuh dengan kehijauan dan kedamaian. Karena di dalam gunung itulah, segala jenis flora dan fauna, tanah, air, mineral, angin, hujan, sinar matahari, dan manusia dapat tumbuh dan berkembang bersama dan saling meleburkan diri dalam sebuah mutual assistance dan symbiosis mutualism dalam kerangka kehidupan harmonis dengan alam semesta, blessing to all, Rahmatan Lil 'Alamin.
Dan ketika Risalah Islam telah merasuk kedalam diri setiap manusia dan ketika jalan kebenaran Islam telah di diterima sebagai "way of life", jalan dalam menempu kehidupan dan ditegakkan oleh segenap umat manusia, maka keselamatan dan kesejahteraan seluruh alam semesta akan segera terwujud di seluruh penjuru dunia ini bahkan sampai di akhirat nanti. (Aamiin Ya Rabbal'alamin..)
Ketiga, rangkaian kata "...yang memenuhi seluruh bumi...", rangkaian kata tersebut sesungguhnya juga merupakan sebuah kata pilihan yang tepat untuk menggambarkan realitas penyebaran jalan kebenaran Islam di seluruh penjuru dunia, yang merasuk ke dalam relung hati sanubari setiap manusia tanpa ada paksaan.
Sebagaimana Firman Allah sebagai berikut:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah' 2:256)
Selanjutnya, kita simak kembali rangkaian kata terakhir pada Kitab Daniel 2:35 berikut ini:
"...Tetapi batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi..."
Penggunaan kata "memenuhi" (mengisi) seluruh bumi dalam rangkaian kata terakhir Kitab Daniel 2:35 tersebut di atas, sesungguhnya sama halnya seperti kebanyakan kata yang termuat di dalam Kitab Daniel 2:31-35, dan merupakan kata yang unik, detail, deskriptif dan efektif untuk menggambarkan suatu keadaan yang ingin disampaikan atau yang ingin dijelaskan dalam ayat tersebut. Berbeda dengan kata menimpa yang cenderung memiliki implikasi yang bersifat negatif (menghancurkan), maka kata memenuhi justru cenderung memiliki implikasi yang bersifat positif.
Jadi, ketika sebuah batu, yaitu Islam, yang atas kehendak Tuhan, yaitu Allah, datang ke dunia ini dalam rangka untuk mengoreksi sebuah dogma ketuhanan yang telah keliru dan sesat, yaitu doktrin Trinitas, maka sosok sebuah batu tersebut sesungguhnya memang telah dirancang oleh Allah sebagai sebuah hukum yang memiliki sifat meremukkan. Namun, ketika sebuah batu, yaitu Islam, itu akhirnya kemudian menjadi "sebuah gunung" dan bersentuhan dengan alam semesta, maka sifat yang meremukkan tersebut berubah menjadi positif, yaitu memenuhi.
Artinya, penggunaan kata memenuhi pada rangkaian kata terakhir dalam Kitab Daniel 2:35 sebenarnya ingin menjelaskan kepada kita bahwa tersebar dan diterimanya agama Islam di seluruh penjuru dunia ini, sesungguhnya tersebar tidak dengan jalan yang bersifat distruktif dan eksploitatif, tetapi justru diterima dengan sepenuh hati oleh segenap umat manusia dalam rangka untuk memenuhi keyakinan atau akidah yang kosong dan hampa, seiring dengan telah diremukkannya Doktrin Trinitas dan telah musnahnya dogma Kekristenan dari dunia ini.
Demikianlah akhir kajian kita terhadap Kitab Daniel 2:30-35, sebuah pemaparan dan uraian yang menyajikan tafsiran dengan perspektif yang baru dan sangat berbeda jika dibandingkan dengan tafsiran-tafsiran yang selama ini telah ada dan berkembang di kalangan Kristiani, karena memang tafsir Gerejawi pastinya dibuat sedemikian rupa agar senantiasa ayat dalam Bible seakan mendukung dogma Kekristenan meskipun kenyataannya justru berbalik.
Bagi Kristiani yang tidak memiliki pemikiran kritis, mungkin baginya tulisan ini tidak berguna dan tidak penting untuk dipahami, toh dosa sudah ditebus Yesus . Tapi bagi mereka yang lebih mengedepankan logika dan nalar yang aktif, sudah pasti akan langsung dapat menangkap apa yang telah dipaparkan dan disampaikan, kemudian dengan segera mengkritisi dan menyelami kembali dogma dan doktrin yang telah mereka anut, dimana isinya penuh dengan kemustahilan dan ketidak benaran.
Dan pasti sangat bisa dipahami bahwa akan sangat sulit bagi mayoritas Kristiani untuk dapat menerima, apalagi sudi memahami telaahan ini. Maka dari itu, kami tidak menutup peluang jika ada Kristiani yang bersedia memberikan tafsiran tandingan terhadap tafsir yang telah kami muat diatas. Silahkan bagi Kristiani yang tidak setuju akan penjelasan mengenai Daniel 2:30-35 ini, dapat membawa tafsiran yang menurut mereka lebih kredibel dan berkompeten dan penjelasannya lebih-lebih rinci dibanding apa yang kami paparkan dalam kajian ini.
Silahkan Kristiani membawa tafsiran tokoh Gereja kepercayaan mereka atau mungkin tafsiran buatan sendiri, dengan catatan tentunya tafsiran tersebut harus lebih deskriptif, lebih berkorelasi, lebih bermakna, lebih kritis, lebih terbuka, lebih faktual, dan yang paling penting lebih sesuai dengan setiap kata dalam nubuat yang dimaksud, bukan cuma mengandalkan sejarah. Karena pastinya Kristiani lebih paham bahwa sesungguhnya suatu nubuat tersebut tidak boleh sekedar disandarkan hanya dengan dasar sejarah, melainkan harus dipahami dan dimaknai setiap katanya yang penuh dengan simbologi dan metafora yang memiliki arti tersendiri, sehingga akhirnya setiap tanda tanya dalam memahami nubuat tersebut menghilang.
Namun demikian secara umum, semoga saja kajian ini dapat memberikan sebuah pencerahan kepada yang lain, atau setidaknya dapat ikut menambah perbendaharaan pustaka (referensi) dalam rangka upaya mempelajari dan memahami dogma dan doktrin Kekristenan, yang pasti dengan tujuan utama agar kita tidak ikut terjerumus kedalamnya.
Selanjutnya, kita simak kembali rangkaian kata terakhir pada Kitab Daniel 2:35 berikut ini:
"...Tetapi batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi..."
Penggunaan kata "memenuhi" (mengisi) seluruh bumi dalam rangkaian kata terakhir Kitab Daniel 2:35 tersebut di atas, sesungguhnya sama halnya seperti kebanyakan kata yang termuat di dalam Kitab Daniel 2:31-35, dan merupakan kata yang unik, detail, deskriptif dan efektif untuk menggambarkan suatu keadaan yang ingin disampaikan atau yang ingin dijelaskan dalam ayat tersebut. Berbeda dengan kata menimpa yang cenderung memiliki implikasi yang bersifat negatif (menghancurkan), maka kata memenuhi justru cenderung memiliki implikasi yang bersifat positif.
Jadi, ketika sebuah batu, yaitu Islam, yang atas kehendak Tuhan, yaitu Allah, datang ke dunia ini dalam rangka untuk mengoreksi sebuah dogma ketuhanan yang telah keliru dan sesat, yaitu doktrin Trinitas, maka sosok sebuah batu tersebut sesungguhnya memang telah dirancang oleh Allah sebagai sebuah hukum yang memiliki sifat meremukkan. Namun, ketika sebuah batu, yaitu Islam, itu akhirnya kemudian menjadi "sebuah gunung" dan bersentuhan dengan alam semesta, maka sifat yang meremukkan tersebut berubah menjadi positif, yaitu memenuhi.
Artinya, penggunaan kata memenuhi pada rangkaian kata terakhir dalam Kitab Daniel 2:35 sebenarnya ingin menjelaskan kepada kita bahwa tersebar dan diterimanya agama Islam di seluruh penjuru dunia ini, sesungguhnya tersebar tidak dengan jalan yang bersifat distruktif dan eksploitatif, tetapi justru diterima dengan sepenuh hati oleh segenap umat manusia dalam rangka untuk memenuhi keyakinan atau akidah yang kosong dan hampa, seiring dengan telah diremukkannya Doktrin Trinitas dan telah musnahnya dogma Kekristenan dari dunia ini.
Demikianlah akhir kajian kita terhadap Kitab Daniel 2:30-35, sebuah pemaparan dan uraian yang menyajikan tafsiran dengan perspektif yang baru dan sangat berbeda jika dibandingkan dengan tafsiran-tafsiran yang selama ini telah ada dan berkembang di kalangan Kristiani, karena memang tafsir Gerejawi pastinya dibuat sedemikian rupa agar senantiasa ayat dalam Bible seakan mendukung dogma Kekristenan meskipun kenyataannya justru berbalik.
Bagi Kristiani yang tidak memiliki pemikiran kritis, mungkin baginya tulisan ini tidak berguna dan tidak penting untuk dipahami, toh dosa sudah ditebus Yesus . Tapi bagi mereka yang lebih mengedepankan logika dan nalar yang aktif, sudah pasti akan langsung dapat menangkap apa yang telah dipaparkan dan disampaikan, kemudian dengan segera mengkritisi dan menyelami kembali dogma dan doktrin yang telah mereka anut, dimana isinya penuh dengan kemustahilan dan ketidak benaran.
Dan pasti sangat bisa dipahami bahwa akan sangat sulit bagi mayoritas Kristiani untuk dapat menerima, apalagi sudi memahami telaahan ini. Maka dari itu, kami tidak menutup peluang jika ada Kristiani yang bersedia memberikan tafsiran tandingan terhadap tafsir yang telah kami muat diatas. Silahkan bagi Kristiani yang tidak setuju akan penjelasan mengenai Daniel 2:30-35 ini, dapat membawa tafsiran yang menurut mereka lebih kredibel dan berkompeten dan penjelasannya lebih-lebih rinci dibanding apa yang kami paparkan dalam kajian ini.
Silahkan Kristiani membawa tafsiran tokoh Gereja kepercayaan mereka atau mungkin tafsiran buatan sendiri, dengan catatan tentunya tafsiran tersebut harus lebih deskriptif, lebih berkorelasi, lebih bermakna, lebih kritis, lebih terbuka, lebih faktual, dan yang paling penting lebih sesuai dengan setiap kata dalam nubuat yang dimaksud, bukan cuma mengandalkan sejarah. Karena pastinya Kristiani lebih paham bahwa sesungguhnya suatu nubuat tersebut tidak boleh sekedar disandarkan hanya dengan dasar sejarah, melainkan harus dipahami dan dimaknai setiap katanya yang penuh dengan simbologi dan metafora yang memiliki arti tersendiri, sehingga akhirnya setiap tanda tanya dalam memahami nubuat tersebut menghilang.
Namun demikian secara umum, semoga saja kajian ini dapat memberikan sebuah pencerahan kepada yang lain, atau setidaknya dapat ikut menambah perbendaharaan pustaka (referensi) dalam rangka upaya mempelajari dan memahami dogma dan doktrin Kekristenan, yang pasti dengan tujuan utama agar kita tidak ikut terjerumus kedalamnya.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi." (QS. Al-Fath' 48:28)
Hamdallah, Salam bagi anda yang telah diberi petunjuk...
Hamdallah, Salam bagi anda yang telah diberi petunjuk...
Tidak ada komentar
Posting Komentar