Ghazwul Fikri, Pembersihan Kepribadian dan Jati Diri Sunny

Dalam hal ini, pemerintah – sejak permulaan revolusi – telah membentuk satu Departemen yang diberi nama Departemen Jihad dan Takmir. Departemen ini kegiatannya sama seperti Missionaris yang ada di tenga-tengah kaum Sunny, karena memang dalam segala sesuatunya, baik metode maupun fasilitasnya, meniru para missionaris. Sehingga mereka berhasil menyebarkan misinya sampai ke daerah-daerah pedalaman terpencil yang dihuni oleh kaum Sunny.

Selain itu, departemen ini telah menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama dengan nama departemen tersebut, yang bertugas meliput berbagai kegiatan-kegiatan dan keberhasilan yang telah dicapai selama ini. Dan di antara berita yang sering dimuat adalah berita tentang masuknya lima atau sepuluh orang Sunny de dalam “Islam” (Syi’ah).

Selain itu, pemerintah telah membentuk juga satu instansi yang bertugas memberantas buta huruf dengan tujuan melakukan perang pemikiran (Ghazwul Fikri) dan perubahan aqidah di tengah-tengah kaum Sunny yang awam dan buta huruf, baik laki-laki maupun perempuan.

Kedua instansi itu didukung oleh berbagai media cetak dan elektronika, seperti TV, Radio, Majalah, Surat Kabar, dan media lainnya. Tentunya keberadaan media ini akan lebih mempertajam keberhasilan yang akan dicapai dalam melakukan cuci otak (Brain-washing), khususnya terhadap kalangan anak-anak Sunny.
Dalam rangka Ghazwul Fikri, pemerintah mendirikan kantor atau maktab yang diberi nama “Maktab Al ‘Iffah” yang bertujuan untuk menyebar luaskan Nikah Mut’ah di kalangan generasi muda Sunny, dengan memberi dorongan/motivasi untuk menikahi gadis-gadis Syi’ah. Biasanya, pernikahan tersebut hanya berlangsung selama satu atau dua hari saja. Hal itu dimaksudkan untuk menjauhkan generasi muda Sunny dari aqidahnya, dan untuk menjadikan (pernikahan tersebut) sebagai perangkap yang dapat menjerumuskan generasi muda Sunny ke dalam paradigma dan pola pikir Syi’ah. Sehingga, hal itu akan menjadi gaya hidup mereka sehari-hari.

Pemerintah juga memberi motivasi kepada generasi muda Sunny untuk menikahi gadis-gadis Syi’ah secara normal (nikah biasa, bukan nikah mut’ah), dengan tujuan untuk merubah keturunan mereka, sehingga tidak mengenal istilah Sunny. Dan yang paling keji adalah pemerintah telah mengeluarkan satu kebijakan untuk membebaskan para tahanan dan mereka yang dijatuhi hukuman mati (dari kaum Sunny) dengan syarat jika mereka rela menikahkan anak perempuan mereka dengan seorang “Ayatullah”. Tujuannya untuk perluasan pengaruh sosial mereka (Syi’ah) di daerah-daerah Sunny, dan penguasaan atas beberapa kabilah dengan praktek yang sangat rendah tersebut.

Adapun Ghazwul Fikri dalam dunia pendidikan, maka intervensi-intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap kaum Sunny adalah melalui dua cara: Pertama, Melalui kurikulum pendidikan; dimana program Ghazwul Fikri Syi’ah terlihat dengan jelas dalam kurikulum yang ditetapkan dari mulai Sekolah Tingkat Dasar sampai dengan Sekolah Tingkat Atas, dengan cara pemalsuan sejarah, khususnya sejarah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, serta menampilkan para khalifah sebagai sosok yang penuh dengan cemoohan dan pelecehan.

Secara tidak langsung, hal itu akan menanamkan kebencian dalam diri para siswa terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah masa tersebut. Kemudian di sisi lain, mereka menyanjung para tokoh dan ulama Syi’ah secara berlebihan, sehingga tidak aneh kalau para siswa yang baru keluar dari Sekolah Tingkat Atas, mereka sudah bisa menghapal semua Imam Syi’ah yang berjumlah duabelas, dibarengi dengan keyakinan akan ke-ma’sum-an para iman tersebut, yang tidak bisa ditandingi derajatnya oleh para Malaikat atau para Rasul. Sementara itu, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengetahui dan menghapal nama-nama sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga atau empat Khulafaur Rasyidin sekalipun.
Semua ini di luar apa yang menjadi anjuran bagi setiap siswa untuk menghapal segala sesuatu yang keluar dari mulut Imam-imam Syi’ah, baik melalui ceramah atau materi-materi pelajaran. Bahkan sebaliknya, tidak ada sama sekali keharusan bagi para siswa untuk menghapal hadits-hadits Nabi.

Di samping itu, diajarkan juga ejekan dan celaan terhadap aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui anasyid (lagu-lagu) wajib bagi murid-murid di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, serta melalui judul-judul bacaan yang ada dalam buku mereka, yang isinya mengajak kepada kemusyrikan yang nyata, yaitu memuliakan kuburan-kuburan keramat yang mereka beri nama “Tanah Haram”, yang kedudukannya lebih mulia daripada Al Haramain (Makkah dan Madinah). Dan juga ajakan untuk mensucikan tempat-tempat tersebut dan merendahkan tempat-tempat muqaddasah (yang disucikan) dalam pandangan orang-orang Islam, seperti kota Makkah dan Madinah.

Kedua, melalui sistem birokrasi di sekolah-sekolah dan cara perlakuan terhadap Sunny dalam semua tingkatan pendidikan, baik itu dari kalangan guru ataupun murid. Sebenarnya Badan Intelijen telah menentukan para guru di seluruh sekolah-sekolah pemerintah (di kota-kota dan di desa-desa) di bawah Musyrif (Penanggung jawab) pendidikan yang bertugas untuk mengawasi guru-guru dan siswa-siswa dalam hal loyalitas mereka, kegiatan madzhab mereka, seperti ketepatan dan kerajinan dalam melaksanakan shalat wajib berjama’ah di sekolah, atau menganjurkan orang lain dari kalangan Sunny agar supaya melaksanakan shalat. Paling tidak, memberi perhatian terhadap realitas yang terjadi dari persekongkolan Sunny, dan urusan-urusan lainnya, yang semuanya selalu mendapat pengawasan dari Musyrif pendidikan.

Dengan peranannya itu, dia dapat membuat data-data rahasia dalam urusan birokrasi seperti dalam hal pendaftaran di Universitas bagi para siswa dan permohonan pindah tempat kerja bagi para guru. Maka semua permohonan itu ditolak berdasarkan keputusan yang telah disiapkan oleh Musyrif pendidikan. Yang akibatnya, 90 % siswa Sunny tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan dalih karena mereka bermadzhab Wahabi.

Terakhir, kita harus ingat bahwa pemerintah dengan sangat sengaja menghapus cita-cita Ahlu Sunnah, dengan cara menetapkan undang-undang yang berisi larangan bagi Ahlu Sunnah untuk memilih nama-nama Sunny seperti Abdullah, Abdurrahman, dengan alasan bahwa nama-nama tersebut adalah nama-nama orang Arab, bukan nama-nama orang Parsi Iran.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pemerintah membuat daftar nama-nama anak laki-laki dan nama-nama anak perempuan yang biasa digunakan orang-orang Syi’ah. Nama-nama itu terdapat di kantor-kantor pemerintahan dinas kependudukan yang bertugas mengeluarkan akte kelahiran agar orang Sunny memilih satu nama dari nama-nama yang termaktub dalam daftar tersebut, bagi anak laki-laki dan anak perempuan mereka dengan terpaksa. Dan bagi yang bersikeras memilih nama Sunny bagi anak mereka, seperti nama Umar, Mu’awiyyah, dan ‘Aisyah, maka tidak akan mendapatkan Akte Kelahiran.

Tidak ada komentar