Mendengar nama legendaris Syeh Siti Jenar tentu tidak asing lagi bagi kita, tokoh yang sering disebut Syeh Lemah Abang oleh masyarakat Jawa, ia adalah sosok sufi yang kontoversial karena pemikirannya yang dinilai ekstim oleh para wali, yakni “manunggaling kawulo gusti” dengan mengambil rujukan dari pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan “ana al-haq” . Dalam panggung sejarah, ulama’-ulama’ pada abad ke-14 tidak begitu dipermasahkan, baik asal-usul maupun pemikirannya, namun berbeda halnya dengan sosok yang satu ini, ia sangat diragukan, baik asal usul maupun pemikirannya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa sosok Syeh Siti Jenar hanyalah legenda yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, mereka mempunyai alasan bahwa cerita itu diambilkan dari cerita Al-Hallaj yang di Jawakan atau bisa disebut Al-Hallaj ala Jawa.
Dari sisi lain sebagian sejarawan menganggap Syeh Siti Jenar memang benar-benar terjadi, dengan alasan mereka menemukan beberapa referensi, ada beberapa buku yang mengatakan bahwa ia adalah orang Cirebon, terdapat bukti historis dari babad gresik yang menyatakan bahwa Syeh Siti Jenar pernah diskusi dengan para wali di Giri Kedaton, untuk menguatkan pendapatnya mereka menambahkan dengan bukti makam beliau yang konon berada di Gresik yaitu di tengah-tengah antara gunung pegat, pendapat lain mengatakan ia dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali, ada juga yang berpendapat, bahwa ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Perbedaan pendapat diatas, bukan masalah yang dominan bagi penulis, namun setidaknya bagaimana kita bersikap bijak dalam pembacaan tentang tokoh kontoversial ini dengan data-data yang penulis terima.
Keberadaan Syekh Siti Jenar menjadi lebih sakral dan keramat, ketika para simpatisannya menganggap ia sebagai Tuhan, jika kita telusuri lebih jauh, masyarakat saat itu masih awam dan belum begitu mengerti dengan Islam, maka dapat dikatan mereka kurang faham dengan statemen Syeh Siti Jenar tersebut, dengan demikian, dapat dikatakan pemikirannya menyesatkan. Namun, kemungkinan, pendapatnya tidak sesat, dalam hal ini penulis, mengambil contoh dari sejarah tasawufnya Al-Hallaj, yang terkenal dengan Hulul itu. Pada saat itu banyak murid beliau yang berpadangan bahwa ia adalah Tuhan, namun pada kenyataannya, walaupun banyak yang mengafirkan, disisi lain juga banyak yang membelanya, seperti, Imam Al-Ghazali, ketika ditanya tentang Al-Hallaj, ia berpendapat: ”perkataan yang keluar dari mulutnya (ana al-haq) semata-mata karena cintanya kepada Allah, apabila rasa cinta sudah begitu dalam, tidak dirasa lagi perpisahan antara diri dan yang dicintai”. Apalagi ketika ia di hukum mati oleh pemerintahan ketika itu, Ad-Daniri mengecamnya dengan berkata: “bukan perkara mudah menuduh seorang Islam keluar darinya, kalau kata-katnya masih dapat di ta’wilkan (diartikan lain), lebih baik diartikan lain, karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar dan tergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan yang jahil”.
Menurut cerita masyarakat Jawa, Syekh Siti Jenar awalnya adalah seekor cacing yang berada didalam tanah merah yang digunakan oleh Sunan Bonang untuk menambal perahu, ketika itu Sunan Bonang ingin menurunkan ilmu kepada muridnya (Sunan Kali Jaga), pada saat ilmu diturunkan, Jenar mendengar. Karena ketinggian ilmu itu, ia pun berubah menjadi manusia. Cerita tersebut dirasa adalah fiktif belaka, tetapi setidaknya dapat diartikan bahwa ia mempunyai ilmu yang sederajat atau bahkan serupa dengan Sunan Kalijaga, walaupun pada kenyataannya banyak perbedaan dalam berbagai hal. Namun cerita tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” (Adapun diceritakan kalau Lemahabang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang). diambil dari serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1.
Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya, sebagaimana dikatakan diatas bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit. Sumber-sumber diatas tidak dapat dipersalahkan, namun juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang (sebutannya dalam versi Jawa atau Majapahit) dengan di dukung beberapa data yang realistik, dalam sumber yang penulis terima.
Jika membahas tentang sejarah yang berkaitan dengan Jawa, memang tidak terlepas dari cerita-cerita mitos, sebagaimana cerita Wali Songo, banyak cerita rakyat yang seakan-akan menggambarkan sosok Sembilan Wali itu hadir dalam satu masa, ternyata cerita tersebut tidak valid. Sejarah membuktikan bahwa keberadaan Sunan Bonang dan Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat jauh dilihat dari angka tahunnya, sekitar selisih 100 tahun, keberadaan situs Wali-Wali diatas memang ada, namun masalahnya ketika membahas tentang kata-kata “songo”. Menurut Drs. Mashudi, kata “songo” tersebut muncul pada zaman kerajaan Mataram, yang bertujuan untuk menguatkan legitimasi kekuasaan yang semakin merosot pada saat itu. tidak berbeda jauh dengan cerita Syekh Siti Jenar, bahwa ia juga tokoh di Jawa, tentu tidak lepas dari cerita-cerita mitos.
B. Genealogi Syekh Siti Jenar
Sampai saat ini, sejarah Syekh Siti Jenar masih diselimuti dengan berbagai cerita yang kurang bisa dipertanggung jawabkan, jika kita analisis lebih jauh tentunya karena masih bercampur aduknya antara sejarah dan mitos-mitos masyarakat, legenda serta dongeng. Menurut data yang penulis dapatkan ia lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M, yang diambil dari (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817).
Terdapat banyak pendapat dengan asal-usul Syekh Siti Jenar, seperti yang sudah tertulis diatas, ada yang mengatakan beliau dari kerajaan Majapahit, mereka beralasan bahwa Siti Jenar adalah sekumpulan Ulama yang berada di Majapahit yang tidak mengakui kekuasaan Demak, pernyataan ini dikuatkan dengan mengartikan kata-kata Jenar yang berarti merah, mereka mengatakan bahwa Siti Jenar adalah Ulama yang beraliran merah dan para wali disebutnya dengan aliran putih, lebih jelasnya seperti ini, bahwa Siti Jenar adalah sekumpulan Ulama yang berada dalam kekuasaan Majapahit yang tidak mengakui kekuasaan Demak, sedangkan Ulama beraliran merah berarti Ulama-Ulama abangan yang pemikirannya berbeda dengan Ulama aliran putih, yakni Wali Songo. Namun mengenai pendapat diatas penulis tidak yakin, karena tidak ada bukti lain yang mendukung pendapat diatas.
Berbeda dengan pendapat diatas Agus Sunyoto mengatakan bahwa ia adalah Ulama asal Cirebon yang membuat komunitas pinggiran yang pemikirannya berbeda dengan pemikiran orang-orang keraton dan pendapat para wali. Mungkin pendapat ini juga berkaitan dengan yang mengatakan bahwa ia dari Demak. Selanjutnya ada yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar berasal rumpun Arab, bahkan dikatakan sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad, pendapat tersebut diakui oleh Robithoh Azmatkhan, dengan sanad sebagai berikut:
Abdul Jalil atau Syeikh Siti Jenar bin 1. Datuk Shaleh bin 2. Sayyid Abdul Malik bin 3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin 4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin 5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin 6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin 7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin 8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di Oman) bin 9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin 10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin 11. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin 12. Sayyid Alawi Awwal bin 13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin 14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin 15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin 16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin 17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin 18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin 19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin 20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin (menikah dengan Fathimah binti Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam) Hussain bin 21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin 22. Imam Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti 23. Muhammad SAW
Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa lama tersiar di bumi Caruban bersama-sama dengan ulama yang bernama Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, Syekh Datuk Shaleh wafat (awal tahun 1426,). Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Pada saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Tampaknya pendapat kedua sampai terakhir ini mempunyai kaitan erat, menurut pendapat terakhir bahwa Syekh Siti Jenar adalah Ulama berketurunan Malaya dan lebih jauhnya yaitu keturunan Arab, sebagaimana dijelaskan diatas yang kemudian ayahnya menetap di Cirebon, pendapat tersebut sama dengan pendapat Agus Sunyoto diatas, selanjutnya yang mengaitkannya dengan kerajaan Demak, jika ditinjau lebih jauh justru memperkuat pendapat yang terakhir, terdapat banyak alasan mengapa saya menngatakan seperti itu, pertama, jika dilihat dari angka tahunnya, keduanya memang sezaman, menurut Prof. Dr Slamet Muljana Demak berdiri pada tahun 1478 M dan seperti disebutkan diatas Syekh Siti Jenar lahir pada 1426 M, maka jelas pada saat dewasa nanti Siti Jenar, hidup pada zaman Demak. Kedua, berbagai literatur menyebutkan bahwa kisah Syekh Siti Jenar selalu dikaitkan dengan sunan-sunan di Jawa sedangkan sunan-sunan tersebut sezaman dengan kerajaan Demak, seperti Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kali Jogo dan sebagainya, maka secara langsung ia dikatakan sezaman dengan Demak, namun sejauh yang penulis pahami Siti Jenar bukan berasal dari kerajaan Demak.
C. Kemelut Dengan Para Sunan Jawa
Kebanyakan penulis sejarah Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa kemelutnya dengan para sunan berawal dari pemikirannya yang terkenal dengan “manunggaling kawulo gusti” nya itu, bahkan ada sebagian yang menyatakan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah ajaran Sesat dan pada klimaksnya, akhirnya ia dijatuhi hukuman mati oleh para sunan, namun KH. Abdurrahman Wahid (yang sering dipanggil Gus Dur oleh masyarakat tradisional) mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh bukan karena pemikirannya, hanya saja ia sembrono. Memang tidak hanya asal-usulnya yang diperdebatkan, pemikirannya pun banyak yang menjadi bahan perbincangan Ulama, baik Ulama lama maupun Ulama modern.
Kemudian, apakah ia diadili memang semata-mata karena pemikirannya, atau justru lebih karena faktor politik, pertanyaan inilah yang nanti akan kita bahas dalam sub ini. Kemelut tersebut sebenarnya diawali dengan kekacauan politik Majapahit yang sudah mulai merosot, karena kemerosotan itu akhirnya banyak kesultanan-kesultanan kecil yang memisahkan diri dan saling menyerang dengan mengklaim dirinya adalah pewaris Majapahit, kekisruhan ini, kemudian mengerucut pada dua adipati yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.
Berawal dari kedekatan Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, Raden Patah mulai menyintai gerak-geriknya, Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunung Jati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut. Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar. Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara. Pasukan gabungan ini lantas pergi kapada Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Dan akhirnya ia di hukum mati oleh para wali (sunan).
Dari uaraian diatas tentu, dapat dipahami bahwa tidak hanya faktor pemikiran Siti Jenar yang menimbulkan penjatuhan hukuman mati Siti Jenar, namun juga karena perebutan kekuasaan politik setelah jatuhnya Majapahit, penulis pribadi kurang yakin kebenaran informasi tersebut karena tidak adanya informasi pendukung lainnya, namun jika di analisis secara cermat, tentu saja pendapat kedua ini lebih mendekati benar, dari pada pendapat yang mengatakan hanya karena pemikirannya yang dianggap menyimpang dari syariat tersebut.
Oleh : Muhammad Rahmatullah
Dari sisi lain sebagian sejarawan menganggap Syeh Siti Jenar memang benar-benar terjadi, dengan alasan mereka menemukan beberapa referensi, ada beberapa buku yang mengatakan bahwa ia adalah orang Cirebon, terdapat bukti historis dari babad gresik yang menyatakan bahwa Syeh Siti Jenar pernah diskusi dengan para wali di Giri Kedaton, untuk menguatkan pendapatnya mereka menambahkan dengan bukti makam beliau yang konon berada di Gresik yaitu di tengah-tengah antara gunung pegat, pendapat lain mengatakan ia dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali, ada juga yang berpendapat, bahwa ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Perbedaan pendapat diatas, bukan masalah yang dominan bagi penulis, namun setidaknya bagaimana kita bersikap bijak dalam pembacaan tentang tokoh kontoversial ini dengan data-data yang penulis terima.
Keberadaan Syekh Siti Jenar menjadi lebih sakral dan keramat, ketika para simpatisannya menganggap ia sebagai Tuhan, jika kita telusuri lebih jauh, masyarakat saat itu masih awam dan belum begitu mengerti dengan Islam, maka dapat dikatan mereka kurang faham dengan statemen Syeh Siti Jenar tersebut, dengan demikian, dapat dikatakan pemikirannya menyesatkan. Namun, kemungkinan, pendapatnya tidak sesat, dalam hal ini penulis, mengambil contoh dari sejarah tasawufnya Al-Hallaj, yang terkenal dengan Hulul itu. Pada saat itu banyak murid beliau yang berpadangan bahwa ia adalah Tuhan, namun pada kenyataannya, walaupun banyak yang mengafirkan, disisi lain juga banyak yang membelanya, seperti, Imam Al-Ghazali, ketika ditanya tentang Al-Hallaj, ia berpendapat: ”perkataan yang keluar dari mulutnya (ana al-haq) semata-mata karena cintanya kepada Allah, apabila rasa cinta sudah begitu dalam, tidak dirasa lagi perpisahan antara diri dan yang dicintai”. Apalagi ketika ia di hukum mati oleh pemerintahan ketika itu, Ad-Daniri mengecamnya dengan berkata: “bukan perkara mudah menuduh seorang Islam keluar darinya, kalau kata-katnya masih dapat di ta’wilkan (diartikan lain), lebih baik diartikan lain, karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar dan tergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan yang jahil”.
Menurut cerita masyarakat Jawa, Syekh Siti Jenar awalnya adalah seekor cacing yang berada didalam tanah merah yang digunakan oleh Sunan Bonang untuk menambal perahu, ketika itu Sunan Bonang ingin menurunkan ilmu kepada muridnya (Sunan Kali Jaga), pada saat ilmu diturunkan, Jenar mendengar. Karena ketinggian ilmu itu, ia pun berubah menjadi manusia. Cerita tersebut dirasa adalah fiktif belaka, tetapi setidaknya dapat diartikan bahwa ia mempunyai ilmu yang sederajat atau bahkan serupa dengan Sunan Kalijaga, walaupun pada kenyataannya banyak perbedaan dalam berbagai hal. Namun cerita tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” (Adapun diceritakan kalau Lemahabang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang). diambil dari serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1.
Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya, sebagaimana dikatakan diatas bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit. Sumber-sumber diatas tidak dapat dipersalahkan, namun juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang (sebutannya dalam versi Jawa atau Majapahit) dengan di dukung beberapa data yang realistik, dalam sumber yang penulis terima.
Jika membahas tentang sejarah yang berkaitan dengan Jawa, memang tidak terlepas dari cerita-cerita mitos, sebagaimana cerita Wali Songo, banyak cerita rakyat yang seakan-akan menggambarkan sosok Sembilan Wali itu hadir dalam satu masa, ternyata cerita tersebut tidak valid. Sejarah membuktikan bahwa keberadaan Sunan Bonang dan Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat jauh dilihat dari angka tahunnya, sekitar selisih 100 tahun, keberadaan situs Wali-Wali diatas memang ada, namun masalahnya ketika membahas tentang kata-kata “songo”. Menurut Drs. Mashudi, kata “songo” tersebut muncul pada zaman kerajaan Mataram, yang bertujuan untuk menguatkan legitimasi kekuasaan yang semakin merosot pada saat itu. tidak berbeda jauh dengan cerita Syekh Siti Jenar, bahwa ia juga tokoh di Jawa, tentu tidak lepas dari cerita-cerita mitos.
B. Genealogi Syekh Siti Jenar
Sampai saat ini, sejarah Syekh Siti Jenar masih diselimuti dengan berbagai cerita yang kurang bisa dipertanggung jawabkan, jika kita analisis lebih jauh tentunya karena masih bercampur aduknya antara sejarah dan mitos-mitos masyarakat, legenda serta dongeng. Menurut data yang penulis dapatkan ia lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M, yang diambil dari (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817).
Terdapat banyak pendapat dengan asal-usul Syekh Siti Jenar, seperti yang sudah tertulis diatas, ada yang mengatakan beliau dari kerajaan Majapahit, mereka beralasan bahwa Siti Jenar adalah sekumpulan Ulama yang berada di Majapahit yang tidak mengakui kekuasaan Demak, pernyataan ini dikuatkan dengan mengartikan kata-kata Jenar yang berarti merah, mereka mengatakan bahwa Siti Jenar adalah Ulama yang beraliran merah dan para wali disebutnya dengan aliran putih, lebih jelasnya seperti ini, bahwa Siti Jenar adalah sekumpulan Ulama yang berada dalam kekuasaan Majapahit yang tidak mengakui kekuasaan Demak, sedangkan Ulama beraliran merah berarti Ulama-Ulama abangan yang pemikirannya berbeda dengan Ulama aliran putih, yakni Wali Songo. Namun mengenai pendapat diatas penulis tidak yakin, karena tidak ada bukti lain yang mendukung pendapat diatas.
Berbeda dengan pendapat diatas Agus Sunyoto mengatakan bahwa ia adalah Ulama asal Cirebon yang membuat komunitas pinggiran yang pemikirannya berbeda dengan pemikiran orang-orang keraton dan pendapat para wali. Mungkin pendapat ini juga berkaitan dengan yang mengatakan bahwa ia dari Demak. Selanjutnya ada yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar berasal rumpun Arab, bahkan dikatakan sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad, pendapat tersebut diakui oleh Robithoh Azmatkhan, dengan sanad sebagai berikut:
Abdul Jalil atau Syeikh Siti Jenar bin 1. Datuk Shaleh bin 2. Sayyid Abdul Malik bin 3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin 4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin 5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin 6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin 7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin 8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di Oman) bin 9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin 10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin 11. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin 12. Sayyid Alawi Awwal bin 13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin 14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin 15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin 16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin 17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin 18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin 19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin 20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin (menikah dengan Fathimah binti Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam) Hussain bin 21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin 22. Imam Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti 23. Muhammad SAW
Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa lama tersiar di bumi Caruban bersama-sama dengan ulama yang bernama Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, Syekh Datuk Shaleh wafat (awal tahun 1426,). Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Pada saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Tampaknya pendapat kedua sampai terakhir ini mempunyai kaitan erat, menurut pendapat terakhir bahwa Syekh Siti Jenar adalah Ulama berketurunan Malaya dan lebih jauhnya yaitu keturunan Arab, sebagaimana dijelaskan diatas yang kemudian ayahnya menetap di Cirebon, pendapat tersebut sama dengan pendapat Agus Sunyoto diatas, selanjutnya yang mengaitkannya dengan kerajaan Demak, jika ditinjau lebih jauh justru memperkuat pendapat yang terakhir, terdapat banyak alasan mengapa saya menngatakan seperti itu, pertama, jika dilihat dari angka tahunnya, keduanya memang sezaman, menurut Prof. Dr Slamet Muljana Demak berdiri pada tahun 1478 M dan seperti disebutkan diatas Syekh Siti Jenar lahir pada 1426 M, maka jelas pada saat dewasa nanti Siti Jenar, hidup pada zaman Demak. Kedua, berbagai literatur menyebutkan bahwa kisah Syekh Siti Jenar selalu dikaitkan dengan sunan-sunan di Jawa sedangkan sunan-sunan tersebut sezaman dengan kerajaan Demak, seperti Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kali Jogo dan sebagainya, maka secara langsung ia dikatakan sezaman dengan Demak, namun sejauh yang penulis pahami Siti Jenar bukan berasal dari kerajaan Demak.
C. Kemelut Dengan Para Sunan Jawa
Kebanyakan penulis sejarah Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa kemelutnya dengan para sunan berawal dari pemikirannya yang terkenal dengan “manunggaling kawulo gusti” nya itu, bahkan ada sebagian yang menyatakan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah ajaran Sesat dan pada klimaksnya, akhirnya ia dijatuhi hukuman mati oleh para sunan, namun KH. Abdurrahman Wahid (yang sering dipanggil Gus Dur oleh masyarakat tradisional) mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh bukan karena pemikirannya, hanya saja ia sembrono. Memang tidak hanya asal-usulnya yang diperdebatkan, pemikirannya pun banyak yang menjadi bahan perbincangan Ulama, baik Ulama lama maupun Ulama modern.
Kemudian, apakah ia diadili memang semata-mata karena pemikirannya, atau justru lebih karena faktor politik, pertanyaan inilah yang nanti akan kita bahas dalam sub ini. Kemelut tersebut sebenarnya diawali dengan kekacauan politik Majapahit yang sudah mulai merosot, karena kemerosotan itu akhirnya banyak kesultanan-kesultanan kecil yang memisahkan diri dan saling menyerang dengan mengklaim dirinya adalah pewaris Majapahit, kekisruhan ini, kemudian mengerucut pada dua adipati yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.
Berawal dari kedekatan Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, Raden Patah mulai menyintai gerak-geriknya, Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunung Jati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut. Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar. Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara. Pasukan gabungan ini lantas pergi kapada Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Dan akhirnya ia di hukum mati oleh para wali (sunan).
Dari uaraian diatas tentu, dapat dipahami bahwa tidak hanya faktor pemikiran Siti Jenar yang menimbulkan penjatuhan hukuman mati Siti Jenar, namun juga karena perebutan kekuasaan politik setelah jatuhnya Majapahit, penulis pribadi kurang yakin kebenaran informasi tersebut karena tidak adanya informasi pendukung lainnya, namun jika di analisis secara cermat, tentu saja pendapat kedua ini lebih mendekati benar, dari pada pendapat yang mengatakan hanya karena pemikirannya yang dianggap menyimpang dari syariat tersebut.
Oleh : Muhammad Rahmatullah
Tidak ada komentar
Posting Komentar