Kisah Sejarah Petempuran Di Karbala
Pertempuran Karbala terjadi pada tanggal 10 Muharram, tahun ke-61 dari kalender Islam (9 atau 10 Oktober 680) di Karbala, yang sekarang terletak di Irak. Pertempuran terjadi antara pendukung dan keluarga dari cucu Muhammad, Sayyidina Husain bin Ali dengan pasukan militer yang dikirim oleh Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah saat itu.
Pihak Sayyidina Husain bin Ali terdiri dari anggota-anggota terhormat keluarga dekat Muhammad, sekitar 128 orang. Husein dan beberapa anggota juga diikuti oleh beberapa wanita dan anak-anak dari keluarganya. Di pihak lain, pasukan bersenjata Yazid yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad berjumlah 4.000-10.000.
Pertempuran ini kemudian diperingati setiap tahunnya selama 10 hari yang dilakukan pada bulan Muharram oleh Muslim Syi'ah, dimana puncaknya pada hari kesepuluh, Hari Asyura.
Sebelum Peperangan
Sebelum wafatnya, Muawiyah bin Abu Sufyan berwasiat bahwa kekhalifahan berikutnya akan dipegang oleh anaknya, Yazid bin Mu'awiyah. Hal ini telah melanggar perjanjian Mu'awiyah dengan Sayyidina Hasan bin Ali, Ali kakak dari Sayyidina Husain bin Ali. Selain itu, dalam wasiatnya kepada Yazid, Mu'awiyah juga menyebutkan, bahwa kelak akan ada yang menolak atau tidak membay'atnya. Di antara mereka yang disebutkan Mu'awiyah adalah :
- Abdur Rahman bin Abu Bakr. Menurut Mu'awiyah, dia tergolong orang yang mudah diubah pikirannya. Dengan harta dia bisa berubah pikiran.
- Abdullah bin Umar. Menurut Mu'awiyah, dia tergolong orang yang tidak akan mengganggu kekhalifahan anaknya, karena Ibn 'Umar adalah orang yang anti-duniawi. Dia akan meninggalkan perkara ini (kekhalifahan) karena menganggap ini adalah perkara yang kotor.
- Abdullah bin Zubayr.
- Abdullah bin Abbas. Dia dan Ibn Zubayr menurut Mu'awiyah akan menentang kekhalifahan Yazid.
- Sayyidina Husein bin Ali. Sudah pasti menurut Mu'awiyah, akan menjadi penentang utama kekhalifahan Yazid karena hanya dialah keluarga Nabi Muhammad SAW. yang masih hidup.
Lantas, setelah wafat ayahnya, Yazid memerintahkan Walid bin Utbah, Gubernur Madinah, untuk meminta bai'atnya Husein bin Ali kepada Yazid. Tentu saja hal in ditolak, dengan kata-katanya yang terkenal Orang-orang seperti ku tidak akan pernah membayat orang-orang seperti dia (Yazid)
Lalu, tahu kalau Walid akan terus memaksanya, pada tanggal 28 Rajab 60 H, Sayyidina Husain bin Ali pergi ke Mekkah selama 6 bulan. Selama tinggal di Mekkah, Sayyidina Husain bin Ali menerima banyak surat dari Kufah, untuk datang kesana menjadi Imam karena tidak adanya Imam di Kufah. Sayyidina Husain bin Ali pun mengirim keponakannya, Muslim bin Aqil ke Kufah, untuk memastikan apakah mereka benar-benar membutuhkan Imam atau tidak.
Sesaimpainya di Kufah, Muslim diterima dengan baik, dan hampir seluruh warganya membai'at Sayyidina Husein bin Ali melaluinya. Muslim mengirim surat kepada Sayyidina Husain bin Ali yang menyatakan bahwa Kufah aman untuk Sayyidina Husain bin Ali. Namun, setelah kedatangan Gubernur baru, 'Ubaydullah ibn Ziyad, semunya langsung berubah. Muslim dan teman-temannya langsung dibunuh pada 9 Dzul Hijja 60 H, tanpa ada protes dari rakyat Kufah. Sayyidina Husain bin Ali pun mendapat ancaman pemubunuhan dari Yazid melalui 'Amr bin Sa'ad bin al-'Ash. Namun, Sayyidina Husein bin Ali sudah pergi dari Mekkah pada tanggal 8 Dzul Hijja, sehingga pembunuhan terhadapnya pun gagal.
Mendengar kepergiannya menuju Kufah, Ibn 'Abbas dan Ibn Zubayr menemuinya dan meminta untuk jangan pergi ke Kufah. Mereka mengetahui rencana Yazid yang sebenarnya. Namun Sayyidina Husain bin Ali menolak. Sayyidina Husain bin Ali tetap bersikeras untuk pergi ke Kufah. Dalam perjalanan menuju Kufah, barula Sayyidina Husein bin Ali menerima kabar bahwa keponakannya, Muslim, sudah syahid di tangan Ibn Ziyad. Dibanding kembali ke Madinah, Sayyidina Husain bin Ali tetap melanjutkan perjalanan menuju Kufah, hingga dicegat oleh tentara Ummayyah yang masih dikomandoi oleh Hurr ibn Yazid pada saat itu.
Ketika di Karbala
Sayyidina Husein bin Ali dan rombongannya sampai di Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 H. Ketika itu, Sayyidina Husein bin Ali dicegat oleh 1.000 pasukan di bawah komando Hurr ibn Yazid. Ketika itu Sayyidina Husain bin Ali berkata akan kembali ke Madinah apabila diperbolehkan oleh Hurr, namun Hurr menolak.
Setelah menerima kabar bahwa Sayyidina Husein bin Ali dan rombongannya berhenti di Karbala, lalu Ibn Ziyad menunjuk Umar bin Sa'ad ibn Abi Waqqash sebagai komandan perang melawan Sayyidina Husein bin Ali. Pada awalnya, Ibn Sa'd menolak, namun, setelah ditekan oleh Ibn Ziyad, dengan terpaksa ia mau. Selain itu, Ibn Sa'd juga menerima perintah, untuk memulai perang pada 6 Muharram dan untuk memutus akses rombongan Sayyidina Husein bin Ali dari air dari sungai Eufrat. Lantas, rombongan Sayyidina Husain bin Ali tidak dapat air hingga 10 Muharram.
Ibn Sa'd, yang begitu ragu dalam peperangan ini, menerima perintah dari Ibn Ziyad untuk segera memulai perang pada malam 9 Muharram. Mendengar hal ini, Sayyidina Husain bin Ali mengirim Abbas bin Ali meminta untuk ditundanya serangan, agar mereka bisa Shalat malam. Permintaan ini dikabulkan oleh Ibn Sa'd.
Setelah Shalat malam didirikan, Sayyidina Husain bin Ali berkhutbah yang sangat terkenal, hingga yang mendengarnya menangis. Mereka yakin bahwa ini adalah pertemuannya yang terakhir dengan Sayyidina Husain bin Ali.
Husain bin Ali berkata bahwa siapapun yang ingin pergi dari rombongannya maka dipersilahkan pergi. Namun, tidak ada satu pria pun bahkan anak kecil yang keluar dari rombongan itu. Semuanya telah memilih kematian yang syahid dibanding kehidupan dibawah kezaliman
Perang Dimulai
Pagi 10 Muharram, setelah Shalat Shubuh, Sayyidina Husein bin Ali membagi pasukan kecilnya menjadi 3 bagian. Pasukan kanan dipimpin oleh Zuhayr ibn Qayn dan Habib ibn Muzahir, pria berusia 70 tahun di bagian kiri. Dan adik tirinya, 'Abbas ibn 'Ali di bagian tengah bersama Ahlul Bayt dan Sayyidina Husein bin Ali.
Semua tentara Sayyidina Husein bin Ali berjumlah 72 yang terbagi 32 pasukan berkuda dan 40 tentara pejalan kaki. Sayyidina Husein bin Ali masih meminta kepada tentara Umayyah untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Khutbahnya begitu memikat, hingga Hurr ibn Yazid dan beberapa orang lainnya masuk ke dalam tentara Sayyidina Husain bin Ali.
Syiah adalah Pembunuh Sayyidina Husain bin Ali di Karbala
Seorang tokoh Islam yang terkenal di Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya “Hazrat Mu’aawiah Ki Siasi Zindagi” bahwa di dalam sejarah Islam, ada dua orang yang sungguh kontroversial. Seorang di antaranya adalah Amirul Mukminin Yazid yang makin lama makin dimusnahkan imagenya walaupun semasa hayatnya beliau diterima baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman itu. Seorang lagi ialah Manshur Al Hallaj. Di zamannya dia telah dihukum sebagai mulhid, zindiq, dan salah seorang dari golongan Qaramithah oleh masyarakat Islam yang membawanya disalib. Amirul Mukminin Al Muqtadir Billah telah menghukumnya murtad berdasarkan fatwa seluruh ulama dan fuqaha’ yang hidup pada waktu itu, tetapi imagenya semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai salah seorang ‘Aulia allah’.
Bagaimanapun, semua ini adalah permainan khayalan dan fantasi manusia yang jauh dari berpijak di bumi yang nyata. Semua ini adalah akibat dari tidak menghargai dan memberikan penilaian yang sewajarnya kepada pendapat orang-orang pada zaman mereka masing-masing.
Pendapat tokoh-tokoh dari kalangan sabahat dan tabi’in yang sezaman dengan Yazid, berdasarkan riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya, menjelaskan kepada kita bahwa Yazid adalah seorang anak muda yang bertaqwa, alim, budiman, shalih, dan pemimpin ummah yang sah dan disepakati kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam “Ansabu Al Asyraf” mengatakan bahwa, “Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata: “Sesungguhnya anaknya Yazid adalah dari keluarga yang shalih. Oleh karena itu, tetaplah kamu berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai’at kamu kepadanya” (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, halaman 4).
Sejarawan Baladzuri adalah di antara ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa Al Abbasiyah. Beliau telah mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di hadapan mereka dan menyebutkan pula sebelum nama Yazid sebutan ‘Amirul Mukminin’.
Abdullah Ibnu Umar yang dianggap sebagai orang tua di kalangan sahabat pada masa itu pun bersikap tegas terhadap orang-orang yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnu Zubair terhadap kerajaan Yazid, dan sikap yang ini disebutkan di dalam Shahih Bukhari bahwa, bila penduduk Madinah membatalkan bai’at mereka terhadap Yazid bin Muawiyah maka Ibnu Umar mengumpulkan handai taulan dan sanak saudaranya lalu berkata :
“Saya pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan dipancangkan bendera untuk setiap orang yang curang (membatalkan bai’atnya) pada hari kiamat. Sesungguhnya kita telah berbai’at kepadanya dengan nama Allah dan RasulNya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui kecurangan yang lebih besar dibandingkan kita berbai’at kepada seseorang dengan nama Allah dan RasulNya, kemudian kita bangkit pula memeranginya. Kalau saya tahu ada siapa saja dari kamu membatalkan bai’at kepadanya, dan turut serta di dalam pemberontakan ini, maka terputuslah hubungan di antaraku dengannya.” (Shahih Bukhari – Kitabu Al Fitan)
Sebenarnya jika dikaji sejarah permulaan Islam, kita dapati pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali di zaman pemerintahan Yazid-lah yang merupakan fakta terpenting mendorong segala fitnah dan keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak mudah ditolak oleh generasi kemudian. Hakikat inilah yang mendorong lebih banyak cerita-cerita palsu tentang Yazid yang diada-adakan oleh musuh-musuh Islam. Tentu saja, orang yang membunuh menantu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tersayang - dibelai oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang semasa hayatnya kemudian dijunjung pula dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan-keutamaannya di dalam hadits-hadits - tidak akan dipandang sebagai seorang yang berperi kemanusiaan apalagi untuk mengatakannya seorang shalih, budiman, bertaqwa, dan pemimpin umat Islam.
Karena itulah cerita-cerita seperti Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya, suka mendengar musik, dan menghabiskan waktu dengan penari-penari, begitu juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka bermain dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam kemudian.
Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh Sayyidina Husain bin Ali? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina Husain bin Ali dibunuh di Karbala?
Selagi tidak dapat ditentukan siapakah pembunuh Sayyidina Husain bin Ali yang sebenarnya dan terus diucapkan, “Yazid-lah pembunuhnya,” tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti, maka selama itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang sebagai manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh Sayyidina Husein bin Ali itu bukan Yazid? Kemanakah pula akan kita bawa segala tuduhan-tuduhan, fitnah, dan caci maki yang selama ini telah kita sandarkan pada Yazid itu?
Jika kita seorang yang cintakan keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain bin Ali yang sebenarnya. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah wal Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh dari sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong untuk membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya ditempat yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah awal Islam.
Sekarang marilah kita kupas tentang pembunuhan Sayyidina Husein bin Ali di Karbala ini.
Pembunuh Sayyidina Husain Adalah Syiah Kufah
Terlebih dahulu saya tekankan dari postingan ini bahwa pembunuh Sayyidina Husain bin Ali yang sebenarnya bukanlah Yazid, tetapi adalah golongan Syiah Kufah.
Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta dan bukti-bukti dari sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar. Kita akan membahas bukti-bukti yang akan dikemukakan menjadi dua bagian :
- BUKTI-BUKTI UTAMA
- BUKTI-BUKTI PENDUKUNG
1. BUKTI-BUKTI UTAMA
Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah pengadilan yang dibangun untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai terdakwa dan sebagai penjahat yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husein bin Ali. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan terbongkarlah rahasia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain bin Ali yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahwa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain bin Ali. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain bin Ali itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang konon menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain bin Ali. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah karena kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.
Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.
Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain bin Ali ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan pokok dalam agama mereka seperti Baqir Majlisi, Nurullah Syustri, dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baqir Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, “Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Penghulu Pemuda Ahli Surga” karena Ibnu Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibnu Ziad tetapi tidak berguna apa-apa.” (Jilaau Al ‘Uyun, halaman 430)
Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al Mu’minin bahwa setelah sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah dan berkata :
“Kita telah memanggil Sayyidina Husain bin Ali dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.” Dengan itu berkumpullah sekian banyak orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, “Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.” (Al Baqarah: 54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelar “At Tawaabun.”
Sejarah tidak lupa dan tidak akan melupakan peranan Syits bin Rab’i di dalam pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali di Karbala. Tahukah Anda siapa itu Syits bin Rab’i? Dia adalah seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta pada Sayyidina Ali di dalam peperangan Shiffin, senantiasa bersama Sayyidina Husain bin Ali. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain bin Ali ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap pemerintahan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahwa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain bin Ali dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain bin Ali. (Jilaau Al Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, halaman 37)
Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiah-nya Syits bin Rab’i dan tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mullah Baqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal? Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan dari pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.
Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats, ipar Sayyidina Husein bin Ali, yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menjelaskan kepada kita bahwa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husein bin Ali dari tubuhnya selepas selesai pertempuran? (Khulashatu Al Mashaaib, halaman 192)
Selain dari pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh-pembunuh Sayyidina Husein bin Ali, pernyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husein bin Ali sebagai saksi-saksi hidup di Karbala, yang terus hidup selepas peristiwa ini, juga membenarkan dakwaan ini termasuk pernyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husein bin Ali berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang-orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau :
“Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim, dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-musuh di dalam menentang kami.” (Jilaau Al Uyun, halaman 391).
Sayyidina Husain bin Ali juga berkata kepada Syiah :
“Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sembarang permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sembarang sebab?” (Ibid).
Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau :
“Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami.” (Ibid)
Sayyidina Husein bin Ali juga dicatat telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya :
“Binasalah kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat… Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia adzab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya.” (Mullah Baqir Majlisi – Jilaau Al Uyun, halaman 409).
Dari kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mullah Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahwa :
1. Propaganda yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam melalui penulisan sejarah bahwa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Shiffin, dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.
2. Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala atas Syiah.
3. Upacara menyiksa badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau, dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah. Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah terjadi upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahwa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
4. Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak anggota keluarganya, walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya karena sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Dzuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara berkabung ini setiap kali tibanya 10 Muharram?
Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas terjadinya peristiwa itu juga berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka :
“Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka?” (At Thabarsi, Al Ihtijaj, halaman 156).
Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau :
“Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu sadar bahwa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu.”
Sayyidatina Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husein bin Ali yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya :
“Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami belum kering karena kezalimanmu itu. Keluhan kami belum terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran… Adakah kamu meratapi kami, padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tumpukan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun.” (Jilaau Al Uyun, halaman 424).
Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga hari ini.
Ummu Kultsum bin Fatimah berkata sambil menangis di atas sekedupnya, “Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku, Husein, kemudian tidak membantunya, bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari Ahlu bait-nya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu.”
Ummu Kultsum bin Fatimah juga berkata, ” Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti.” (Ibid, halaman 426-428)
Sementara Fatimah bin Husein berkata, “Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami, kemudian telah membunuh kakekku Ali (Sayyidina Ali). Senantiasa darah-darah kami menetes dari ujung-ujung pedangmu...Tak lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan terus menerus menghujani kamu. Siksaan dari langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih.”
Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah binti Husain ini bisa diterima oleh Syiah.
Bukti-bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husein bin Ali di Karbala. Dari keterangan dalam kedua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
- Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.
- Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah. - Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara-saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiah-lah yang telah membunuh mereka.
- Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.
Mahkamah di dunia ini menerima keempat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kokoh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenarnya di dalam suatu kasus pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan puncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua pengadilan sebagai kasus pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain bin Ali itu?
2. BUKTI-BUKTI PENDUKUNG
Kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti pendukung supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah :
Pertama
Tidak sukar untuk kita terima bahwa mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain bin Ali apabila kita melihat sikap mereka yang biadab terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam-imam itu dengan menyebar luaskan propaganda-propaganda mereka terhadap tertuduh itu.
Di antara kebiadaban mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudian membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.
Di dalam Jilaau Al Uyun disebutkan bahwa Abdul Rahman ibnu Muljim adalah salah seorang dari kelompok yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir. Dia juga telah berbai’at dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ”Bahwa aku telah berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapakmu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang wahai Hasan, jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau selamat daripada kejahatannya.” (Jilaau Al Uyun, halaman 218)
Tetapi setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan rencana mereka semua akan gagal jika perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah disetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-musuh Islam yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah terjadi. Maka segolongan dari mereka telah mengasingkan diri dari mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang terjadi ini sebanarnya satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat itu dan untuk berlindung di balik beliau dari hukuman karena pembunuhan Khalifah Utsman.
Sayyidina Hasan pun pernah ditikam oleh golongan Syiah pahanya hingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula kebiadabannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya dan menarik kain sajadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua tidak lain melainkan karena Sayyidina Hasan telah bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang Mukmin.
Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya ditujukan juga kepada Imam Ja’far Ash Shadiq bila seorang Syiah yang sangat setia kepada Imam Ja’far Ash Shadiq, yaitu Rabi’, menangkap Imam Ja’far Ash Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al Mansur supaya dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya menyeret Imam Ja’far Ash Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam kitab Jilaau Al Uyun karangan Mullah Baqir Majlisi.
Di dalam kitab yang sama, pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha yaitu Imam yang ke delapan menurut Syiah, bahwa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah tulen atas perintah Al Makmun. Diceritakan bahwa selepas dibunuh itu, Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung bekas-bekas pedang di tubuhnya.
Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh karena itu, tidaklah heran golongan yang sampai begini biadabnya terhadap Imam-imam bisa membunuh Sayyidina Husain bin Ali tanpa belas kasihan di medan Karbala.
Boleh jadi kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenal dengan sebutan ‘Syiah’ bisa bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam mereka? Secara ringkas, bolehlah kita katakan bahwa ‘perasaan keheranan’ yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang terbentuknya Syiah itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.
Kedua
Di antara bukti yang menunjukkan tidak adanya peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali di Karbala, bahkan golongan Syiah-lah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan perbesanan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas terjadinya peperangan Shiffin dan juga selepas terjadinya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali di Karbala.
Tidak mungkin orang-orang yang memiliki kehormatan seperti kalangan Ahlul Bait akan menikah dengan orang-orang yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, kakek, atau paman Husain bin Ali. Hubungan ini, selain menunjukkan pemerintah-pemerintah dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah di dalam pembunuhan ini, juga menunjukkan mereka adalah golongan yang banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan senantiasa menjalinkan ikatan kasih sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.
Di antara contoh hubungan berbesanan ini ialah :
- Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yang bernama Muawiyah yaitu saudara Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm, Jamharatu Al Ansab, halaman 80)
- Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali menikah dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri yaitu khalifah yang ke empat dari kerajaan Bani Umayah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 halaman 69)
- Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali yaitu Khadijah menikah dengan anak gubernur ’Amir bin Kuraiz dari Bani Umayah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, halaman 68). ‘Amir bin Kuraiz adalah gubernur pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.
- Cucu Sayyidina Hasan bukan seorang dua orang saja yang telah menikah dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umayah, bahkan sejarah telah mencatat 6 orang dari cucu beliau telah menikah dengan mereka yaitu :
- Nafisah binti Zaid bin Hasan menikah dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.
- Zainab binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah menikah dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.
- Ummu Qasim binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali menikah dengan cucu Sayyidina Utsman yaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan menikah pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.
- Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yaitu Muawiyah.
- Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah binti Hasan Al Mutsanna menikah dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam yaitu Ismail bin Abdul Malik.
- Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah binti Husain bin Hasan bin Ali juga pernah menikah dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.
Perlu diingat bahwa semua mereka yang tersebut itu meninggalkan keturunan.
Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husein bin Ali pula banyak yang telah menjalinkan perkawinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umayah, antaranya ialah :
- Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Setelah beberapa lama terbunuh suaminya, Mush’ab bin Zubair, beliau telah menikah dengan cucu Amirul Mukminin Marwan yaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak dari Amirul Mukminin Yazid yaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al Ansab)
- Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga menikah dengan cucu Sayyidina Utsman yang bernama Zaid bin Amar bin Utsman.
Sementara anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan perbesanan dengan keluarga Umayah. Di antaranya yang bisa disebutkan ialah:
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina Husain bin Ali yaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah binti Ubaidillah bin Abbas bin Ali menikah dengan cucu Amirul Mukminin Yazid yang bernama Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Kakek dari Nafisah ini yaitu Abbas bin Ali adalah di antara orang yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah. Beliau terbunuh dalam pertempuran di medan Karbala .
Sekiranya benar cerita yang diambil oleh ahli-ahli sejarah dari Abu Mukhnaf, Hisyam dan lain-lain tentang kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintahkan supaya tidak dibenarkan setitik pun air walaupun kepada anak-anak yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husein bin Ali itu sehingga mereka mati kehausan apakah mungkin perkawinan di antara cucu kepada Abbas ini terjadi dengan cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada tolak bandingnya seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh dilupakan begitu mudah oleh anak-anak cucu orang-orang yang teraniaya di medan Karbala itu? Apa lagi jika dilihat kepada zaman terjadinya perkawinan mereka ini, bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid, bahkan yang berkuasa pada ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana tidak terdapat satu pun alasan untuk kita mengatakan perkawinan itu terjadi secara kekerasan atau paksaan.
Perkawinan mereka membuktikan kisah-kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentara Yazid kepada rombongan Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu Mukhnaf, Al Kalbi dan anaknya Hisyam, dan lain–lain.
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina Husein bin Ali, Muhammad bin Ali (yang terkenal dengan Muhammad bin Hanafiyah) bernama Lubabah menikah dengan Said bin Abdullah bin Amr bin Said bin Al Ash bin Umayah. Ayah Lubabah ini ialah Abu Hisyam Abdullah yang dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisaniyah .
Demikianlah ringkasnya dikemukakan hubungan perbesanan yang berlaku di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim terutamanya dari anak cucu Sayyidina Ali, Hasan dan Husain. Hubungan perbesanan di antara mereka sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Ansab dan sejarah. Pengetahuan lebih lanjut bisa dirujuk dari kitab–kitab seperti Jamratu Al Ansab, Nasbu Quraisy, Al Bidayah wa An Nihayah, Umdatu Al Thalib Fi Ansab Aal Abi Thalib, dan lain–lain.
Kesimpangsiuran Pembunuh Husein bin Ali di Karbala
Banyak versi yang berkembang soal peristiwa di karbala, termasuk pelaku pembunuhan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Namun, banyak kalangan berbeda pendapat soal ini. Sumber Syiah menyebutkan, pembunuhnya adalah Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan dari Dinasti Umayyah. Sebab, saat itu ia memimpin pasukan Umayah untuk menaklukkan daerah di sekitarnya.
Namun, ada versi lain yang menyatakan, penyebutan nama Yazid sebagai pelaku pembunuh Husain karena adanya kekesalan orang Syiah terhadap Muawiyah yang sejak dulu menginginkan jabatan Khalifah. Karena itulah, mereka menuduh Yazid sebagai pelakunya.
Dalam kitab Umdat at-Thalib fi Anshab Abi Thalib ditegaskan, tuduhan terhadap Yazid sebagai dalang pembunuhan Husain bin Ali sangat tidak tepat. Sebab, banyak bukti yang membantah tuduhan tersebut.
Imam Ath-Thabari dalam kitab sejarahnya yang berjudul Tarikhu al-Umam wa al-Muluk atau Tarikh Thabari mengutip pernyataan Muawiyah yang berpesan kepada anaknya Yazid bin Muawiyah,” Adapun Husain bin Ali, penduduk Irak sekali-kali tidak akan melepaskannya sehingga mereka mengeluarkanya untuk memberontak. Sekiranya ia keluar memberontak terhadapmu dan engkau dapat menangkapnya, maafkanlah dia karena beliau mempunyai pertalian rahim yang erat dengan kita dan juga mempunyai hak yang sangat besar.”
Riwayat yang mengatakan pihak Yazid sebagai pembunuh Husain di Karbala itu berasal dari Abu Mikhnaf Lut bin Yahya, demikian disebutkan dalam kitab A’yanusy Syiah jilid 1 halaman 127.
Tapi, hal ini dibantah oleh sejumlah ahli sejarah lain. Imam Zahabi dalam mizan al-I’tidal menjelaskan, ketika peristiwa Karbala ini terjadi, Abu Mikhnaf belum lahir.” dia (Abu Mikhnaf) meninggal dunia pada 170 H,” serunya. “ia adalah pembohong besar,” ungkap Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Laaliu Al-Masnuu’ah.
Wa allahu alam bi showab..
Tidak ada komentar
Posting Komentar