Meski Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelum Sultan Mehmed I Celebi mengirimkan para ulama berkaromah ke Pulau Jawa, namun pengirimannya yang kemudian memunculkan "sejarah" Walisongo/Walisanga,
dianggap sejarawan sebagai salah satu tonggak penting penyebaran Islam
di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sayang, "sejarah emas" ini
ditulis secara tidak lengkap, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan
tentang seputar cara mereka menyebarkan Islam.
Jika Anda pernah menonton film berjudul "Walisongo" atau membaca
buku-buku tentang bagaimana para wali itu menyebarkan Islam dengan
menerapkan strategi akulturasi, Anda akan melihat betapa efektifnya
penyebaran Islam yang mereka lakukan, sehingga berkat mereka pula lah
saat ini Indonesia menjadi negara dengan mayoritas penduduk beragama
Islam terbesar di dunia. Bahkan mereka ikut memperkaya khazanah budaya
bangsa dengan menciptakan Wayang Purwa.
Menurut berbagai referensi, sebelum memulai syiar Islam, para ulama
yang dikirim Sultan Mehmed I Celebi terlebih dahulu mempelajari bahasa
penduduk setempat agar dapat berkomunikasi dengan baik, dan mempelajari
adat istiadat budayanya yang kala itu kental dipengaruhi agama Hindu dan
Buddha. Selain itu, mereka juga mempelajari apa yang disukai dan
dibutuhkan masyarakat. Dari apa yang mereka pelajari inilah kemudian
diciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, wayang
purwa, dan sebagainya, karena mayoritas penduduk Pulau Jawa memang
penyuka kesenian.
Namun, banyak kalangan yang mempertanyakan selama syiar Islam yang
dilakukan, mengapa para wali itu tidak menjaga kemurnian ajaran Islam,
sehingga tidak mengharamkan kebiasaan berkumpul dan kenduri pada
hari-hari tertentu setelah kematian keluarga, dan malah memodifikasinya
menjadi acara tahlilan. Para wali itu bahkan memberikan nama lain untuk
sholat, yakni sembahyang yang berasal dari kata sembah (menyembah) dan hyang (dewa). Selain itu, masjid kecil atau surau diberi nama langgar yang mirip dengan sanggar; tempat orang berkesenian.
Tak
hanya itu, bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan
genteng bertingkat-tingkat. Masjid Kudus bahkan dilengkapi menara dan
gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik para calon dai, para
wali mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan,
mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Buddha untuk mendidik cantrik
dan calon pemimpin agama.
Yang hingga kini masih juga menjadi perdebatan adalah pertikaian
Walisongo dengan rekannya sendiri yang juga anggota Majelis Dakwah, Syekh Siti Jenar yang berujung dengan dibunuhnya Syekh bernama lain Syekh Lemah Abang
itu, oleh para wali. Pasalnya, meski penghukuman terhadap Syekh Siti
Jenar dianggap benar karena sang Syekh mengajarkan Islam yang
menyimpang, namun sebagian orang justru mengklaim kalau apa yang
diajarkan Syekh Siti Jenar justru merupakan ajaran Islam yang benar,
yang disebarkan sang Syekh untuk meluruskan ajaran Islam yang disebarkan
Walisongo.
Repotnya lagi, meski Walisongo menyiarkan Islam, hanya Sunan Bonang
yang meninggalkan sebuah buku yang terkait dengan apa yang mereka
ajarkan. Namanya Primbon Wejangan Sunan Bonang. Buku
ini berisi ajaran tentang fikih, tauhid, dan tasawuf berdasarkan Ihyâ’
Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud al-Anthaki, dan kitab Syekh
Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad Syamsu As, seorang peneliti
Islam, ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah Ahlusunah wal Jamaah dengan
mazhab Syafii. "Buku itu mewakili ajaran semua Walisongo," katanya.
Menurut Ustad Abdul Aziz,
seorang mualaf dari kasta Brahmana, hampir semua ritual dalam agama
Hindu, ada dalam ritual pemeluk Islam di Tanah Jawa hingga saat ini,
kecuali ngaben (pembakaran mayat). Mulai dari saat seorang ibu sedang
mengandung hingga melahirkan, dan setelah kematian anggota keluarga.
"Ini menyedihkan, karena umat Islam yang memiliki ajarannya sendiri,
ikut-ikutan ajaran agama lain yang tidak diajarkan dalam agamanya.
Padahal, ajaran itu dapat menjerumuskan umat Islam yang melakukannya
dalam kemusyrikan," kata sang Ustad dalam video yang sempat beredar di
kalangan umat Muslim.
Ustad yang semula bernama Ida Bagus Erit Budi Winarno dan pernah
menjadi pendeta Hindu di salah satu pura di Tabanan, Bali, ini menyitir
hadist yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Al Aqdhiyah. Bunyinya; "Dari
Aisyah RA: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; "Barangsiapa melakukan
suatu amalan, dan tidak didasarkan amalan itu dengan perintah kami,
maka amalan itu menjadi tertolak".
Melalui hadis ini, Ustad Abdul Malik menegaskan, bahwa jika umat
Islam melakukan amal kebaikan, termasuk beribadah, namun tidak sesuai
dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, maka amalan itu menjadi sia-sia belaka.
Naudzubillahiminzalik. (bersambung)
Tidak ada komentar
Posting Komentar