Kaum Sunni Di Iran Dilarang Mendapatkan Hak dalam Politik, Perekonomian dan Perindustrian

Sebagaimana dalam urusan Angkatan Bersenjata, maka dalam urusan kekayaan industri dan ekonomi pun berada dalam “genggaman” Syi’ah. Yang kami maksudkan dengan “genggaman” Syi’ah di sini adalah mereka memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat sipil Syi’ah untuk menjadikan semua kekayaan tersebut berada di tangan mereka, bukan di tangan para pejabat pemerintah Syi’ah.

Pemerintah telah terbiasa melarang Sunny dan seluruh daerah-daerah Sunny untuk menguasai pabrik-pabrik yang ada dan perindustrian-perindustrian raksasa sampai dengan perindustrian-perindustrian kecil. Pemerintah juga tidak memberikan izin untuk membangun atau menyimpan saham mereka di semua pabrik, sampai perusahaan nasional sekalipun. Jika didapatkan pabrik di daerah Sunny, maka bisa dipastikan milik orang Syi’ah, bahkan sampai kota-kota Sunny yang berada di lepas pantai pun, pemerintah melarang para penduduknya untuk mendapatkan – walaupun sekedar – izin pendirian pabrik pengalengan ikan atau izin perusahaan untuk penangkapan ikan. Dan ironisnya, pemerintah memberikan izin-izin tersebut hanya kepada orang Syi’ah. Hal itu menjadikan penduduk lepas pantai Sunny yang bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari penangkapan ikan selalu dihantui rasa takut terhadap petugas yang akan menangkap mereka. Seperti biasanya, mereka ditangkap dengan tuduhan tidak memiliki izin penangkapan ikan.

Oleh karena itu, semua kekayaan ikan tersebut dibawa ke pusat-pusat kota yang dihuni oleh orang-orang Syi’ah, seperti kota Teheran dan lainnya. Sementara pada waktu yang bersamaan, Anda dapati penduduk Sunny lepas pantai selalu direpotkan dengan kekurangan ikan. Bahkan, sampai mereka tidak mendapatkannya sama sekali, karena takut akan hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka bila tertangkap, dan dikenakan tuduhan serupa.

Adapun dalam dunia perdagangan, ekspor dan impor, maka sebagaimana telah kami sebutkan, sesungguhnya orang-orang Sunny terlarang untuk mendapatkan seluruh lisensi perdagangan. Oleh karena itu, maka semua bahan pokok seperti beras, gula, mentega, dan kebutuhan pokok lainnya, hampir tidak sampai kepada komunitas Sunny, kecuali dengan cara melarikannya dari negara-negara tetangga, seperti negara-negara Teluk dan Pakistan. Dan kalau bukan karena pertolongan Allah serta bantuan dari masyarakat dekatnya, yaitu negara-negara tetangga tersebut, tentu kelaparan akan menimpa penduduk Sunny Iran. Ironisnya, di balik larangan yang keras terhadap Sunny dalam mendapatkan lisensi usaha itu, terdapat kemudahan yang luar biasa bagi orang-orang Syi’’ah, terutama orang-orang Syi’ah yang tinggal di daerah Sunny.

Tekanan-tekanan seperti ini tidak hanya terbatas dalam mendapatkan lisensi saja, akan tetapi lebih parah lagi dalam hal penentuan pajak yang sangat besar sekali terhadap para pengusaha kelontong, yang kisarannya mencapai lima puluh kali lipat dari pajak para pengusaha kelontong Syi’ah. Tekanan ini di luar apa yang juga dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu berbagai pertanyaan yang diajukan pada saat pertama kali mengisi formulir permohonan. Di antaranya adalah pertanyaan mengenai madzhab pengusaha – hal itu sudah menjadi satu kemestian dalam dunia perdagangan, birokrasi, dan pendidikan – dan berdasarkan jawaban dari pertanyaan tersebut, proses yang dilewati penuh dengan kesulitan-kesulitan yang rutin dibuat pemerintah (atas dasar kebohongan), terkadang atas nama kebersihan dan di waktu yang lain atas dasar pergantian dekorasi atau atas nama asuransi, dll. Sehingga para pengusaha kelontong tersebut merasa bosan dengan profesinya itu, yang secara otomatis hal ini memberi kesempatan yang sangat besar bagi orang-orang Syi’ah untuk menguasai ekonomi Sunny.

Akhirnya, saya katakan di sini bahwa para pengusaha Sunny diperlakukan secara diskriminatif, seperti perlakuan terhadap para pengusaha obat-obatan terlarang, yaitu dari segi tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

Sunni, Kaum Yang Tertindas di Iran

Pemilu Iran meninggalkan empat nama: Mehdi Karroubi, Mirhossein Mousavi, Mohsen Rezaei dan Ahmadinejad. Pemenangnya adalah Ahmadinejad. Tapi, sebuah pertanyaan yang terus menggelitik dalam benak para pengamat politik adalah, kemana suara kaum Sunni di Iran diberikan? Seperti diketahui, Ahmadinejad meraih mayoritas suara dari kaum Syiah yang dominan di Iran dan juga kaum Yahudi, dan sudah sejak lama menindas kaum Sunni yang di Iran berjumlah sekitar 15 juta ini.

Penduduk Iran terdiri dari banyak etnis dan golongan mulai dari Kristen, Yahudi, Zoroastrian, Baha'is, Sunni, dan Syiah sebagai golongan penguasa. Namun, di antara golongan-golongan tersebut, kaum Sunni lah yang paling banyak ditindas oleh pemerintah Iran, dikarenakan perbedaan masalah aqidah antara Syiah dan Sunni.

Penghinaan Iran Terhadap Kaum Sunni

Dalam kekuasaan Iran, tak pernah ada ceritanya, orang Sunni duduk dalam kursi pemerintahan. Baik itu untuk menterinya ataupun sekadar calon presiden belaka. Ini terjadi sejak Revolusi Iran yang mengintegrasikan golongan Sunni ke dalam kaum minoritas. Dalam konstitusi Iran, sudah disepakai, presiden Iran haruslah seorang penganut Syiah. Syiah, tak pelak, telah membuat kaum Sunni menjadi sangat inferior.

Penghinaan kaum Syiah terhadap jamaah Sunni bisa dilihat jelas pada ritual Syiah setiap pekannya, misalnya saja dalam acara doa bersama yang memang kerap dilaksanakan berbarengan. Di Iran, kaum Sunni mencapai 20% dari populasi penduduk Iran yang berjumlah 70 juta orang.

Sunni Iran mengalami penekanan yang sistematik selama bertahun-tahun. Pemimpin mereka, seperti Ahmed Mufti Zadeh dan Syeikh Ali Dahwary, dipenjarakan kemudian dibunuh. Pemerintah Iran juga menghancurkan masjid-masjid kaum Sunni, dan melarang adanya pendirian masjid Sunni lainnya sekarang ini. Bandingkan dengan Sinagog Yahudi yang banyak bertebaran di seantero Iran. Bahkan, azdan oleh kaum Sunni pun dilarang oleh pemerintah Iran.

Pengaruh Kaum Sunni Dalam Pemilu

Ada dua faktor yang mendasari analisis terhadap kaum Sunni Iran dalam pemilu. Pertama, kesatuan para pemilih Sunni dibawah pemimpin dan ulama Sunni. Kedua, tekanan internasional yang terus dialamatkan kepada Iran.

Sudah diketahui secara umum, jika bertahun-tahun sudah, kaum Sunni di Iran memilih menjadi golongan putih alias abstain setiap kali pemilu Iran dilaksanakan. Namun tahun 1997, para pemilih Sunni tiba-tiba saja muncul ke permukaan mendukung Khatami, dan menjadi fenomena tersendiri ketika itu.

Di zaman Khatami, yang beraliran liberal cukup dominan, kaum Sunni mulai dapat bersikap lega. Mereka membentuk kekuatan sendiri, dan baru zaman Khatami ini mereka mempunyai radio dan surat kabar sendiri. Kaum Sunni juga mulai bisa menyekolahkan anak-anaknya di universitas-universitas Iran. Tahun 2005, dalam pemilu Iran, Mustafa Moein-yang bertarung dengan Hashemi Rafsanjani, Mehdi Karroubi, dan Ahmadinejad-berjanji akan menempatkan seorang menteri dari kaum Sunni dalam pemerintahnnya.

Namun, seperti yang sudah terjadi, yang terpilih adalah Ahmadinejad, seorang presiden Syiah yang digambarkan sangat sederhana, namun ternyata sangat menekan kaum Sunni. Ahmadinejad juga sering kali mendapat sambutan luar biasa dari dunia internasional karena keberaniannya dalam menentang AS dan Israel, namun anehnya, sampai saat ini, Iran-yang tak lebih besar daripada Iraq yang sudah digempur habis-habisan oleh AS dan sekutu, masih baik-baik saja. Dalam artian, AS tidak pernah melakukan suatu tindakan yang nyata terhadap Iran.

Perkembangan Kaum Sunni

Kaum Sunni Iran hidup di pinggiran dan perbatasan. Sementara kaum Syiah, Kristen dan Yahudi menghuni kawasan kota-kota besar di Iran. Karroubi-sebelum pemilu-berjanji akan merevisi semua konstitusi Iran yang telah bertahun-tahun dilaksanakan, di antaranya adalah dengan melindungi kaum Sunni. Menurut Karoubi, kaum Sunni di Iran tak lebih berharga daripada orang asing di negara itu sendiri. Mousavi-jika terpilih-akan kembali membangun masjid pertama untuk kaum Sunni. Asal tahu saja, kaum Sunni Iran sekarang ini, jika melakukan shalat Jumat, harus di kedutaan besar asing!

Kemarahan kaum Sunni Iran terhadap Ahmadinejad dan pemerintahnya tak lepas dari kebijakan Iran sendiri selama ini. Selain itu juga karena perbedaan aqidah yang sangat besar, yaitu kaum Syiah tak mengakui keberadaan sahabat Rasul (kecuali Ali). Kaum Syiah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama daripada seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Sesuatu yang oleh Ali bin Abu Thalib sendiri pernah disanggahnya semasa beliau hidup.

Pencetus pertama paham Syi'ah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan'a) yang bernama Abdullah bin Saba' Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba' Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma'shum (terjaga dari segala dosa,)." (Majmu' Fatawa, 4/435).

Tak pelak, ajaran Syiah sudah dianggap sebagai ajaran sesat dalam Islam dan ulama-ulama besar internasional pun sudah mengharamkannya. Dan dengan kemenangan Ahmadinejad sekarang ini, tampaknya nasib kaum Sunni di Iran akan tetap terus tertindas dan tertekan.

Sumber : eramuslim.com


Tidak ada komentar