Mewaspadai Penggembosan Umat Islam Di Indonesia
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. al-Baqarah (2) : 120)
Wahai Muslim, Belajarlah dari Gubernur Papua dan Bupati Belitung
Sungguh Muslim harus belajar dari Gubernur Papua, Lukas Enembe, bagaimana cara dia membentengi dan menjaga eksistensi suku asli Papua.
Sebaliknya, Muslim juga harus melihat Bupati Belitung, bagaimana gerakan yang dilakukan ‘mengempesi’ suku asli Belitung atau Muslim di wilayah itu.
Seperti kebijakan Gubernur Papua, Lukas Enembe memberikan penghargaan bagi mama-mama Papua yang bisa melahirkan anak lebih 10 orang. Uang itu diberikan sebagai hadiah dan penghargaan.
"Kita harus menghargai seorang Mama yang bisa melahirkan 10 orang anak, tapi bukan hanya melahirkan, harus bisa membesarkan," kata Gubernur, Lukas Enembe saat berada di Tiom, Lanny Jaya, Papua, Kamis (4/12/2014).
"Keluarga yang punya anak lebih dari 10 maju kedepan," kata Gubernur.
Kemudian tiga keluarga maju masing-masing punya anak 14, 11, dan 10 orang. Lalu gubernur mengambil tasnya dan mengambil uang Rp 300 juta dan diberikan Rp 100 juta untuk masing-masing keluarga.
Tak hanya itu saja, kemudian seorang ibu (mama) naik ke atas panggung tempat gubernur berdiri dengan menggendong tiga orang Bayi. Ternyata mama tersebut melahirkan kembar 3 lalu gubernur memberikan uang Rp 30 juta kepada ibu itu.
"Tolong jaga anak ini dengan baik, karena ini adalah titipan Tuhan," ujar Lukas Enembe.
Pemberian hadiah oleh gubernur kepada keluarga-keluarga itu, karena dinilai mereka adalah orang-orang perkasa.
Selama ini gubernur menilai jumlah orang Papua sangat kecil dibandingkan luas pulau Papua, maka dia menganjurkan agar keluarga Papua tidak harus mengikuti program Keluarga Berencana (dua anak cukup), tetapi mendorong agar keluarga Papua bisa melahirkan anak sebanyak-banyaknya, tetapi harus diurus dengan baik.
Dibagian lain, Belitung Timur, sudah gratis dapat uang tunai dan sekarung beras pula. Itulah yang terjadi bila pria-pria di Belitung Timur bersedia aktif ber-KB dengan menjalani vasektomi.
Program Keluarga Berencana (KB) di Belitung Timur memang difokuskan pada MOP (Medis Operatif Pria) alias vasektomi.
Vasektomi adalah kontrasepsi bedah untuk pria dengan cara memutus saluran spermanya. Operasi vasektomi menghambat saluran spermatozoa (vas deferens) yang membawa sperma keluar.
Proses Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) merupakan operasi kecil yang hanya membutuhkan waktu kira-kira 10 menit, paling lama 15 menit.
Prosesnya dilakukan dengan membuat sayatan kecil di daerah testis, kemudian saluran sperma (vas deferens) diambil, dipotong dan diikat.
"Program ini sudah sejak tahun lalu. Kita punya penyuluhan di warung kopi. Kita juga berikan reward untuk vasektomi," ujar Dr Basuri T Purnama, SpGK, Bupati Kabupaten Belitung Timur, disela-sela acara 'Bakti Sosial TNI KB-Kesehatan Tingkat Nasional Tahun 2012' di Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung, Senin (3/9/2012).
Menurut Basuri, setiap peserta vasektomi di Belitung Timur akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp 750 ribu serta sekarung beras. Dana yang disebut dengan 'uang tunggu' ini bahkan berasal dari APBD Kabupaten Belitung Timur sendiri.
"Meskipun MOP hanya operasi kecil dan hanya membutuhkan waktu 15 menit, tapi dapur nggak ngebul di rumah. Nah, maka kita kasih Rp 750 ribu. Setelah itu 1 karung beras. Ya supaya asap dapurnya tetap ngebul. Jadi kalau dia satu dua hari merasa tidak nyaman, masih ada sekarung beras," lanjut Basuri.
Selain itu, sebagai penambah daya tarik, program vasektomi di 'Bumi Laskar Pelangi' ini juga menerapkan sistem semacam multi level marketing (MLM).
"Peserta yang sudah ikut kita bikin seperti MLM. Kalau dia bisa cari 50 orang kita kasih 1 sepeda motor. Dengan kondisi ini, untuk provinsi target MOP kita sudah tercapai," tegas Basuri.
Muslimin. Ambillah pelajaran dari Papua dan Belitung. Di Papua, penguasa yang berkuasa di wilayah itu, tanpa tedeng aling-aling membuat kebijakan memperbesar populasi penduduk asli, dan memberikan hadiah bagi yang memiliki anak lebih 10 anak.
Sebaliknya, di Belitung adik Ahok melakukan vasektomi untuk mengempesi jumlah penduduk Muslim di wilayah itu. Sekarang, Muslim sudah mulai takut mempunyai anak lebih dari dua orang anak. Lama-lama Muslim di Indonesia menjadi kaum minoritas.
Muslim sudah terkena pengaruh ‘propaganda’ CUKUP DUA ANAK. Padahal, rezeki itu datang dari Yang Maha Kuasa, dan tidak ada makhluk ciptaan-Nya yang tidak mendapatkan rezeki.
DI INDONESIA, UMAT KRISTEN MEMBENGKAK, MUSLIM MENYUSUT
Fakta menunjukkan umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Bahkan, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Tetapi, jangan bangga dulu. Benar umat Islam Indonesia mayoritas dan terbesar jumlahnya, tetapi statistik membuktikan angka pertumbuhan umat Islam Indonesia kalah dibandingkan dengan pemeluk Kristen. Sebabnya adalah upaya Kristenisasi yang massif terjadi di negeri ini.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Din Syamsuddin pada bulan April 2014 menunjukkan angka statistik pertumbuhan umat Islam Indonesia. Pada sensus penduduk 1990 jumlah umat Islam mencapai 87,6 persen. Angka ini kemudian meningkat menjadi 88,2 persen pada sensus penduduk 2000.
Yang memprihatinkan, kata Din, angka pertumbuhan tahunan umat Islam hanya 1,2 persen. Sementara Kristen dua kali lipatnya, yakni 2,4 persen per tahun.
Bila diturunkan lagi ke tingkat provinsi, akan lebih memprihatinkan lagi. Din mengutip data seorang penulis Leo Suryadinata yang menyebutkan angka pertumbuhan Kristen terbesar adalah di Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai delapan persen per tahun.
Di bawahnya, ada tiga provinsi yang angka pertumbuhan Kristen mencapai tujuh persen. Ketiganya adalah Sumatera Barat, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“Di Jawa Barat itu di wilayah Sukabumi, Cianjur bagian Selatan. Modusnya mereka sewa rumah, kemudian digunakan untuk tempat belajar, main basket, main volly, kemudian dilakukan aktivitas pemurtadan,” jelas Din.
Pesatnya pertumbuhan umat salib
Pada tahun 80-an penduduk Muslim di Indonesia masih lebih dari 90%, maka pada tahun 2000 populasi muslim turun ke angka 88,2% dan tahun 2010 turun lagi menjadi 85,1%. Di Indonesia pertumbuhan agama Islam justru menurun drastis, seperti data di bawah ini:
1..Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) dan dalam rangkaian investigasi diperoleh data bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Khatolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 % diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia.
2.Dari laporan Riset Dep. Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agama Wali Gereja Indonesia, sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Khatolik: 4,6%, Protestan 4,5%, Hindu 3,3%, Budha 3,1% dan Islam hanya 2,75%.
3.Dalam buku Gereja dan Reformasi penerbit Yakoma PGI (1999) oleh Pendeta Yewanggoe, dijelaskan jumlah umat Kristiani di Indonesia (dari Riset) telah berjumlah lebih 20%. Sedangkan menurut data Global Evangelization Movement telah mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 40.000.000 orang (19 % dari total 210 jumlah penduduk Indonesia)
4. BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia melaporkan penurunan jumlah umat Islam di Indonesia. Contohnya di Sulawesi Tenggara turun menjadi 1,88% (dalam kurun waktu 10 tahun). Demikian pula di Jawa Tengah, NTT dan wilayah Indonesia lainnya.
5.Dalam Kiblat Garut 26 Juni 2012, Menteri Agama RI saat itu, Suryadharma Ali mengatakan, dari tahun ke tahun jumlah umat Islam di Indonesia terus mengalami penurunan. Padahal di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Semula, jumlah umat Islam di Indonesia mencapi 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Secara perlahan terus berkurang menjadi 92 persen, turun lagi 90 persen, kemudian menjadi 87 persen, dan kini anjlok menjadi 85 persen.
6. Menurut data Mercy Mission, sebanyak 2 juta Muslim Indonesia murtad dan memeluk agama Kristen setiap tahun. Jika ini berlanjut, diperkirakan pada tahun 2035, jumlah umat Kristen Indonesia sama dengan jumlah umat Muslim. Pada tahun itu, Indonesia tidak akan lagi disebut sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim. (P001/R03)
Penurunan populasi umat islam di indonesia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi di belatar belakangi oleh banyak faktor, diantaranya:
1. Keberhasilan program KB yang dilakukan dengan gencar kepada kaum Muslimin. Sementara itu kepada umat non muslim. Program KB tidak didengungkan atau nyaris tidak terdengar.
2. Keberhasilan Kristenisasi yang dilakukan dengan gencar oleh para misionaris yang makin hari makin cangging dan tidak mengindahkan kode etik penyiaran agama. Belum lagi dukungan dana yang besar serta bantuan tenaga dan program secara internasional.
3. Umat Islam dari golongan pendidikan dan ekonomi tinggi dilemahkan akidahnya melalui isu-isu kebebasan (liberalisme) menafsirkan agama Islam, penerapan demokrasi liberal (yang tidak seluruhnya sesuai dengan syariat Islam).
Kenapa Kolom Agama di KTP Mau Dihapus?
Saya heran ada wacana untuk menghapus kolom agama dari kartu tanda penduduk (KTP). Alasan yang dikemukakan adalah kolom agama di KTP dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi, terutama bagi penganut agama minoritas di suatu daerah, atau bagi orang penganut kepercayaan atau agama di luar enam agama rsmi yang diakui negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu). Contoh diskriminasi yang terjadi misalnya –seperti dikutip dari sini– Dari temuan dan laporan sebagian anggota Komisi II, warga pemeluk agama minoritas di wilayah tertentu di Indonesia, kerap dipersulit ketika sedang mengakses pelayanan publik begitu diketahui oleh petugas tersebut agamanya berbeda.
Bahkan, Wagub Jakarta, Ahok, pun ikut-ikutan mendukung penghapusan kolom agama di KTP, dengan mengambil contoh di Malaysia saja tidak ada pencantuman agama di dalam KTP warga (meskipun pernyataan Ahok ini dibantah oleh warga Malaysia, Pemerintah Malaysia masih mencantumkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk mereka (baca: Ahok Salah, KTP Malaysia Masih Cantumkan Kolom Agama).
Hmmmm…padahal di dalam Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tdiak ada penghapusan kolom agama. Dikutip dari sini, UU baru tersebut menyatakan, masyarakat tak lagi wajib mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) apabila dia beragama di luar 6 agama yang diakui resmi pemerintah RI saat ini, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Bagi kelompok sekuler (dan liberal) yang tidak suka agama ikut mengatur urusan publik, pasti mereka sepemahaman dengan usulan penghapusan kolom agama. Bagi orang rang yang sentimen dengan masalah agama, mereka cenderung melihat agama itu dari sudut negatif saja. Agama seolah-olah tidak penting untuk dibahas, agama itu urusan pribadi, toh beragama atau tidak beragama sama saja kelakuannya. Justifikasinya sering dikaitkan dengan kasus-kasus hukum seseorang. Misalnya, mengaku taat beragama tapi kok mencuri, mengaku sudah pergi haji tapi kok suka korupsi. Ayat suci dibaca, tetapi maknanya tidak diamalkan. Akhirnya beginilah yang terjadi pada bangsa ini yang mengaku bangsa paling relijius: korupsi, suap, nyontek, perkosaan, dan perilaku buruk lainnya menjadi berita sehari-hari. Menurut saya yang salah itu bukan karena agamanya, tetapi emang dasar orang tersebut tidak mempraktekkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, tidak me-match-kan apa yang dibaca dengan yang tindakan yang dilakukan.
Kembali ke masalah diskriminasi karena agama. Diskriminasi terjadi bukan karena agamanya, tetapi lebih pada perilaku orangnya. Orang yang melakukan diskriminasi karena agama sebenarnya telah berlaku tidak adil, dan ketidakadilan itu bisa diseret ke ranah hukum karena melanggar Pasal 27 UU 1045 ayat 1: Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Ketidakadilan karena menganut suatu agama tidak hanya terjadi di negara kita. Di luar negeri, di negara-negara yang mengaku demokratis sekalipun, sering juga kita dengar diskriminasi hanya karena dia beragama berbeda. Misalnya ada wanita muslimah yang susah mendapat pekerjaan hanya karena dia memakai hijab atau kerudung. Di Perancis yang menganut paham liberte malah ada larangan menggunakan jilbab di sekolah-sekolah.
Jika pencantuman agama di KTP dianggap menimbulkan diskriminasi, maka seharusnya semua kolom data di KTP dapat menimbulkan diskriminasi juga lho. Tidak percaya? Coba perhatikan dialog berikut yang saya peroleh dari Fesbuk, lucu tetapi sebenarnya mengandung nada satire:
Perlukah Kolom Agama di KTP Dihapus?
A : “Bro, tahu belum? Ada wacana kolom agama di KTP mau dihilangkan lho.”
Saya heran ada wacana untuk menghapus kolom agama dari kartu tanda penduduk (KTP). Alasan yang dikemukakan adalah kolom agama di KTP dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi, terutama bagi penganut agama minoritas di suatu daerah, atau bagi orang penganut kepercayaan atau agama di luar enam agama rsmi yang diakui negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu). Contoh diskriminasi yang terjadi misalnya –seperti dikutip dari sini– Dari temuan dan laporan sebagian anggota Komisi II, warga pemeluk agama minoritas di wilayah tertentu di Indonesia, kerap dipersulit ketika sedang mengakses pelayanan publik begitu diketahui oleh petugas tersebut agamanya berbeda.
Bahkan, Wagub Jakarta, Ahok, pun ikut-ikutan mendukung penghapusan kolom agama di KTP, dengan mengambil contoh di Malaysia saja tidak ada pencantuman agama di dalam KTP warga (meskipun pernyataan Ahok ini dibantah oleh warga Malaysia, Pemerintah Malaysia masih mencantumkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk mereka (baca: Ahok Salah, KTP Malaysia Masih Cantumkan Kolom Agama).
Hmmmm…padahal di dalam Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tdiak ada penghapusan kolom agama. Dikutip dari sini, UU baru tersebut menyatakan, masyarakat tak lagi wajib mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) apabila dia beragama di luar 6 agama yang diakui resmi pemerintah RI saat ini, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Bagi kelompok sekuler (dan liberal) yang tidak suka agama ikut mengatur urusan publik, pasti mereka sepemahaman dengan usulan penghapusan kolom agama. Bagi orang rang yang sentimen dengan masalah agama, mereka cenderung melihat agama itu dari sudut negatif saja. Agama seolah-olah tidak penting untuk dibahas, agama itu urusan pribadi, toh beragama atau tidak beragama sama saja kelakuannya. Justifikasinya sering dikaitkan dengan kasus-kasus hukum seseorang. Misalnya, mengaku taat beragama tapi kok mencuri, mengaku sudah pergi haji tapi kok suka korupsi. Ayat suci dibaca, tetapi maknanya tidak diamalkan. Akhirnya beginilah yang terjadi pada bangsa ini yang mengaku bangsa paling relijius: korupsi, suap, nyontek, perkosaan, dan perilaku buruk lainnya menjadi berita sehari-hari. Menurut saya yang salah itu bukan karena agamanya, tetapi emang dasar orang tersebut tidak mempraktekkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, tidak me-match-kan apa yang dibaca dengan yang tindakan yang dilakukan.
Kembali ke masalah diskriminasi karena agama. Diskriminasi terjadi bukan karena agamanya, tetapi lebih pada perilaku orangnya. Orang yang melakukan diskriminasi karena agama sebenarnya telah berlaku tidak adil, dan ketidakadilan itu bisa diseret ke ranah hukum karena melanggar Pasal 27 UU 1045 ayat 1: Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Ketidakadilan karena menganut suatu agama tidak hanya terjadi di negara kita. Di luar negeri, di negara-negara yang mengaku demokratis sekalipun, sering juga kita dengar diskriminasi hanya karena dia beragama berbeda. Misalnya ada wanita muslimah yang susah mendapat pekerjaan hanya karena dia memakai hijab atau kerudung. Di Perancis yang menganut paham liberte malah ada larangan menggunakan jilbab di sekolah-sekolah.
Jika pencantuman agama di KTP dianggap menimbulkan diskriminasi, maka seharusnya semua kolom data di KTP dapat menimbulkan diskriminasi juga lho. Tidak percaya? Coba perhatikan dialog berikut yang saya peroleh dari Fesbuk, lucu tetapi sebenarnya mengandung nada satire:
Perlukah Kolom Agama di KTP Dihapus?
A : “Bro, tahu belum? Ada wacana kolom agama di KTP mau dihilangkan lho.”
B : “Emang kenapa? Katanya negara berketuhanan, kok malah hilangkan agama?”
A: “Katanya sih, kolom agama itu bisa mengakibatkan diskriminasi. Lagian agama juga urusan pribadi. Nggak usahlah dicantumkan di KTP.”
B : “Nah, ntar ada juga orang yang ngaku mendapat perlakuan diskriminasi gara-gara jenis kelamin ditulis. Berarti kolom jenis kelamin juga harus dihapus dong. Laki-laki dan perempuan kan setara. Lagian, para bencong atau banci pasti protes mau dimasukkan ke jenis kelamina apa.”
C : “Eh, jangan lupa. Bisa juga lho perlakuan diskriminasi terjadi karena usia. Jadi hapus juga kolom tanggal lahir.”
D : “Eit, ingat juga. Bangsa Indonesia ini juga sering fanatisme daerahnya muncul, terlebih kalau ada laga sepak bola. Jadi mestinya, kolom tempat lahir dan alamat juga dihapus.”
B : “Ada juga lho, perlakuan diskriminasi itu gara-gara nama. Misal nih, ada orang dengan nama khas agama tertentu misalnya Abdullah, tapi tinggal di daerah yang mayoritas agamanya lain. Bisa tuh ntar dapat perlakuan diskriminasi. Jadi kolom nama juga wajib dihapus.”
B: “Kalau status pernikahan gimana? Perlu gak dicantumkan?”
A : “Itu harus dihapus. Nikah atau tidak nikah itu kan urusan pribadi masing-masing. Saya mau nikah kek, mau pacaran kek, itu kan urusan pribadi saya. Jadi kalau ada perempuan hamil besar mau melahirkan di rumah sakit, nggak usah ditanya KTP-nya, nggak usah ditanya sudah nikah belum, nggak usah ditanya mana suaminya. Langsung saja ditolong oleh dokter.”
D : “Sebenarnya, kolom pekerjaan juga berpotensi diskriminasi. Coba bayangkan. Ketika di KTP ditulis pekerjaan adalah petani/buruh, kalau orang tersebut datang ke kantor pemerintahan, kira-kira pelayanannya apakah sama ramahnya jika di kolom pekerjaan ditulis TNI? Nggak kan? Buruh biasa dilecehkan. Jadi kolom pekerjaan juga harus dihapus.”
C: “Kalau golongan darah gimana? Berpotensi diskriminasi nggak?”
A : “Bisa juga. Namanya orang sensitif, apa-apa bisa jadi bahan diskriminasi.”
E : “Lha terus, isi KTP apa dong?
Nama : dihapus
Tempat tanggal lahir : dihapus
Alamat tinggal : dihapus
Agama : dihapus
Status perkawinan : dihapus
Golongan darah : dihapus
Berarti, KTP isinya kertas kosong doang”
A, B, C, D : (melongo)
Alamat tinggal : dihapus
Agama : dihapus
Status perkawinan : dihapus
Golongan darah : dihapus
Berarti, KTP isinya kertas kosong doang”
A, B, C, D : (melongo)
Ahok Tolak Permintaan PKS Larang Penjualan Miras di Minimarket
Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama menegaskan bakal tetap mengizinkan penjualan minuman beralkohol di minimarket seluruh Jakarta, asalkan dengan kadar alkohol maksimum lima persen.
Pernyataan Basuki ini untuk menanggapi interupsi anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD DKI, Tubagus Arif, yang tidak menyetujui penjualan minuman keras (miras) di minimarket.
"Terkait minimarket yang beroperasi 24 jam, dapat saya jelaskan bahwa kebijakan penjualan miras di minimarket di DKI Jakarta dilakukan dengan sangat ketat dan selektif, yaitu dengan kadar alkohol lima persen," kata Basuki di gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (20/1/2015).
Penjualan miras itu pun hanya diperbolehkan di minimarket yang letaknya jauh dari rumah ibadah dan juga sekolah. Selain itu, pemilik minimarket juga wajib memisahkan minuman beralkohol serta minuman lainnya di dalam lemari pendingin.
Sementara itu, warga yang boleh membeli miras itu hanyalah yang berusia di atas 18 tahun. Bahkan, sejumlah minimarket yang berbasis kafetaria baru bisa menjual minuman alkohol tersebut dengan syarat bahwa konsumen menunjukkan KTP.
"Konsumen harus berusia 18 tahun ke atas serta minimarket harus dilengkapi dengan CCTV (kamera pengawas)," kata Basuki.
Aturan lokasi penjualan minuman beralkohol dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2014 tentang penjualan minuman beralkohol.
Di dalam Permendag dan Perda Tibum disebutkan bahwa minuman yang mengandung alhohol lima persen ke bawah termasuk minuman beralkohol tipe A. Menurut Pasal 14 Permendag Nomor 20 Tahun 2014, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer berupa minimarket, supermarket, hypermarket, dan lainnya.
Selain itu, minuman beralkohol golongan A sebenarnya tidak termasuk miras. Sebab, miras tidak mengandung gula, dan kadar alkohol di atas 20 persen, seperti arak, brendi, gin, rum, tequila, vodka, dan wiski.
Sementara itu, minuman beralkohol di bawah 20 persen dengan tambahan gula dan perisa tambahan disebut liquor, contohnya bir dan anggur.
Sekadar informasi, interupsi yang dilayangkan anggota DPRD Fraksi PKS, Tubagus Arif, merujuk Pasal 46 Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menjual alkohol dalam bentuk dan tempat apa pun.
"Mohon pernyataan Gubernur tentang peredaran miras dicabut. Gubernur mengizinkan penjualan miras di bawah lima persen, melanggar perda," ucap Tubagus.
Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama menegaskan bakal tetap mengizinkan penjualan minuman beralkohol di minimarket seluruh Jakarta, asalkan dengan kadar alkohol maksimum lima persen.
Pernyataan Basuki ini untuk menanggapi interupsi anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD DKI, Tubagus Arif, yang tidak menyetujui penjualan minuman keras (miras) di minimarket.
"Terkait minimarket yang beroperasi 24 jam, dapat saya jelaskan bahwa kebijakan penjualan miras di minimarket di DKI Jakarta dilakukan dengan sangat ketat dan selektif, yaitu dengan kadar alkohol lima persen," kata Basuki di gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (20/1/2015).
Penjualan miras itu pun hanya diperbolehkan di minimarket yang letaknya jauh dari rumah ibadah dan juga sekolah. Selain itu, pemilik minimarket juga wajib memisahkan minuman beralkohol serta minuman lainnya di dalam lemari pendingin.
Sementara itu, warga yang boleh membeli miras itu hanyalah yang berusia di atas 18 tahun. Bahkan, sejumlah minimarket yang berbasis kafetaria baru bisa menjual minuman alkohol tersebut dengan syarat bahwa konsumen menunjukkan KTP.
"Konsumen harus berusia 18 tahun ke atas serta minimarket harus dilengkapi dengan CCTV (kamera pengawas)," kata Basuki.
Aturan lokasi penjualan minuman beralkohol dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2014 tentang penjualan minuman beralkohol.
Di dalam Permendag dan Perda Tibum disebutkan bahwa minuman yang mengandung alhohol lima persen ke bawah termasuk minuman beralkohol tipe A. Menurut Pasal 14 Permendag Nomor 20 Tahun 2014, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer berupa minimarket, supermarket, hypermarket, dan lainnya.
Selain itu, minuman beralkohol golongan A sebenarnya tidak termasuk miras. Sebab, miras tidak mengandung gula, dan kadar alkohol di atas 20 persen, seperti arak, brendi, gin, rum, tequila, vodka, dan wiski.
Sementara itu, minuman beralkohol di bawah 20 persen dengan tambahan gula dan perisa tambahan disebut liquor, contohnya bir dan anggur.
Sekadar informasi, interupsi yang dilayangkan anggota DPRD Fraksi PKS, Tubagus Arif, merujuk Pasal 46 Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menjual alkohol dalam bentuk dan tempat apa pun.
"Mohon pernyataan Gubernur tentang peredaran miras dicabut. Gubernur mengizinkan penjualan miras di bawah lima persen, melanggar perda," ucap Tubagus.
------------------------------------
Dari : Berbagai Medsos Online
Post a Comment