Islam di Indonesia Mengandung Bid'ah dan Kemusyrikan (4)

Dalam Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 42, Allah mengingatkan; "Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya". Ayat ini dapat diterjemahkan sebagai perintah Allah agar umat Islam menjalankan syariat Islam secara murni, dan meninggalkan yang tidak diajarkan-Nya.

Dalam penjelasannya, Ustad Abdul Aziz menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang simpel dan tidak memberatkan penganutnya. Namun, masuknya tradisi Hindu dalam ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw ini membuat ajaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, cenderung menjadi sebaliknya, sehingga demi pelaksanaan tradisi yang berupa ritual-ritual tersebut, umat Islam menjadi tak segan-segan berhutang atau menjual barang berharga miliknya. "Padahal melakukan sesuatu dengan memaksakan diri sehingga harus berhutang, bukanlah hal yang baik. Terlebih jika pemaksaan diri itu untuk melakukan suatu kegiatan yang tidak diridhoi Allah SWT," imbuhnya.

Dalam Surah Al Maidah ayat 3, Allah berfirman; "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agamamu".

Sebagai agama yang telah disempurnakan, Islam memiliki ajaran yang lebih baik dibanding agama Nasrani yang dibawa Nabi Isa As maupun agama-agama tauhid yang dibawa Nabi Musa, Daud, dan nabi-nabi sebelum mereka, karena Islam merupakan penyempurnaan dari agama-agama tersebut. Maka, tidak heran jika begitu banyak peringatan maupun ancaman Allah dalam Al Qur'an jika umat manusia tidak mengamalkan ajaran Islam secara benar.

Dalam Al Qur'an Surah Al An'am ayat 82, Allah berfirman; "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". Sedang Surah Al Baqarah ayat 82, Allah berfirman; "Dan orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya".

Inilah ritual-ritual agama Hindu saat wanita sedang mengandung hingga setelah melahirkan yang hingga kini masih dilaksanakan sebagian besar umat Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, yang seharusnya tidak dikerjakan.
1. Sepasaran
2. Telonan
3. Tingkepan
4. Piton-piton
5. Penanaman ari-ari
Jika Anda mencari dalil pelaksanaan ritual ini dalam Al Qur'an maupun hadist, ritual-ritual ini takkan ada penjelasannya di sana karena memang bukan ajaran Islam. Namun jika Anda membuka Kitab Sama Weda Sloka 7 pada halaman 35 milik penganit agama Hindu, maka dasar pelaksanaan ritual-ritual itu dengan mudah akan Anda temui.
Menurut Ustad Abdul Aziz, bunyi Kitab Sama Weda Sloka 7 pada halaman 35 adalah sebagai berikut: "aranyor nihito jataweda garbham iwet subhrto garbhi nibhi diwe diwa inayo jagrwabdir wiwinadhir manucyebhi ragnih". Artinya: "Di antara dua tempat nyala terdapat jata weda laksana, benih suci terpelihara dengan baik pada wanita mengandung. Agni dari hari ke hari harus dipelihara oleh manusia yang memelihara dengan membuat persembahan (telonan, sepasaran, tingkepan, selapanan, setahunan, karo tengah tahunan) kepada Tuhan".

Dalam ajaran agama Hindu, tingkepan atau yang kita kenal dengan ritual 7 bulanan, merupakan ritual yang paling disakralkan, sehingga selama ritual dilaksanakan, dibacakan doa-doa dari kitab-kitab suci Hindu (wedha) agar wanita yang mengandung dan anak yang dikandung, diberi keselamatan. Selain itu, jika anak yang dikandung berjenis kelamin laki-laki, maka wajahnya akan sebagus/setampan Dewa Brahma. Jika perempuan, wajahnya akan secantik Dewi Saraswati. Oleh umat Islam, pembacaan kitab-kitab agama Hindu diganti dengan tahlilan, salawatan, dan pembacaan surah Yusuf jika yang dikandung berjenis kelamin laki-laki, dan surah Maryam jika yang dikandung berjenis kelamin perempuan.

Dalam kitab Upadesa, kitab umat Hindu yang lain, ritual tingkepan dan telonan dijelaskan secara detil di halaman 40. Ini lah yang dilakukan saat kedua ritual tersebut dikerjakan.
1. Pengambean, atau ritual pemanggilan atman (urip/ruh)
2. Sambutan, atau ritual penyambutan atau pengukuhan letak atman pada si jabang bayi
3. Janganan, atau suguhan terhadap "4 saudara" yang menyertai kelahiran di jabang bayi, yaitu darah, air, barah dan ari-ari (orang Jawa menyebut ke-4 saudara ini dengan  kakang kawah dan adik ari-ari, namun ada juga yang menyebutnya dengan amarah, lawwamah, suffiah dan mutmainah)
Saat ritual dilaksanakan, siapapun yang ingin menjenguk si jabang bayi yang baru dilahirkan, harus memasuki dapur terlebih dahulu. Cara memasuki dapur pun ada aturannya, yakni dengan kaki kanan dahulu.
 
Setelah bayi dilahirkan, inilah tradisi umat Hindu terhadap ari-ari:
1. Setelah ari-ari lepas, ari-ari dibersihkan dengan air lalu dimasukkan dalam tempurung kelapa atau kendi
2. Ke dalam tempurung kelapa atau kendi dimasukkan AUM dengan tujuan agar Sang Hyang Widhi melindungi ari-ari
3. Dimasukkan wewangian sebagai persembahan 4 Saudara yang mengiringi kelahiran jabang bayi, kepada Sang Hyang Widhi
4. Ari-ari ditanam di sebelah kanan pintu rumah jika yang lahir anak laki-laki, dan di sebelah kiri pintu rumah jika yang lahir anak perempuan
5. Tempat penanaman ari-ari ditutupi sesuatu, dan jika malam hari diterangi dengan lampu atau bohlam
6. Jika bayi dimandikan, air bekas mandinya disiramkan ke tempat penanaman ari-ari
7. Jika bayi habis diberi ASI, ASI juga dicipratkan atau disiramkan ke tempat ari-ari ditanam
8. Pada pergelangan tangan atau pinggang bayi dililitkan benang pawitra. Benang ini biasanya terdiri dari jalinan tiga benang berwarna putih, merah dan hitam.
Ustad Abdul Aziz menjelaskan, umat Hindu percaya bahwa setiap ada bayi yang lahir ke dunia, para dewa akan menyambanginya. Namun, karena para dewa ini turun dari kahyangan pada malam hari dan yang lebih dulu dijenguk adalah ari-arinya, maka agar para dewa tidak tersasar, maka tempat penanaman ari-ari harus diberi penerangan sebagai penunjuk titik penanaman ari-ari itu.
"Benang pawitra diyakini umat Hindu sebagai penolak bala, sehingga bayi aman dari gangguan Dewa Assura yang di kalangan umat Islam di Pulau Jawa dikenal dengan nama Betoro Kolo," imbuhnya.

Saat bayi telah mencapai usia 1,5 tahun, umat Hindu menggelar ritual atonan. Dalam ritual ini, bayi dimasukkan dalam sangkar ayam yang terbuat dari bambu, dan ke dalam kurungan itu juga dimasukkan buku-buku, pinsil, dan berbagai peralatan lain dengan tujuan agar jika si anak telah besar, dia akan menjadi anak yang pintar, pintar berdandan jika perempuan, dan lain sebagainya. Ritual ini juga diisi dengan ritual yang disebut "Naik Tujuh Tangga" agar si anak memiliki langkah yang mantap dalam berjalan dan dalam meniti hidup. Di kalangan umat Hindu, tujuh tangga yang harus diinjak si anak dibuat dari tebu ireng, namun di kalangan umat Islam di Pulau Jawa, menaiki tujuh tangga dari tebu ireng diganti dengan menginjak tujuh kue apem.
"Dalam Islam, ritual yang diajarkan untuk menyambut kelahiran jabang bayi hanya melakukan aqeqah, yaitu pemotongan dua ekor kambing jika yang lahir anak laki-laki, dan satu ekor kambing jika yang lahir anak perempuan. Pelaksanaan aqeqah yang pas adalah tujuh hari setelah si anak lahir," imbuh Ustad Abdul Aziz lagi. (bersambung)

Tidak ada komentar

Posting Komentar