Disebalik Malam Tahun Baru Petasan, Terompet dan Topi

Beberapa jam lagi suara petasan, terompet, kemungkinan akan bergema di hampir seluruh penjuru dunia. Ya, acara menyambut tahun baru sekarang ini identik dengan petasan, kembang api, dan tentu saja terompet. Dan perayaan malam tahun baru boleh jadi merupakan hari pesta sedunia, jutaan orang di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia, tumpah ke jalan-jalan atau di tempat-tempat hiburan merayakan pergantian tahun. Di tempat-tempat itu mereka meluapkan kegembiraan seakan-akan baru saja memenangi sebuah pertandingan bahkan mereka yang mengerti Islampun ikut-ikutan latah.

Jika menilik sejarah, perayaan tahun baru tidaklah sekadar pesta biasa, tetapi sarat dengan berbagai tradisi keagamaan seperti kaum pagan, Kristen, dan juga Yahudi.

Dari terjemahan English Wikipedia, perayaan Tahun Baru adalah :

"Orang-orang Romawi mendedikasikan hari perayaan Tahun Baru kepada Janus, dia adalah dewa segala pintu gerbang, pintu-pintu dan permulaan waktu yang mana namanya juga adalah nama dari bulan pertama dalam setahun, Januari. Setelah Julius Caesar menyusun sistem kalendar (Masehi) pada 46 BC dan ia dibunuh setelah itu, anggota Senat Romawi memutuskan untuk meresmikannya pada 1 Januari 42 BC untuk mengenang hidup Julius Caesar dan menghormati penyusunannya terhadap sistem kalender baru yang rasional. Bulan pertama didedikasikan pada nama dewa Janus yang mempunyai 2 wajah, 1 menghadap ke depan (mengindikasikan masa depan, pent) dan 1 menghadap ke belakang (mengindikasikan masa lalu, pent). Ini mengindikasikan perayaan Tahun Baru didirikan atas dasar kepercayaan pagan." (http://en.wikipedia.org/wiki/New_Year%27s_Day)

Nama Dewa Janus tidaklah asing dalam kesusasteraan paganisme. Ia adalah sembahan kaum penyembah syaitan sejak zaman Yunani kuno. Sejarah pemuliharaan budaya penyembah syaitan ini pun sudah ada semenjak zaman Hermaic (3600 SM) dan dikawal oleh kumpulan paganisme Freemason. Freemason sengaja menyuburkan budaya ini agar manusia bertauhid mampu mengalihkan perhatiannya dari agama kearah penyembahan satanisme.

Sebelum berlakunya kalender Gregorian, bangsa Eropa di abad pertengahan umumnya menjadikan tanggal 25 Maret sebagai awal tahun baru. Mereka . menyebut hari ini The Feast of Armounciarion, “Hari Raya Pemberitahuan”. Di dalam tradisi Kristen, tanggal ini dipercaya sebagai hari saat Bunda Maria didatangi Jibril yang memberitahukannya bahwa ia akan melahirkan seorang anak Tuhan.

Setelah diperkenalkan kalender Gregorian pada tahun 1582, secara bertahap kerajaan-kerajaan di Eropa merayakan tahun baru setiap tanggal satu Januari. Kalender Gregorian ini disebut juga kalender Kristen karena menjadikan kelahiran Yesus sebagai tanggal pertama dari kalender tersebut. Meski demikian, kapan persisnya kelahiran Yesus masih menjadi perdebatan di kalangan umat Kristiani. Namun yang jelas, pembuatan kalender ini terkait dengan kepentingan religius di dalam agama Kristen. Sebagai contoh, penetapan hari Minggu (Sunday) sebagai hari libur. Hari ini merupakan hari khusus untuk berkhidmat kepada Tuhan dalam tradisi Kristen, menggantikan hari Sabtu yang lazim dalam tradisi Yahudi.

Salah satu hal yang unik menjelang datangnya malam tahun baru adalah menjamurnya penjualan terompet. Hal ini terkait dengan kesenangan orang merayakan malam tahun baru dengan membunyikan terompet sekeras mungkin untuk memeriahkan suasana. Kebisingan suara terompet ini mencapai puncaknya pada pukul dua puluh empat, atau tepat tengah malam.

Tradisi meniup terompet ini pada mulanya merupakan cara orang-orang kuno untuk mengusir setan. Orang-orang Yahudi belakangan melakukan hal itu sebagai kegiatan ritual yang dimaknai sebagai gambaran ketika Tuhan menghancurkan dunia. Mereka melakukan ritual meniup terompet ini pada waktu perayaan tahun baru Yahudi, Rosh Hashanah, yang berarti “Hari Raya Terompet”, yang biasa jatuh pada bulan September atau Oktober. Bentuk terompet yang melengkung melambangkan tanduk domba yang dikorbankan dalam peristiwa pengorbanan Isaac (Nabi Ishaq dalam tradisi Muslim). Hal ini sangat berbeda dengan ajaran Islam yang menetapkan bahwa Nabi Ismail-lah, saudara Nabi Ishaq, yang diminta Allah untuk dikorbankan.

Semula, budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka (bulan Tisyri). Walaupun setelah itu mereka merayakannya di bulan Januari sejak berkuasanya bangsa Romawi kuno atas mereka pada tahun 63 SM. Sejak itulah mereka mengikuti kalender Julian yang kemudian hari berubah menjadi kalender Masehi alias kalender Gregorian.

Pada malam tahun barunya, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri dengan tradisi meniup shofar (serunai), sebuah alat musik sejenis terompet. Bunyi shofar mirip sekali dengan bunyi terompet kertas yang dibunyikan orang Indonesia di malam Tahun Baru.

Sebenarnya shofar (serunai) sendiri digolongkan sebagai terompet. Terompet diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi. Awalnya, alat musik jenis ini diperuntukkan untuk keperluan ritual agama dan juga digunakan dalam militer terutama saat akan berperang. Kemudian terompet dijadikan sebagai alat musik pada masa pertengahan Renaisance hingga kini.

Bunyi terompet yang bersahut-sahutan biasanya belum lengkap jika tidak diikuti dengan pesta petasan dan kembang api. Sebagaimana membunyikan trompet, tradisi ini merupakan ritual untuk mengusir setan di dalam tradisi bangsa Cina. Selain itu, petasanjuga dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan.


Ada Unsur Pemurtadan Disebalik Topi Tahun Baru

Tahun baru masehi identik dengan terompet dan topi kerucut. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang ikut merayakannya, juga dengan meniup terompet dan memakai topi kerucut tersebut.

Tetapi, Muslim yang ikut-ikutan merayakan itu, tahukah mereka makna topi dan terompet tahun baru? Ternyata, topi tahun baru berbentuk kerucut sama dengan bentuk topi Sanbenito.

Sanbenito (dalam bahasa Spanyol disebut sambenito) adalah pakaian "tobat" untuk kalangan Kristen yang menyimpang dari paham gereja. Jika mereka mau kembali ke paham gereja Katolik Roma dengan memakai Sanbenito yang meliputi jubah dan topi kerucut, mereka diampuni dari inkuisisi.

Pada perkembangannya, topi Sanbenito dipaksakan kepada kaum Muslimin Andalusia. Ketika kaum Frank menyerang Spanyol Muslim (Andalusia), mereka menangkap dan membunuh umat Islam yang tidak mau tunduk kepada mereka. Kaum Kristen Trinitarian itu juga melaksanakan inkuisisi kepada pemeluk Islam. Namun bagi mereka yang mau "bertobat" kembali ke Kristen, mereka dibebaskan dengan kewajiban -salah satunya- memakai topi Sanbenito.

Jika topi Sanbenito identik dengan "pertobatan" Kristen, terompet identik dengan ritual Yahudi. Sejarah mencatat sejak tahun 63 SM, Yahudi sudah akrab dengan penggunaan terompet. Dan hal itu berlangsung hingga zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.

Oleh karena itulah, Rasulullah menolak ketika ada yang mengusulkan memakai terompet untuk memanggil kaum muslimin menjelang shalat berjama'ah. "Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi," sabda beliau seperti diabadikan dalam hadits riwayat Abu Daud.

Hadits yang lebih umum juga mengingatkan dengan tegas. Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum. Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut. Na'udzu billah min dzalik.

Dunia saat ini dipenuhi dengan gaya hidup materialisme dan hedonisme, dimana diprakarsai oleh orang barat yang notebene adalah pemeluk nasrani dan Yahudi sehingga budaya yang digunakan sebagai pembungkus gaya hidup tersebut adalah budaya-budaya dalam agama mereka.

Gegap gempita dunia materialisme yang mengedepankan kemajuan bidang sains dan teknologi dalam bidang Industri membuat silau dunia timur, khususnya masyarakat umum, sehingga seperti laron di malam hari yang mencari cahaya paling terang, mereka terperdaya oleh gegap gempita itu dan kini hal itu telah menjadi budaya global.

Di sisi lain, kebanyakan masyarakat kita tidak banyak menerima ilmu-ilmu agama dari kecil, kebanyakan baru mulai sadar pentingnya agama ketika menginjak usia tua. Tak ayal budaya global semacam ini, menjadi tujuan banyak kawula muda karena mereka tidak dibekali ajaran agama. Yang mereka tahu budaya seperti ini asyik dan menyenangkan sehingga mereka terjebak dalam budaya hedonis.

Oleh sebab itu, sulit rasanya jika kita hanya bisa mengharamkan saja. Bagi kawula muda yang hidup dalam dunia materialisme dan hedonisme, halal-haram hanya sekedar angin lalu, karena mereka jauh dari sentuhan iman.

Dunia pendidikan memiliki peran penting dan strategis dalam menghadapi berbagai persoalan sosial termasuk hal-hal semacam ini. Perlu adanya kesadaran bagi setiap keluarga muslim untuk menanamkan nilai-nilai agama sejak usia belia.

Tidak ada komentar

Posting Komentar