Peristiwa Terbunuhnya Husain radhiallahu'anhu Di Karbala

Karbala Map
Abdur Razaq al-Mausuwi al-Muqarram menjelaskan: "Ketika itu kedatangan beliau di Karbala' adalah pada tanggal dua Muharram tahun 61 h."(96). Abbas al-Qummi menerangkan: "Ke-tahuilah, terdapat perselisihan pendapat tentang keterangan hari kedatangan al-Husein a.s. di Karbala'. Tetapi pendapat yang paling sahih: "Bahwa beliau tiba di Karbala' pada tang-gal dua Muharram tahun 61 h. Dan ketika beliau sudah tiba di situ beliau berkata: "Apakah nama daerah ini?"

Dikatakan kepada beliau: "Karbala'"

Lalu beliau berdoa: "Wahai Allah saya berlindung kepada-Mu dari duka dan musibah (Karb dan Bala')."(97).

Muhammad Taqiy Ali Bahri al-'Ulum mengatakan: "Para pakar sejarah dan militer mengatakan: "Tatkala Husain a.s. tiba di Karbala', beliau mengumpulkan para sahabat dan Ahlul Bayt beliau. Lalu berdiri berpidato kepada mereka. Sesudah memuji dan menyanjung Allah, beliau berkata: "Lebih lanjut, kita dihadapkan pada situasi seperti yang kalian saksikan, sesungguhnya duniawi sudah berbalik dan ingkar, sisi baiknya sudah berlalu dan yang berlaku adalah permusuhan, tiada yang tersisa dari duniawi kecuali hanyalah setetes seperti te-tesan dari sebuah bejana, hidup secara pengecut, adalah lak-sana penggembala jahat. Tidakkah kalian lihat betapa kebe-naran tidak direalisasikan, dan betapa kejahatan tidak di-larang? Hendaklah seorang mukmin berharap dapat menjumpai Tuhannya dalam keadaan sebagai orang benar. Sungguh saya me-mandang, maut tidak lain adalah kebahagiaan, sedang hidup bersama orang-orang zalim adalah menjemukan."(98).

Seorang Doktor Syi'i Ahmad Rasim an-Nafis mengutipkan kepada kita beberapa pantun al-Husein r.a.(99), dan peringatan beliau kepada Syi'ah (para pengikut) beliau yang telah mengundang beliau (dengan janji) hendak membelanya, tetapi kemudian meninggalkannya. Kata beliau: "Ketika itu mereka secara terus menerus merisaukan Abu Abdillah al-Husein, agar beliau tidak dapat menyelesaikan ibadah haji beliau. Lalu beliau berkata kepada mereka dengan murka: "Mengapa kalian tidak bersedia diam terhadapku dan mendengar tutur kataku? Sebenarnya saya mengajak kalian ke jalan lurus, sehingga orang-orang yang bersedia mengikutiku akan menjadi orang-orang yang beroleh bimbingan, sedang yang durhaka kepadaku akan menjadi orang-orang yang dibinasakan. Kalian semua telah berbuat durhaka terhadap perintahku, tidak mendengar ucapanku. Kiranya barang-barang yang kalian terima berlimpah barang haram, perut-perut kalian pun dipenuhi oleh barang haram, sehingga Allah menutup hati kalian. Celakalah kalian, mengapa kalian tiada bersedia tutup mulut? Mengapa tidak bersedia mendengar?"..., lalu para hadirin pun diam. Selanjutnya beliau a.s. berkata lagi: "Celakalah kalian wahai jemaah. Kalian campakkan apa-apa yang telah kalian serukan kepada kami. Kami dapati kalian dalam keadaan lemah, lalu kami pun menyeru kalian dengan siap siaga. Lalu kalian hunuskan pedang ke arah leher-leher kami. Kalian sulutkan bara api fitnah ke atas kami, sehingga menjadi peluang bagi musuh-musuh kami dan musuh kalian sendiri. Lalu kalian pun menjadi perintang orang-orang yang hendak melindungi kalian, dan pula menjadi tangan bagi musuh-musuh kalian. Tanpa adanya keadilan berlaku di antara kalian. Tak ada pula harapan kalian terhadap mereka kecuali harta duniawi haram yang akan kalian peroleh, kehidupan seorang pengecutlah yang kalian dambakan, alangkah buruk moral kalian.

Sebenar-nya kalianlah para pendurhaka di antara umat ini, kelompok paling jahat, pencampak al-Kitab (al-Quran), sarana bisik-bisikan setan, golongan para pendo-sa, pemanipulasi al-Kitab (al-Quran), pemadam sunah-sunah, dan pembunuh putra-putri para nabi." (100).

Itulah lafal yang disusun oleh pemuka Syi'i tersebut. Bahkan manuskrip asli pidato tersebut dikutipkan oleh se-orang Syeikh mereka ali bin Musa bin Thawus(101), lalu di-kutip pula oleh Abdur Razaq al-Muqarram(102) dan Fadhlil Abbas al-Hayawi(103), Hadi an-Najafi(104), Hasan ash-Sha-far(105), Muhsin al-Amin(106), Abbas al-Qumi(107), dan ba-nyak dari mereka yang lain(108).

Sekarang perhatikanlah wahai orang-orang yang suka men-dendangkan "kebenaran", betapa Imam al-Husein r.a. menyi-fatkan Syi'ah beliau sebagai orang-orang dengan sifat-sifat:
"Pendapatan kalian dipenuhi barang-barang haram."
"Perut-perut kalian dipenuhi barang-barang haram."
"Allah menutup hati kalian."

Perhatikanlah mereka itu. Mereka pulalah para pengikut beliau (orang-orang Syi'ah) yang telah menyeru beliau, orang-orang yang labil .... kalian telah menyulut gelombang fitnah.

Jadi orang-orang Syi'ah tersebut, adalah:
"Kelompok paling buruk."
"Pencampak (yang membuang) al-Kitab (al-Quran)."
"Golongan para pembuat dosa (pendosa)."
"Pemanipulasi al-Kitab (al-Quran)."
"Pemadam sunah-sunah (Nabi s.a.w.)."
"Pembunuh putra-putri para nabi."

Sebenarnya, Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang popu-ler dengan gelar Ibnu al-Hanif, sudah menasehatkan kepada saudaranya al-Husein radhiyallahu ‘anhum seraya mengatakan: “Wahai saudaraku, penduduk Kufah sudah Anda ketahui betapa pengkhianatan mereka terhadap bapamu (Ali r.a.) dan sauda-ramu (al-Hasan r.a.). Saya khawatir nanti keadaanmu akan sa-ma seperti keadaan mereka sebelumnya!” (109).

Seorang penyair tersohor, Farazdaq berpantun berkaitan dengan al-Husein r.a., tatkala ia ditanya tentang Syi’ah beliau yang hendak dijumpai oleh beliau. Ia menjelaskan: “Hati mereka bersama Anda, sedang pedang beliau melawan An-da. Ketetapan turun dari langit, dan Allah kuasa berbuat se-kehendak-Nya.” Al-Husein menjawab: “Anda benar, Allahlah yang kuasa menetapkan persoalan. Dan setiap hari ia berada di dalam urusan. Sekiranya datang ketentuan sebagaimana kesukaan dan kerelaan kami, kami pun memuji Allah atas karu-nia-karunia nikmatnya, bahkan Dialah tempat tujuan selayak-nya untuk mengungkapkan syukur. Tetapi apabila terjadi si-tuasi yang di luar harapan, niscaya Dia tidak akan jauh dari orang-orang yang berniat baik dan berbatin takwa.”(110).

Imam al-Husein r.a. tatkala beliau berpidato kepada me-reka, beliau telah menyinggung sikap pendahulu mereka dan juga sikap mereka terhadap bapa dan saudara beliau. Di dalam pidato beliau itu, beliau menyatakan: “ . . ., sekiranya ka-lian tidak bersedia melaksanakannya dan kalian hendak mem-batalkan janji kalian, kalian hendak menanggalkan baiat ter-hadapku dari pundak kalian, maka memang kalian sudah di-ke-nal dengan sikap demikian, karena kalian pun telah bersikap serupa itu terhadap bapaku, saudaraku, dan juga putra pa-manku Muslim. Akan tertipulah orang-orang yang cenderung ke-pada kalian, . . . “(111).

Dan pernyataan-pernyataan Imam al-Husein r.a. sebelum-nya yang mana beliau meragukan surat-surat mereka. Kata beliau: “Sesungguhnya mereka itu telah membuat diriku cemas, dan inilah surat-surat penduduk Kufah, sedang mereka meme-rangiku.” (112).

Pada kesempatan lainnya beliau r.a. mengatakan: “Wahai Allah, turunkanlah ketetapan antara kami dengan kaum yang telah mengundang diri kami hendak membela, tetapi justru me-merangi kami!”(113).

Menurut hemat kami: “Memang, Syi’ah (pengikut) al-Hu-sein r.a. telah mengundang (dengan dalih) hendak membelanya, tetapi kemudian memerangi beliau sendiri!”

Salah seorang Syi’i bernama Husein Kurani mengatakan: “Penduduk Kufah tidak puas sekedar berpisah meninggalkan Imam al-Husein, bahkan mereka berubah sikap, mengubah pendi-rian mereka ke pendirian ketiga, yaitu kini mereka bergegas berangkat menuju Karbala’ dan memerangi Imam al-Husein a.s. Di Karbala’ mereka saling berlomba menyatakan pendirian me-reka yang sesuai dengan kepuasan setan dan mendatangkan murka Sang Mahapemurah.

Contohnya, kita lihat, bahwa Amru bin al-Hajjaj, lelaki yang baru kemarin bersiap siaga di Kufah seolah-olah laksana seorang penggembala gembalaan Ahlul Bayt, berjuang membela mereka, juga merupakan orang yang te-lah mengerahkan pasukan untuk menyelamatkan orang besar Hani bin Urwah, secara nyata-nyata telah berbalik pendirian, yai-tu dengan menganggap bahwa al-Imam Husein telah keluar dari agama (Islam). Marilah kita renungkan pernyataan berikut:

“Ketika itu Amru bin al-Hajjaj berkata kepada rekan-re-kannya: “Perangilah orang-orang yang telah keluar dari agama dan meninggalkan jemaah . . , dst.”(114).

Husein Kurani juga menjelaskan: “Kita lihat pendirian lain yang membuktikan sikap munafik penduduk Kufah. Abdullah bin Hauzah at-Taimi datang berdiri di hadapan Imam al-Husein a.s. seraya berteriak: “Adakah di antara kalian yang bernama Husein?”

Orang ini termasuk penduduk Kufah sedang kemarin ia tergolong Syi’ah Ali a.s., dan boleh jadi ia termasuk orang yang turut menulis surat kepada Imam, atau termasuk jemaah yang terlibat dan mereka yang lain yang juga menulis surat . . . , “ Lebih lanjut ia berkata; “Hai Husein, berbahagialah dengan masuk neraka !”(115).

Murtadha Muthahari mempertanyakan: “Bagaimana penduduk Kufah sampai berangkat untuk memerangi al-Husein a.s. pada saat menganggap cinta kepada mereka dan memiliki jalinan ka-sih sayang?”

Kemudian ia pun menjawabnya sendiri: “Jawabannya, ialah karena rasa gentar dan takut yang telah menjangkiti penduduk Kufah. Secara umum sejak masa pemerintahan Ziyad dan Mu-’awiyah, dan yang kemudian kian meningkat dan bertambah-tam-bah dengan kehadiran Ubaidillah, lelaki yang dengan serta merta telah membunuh Maitsam at-Tamar, Rasyid, Muslim, dan Hani, . . , dan ini berkaitan dengan perubahan sikap mereka yang terlibat lantaran berambisi dan berhasrat kepada peng-hasilan, harta, dan kehormatan duniawi. Sebagaimana hal itu terjadi pada diri Umar bin Sa’ad . . .,”

“Adapun sikap orang-orang terpandang dan para tokoh, mereka ini telah dilanda takut terhadap Ibnu Ziyad, terpikat oleh harta sejak hari pertama ia memasuki Kufah. Pada saat ia berseru kepada mereka semua seraya berkata: “Barangsiapa di antara kalian berada di barisan yang menentang, maka saya akan menghapuskan soal hadiah kepadanya.”

Demikianlah, contohnya Amir bin Majma’ atau bernama Majma’ bin Amir, ia berkata: “Adapun para tokoh mereka, maka mereka telah menjadi besarlah kurupsi mereka, dan telah me-menuhi tabiat mereka.”(116).

Syi’i Kadhim al-Ihsa-i an-Najafi menjelaskan: “Pasukan yang berangkat hendak memerangi Imam Husein a.s. sebanyak 300.000. Seluruhnya adalah penduduk Kufah. Tidak ada di an-tara mereka yang berasal dari Syam, Hejaz, India, Pakistan, Sudan, Mesir, maupun Afrika, bahkan seluruhnya adalah pendu-duk Kufah yang terhimpun dari beraneka ragam kabilah.”(117).

Seorang sejarawan Syi’i Husein bin Ahmad al-Buraqi an-Najafi menerangkan: “Al-Qazwaini mengatakan: “Balasan yang perlu dilakukan terhadap penduduk Kufah, adalah lantaran me-reka telah menikam al-Hasan bin Ali a.s., dan mereka membu-nuh al-Husein a.s. setelah mereka mengundang beliau.”(118).

Seorang sejarawan Syi’i tersohor Ayatullah al-‘Udhma Muhsin Amin mengatakan: “Lalu berbaiatlah dari penduduk Ku-fah sebanyak 20.000 orang, yang mana mereka mengkhianatinya. Kemudian mereka pun berangkat memerangi beliau pada saat baiat (janji setia) masih berada di pundak mereka. Kemudian mereka pun membunuh beliau.”(119).

Jawad Muhaditsi mengatakan: “Segala penyebab-penyebab seperti ini berdampak menyusahkan Imam Ali a.s. dalam dua kasus, dan Imam al-Hasan menghadapi pengkhianatan mereka. Di antara mereka Muslim bin ‘Uqail terbunuh dalam kondisi ter-aniaya. Al-Husein mati dalam keadaan kehausan di Karbala’ dekat Kufah dan di tangan tentara Kufah.”(120).

Tragedi apakah yang menimpa kalian, beban apakah yang ter-pikulkan di punggung kalian, darah-darah manakah yang telah kalian tumpahkan, kehormatan-kehormatan mana pulakah yang telah kalian cemarkan, anak-anak manakah yang telah kalian bajak, harta-harta mana yang telah kalian rampok. Kalian telah membunuh orang-orang baik sesudah Nabi s.a.w. dan ke-luarganya, dan kasih sayang sudah tercabut dari hati kali-an!”(5).

Tentang riwayat Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha ini ju-ga dikutipkan kepada kita oleh ath-Thabrisi dan al-Qumi, al-Muqarram, al-Kurani, Ahmad Rasim, dan juga menjelaskan ten-tang penyelewengan para pengkhianat hina. Kata beliau ra-dhiyallahu ‘anha: “Kemudian dari itu, wahai penduduk Kufah, hai para pengkhianat, para penipu, dan tukang makar. Ingat-lah, sejarah tiada akan terlupakan dan tragedi pun tiada akan tertenteramkan. Orang-orang seperti kalian adalah lak-sana orang yang merusak jalinan tenunannya sendiri setelah kokoh hingga tercerai berai.

Kalian jadikan iman kalian selaku barang dagangan di antara kalian. Adakah pada pribadi kalian selain hasrat hati dan bangga, lirikan dan dusta, merayu budak-budak wanita, bergelimang permusuhan. Seperti seorang penggembala pada tempat sampah, atau perak di dasar tanah. Betapa buruk bi-dang-bidang yang kalian upayakan bagi diri kalian, karena kemurkaan Allah akan menimpa kalian, dan kalian pun akan ke-kal di dalam azab. Adakah kalian menangisi saudaraku? Memang, sungguh! Banyak-banyaklah menangis dan tertawalah sedikit, karena kalian mendapat tragedi kehinaan dan ter-kenang aib karenanya, dan tak akan pernah terlupakan sela-manya.

Bagaimana kalian dapat melupakan pembunuhan terhadap keturunan Sang Penutup para nabi?; sumber risalah?; pemimpin pemuda penghuni surga?; tempat berlindung perang kalian dan pembela kelompok kalian? ; pusat kesejahteraan kalian, wilayah pangkalan kalian, tempat rujukan untuk kalian mengadu, dan menara hujah kalian sendiri? Betapa buruk apa-apa yang telah kalian upayakan bagi diri kalian sendiri, betapa buruk beban yang akan kalian pikul pada hari kebangkitan kalian. Binasa, binasa, celaka, celaka, sebab upaya telah sia-sia, dan celakalah tangan-tangan manusia, tepukan-tepukan pun me-rugi. Dan kalian akan kembali dengan menghadap kemurkaan Allah. Kalian akan ditimpa kehinaan dan kenistaan. Celakalah kalian, tidakkah kalian mengerti betapa susah payah Muhammad telah kalian sia-siakan? Betapa janji telah kalian pungkiri? Betapa kehormatan beliau telah kalian cemarkan? Betapa darah beliau telah kalian tumpahkan? Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karenanya, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung pun runtuh. Sesungguhnya kalian telah menda-tangkan kelusuhan dan ketercabik-cabikan sepenuh bumi dan langit.”(6).

Seorang pemuka Syi’i Asad Haidar berkenaan Zainab binti Ali radhiyallahu ‘anhuma yang mana beliau berpidato kepada segenap orang yang menyambutnya dengan tangisan seraya mera-tap. Kata beliau seraya mencemooh mereka: “Adakah kalian me-nangis dan berpura-pura sayang?” Ya, benar, banyak-banyaklah menangis dan tertawalah sedikit. Sebab kalian akan menderita aib dan kenistaan karenanya, dan kalian tak akan dapat terbebas daripadanya melalui upaya pembersihan selama-lama-nya. Bagaimana mungkin kalian akan terbebas dari pembunuhan terhadap cucu Sang Penutup para nabi? . . ., dst.”(7).

Di lain riwayat dinyatakan, beliau mengeluarkan kepala dari tandu seraya berkata kepada penduduk Kufah: “Celakalah kalian hai penduduk Kufah! Para lelaki kalian membunuhi kami sementara para wanita kalian menangisi kami. Yang akan men
jadi hakim bagi kami atas kalian adalah Allah pada hari di-tetapkannya masing-masing hukuman.”(8).

SIAPA-SIAPAKAH DARI KALANGAN AHLUL BAYT YANG TERBUNUH BER-SAMA AL-HUSEIN RADHIYALLAHU ‘ANHUM

Di antara bukti-bukti, bahwa Amirul Mukminin Ali r.a. sayang kepada ketiga Khalifah (sebelum beliau), adalah bahwa beliau memberi nama putra-putra beliau dengan nama-nama kha-lifah tersebut. Tetapi mereka telah membunuh mereka tersebut bersama saudara-saudara mereka, yakni al-Husein di Karbala’. Tetapi kita lihat, para orator Syi’ah sengaja tidak menyebut nama-nama baik mereka ini agar para peneliti al-Huseiniyah tidak memperhatikan posisi mereka dari Khalifah Tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) radhiyallahu ‘anhum. Sedang putra-putra Ali r.a. tersebut bernama: “Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib. Itu dinyatakan oleh al-Mufid(9), at-Thabrisi(10), al-Arbali(11), Abbas al-Qumi(12), Baqir Syarif al-Qura-syi(13), Hadi an-Najafi(14), Shadiq Makki(15), Ibnu Syahr Asyuub(16).

Nama Umar bin Ali bin Abi Thalib; dinyatakan oleh al-Mufid(17), ath-Thabrisi(18), Ibnu Syahr Asyub(19), al-Arba-li(20), dan an-Najafi(21).

Nama Utsman bin Ali bin Abi Thalib; dinyatakan oleh Mu-hammad bin an-Nu’man yang disebut al-Mufid(22), Ibnu Syahr Asyub(23), ath-Thabrisi(24), al-Arbali(25), al-Qumi(26), al-Qu-rasyi(27), Hadi an-Najafi(28), Shadiq Makki(29).

Nama Abu Bakar bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib; dinyatakan oleh al-Mufid(30), ath-Thabrisi(31), al-Arbali (32), al-Qumi(33), al-Qurasyi(34), Hadi an-Najafi(35), dan juga Shadiq Makki(36). Bahkan nama Umar bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib; dinyatakan oleh al-Mufid(37), ath-Thab-risi(38), Shadiq Makki(39).

Dan semua orang-orang mulia ini sampai pada tempat ajal mereka di Karbala, sebagaimana riwayat tersebut dinyatakan oleh para penulis yang kami kutip di dalam ringkasan ini. Semoga Allah berkenan merahmati mereka dan juga bapa-bapa mereka. Sengaja kami perjelas, agar para pengarang Syi’ah

Sengaja kami perjelas, agar para pengarang Syi’ah mengetahui sikap sayang Ahlul Bayt kepada Tiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) radhiyallahu ‘anhum -pent. Bahkan persoalannya tidak sebatas itu saja, bahkan masih ada Ahlul Bayt lainnya yang menamakan putra-putra beliau dengan nama-nama khalifah-khalifah tersebut.

Cukuplah sebagai contoh bagi Anda, di antara mereka Imam Besar Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib selaku orang “ma’shum keempat” menurut pandangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, yang mana beliau mempunyai seorang putra bernama Umar. Itu dinyatakan oleh al-Mufid(40). Berkaitan Umar rahimahullah ini, al-Hurr al-Amili mengatakan: “Beliau adalah orang besar yang bijak, seorang pimpinan panitya per-belanjaan (keluarga) Nabi s.a.w., keluarga beliau, dan juga Amirul Mukminin. Beliau adalah seorang yang wara’ dan ketat terhadap pelanggaran.”(41).

Selanjutnya, kita dapati seorang pemuka Syi’ah yang di-juluki Alamah, Muhaqqiq, dan peneliti Murtadha al-Askari. Ia menyebut tentang putra-putra Ali bin Abi Thalib yang tiga tersebut: “Abu Bakar, Umar, dan Utsman di dalam kitabnya Ma-’aalimu al-Mudarrisiin, hal. 127, pada juz ketiga.

Tidak diragukan lagi, bahwa orang akan memilihkan nama-nama terbaik bagi putra-putranya. Jadi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah sahabat-sahabat yang paling disayangi dalam hati Ali radhiyallahu ‘anhum sehingga beliau memberi nama putra-putra beliau dengan nama-nama mereka.

Seorang Doktor Syi'i Hadi Fadhlullah membagi kesepakatan ulama Syi'ah berkaitan sikap menampar-nampar dan tindakan sejenis sebagaimana dilakukan Syi'ah di dalam upacara al-Hu-seiniyah ke dalam dua kategori:

1. Pendidikan kedamaian (al-Madrasah al-Ishlahiyyah): Dapat menghimpun kelompok mujaddid (reformis) (sesuai ang-gapan Muhsin al-Amin. Di antara persoalan-peroslan yang dibina di dalam pendidikan kedamaian ini, adalah menja-uhi dan bahkan sebagian lainnya menetapkan hukum haram apabila sampai menimbulkan gangguan pada diri sendiri karena pukulan-pukulan yang sampai berdarah. Mengada-ada riwayat, menyebut-nyebutkannya, ataupun melakukan peragaan (artinya mengadakan semacam rekonstruksi pem-bantaian Karbala)."(61).

2. Pendidikan Hapalan (al-Madrasah al-Muhaafadhlah). Meng-himpun kelompok muhaafidhiin (para penghapal; menurut penilaian Abdu al-Husein Shadiq), maksudnya, suatu ke-tentuan yang menegaskan bahwa segala sesuatu adalah mu-bah (diperbolehkan) bagi Anda, sekalipun menjurus kepa-da menyakiti, selama tidak ada ketentuan yang melarang-nya. Konsekwensinya, maka tidak ada satupun yang perlu dipandang sebagai haram (terlarang) berkaitan segala yang disebut oleh al-Madrasah al-Ishlahiyyah."(62).

Lebih lanjut Hadi Fadhlullah mensingkronisir dengan pen-dapat Abdul Husein Syarafuddin al-Mausuwi terhadap dua Mad-rasah tersebut. Katanya: "Pemikir kita (maksudnya; Abdul Hu-sein) cenderung meyakini, bahwa perayaan perkabungan al-Hu-seiniyyah dengan segala peragaannya sama sekali tidak haram, mendasarkan pendapat pada kaidah syariat yang menegaskan, bahwa asal segala sesuatu adalah "mubah" (boleh) bukan ha-ram. Jadi beliau tidak mengharamkan peragaan perkabungan al-Huseiniyah sebagaimana dilakukan oleh Madrasah al-Ishlahiyah …"(63).

Hasan Mughniyah mengatakan: "Berkaitan dengan soal pe-laksanaan syiar-syiar al-Huseiniyah di dalam Asyura', maka keadaannya seperti yang dapat disaksikan.

Apabila tiba waktu Muharram, Anda dapat menyaksikan para aktivis masjid-masjid dan seruan-seruan al-Huseiniyah, pintu-pintu masuk desa di-lingkupi warna hitam, dirundung duka. Itu merupakan perlam-bang keputusasaan dan tersiksa, berkerinyut wajah-wajah pe-serta dirundung duka cita, dilingkupi kesusahan. Jiwa-jiwa tertekan, wajah-wajah murung, hati ketakutan dan gentar. Di-kuasai oleh geloran kejutan Karbala'. Di sana sini terdengar keluhan dan ratapan yang menyayat hati dan menyesakkan dada…."(64).

Ia juga mengatakan: "Pada pagi hari tanggal sepuluh, ma-ka berbondong-bondong menuju Nabatiyah sebanyak 10.000 orang putra-putra pribumi maupun mereka yang lain, untuk bersatu padu menghidupkan kenangan. Perayaan dimulai dengan membaca-kan kisah terbunuhnya al-Husein di Husainiyyah Nabatiyah, yaitu sekitar tanggal 08.00 pagi. Selesai sekitar jam 09.30. Ketika itu diperagakan rekonstruksi pembunuhan. Keti-ka itu peragaan dilaksanakan bersama-sama tua muda, wanita dan laki-laki. Sebab ada di antara anak-anak kecil yang di-nazarkan oleh keluarganya untuk turut melaksanannya. Di alun-alun Nabatiyah diperagakan peristiwa pembantaian terse-but. Di mana disaksikan oleh kelompok besar mukminin yang tidak kurang dari 50.000 orang. Peragaan itu ditutup dengan upacara pembangkit gelora keagamaan. Selanjutnya sejumlah pemuda dan anak-anak akan berkeliling kota dengan bertelan-jang dada, memukuli kepala mereka sendiri dengan pedang maupun badik, dan juga punggung-punggung mereka dengan ran-tai dengan tujuan membangkitkan jiwa dari keputusasa-an…."(65).

Seorang pemuka Syi'ah terkenal di kalangan kelompoknya, Doktor Ahmad al-Wa-ili(66) pada saat ditanya tentang sikap Syi'ah yang memukuli diri mereka sendiri dan melukai dada mereka pada hari Asyura'? Ia menjawab: "Sebelumnya sudah di-jelaskan oleh para ulama, dan mereka sudah mengutarakan pen-dapat mereka berkaitan soal ini. Mereka mengatakan: "Apabila pukulan-pukulan ini dapat membahayakan jiwa, maka itu haram, tetapi jika tidak berbahaya bagi diri, tidak haram. Dan itu merupakan upaya untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada al-Husein."(67).

Seorang penulis handal Syi'i Abdul Hadi Abdul Hamid Sha-lih menerangkan: "Dalam kondisi yang tidak mengganggu jiwa, maka menampar-nampar itu boleh. Itu merupakan ungkapan gelo-ra jiwa, dan bersifat alami. Pada seseorang dapat Anda sak-sikan ia bertepuk atau terbangun dari tempat duduknya lan-taran gembira.

Dengan syarat tidak tidak berdampak mendalam pada jiwa. Ada lagi beberapa fatwa yang dinyatakan dari be-berapa ulama yang mengharamkan atau sekurang-kurangnya ja-ngan menganggap baik peragaan memukuli diri dengan senjata. Kesimpulannya, saya rasa itu seperti fenomena sosial yang mana mereka menuntut untuk direalisasikan. Dan fenomena ter-sebut tidak dapat dianggap sebagai berasal dari aki-dah."(68).

Seorang Syeikh mereka Mahdi Muhammad as-Suwaij di dalam kitabnya berjudul "Maa-atu mas-alatin muhimmatin haula asy-Syii'ah"; menjelaskan yang lafalnya sebagai berikut: "Oleh karena itu, Anda lihat orang-orang yang menampar-nampar di dalam mengenang duka cita al-Husein a.s. Mereka hanya ber-upaya mengungkapkan semangat kemiliteran. Pada satu sisi ungkapan rasa cinta yang tulus, dan pada sisi lain melalui tamparan-tamparan itu merupakan ungkapan rasa benci kepada orang-orang zalim yang bermula dari peristiwa itu dan se-karang tiba di sini, dan yang akan terus berkelanjutan sam-pai kiamat. Setiap masa akan terdapat orang seperti Yazid dan Ibnu Ziyad. Dan pada setiap masa terdapat orang-orang tertindas yang mengungkapkannya melalui tamparan-tamparan dan sebagainya."(69).

Juga dikatakan oleh seseorang yang digelari sebagai Guru Besar Muhaqqiq (al-Ustadz al-Muhaqqiq) Thalib al-Khurasani: "Melalui peragaan-peragaan seperti ini, maka terselengga-ralah ratapan-rapatan di seluruh ibu kota-ibu kota negara Islam, meratapi al-Husein a.s. beserta mereka yang terbunuh, baik putra-putri, saudari-saudari, maupun para pendukung be-liau."

Seorang tokoh mereka Doktor Abdul Ali Muhammad Hubail meriwayatkan dari gurunya Syeikh Hasan ad-Damastani, ia me-ngatakan: "Meratap terhadap al-Husein, adalah termasuk far-dhu 'ain."(70).

Ali al-Khomanei menerangkan: "Terdapat banyak cara-cara bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah dan juga untuk meningkatkan keteguhan mereka di dalam mempelajari bidang agama. Di antara cara-cara tersebut, adalah dengan merayakan perkabungan duka secara ikut-ikutan.

__________
5) Al-Luhuuf; hal. 91. Nafsu al-Mahmuum; 363. Maqtal al-Hu-sain; oleh al-Muqarram; hal. 316. Lawaa'iju al-Asyjaan; hal. 157. Maqtal al-Husain; oleh Murtadhla 'Iyad; hal.86. Tadhlim az-Zahraa'; oleh Ridhla bin Nubi al-Qazwaini; hal. 261.
6) Al-Ihtijjaaj; 2/29. Muntaha al-Amaal; 1/570. Maqtal; oleh al-Muqarram; hal. 311,dan berikutnya. Fii Rihaab Karbalaa'; hal. 146, dan seterusnya. 'Alaa Khathi al-Husain; hal. 138. Tadhlim az-Zahraa'; 258.
7) Ma'a al-Husain fii Nahdhlatih; hal. 295, dan seterusnya.
8) Dikutip oleh Abbas al-Qumi di dalam "Nafsu al-Mahmuum"; hal. 365. Juga disebutkan oleh Syeikh Ridhla bin Nubi al-Qazwaini di dalam "Tadhlimu az-Zahraa'"; hal. 264.
9) Al-Irsyaad; oleh Al-Mufid; hal. 248.
10) I'laamu al-Wara; hal. 203.
11) Kasyfu al-Ghummah; (1/440).
12) Muntaha al-Amaal; (1/528).
13) Hayaatu al-Imaami al-Husain; (1/270).
14) Yaumu ath-Thaff; hal. 171,172,173,174.
15) Madhlaalim Ahl al-Bayt; hal. 258.
16) Manaaqib Aali Abi Thaalib; (3/305).
17) Al-Irsyaad; hal. 186.
18) I'laamu al-Waraa; hal. 203.
19) Manaaqib Aali Abi Thaalib; (3/304).
20) Kasyfu al-Ghummah; (1/440).
21) Yaumu ath-Thaff; hal. 188.
22) Al-Irsyaad; hal. 186.
23) Manaaqibu Aali Abi Thaalib; (3/304.
24) I'laamu al-Waraa; 203.
25) Kasyfu al-Ghummah; 1/440.
26) Munataha al-Aamaal; (1/526,527).
27) Hayaatu al-Imaami al-Husain; (3/262).
28) Yaumu ath-Thaff; hal. 175,179.
29) Madhlaalim Ahl al-Bayt; hal. 257.
30) Al-Irsaad; hal. 186, 248.
31) I'laamu al-Waraa; hal. 212.
32) Kasyfu al-Ghummah; (1/575,580).
33) Muntaha al-Aamaal; (1/526).
34) Hayaatu al-Husain; (3/254).
35) Yaumu ath-Thaff; hal. 167.
36) Madhlaalimu ahl al-Bayt; hal. 258.
37) Al-Irsyaad; hal. 197.
38) I'laamu al-Waraa; hal. 112.
39) Madhlaalimu ahl al-Bayt; hal. 254.
60)Al-Majaalisu al-Faakhirah; hal. 26-27.
61) Ar-Raa-idu al-Fikri; oleh al-Ishlahi; hal 137.
62) Ar-Raa-idu al-Fikri; oleh al-Ishlahi; Catatan pinggir; hal 138.
63) Ar-Raa-idu al-Fikri; oleh al-Ishlahi; hal 137.
64) Adaabu al-Manaabir; hal. 176.
65) Adaabu al-Manaabir; hal. 176.
66) Ia dijuluki sebagai pakar orator, ahli mimbar al-Huseini.
67) Majalah "al-Mar-aatu al-Ummah al-Kuwaitiyyah; edisi 16/ 1073. Juni 1997.
68) Ta'aal Natafaahimu.
69) Maa-atu mas-alatin muhammatin haula asy-Syii'ah; hal. 168-169.
70) Tsauratu ath-Thaff; hal. 75.
71) Malhamatu ath-Thaff; 15.
72) Maksudnya; al-Khomaini.

Basyaawir"; hal. 585. Muhammad Mahdi al-Mazindarani dalam "Ma'aali as-Sibthain"; juz pertama hal. 267. Murtadhla al-Askarai di dalam "Ma'aalim al-Madrasatain"; juz 3, hal. 67. Asad Haidar di dalam kitabnya "Ma'al Husain fii Nahdhlatih"; hal. 163. Juga tercantum dalam "Daa-iratul Ma'aarif asy-Syii-'iyyah (8/264). Sang tokoh Ahmad Husein Ya'qub dalam kitabnya "Karbala' ats-Tsaurah wa al-Ma'saah"; hal. 244.
96)   Maqtal al-Husain; olah al-Muqarram; hal. 193.
97)   Muntaha al-Amaal (1/471).
98)   Maqtal al-Husain; oleh Bahru al-'Ulum; hal. 763.
99)   Lafal aslinya ada di dalam "al-Ihtijaaj"; oleh ath-Thab-risi (2/24) 
100) Ala Khathi al-Husain; hal. 130-131.
101) Al-Luhuuf; hal. 58.
102) Maqtal al-Husain; hal. 234.
103) Maqtal al-Husain; hal. 16.
104) Yaumu ath-Thaff; hal. 28.
105) al-Husain wa Mas-uliyati ats-Tsaurah; hal. 61.
106) Lawaa-'iju al-Asjaan; hal. 97, dan selanjutnya. Di da-lamnya dapat disimpulkan, bahwa mereka cenderung tidak mau berbicara kepada beliau, dan juga tidak bersedia diam untuk mendengar beliau.
107) Muntaha al-Amaal (1/486).
108) Bacalah: "Ma'aalimu al-Madrasatain" (3/100). Karbala' ats-Tsaurah wa al-Ma'saah; oleh al-Muhami Ahmad Muhsin Ya-'qub; hal. 283-284.
109) Al-Luhuuf; oleh Ibn Thawus; hal. 39. Asyuura'; oleh al-Ihsa-i; hal. 115. Al-Majaalisu al-Faakhirah; oleh Abdu al-Hu-sein; hal. 75. Muntaha al-Amaal; (1/454). Alaa Khathi al-Hu-sain; hal. 96.
110) Al-Majaalisu al-Faakhirah; hal. 79. 'Alaa Khathi al-Husain; hal 100. Lawaa'iju al-Asyjaan; oleh al-Amin; hal. 60. Ma'aalimu al-Madrasatain (3/62).
111) Ma'aalimu al-Madrasatain (3/71-72). Ma'aali as-Sibthain (1/275). Bahru al-'Uluum; 194. Nafsu al-Mahmuum; hal. 172. Khoiru al-Ash-haab; hal. 39. Tadhlimu az-Zahraa'; hal. 170.
112) Maqtal al-Husain; hal. 175.
113) Muntaha al-Amaal (1/535)
114) Fii Rihaabi Karbalaa'; hal. 60-61.
115) Fii Rihaabi Karbalaa'; hal. 61.
116) Al-Malhamah al-Husainiyyah; (3/47-48).
117) Asyuura'; hal. 89.
118) Tariikh Kuufah; hal. 113.
119) A'yaanu asy-Syii'ah (1/26).
120) Mausuu'atu Asyuura'; hal. 59.

Tidak ada komentar

Posting Komentar