Islam di Indonesia Mengandung Bid'ah dan Kemusyrikan (3)

Meski Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelum Sultan Mehmed I Celebi mengirimkan para ulama berkaromah ke Pulau Jawa, namun pengirimannya yang kemudian memunculkan "sejarah" Walisongo/Walisanga, dianggap sejarawan sebagai salah satu tonggak penting penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sayang, "sejarah emas" ini ditulis secara tidak lengkap, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang seputar cara mereka menyebarkan Islam.
Jika Anda pernah menonton film berjudul "Walisongo" atau membaca buku-buku tentang bagaimana para wali itu menyebarkan Islam dengan menerapkan strategi akulturasi, Anda akan melihat betapa efektifnya penyebaran Islam yang mereka lakukan, sehingga berkat mereka pula lah saat ini Indonesia menjadi negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Bahkan mereka ikut memperkaya khazanah budaya bangsa dengan menciptakan Wayang Purwa.

Menurut berbagai referensi, sebelum memulai syiar Islam, para ulama yang dikirim Sultan Mehmed I Celebi terlebih dahulu mempelajari bahasa penduduk setempat agar dapat berkomunikasi dengan baik, dan mempelajari adat istiadat budayanya yang kala itu kental dipengaruhi agama Hindu dan Buddha. Selain itu, mereka juga mempelajari apa yang disukai dan dibutuhkan masyarakat. Dari apa yang mereka pelajari inilah kemudian diciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, wayang purwa, dan sebagainya, karena mayoritas penduduk Pulau Jawa memang penyuka kesenian.
Namun, banyak kalangan yang mempertanyakan selama syiar Islam yang dilakukan, mengapa para wali itu tidak menjaga kemurnian ajaran Islam, sehingga tidak mengharamkan kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga, dan malah memodifikasinya menjadi acara tahlilan. Para wali itu bahkan memberikan nama lain untuk sholat, yakni sembahyang yang berasal dari kata sembah (menyembah) dan hyang (dewa). Selain itu, masjid kecil atau surau diberi nama langgar yang mirip dengan sanggar; tempat orang berkesenian.

masjid kudus
Tak hanya itu, bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat. Masjid Kudus bahkan dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik para calon dai, para wali mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan, mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Buddha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
Yang hingga kini masih juga menjadi perdebatan adalah pertikaian Walisongo dengan rekannya sendiri yang juga anggota Majelis Dakwah, Syekh Siti Jenar yang berujung dengan dibunuhnya Syekh bernama lain Syekh Lemah Abang itu, oleh para wali. Pasalnya, meski penghukuman terhadap Syekh Siti Jenar dianggap benar karena sang Syekh mengajarkan Islam yang menyimpang, namun sebagian orang justru mengklaim kalau apa yang diajarkan Syekh Siti Jenar justru merupakan ajaran Islam yang benar, yang disebarkan sang Syekh untuk meluruskan ajaran Islam yang disebarkan Walisongo.

Repotnya lagi, meski Walisongo menyiarkan Islam, hanya Sunan Bonang yang meninggalkan sebuah buku yang terkait dengan apa yang mereka ajarkan. Namanya Primbon Wejangan Sunan Bonang. Buku ini berisi ajaran tentang fikih, tauhid, dan tasawuf berdasarkan  Ihyâ’ Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud al-Anthaki, dan kitab Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad Syamsu As, seorang peneliti Islam, ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah Ahlusunah wal Jamaah dengan mazhab Syafii. "Buku itu mewakili ajaran semua Walisongo," katanya.

Ustad Abdul Aziz
Menurut Ustad Abdul Aziz, seorang mualaf dari kasta Brahmana, hampir semua ritual dalam agama Hindu, ada dalam ritual pemeluk Islam di Tanah Jawa hingga saat ini, kecuali ngaben (pembakaran mayat). Mulai dari saat seorang ibu sedang mengandung hingga melahirkan, dan setelah kematian anggota keluarga.
"Ini menyedihkan, karena umat Islam yang memiliki ajarannya sendiri, ikut-ikutan ajaran agama lain yang tidak diajarkan dalam agamanya. Padahal, ajaran itu dapat menjerumuskan umat Islam yang melakukannya dalam kemusyrikan," kata sang Ustad dalam video yang sempat beredar di kalangan umat Muslim.
Ustad yang semula bernama Ida Bagus Erit Budi Winarno dan pernah menjadi pendeta Hindu di salah satu pura di Tabanan, Bali, ini menyitir hadist yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Al Aqdhiyah. Bunyinya; "Dari Aisyah RA: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; "Barangsiapa melakukan suatu amalan, dan tidak didasarkan amalan itu dengan perintah kami, maka amalan itu menjadi tertolak".
Melalui hadis ini, Ustad Abdul Malik menegaskan, bahwa jika umat Islam melakukan amal kebaikan, termasuk beribadah, namun tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, maka amalan itu menjadi sia-sia belaka. Naudzubillahiminzalik. (bersambung)

Tidak ada komentar

Posting Komentar