Pertanyaan dari judul tulisan ini sebenarnya akan banyak terlontar dan tersimpan dalam benak kita masing-masing yang katanya beragama, baik secara spontan atau tidak mereka akan mengatakan “tidak mau” atau menolak jika keyakinan seorang diabaikan demi alasan hak untuk tidak diumumkan secara publik. Tidak hanya bagi penganut Kristen yang menolak, penganut Islam pun akan berang jika dirinya yang muslim harus dikuburkan secara Kristen atau agama lain yang tak sesuai dengan akidahnya.
Paling tidak gambaran sederhana inilah yang sepatutnya menjadi pertimbangan antara perlu dan tidaknya, sepele dan riskannya sebuah agama di dalam kolom KTP. Tidak mentang-mentang Islam yang mayoritas dianggap memaksakan kehendak, atau tidak mentang-mentang minoritas merasa tertindas, karena adanya agama dalam KTP. Tapi, kepentingan ini hakekatnya sebuah kebutuhan bagi semua penganut agama. Meskipun bagi kalangan tak beragama mau dikubur atau tidak pun sepertinya tak jadi persoalan. Karena selama ini tergantung dari agama masing-masing bagaimana cara menguburkan jenazah atas anggota keluarga mereka yang sudah meninggal.
Lalu, pertanyaannya bagaimana dengan yang menganut aliran kepercayaan? Sepertinya inipun tak perlu dirisaukan. Seandainya mereka ingin diakui sebagai keyakinan non agama, maka sepatutnya mendaftarkan dirinya ke pihak yang berwenang agar mudah dalam mengidentifikasi. Karena selama ini kesan yang muncul pemerintah tidak mengakomodir sekelompok orang yang menganut aliran kepercayaan, meskipun sejak dari dahulu masih ada saja penganut aliran kepercayaan yang tetap tidak dipaksa pemerintah untuk mengikuti ajaran agama tertentu. Seperti misalnya mereka tertulis Islam atau agama lain, toh dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak pernah dipaksa. Mau shalat atau ke gereja terserah mereka karena itu urusan masing-masing. Pemerintah hanya memfasilitasi kolom agama dalam Kartu keluarga dan KTP agar mudah dalam mengidentifikasi keyakinan seseorang.
Hikmahnya adalah ketika kolom agama masih ada, maka dari manapun mereka berasal ketika meninggal tidak asal dalam mengurus jenazahnya. Yang Islam diurus secara Islam dan yang non Islam pun demikian. Kecuali dalam aliran tertentu yang sama sekali tidak berkiblat pada agama tertentu. Tentu mereka pun akan diakomodir dengan memberikan hak seluas-luasnya dalam menguburkan anggota keluarga mereka.
Selain tak patutnya menghapus kolom agama, sepatutnya dikembalikan kepada si pemilik KTP, apakah mereka bersedia diberikan identitas agama tertentu atau tidak, itu semua hak warga negara. Sekali lagi pemerintah hanya mengakomodir semua keyakinan yang berkembang di Indonesia asalkan sesuai dengan konstitusi yang legal dan tidak dilarang menurut UUD 45 dan Pancasila.
Isu Penghapusan Kolom KTP, Sekedar Ajang Promosi Proyek
Boleh percaya atau tidak, isu penghapusan kolom KTP dapat diduga semata-mata karena ingin mengesahkan proyek baru dalam pembuatan KTP, di mana pembuatan KTP elektronik saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi ketika ingin memformat ulang KTP baru tentu harus melakui undang-undang dan proyek besar di Kemendagri. Meskipun dugaan ini pun tidak selamanya benar.
Yang pasti, jika KTP lama akan diubah formatnya maka semestinya melalui pengusulan lewat proyek seperti proyek-proyek sebelumnya. Tapi apapun itu, inti persoalan adalah tetap pada eksistensi KTP itu sendiri yang menyangkut hubungan sosial di lingkungannya. Jika seseorang memiliki identitas agama, maka keberadaan agama seseorang akan diakui dan dihargai.
Isu kedua penghapusan KTP karena munculnya paham komunis di Indonesia
Benarkah demikian? Tentu isu ini bisa benar dan bisa juga salah. Yang pasti bagi siapapun yang ingin keyakinannya diakomodir mereka pun harus jujur keyakinan apa yang mereka miliki, apakah agama tertentu, aliran kepercayaan atau justru tak beragama (ateis).
Seandainya Indonesia dengan keberadaan penganut agama ini menghendaki kolom agama tidak dihapus, maka secara suara terbanyak tak selayaknya pemerintah menghapuskan secara sepihak. Tapi jika ternyata semua agama sepakat kolom agama dihapus, maka secara otomatis menjadi jalan yang lebar bagi kemendagri untuk menghapuskan kolom KTP ini. Implikasinya setelah KTP dihapus maka tidak ada pihak-pihak yang menutut pemerintah atau merasa dirugikan dengan keputusan tersebut.
Menganut agama apapun adalah hak, dan itu sesuai dengan konstitusi kita, tapi memaksakan dan memproklamirkan sebuah keyakinan tertentu tanpa dasar hukumnya maka itu adalah penyesatan. Dampaknya akan muncul gesekan-gesekan sosial yang tak dapat dihindari jika satu kelompok kecil yang mengklaim memiliki agama tertentu atau keyakinan tertentu sedangkan mereka tidak terdaftar dan belum legal secara undang-undang.
Akan mudahnya muncul kelompok-kelompok kecil agama tertentu yang sengaja memancing kekisruhan karena merasa memiliki agama tapi berbeda nabi dan kitab yang menjadi rujukannya.
Salam
Paling tidak gambaran sederhana inilah yang sepatutnya menjadi pertimbangan antara perlu dan tidaknya, sepele dan riskannya sebuah agama di dalam kolom KTP. Tidak mentang-mentang Islam yang mayoritas dianggap memaksakan kehendak, atau tidak mentang-mentang minoritas merasa tertindas, karena adanya agama dalam KTP. Tapi, kepentingan ini hakekatnya sebuah kebutuhan bagi semua penganut agama. Meskipun bagi kalangan tak beragama mau dikubur atau tidak pun sepertinya tak jadi persoalan. Karena selama ini tergantung dari agama masing-masing bagaimana cara menguburkan jenazah atas anggota keluarga mereka yang sudah meninggal.
Lalu, pertanyaannya bagaimana dengan yang menganut aliran kepercayaan? Sepertinya inipun tak perlu dirisaukan. Seandainya mereka ingin diakui sebagai keyakinan non agama, maka sepatutnya mendaftarkan dirinya ke pihak yang berwenang agar mudah dalam mengidentifikasi. Karena selama ini kesan yang muncul pemerintah tidak mengakomodir sekelompok orang yang menganut aliran kepercayaan, meskipun sejak dari dahulu masih ada saja penganut aliran kepercayaan yang tetap tidak dipaksa pemerintah untuk mengikuti ajaran agama tertentu. Seperti misalnya mereka tertulis Islam atau agama lain, toh dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak pernah dipaksa. Mau shalat atau ke gereja terserah mereka karena itu urusan masing-masing. Pemerintah hanya memfasilitasi kolom agama dalam Kartu keluarga dan KTP agar mudah dalam mengidentifikasi keyakinan seseorang.
Hikmahnya adalah ketika kolom agama masih ada, maka dari manapun mereka berasal ketika meninggal tidak asal dalam mengurus jenazahnya. Yang Islam diurus secara Islam dan yang non Islam pun demikian. Kecuali dalam aliran tertentu yang sama sekali tidak berkiblat pada agama tertentu. Tentu mereka pun akan diakomodir dengan memberikan hak seluas-luasnya dalam menguburkan anggota keluarga mereka.
Selain tak patutnya menghapus kolom agama, sepatutnya dikembalikan kepada si pemilik KTP, apakah mereka bersedia diberikan identitas agama tertentu atau tidak, itu semua hak warga negara. Sekali lagi pemerintah hanya mengakomodir semua keyakinan yang berkembang di Indonesia asalkan sesuai dengan konstitusi yang legal dan tidak dilarang menurut UUD 45 dan Pancasila.
Isu Penghapusan Kolom KTP, Sekedar Ajang Promosi Proyek
Boleh percaya atau tidak, isu penghapusan kolom KTP dapat diduga semata-mata karena ingin mengesahkan proyek baru dalam pembuatan KTP, di mana pembuatan KTP elektronik saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi ketika ingin memformat ulang KTP baru tentu harus melakui undang-undang dan proyek besar di Kemendagri. Meskipun dugaan ini pun tidak selamanya benar.
Yang pasti, jika KTP lama akan diubah formatnya maka semestinya melalui pengusulan lewat proyek seperti proyek-proyek sebelumnya. Tapi apapun itu, inti persoalan adalah tetap pada eksistensi KTP itu sendiri yang menyangkut hubungan sosial di lingkungannya. Jika seseorang memiliki identitas agama, maka keberadaan agama seseorang akan diakui dan dihargai.
Isu kedua penghapusan KTP karena munculnya paham komunis di Indonesia
Benarkah demikian? Tentu isu ini bisa benar dan bisa juga salah. Yang pasti bagi siapapun yang ingin keyakinannya diakomodir mereka pun harus jujur keyakinan apa yang mereka miliki, apakah agama tertentu, aliran kepercayaan atau justru tak beragama (ateis).
Seandainya Indonesia dengan keberadaan penganut agama ini menghendaki kolom agama tidak dihapus, maka secara suara terbanyak tak selayaknya pemerintah menghapuskan secara sepihak. Tapi jika ternyata semua agama sepakat kolom agama dihapus, maka secara otomatis menjadi jalan yang lebar bagi kemendagri untuk menghapuskan kolom KTP ini. Implikasinya setelah KTP dihapus maka tidak ada pihak-pihak yang menutut pemerintah atau merasa dirugikan dengan keputusan tersebut.
Menganut agama apapun adalah hak, dan itu sesuai dengan konstitusi kita, tapi memaksakan dan memproklamirkan sebuah keyakinan tertentu tanpa dasar hukumnya maka itu adalah penyesatan. Dampaknya akan muncul gesekan-gesekan sosial yang tak dapat dihindari jika satu kelompok kecil yang mengklaim memiliki agama tertentu atau keyakinan tertentu sedangkan mereka tidak terdaftar dan belum legal secara undang-undang.
Akan mudahnya muncul kelompok-kelompok kecil agama tertentu yang sengaja memancing kekisruhan karena merasa memiliki agama tapi berbeda nabi dan kitab yang menjadi rujukannya.
Salam
Tidak ada komentar
Posting Komentar