Wanita di Iran Dilarang Jadi Calon Presiden
Anggota Dewan Pengawas Konstitusi Iran, Muhammad Yazdii, kemarin menegaskan wanita tidak boleh menjadi presiden di Negeri Mullah itu. Pernyataan ini secara tidak langsung akan menghilangkan sekitar 30 perempuan yang mendaftarkan diri dalam pemilu presiden bakal digelar 14 Juni mendatang.
Situs the Huffington Post melaporkan, Kamis (16/5), kaum hawa di Iran memang dianggap hampir mustahil mencalonkan diri di pemilihan presiden bahkan sebelum Muhammad Yazdi melontarkan pernyataannya itu.
Meski kaum wanita juga telah terdaftar sebagai calon pemilihan presiden di pemilu sebelumnya, tetapi Dewan Pengawas Konstitusi tetap mengikuti interpretasi konstitusional yang menyebut hanya seorang pria dapat menduduki jabatan tertinggi di Iran. Namun, para perempuan tetap diperbolehkan untuk mengikuti pemilihan parlemen dan menjadi anggota parlemen di Iran.
Yazdi mengatakan hukum tidak menyetujui seorang wanita dalam pemilu kepresidenan dan seorang perempuan tidak diperbolehkan dalam pemungutan suara, seperti dikutip kantor berita Mehr.
Dewan Pengawas Konstitusi nantinya akan menetapkan semua kandidat yang berhak mengikuti pemilihan presiden dan parlemen. Sebanyak 686 orang telah mendaftar untuk menggantikan Presiden Mahmud Ahmadinejad, yang tidak boleh lagi menjabat sebagai presiden untuk ketiga kalinya.
Keputusan terakhir siapa yang berhak melaju dalam pemilu presiden akan diumumkan Selasa pekan depan, dengan hanya segelintir nama-nama yang diharapkan dapat mengikuti pemilihan presiden.
Namun, kaum perempuan Iran masih memiliki kebebasan lebih besar daripada negara tetangganya, khususnya di Arab Saudi dan Afghanistan, meski Dewan Pengawas Konstitusi dipercaya telah menutup pintu bagi para wanita untuk mengikuti pemilu kepresidenan.
Kemungkinan para kandidat yang mungkin akan melaju pada pemilu persiden, di antaranya mantan Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani, yang didukung oleh kelompok pro-reformasi, serta pada saingannya, yang didukung oleh para ulama berkuasa seperti perunding nuklir Iran Saeed Jalili, Wali Kota Teheran Muhammad Bagher Qalibaf, serta mantan Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati.
Nah bagaimana dengan Indonesia?
Situs the Huffington Post melaporkan, Kamis (16/5), kaum hawa di Iran memang dianggap hampir mustahil mencalonkan diri di pemilihan presiden bahkan sebelum Muhammad Yazdi melontarkan pernyataannya itu.
Meski kaum wanita juga telah terdaftar sebagai calon pemilihan presiden di pemilu sebelumnya, tetapi Dewan Pengawas Konstitusi tetap mengikuti interpretasi konstitusional yang menyebut hanya seorang pria dapat menduduki jabatan tertinggi di Iran. Namun, para perempuan tetap diperbolehkan untuk mengikuti pemilihan parlemen dan menjadi anggota parlemen di Iran.
Yazdi mengatakan hukum tidak menyetujui seorang wanita dalam pemilu kepresidenan dan seorang perempuan tidak diperbolehkan dalam pemungutan suara, seperti dikutip kantor berita Mehr.
Dewan Pengawas Konstitusi nantinya akan menetapkan semua kandidat yang berhak mengikuti pemilihan presiden dan parlemen. Sebanyak 686 orang telah mendaftar untuk menggantikan Presiden Mahmud Ahmadinejad, yang tidak boleh lagi menjabat sebagai presiden untuk ketiga kalinya.
Keputusan terakhir siapa yang berhak melaju dalam pemilu presiden akan diumumkan Selasa pekan depan, dengan hanya segelintir nama-nama yang diharapkan dapat mengikuti pemilihan presiden.
Namun, kaum perempuan Iran masih memiliki kebebasan lebih besar daripada negara tetangganya, khususnya di Arab Saudi dan Afghanistan, meski Dewan Pengawas Konstitusi dipercaya telah menutup pintu bagi para wanita untuk mengikuti pemilu kepresidenan.
Kemungkinan para kandidat yang mungkin akan melaju pada pemilu persiden, di antaranya mantan Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani, yang didukung oleh kelompok pro-reformasi, serta pada saingannya, yang didukung oleh para ulama berkuasa seperti perunding nuklir Iran Saeed Jalili, Wali Kota Teheran Muhammad Bagher Qalibaf, serta mantan Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati.
Nah bagaimana dengan Indonesia?
Post a Comment