Perspektif Kesetaraan Gender Dalam Islam (4)

Oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

2. Menstrual Taboo


Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.

Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.

Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts), suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.143 Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik144 yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.145

Upaya lain dalam mengamankan tatapan "mata iblis" ialah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab"146 dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Tawrat147 dan Kitab Injil.148 Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code):

The tradition that women veil themselves when they go out in public a very old in the orient. Probably the first reference is to be found in the Assyirian Code, where it a ruled that wives, daughters, widows, when, going out in public, must be veiled.149

(Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa: isteri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus menggunakan kerudung).
Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah "si mata Iblis" dalam melakukan aksinya.150

Penggunaan cadar/kerudung (hood)151 pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi. Kerudung dan semacamnya semula bertujuan untuk menutupi tatapan mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam.

Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti "gubuk pengasingan" bagi keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan. Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada yang dari wol yang berasal dari bulu domba.152

Selain mengenakan cadar perempuan haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla') di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik, dan bahan dari tengkorak kepala manusia.

Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum perempuan. Masyarakat tradisional dahulu kala sudah pernah muncul perdebatan seru. Apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi. Agama Yahudi dan selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum Islam juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan.

3. Haydl dalam Islam

Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haydl.153 Dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl).154

Dari segi penamaan saja, kata haydl sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haydl dijelaskan dalam Q., s. al-Baqarah/1:222:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah: "Haydl itu adalah 'kotoran' oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haydl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haydl, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haydl) kecuali bersetubuh". Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai "hal yang alami" (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd ibn Hudlayr dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.155

Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali menegaskan bahwa: "Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)", "Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima')". Bahkan Rasulullah seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan 'A'isyah, antara lain, 'A'isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dalam keadaan haydl, juga pernah menceritakan Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima') sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah haydl dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian 'A'isyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadapnya.156 Jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di atas sesungguhnya bukan lagi haydl-nya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau "tempat" keluarnya darah itu (mawdhi 'al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl. Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan "tempat" haid (mawdhi 'al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan "waktu" dan "zat" haid ('ayn al-haydl) itu sendiri.

Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum. Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti jauhilah perempuan itu pada waktu haydl artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab. Akan tetapi kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi 'al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haydl dari perempuan itu. Penggunaan logika yang kedua ini menjadi jelas tanpa harus lagi ada "penghapusan" (nasakh) atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam pengertian, karena yang bermasalah (adzan)157 dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi' al-haydl), jadinya tidak logis dalam pengertian (ghayr ma'qul al-ma'na) karena sesungguhnya yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu'-nya. Haydl itu sendiri bukan adzan karena haydl hanya di-'ibirah-kan dengan darah yang khusus.

Al-Razi dalam tafsirnya memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.158 Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidh itu bukan persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu.

Perintah untuk "menjauhi" (fa'tazilu) dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab'id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i'tizal). Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena itulah disebut adzan.

Mengenai pembersihan diri (thaharah)159 dari haydl, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh160 ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin.161 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza'i dan Ibn Hazm.162

Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita. Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat.

E. Penutup

Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum perempuan. Semenjak dahulu kala, orang banyak berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat.

Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir (divine creation), bukan konstruksi masyarakat (social consttuction).

Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama.

Islam tidak sejalan dengan faham patriarki mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur'an tidak memberikan penegasan tentang unsur dan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, tidak juga mengenal konsep dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah tanggung jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan.

_______________________
Sumber bacaan : 

99.  Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3.

100. Evelyn Reed, Woman's Evolution, From Matriarchal Clan to Patriarchal Family, New York, London, Montreal, Sydney: Tathefinder, 1993, h. IV.

101. Lihat misaslnya Frederick Engels, The Origin of Family Private Property and State, New York: International Publisher Company, 1976. Buku ini banyak mengilhami para feminis marxis dan sosialis di dalam memberikan solusi terhadap gender stereotyping di dalam masyarakat.
102.  John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265.

103. Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford yang mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of belonging to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979, h.).

104. Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vol. I, NewYork: Green Wood Press, h. 153.

105. Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993, h. 4.

106. Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h.2.

107. H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2.

108. Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3.

109. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3.
110. Dalam literatur Arab disebut Hawwa dan literatur Inggris disebut Eva. Dalam sumber-sumber Yahudi sering dikatakan Ha-ishah secara literal berarti "wanita" tetapi sesungguhnya yang dimaksud ialah "pelayan" (ezer/belper) Adam. Seperti dalam Islam, literatur Yahudi mempunyai beberapa istilah terhadap wanita (female), yaitu almah untuk wanita usia kawin, betulah untuk gadis perawan, bachurah untuk wanita remaja, naarah wanita antara 12 sampai 12,5 tahun, dan nikevah untuk wanita usia dewasa, serta yaldah untuk wanita yang belum dewasa. (Lihat Lisa Aiken, To be Jewish Woman, Northvale, New Jersey, London: Janson Aronson INC., 1992, h.12).

111. Kata Adam bersumber dari bahasa Hebrew Adamah berarti bumi (earth). Dapat berasal dari akar kata alef (yang satu) dan dom (sunyi, diam, bisu). Lihat Ibid, h. 6-7.

112. Dikutip dari Kitab Bibel edisi Indonesia.

113. Lillith digambarkan sebagai "setan betina" (female demon) yang berwajah manusia, berambut panjang, dan mempunyai sayap, gentayangan di malam hari. Lihat Lisa Aiken, op. cit., h. 23., Monica Sjoor dan Barbara Mor, The Great Cosmic Mother, Rediscovering the Religion of the Earth, San Fransisco: Harper and Row Publishers, 1985, h. 276-277.

114. Sumber ini tidak terlalu populer di kalangan Yahudi karena dianggap kepercayaan sempalan, namun demikian cerita ini ditemukan dalam Talmud, seperti dalam Erubin 1006, Bava Batra 736, Niddah 246, Sabbat 1516. Lihat dalam Rabbi DR I. Epstein (Editorship), Hebrew-English Edition of the Babilonia Talmud, Vol. I (Erubin), London; Jerusalem: The Sonicino Press, 1976, h. 73a-73b. Juga dalam Vol. 6 (Niddah), h. 246.

115. Lisa Aiken, loc. cit. dan dalam Holy Bible, Guelp, Ontario: The Gideons International in Canada, h. 516, diistilahkan dengan The Night Monster.

116. Riffat Hasan memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj, sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata zawjah. (Lihat Riffat Hasan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam," dalam Ulumul Qur'an, Vol.1, 1990/1410 H., h. 51). Akan tetapi alasan ini lemah, karena kata zawj tidak mesti berarti isteri, dan tidak mesti memakai huruf ta marbutah (zawjah) sebagai simbol perempuan (muannats) untuk menunjukkan makna isteri, karena yang ditekankan pada ayat ini ialah pasangan (pair), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan (Q., s. Thaha/20:53 dan s. al-Syura/42:11). Lagi pula kata ganti (dlamir) yang merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamir mudzakkar, di antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zawjuk-a 'l-jannah (Q., s. al-Baqarah/2:35 dan s. al-A'raf/7:19). Kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kid) dengan kata anta, kata ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki.

117. Muhammad al-Razi Fakhr-u 'l-Din al-'Allamah Shaba'-u 'l-Din 'Umar, Tafsir al-Razi, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h.179. Dengan begitu, kata min dari kata al-nafs al-wahidah bukan menunjuk kepada penciptaan awal (ibtida' al-takhliq) tetapi hanya sebagai ibtida' al-ghayah. Jadi asal-usul Hawa bukan dari Adam tetapi dari unsur "Gen Yang Tunggal" dari mana seluruh makhluk hidup berasal. Sedikit koreksi kepada Komentar Yusuf Ali dalam The Holy Quran-nya bahwa tidak benar al-Razi yang berpendapat bahwa dhamir "ha" bukan Adam tetapi dari nafs. Hanya al-Razi mengungkapkan pendapat ulama lain (al-Ishfahani), sebagaimana ciri tafsir al-Razi selalu mengungkapkan pendapat lain sebagai perbandingan.

118. Lihat S.V. Mir Ahmed Ali dengan special notes/musyarrih, Hujjatul Islam Ayatullah Haji Mirza Mahdi Pooya Yazdi, The Holy Qur'an, Karachi, Pakistan: Muhammad Khaleel Shirazi, 1964, h. 359.

119. "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

120. Menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, beberapa benda alam atau nama-nama benda yang menakjubkan seperti matahari (al-syams), bulan (al-qamar), langit (al-sama'), angin (al-rih), tanah, bumi (al-ardl), jiwa (al-nafs), dan lain sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats)? Boleh jadi ini berkaitan dengan mitologi Mesir Kuno dan Asia Tengah pada umumnyayang menganut faham The Mother God. Bulan misalnya dianggap sebagai "Ibu Alam Semesta" (The Mother, of Universe) karena mempunyai cahaya yang membawa kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih banyak menganggap bulan sebagai dewi yang sangat berpengaruh, dan menurut Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat Islam sejak awal sampai sekarang menjadikan bulan sebagai simbol dan Bulan Sabit menjadi semacam lambang "Palang Merah" dunia Islam. (Lihat Barbra Walker, The Women's Encyclopaedia of Myths and Sacrets, San Fransisco, Harper & Row, 1983, h. 669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993, h. 30-31. Proses peralihan The Mother God ke The Father God membawa implikasi sosial. Beralihnya masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki dinilai mempunyai hubungan dengan,peralihan itu. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dianggap merombak sistem dan struktur masyarakat matriarki yang pernah dibangun oleh mitologi sebelumnya ke sistem patriarki. (Lihat misalnya Merlin Stone, When God was a Woman, New York, London: A Havest/HBJ Book Harcourt Brace Jovaniche, 1976., dan J. Edgar Bruns, God as Woman, Woman as God, New York, Paramus, Toronto: Paulist Press,1973. Akan tetapi Susan Starr Scred tidak setuju membesar-besarkan agama sebagai faktor paling dominan dalam pembentukan suatu sistem masyarakat seperti masyarakat matrifocal atau patrifocal, matriarcal atau patriarcal, dan matrilineal atau patrilineal, karena faktor ekologi dan budaya juga sangat menentukan. Lihat Susan Starr Scred, Priestess, Mother, Sacred Sister Religious Dominated by Women, NewYork, Oxford. Oxford University Press, 1984, h, 284.

121. Misalnya dalam Q., s. al-A'rif/7:56 (In-na rahmat-a 'l-Lah-i qarib-un min al-muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i hakekat maushuf yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka shifat pun harus mudzakkar lalu digunakanlah kata qarib.

122. Lihat misalnya Susan Weidman Schneider,Jewish and Female; Choices and Changes in Our Lives Today, New York: Simon and Schuster,1984, dan Philip Culbertston, The Future of Male Spirituality, New Adam, Minneapolis: Foetress Press, 1992.

123. Di antara karya Fatima Mernissi yang paling populer ialah The Veil and the Male Elite, a Feminist Interpretation of Women's Right in Islam, yang edisi Inggrisnya diterbitkan di 21 kota Dalam buku ini Mernissi antara lain seolah menggugat kalangan Penguasa dan ulama memberikan muatan kultur Arab berlebihan terhadap beberapa Ayat dan Hadits, terutama sesudah Rasulullah wafat.

124. Holy Bible, op. cit, h. 2.

125. Lihat Judith R Baskin (Ed.), Jewish Woman Historical Prospective Detroit: Wayne State University Press, 1991, h. 79. Bandingkan dengan kedudukan perempuan dalam pandangan gereja yang diilustrasikan oleh Nelle Morton sebagai berikut: GOD, MAN, WOMAN, CHILD, EARTH  Perempuan ditempatkan di bawah Tuhan dan laki-laki dan di atas anak-anak dan bumi. (Nelle Morton, Preaching the Word, dalam Alice L. Hageman (Ed)., Sexist Religion and Women in the Church, New York: Assosiation Press, 1974, h. 42).

126. Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflections on Ancient Religious Stories, New York: Crossroad, 1992, h. 154-155.

127. Lihat misalnya kisah-kisah Adam dan pasangannya dalam Q., s. al-Baqarah/2:34-38, s. al-A'raf/7:11-27, s. Thaha/20:115-123.

128. Dikutip dari al-Razi, op: cit., Juz III, h. 2.

129. Muhammad Rasyid Ridla', Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H., h. 330.

130. Wiebke Walther, Women in Islam, from Mediaeval to Modern Time, New York: Markus Wiener Publishing Princeton, 1993, h. 51.

131. Yang dimaksud ayat-ayat essensial di sini ialah ayat-ayat yang menjadi tema pokok dalam al-Qur'an, seperti melaksanakan amanah (Q., s. al-Nisa'/4:58), mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q., s. al-Nahl/16:90), menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (Q., s. Alu 'Imran/ 3:104), dan men-tawhid-kan Tuhan (Q., s. al-Ikhlash/112:1-40).

132. Pendapat pertama dipegang oleh jumhur Ulama dengan alasan bahwa meskipun ayat-ayat itu diturunkan dalam suatu sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum (am), jadi mereka mengutamakan bunyi teks dari pada konteks, lagi pula menurut mereka, al-Qur'an tidak hanya untuk dijadikan petunjuk oleh masyarakat tempat dan waktu di mana al-Qur'an diturunkan tetapi juga untuk masyarakat sampai akhir zaman. Fungsi sabab nuzul lebih banyak merupakan penguat penjelasan (bayan ta'kid), dan sangat terbatas yang sampai ke bayan takhshish, yang berfungsi untuk mengkhushushkan jangkauan ayat, sebagai konsekuensi pada kaidah pertama (al-'ibrah bi 'umu-m al-lafdh, la-bi khushu-sh al-sabab), bahkan ada yang mengatakan ayat-ayat tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan riwayat sabab nuzul, karena ayat-ayat itu turun kebetulan pada saat terjadinya sebab itu. Pendapat yang kedua cenderung dipegang oleh al-Syathibi yang terkenal dengan kitabnyaAl-Muwafaqat-nya. Kalau jumhur penekanannya pada analisa teks maka Syathibi lebih berorientasi kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah) dan dengan demikian selain mengandalkan teknik analogi (qiyas) dengan memperhatikan secara cermat semua unsur qiyas, juga lebih berkonsentrasi kepada kajian konteks dari pada detail teks. Orisinalitas pendapat al-Syathibi terletak di antara dua kaidah (pertama dan ketiga) di atas, dan seolah-olah ingin mengembangkan kaidah lain bahwa yang dijadikan pegangan ('ibarah) ialah yang lebih dekat mengantar kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Kedudukan teks (lafzh) ditempatkan sejajar dengan sabab nuzul sambil melakukan penelitian kritis (istiqra') terhadap dalil-lalil lain, kemudian dipilih atau dibentuk suatu bentuk solusi. Sedangkan pendapat ketiga berpegang kepada kaidah al-'ibrah bi khushush al-sabab la-bi 'umum al-lafzh, pendapat ini tidak umum di kalangan ulama.

133. Lihat kembali catatan kaki nomor 131.

134. Konsep Madinah (kota) diuraikan dengan menarik oleh Nurcholish Madjid bahwa Madinah berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyah atau tamaddun yang berarti "peradaban" (civilization). Secara literal madinah adalah "tempat peradaban", atau suatu lingkungan hidup yang ber-"adab" (kesopanan, "civility"), yakni tidak "liar". Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadlarah, satu akar kata dengan hadlir (Indonesia: "hadir") yang menunjuk kepada pengertian "pola hidup menetap di suatu tempat" (sedentary). Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata konsep tersebut ialah badawah, badiyah, atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad), terkesan primitif, seperti pola kehidupan padang pasir. Kata badawah seakar kata dengan ibtida', seperti dimaksud pada "madrasah ibtidaiyyah" (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah (bedouin). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadma, 1992, h. 312-313.

135. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992, h. 271.

136. Ibid, h. 278.

137. Lihat Masdud Hasan, Sayyid Abul A'la Al-Mawdudi and His Thought, Vol. II, Lahore Pakistan: Islamic Publication (Pvt) Ltd., t.th, h. 493. Lihat pula Farhat Haq, Islamic Reformism and the State: The Case of the Jammiat-i-Islami at Pakistan, (Dissertation), Ithaca: Cornell University, 1988, h. 280.

138. Lihat Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Manthur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Juz XI, Beirut: Dar Shadir, h, 67.

139. Lihat Talmud op. cit, Vol. II (Erubin) h. 100b.

140. Lihat Lisa Aiken op. cit., h. 21, yang mengutipnya dari Me'am Loez on Genesis 3:17-19.

141. Bible, op. cit., h. 2.

142. Ibid.

143. Lihat Thomas Buckley and Alma Gottlies (Ed.), Blood Magic, the Antropology of Menstruation, Berkeley, Los Angeles, London: University ff California Press, 1988, h. 6-7. Lihat Pula PaulaWeidger, Menstrual and Menopause, The Physiology and Psychology, The Myth and Reality, New York: Alfred. A. Knoft., 1976, h. 85.

144. Kata kosmetic itu sendiri berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi. Juga berhubungan dengan kata cosmology, yang menunjuk kepada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu (space-time relationship) yang juga menjadi sasaran kajian metafisik. Istilah lain yang erat hubungannya kata tersebut ialah kata cosmogony yang berarti deskripsi tentang asal-usul alam semesta (description of the origin of the universe). Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang keserasian lmgkungan alam (description of the order of nature). Akan tetapi istilah "kosmetik" yang sekarang menjadi alat kecantikan wanita lebih dekat kepada kata cosmetikos tadi, berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota badan wanita guna menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam. (Lihat Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993, h. 72-73).

145. Lihat ibid., h. 89-95.

146. Misalnya dalam Q., s. al-Ahzab/33:59 dan s. al-Nur/24:31.

147. Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Tawrat, antara lain tif'eret. (Isaiah: 3:19-20). Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam. Dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami. ...the woman going out in public pleaces with uncovered constituted legitimate cause for divorce, as through it were synonimous with unfaitfullness. Lihat Louis M. Epstein, Sex Laws and Customs in Judaism, New York: Ktav Publishing House, INC., 1967, h. 41.

148. Istilah yang sepadan dengan cadar atau kerudung dalam Bible ialah: redid zammah, re'alah, za'if, mitpahat. Lihat ibid. h. 37.

149. Ibid, h. 36.

150. Ibid.

151. Penggunaan kata "hood" dalam bahasa Inggris yang berarti "kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher" dan kata hat berarti "topi" mempunyai kedekatan makna -dan boleh jadi berasal dari akar kata yang sama-- dengan kata hut berarti "bangunan sementara (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis makna kata hut berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata "hood" selain berarti kerudung/cadar, juga berarti "penjahat" dan "buaya darat". Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.

152. Judi Grahn, op. cit., h. 91-92.

153. Kata haydl adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Tawrat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haydl, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu. Lihat Louis Ma'luf, Al-Munjid fi- al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987, h.164. Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu "mengalir, menampal". Lihat Lisan al-Arab al-Muhith, Beirut: Dar Lisan al-'Arab, Juz 1, t.t., h.770. Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.

154. Q., s. al-Thalaq/65:4 dan s. al-Baqarah/2:222.

155. Lihat Tafsir Al-Qur'an al-Azhim, Juz 1, h. 258.

156. Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh isteri-isteri Nabi yang lain. Lihat ibid., h. 259-260.

157. Kata adzan menurut bahasa berarti sesuatu yang keji dan tidak diinginkan (ma yukrihu min kulli syay'), karena itu kata adzan dalam tafsir yang berbahasa Indonesia sering diartikan dengan penyakit dan juga sering pula dengan kotoran. Bahkan menurut Thabathaba'i darah haid itu sendiri bukan dzat ('ayn)-nya yang darurat melainkan sesuatu yang dari luar (dlarurah lighayrih) kemudian memberi nilai tersendiri, seperti firman Allah dalam s. al-Ahzab/33:57: "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Maksudnya bukan menyakiti Allah dan Rasul-Nya secara fisik melainkan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam ayat haydl tadi, bukan haydl-nya ansich yang adzan tetapi karena kedatangan darah haid itu setiap bulan dan membawa masalah bagi wanita. Lihat Thabathaba'i; Tafsir al-Mizan, Juz 2, h. 207.

158. Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz h. 64.

159. Kata thaharah termasuk kata yang sering muncul dalam kitab suci terdahulu, seperti dalam kitab Taurat sering dihubungkan dengan mikvah/family purity yaitu melakukan mandi secara ritual dengan air yang telah diberkahi, biasanya pada petang hari ketujuh masa menstruasi. Lihat Lisa Aiken, ibid, h. 164-165. Makna thaharah tersebut mempunyai kemiripan fungsi dalam Islam, yaitu melakukan pembersihan sesudah melakukan persetubuhan atau seusai menjalani menstnrasi. Hanya dalam Tafsir al-Alusi memberikan komentar bahwa yang dimaksud bersih dari ayat tersebut ialah pembersihan secara hakiki, yakni melakukan pembersihan diri secara sempurna (al-thaharah al-kamilah) dengan mandi, maksudnya berhentinya haid tidak bisa dijadikan ukuran tetapi mandi wajib sesudah haid itulah yang dijadikan 'ibarah. Al-Alusi cenderung sependapat dengan 'Ashim yang membaca yaththahharna (dengan tasdiq) yang memfaedahkan upaya intensif untuk membersihkan diri. Lihat Tafsir al-Alusi, Juz 2.: h.123. Imam Syafi'i cukup dengan mandi seperti mandi janabah, yakni menbasahi seluruh anggota badan, sebagian ulama lain seperti 'Atha' dan Thawus berpendapat bahwa wanita pasca haid mesti mandi dan berwudlu. Lihat al-Razi dalam op. cit" h. 69.

160. Angka tujuh di sini semata-mata berdasar pada kebiasaan wanita bahwa umumnya mereka menjalani masa haid selama tujuh hari, tidak ada hubungannya sama sekali dengan angka tujuh seperti yang dianut dalam agama Yahudi. Ini bisa dilihat dalam diskursus empat imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, sama sekali tidak pernah ada yang menyinggung hubungan antara angka tujuh hari dengan penciptaan dan perilaku makrokosmos.

161. Lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Juz 1, ...h.258.

162. Lihat Tafsir al-Nahr al-Mad, Juz 1, h. 216.

Tidak ada komentar