Ajaran Islam yang Lurus dan Menyimpang

Perpecahan umat Islam hingga kini menjadi 73 golongan bermula pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, setelah Rasulullah SAW wafat. Sejumlah sejarawan dan ulama meyakini ada lima sebab pecahnya agama rahmatan lil alamin ini. Pertama, ghuluw atau bersikap berlebihan terhadap sesuatu yang terkait dengan Islam. Mislanya kaum Syi’ah yang terlalu berlebihan dalam mencintai Ali bin Abi Thalib, sahabat Rasulullah SAW, dan aliran Khawarij yang terlalu berlebihan dalam memahami dan menyikapi ayat wa’id (ancaman) dalam Al-Qur’an, sehingga golongan ini mengkafirkan umat Islam yang melakukan dosa besar.


Kedua, karena membantah bid’ah dengan bid’ah semisal. Contohnya golongan Murji’ah yang meng-counter pendapat Khawarij yang mengkafirkan umat Islam yang melakukan dosa besar, namun akhirnya malah memunculkan bid’ah baru berupa anggapan bahwa pelaku dosa besar tetap seorang mukmin dengan tingkat keimanan yang sempurna. Padahal iman manusia dapat mengalami pasang surut yang tercermin dari perilaku dan perbuatannya.

Ketiga, karena pengaruh dari luar Islam. Golongan Syi’ah misalnya. Golongan ini muncul akibat gagasan Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi, yang sengaja diselundupkan ke kalangan umat Islam untuk memecah belah umat Muhammad tersebut. Golongan Jahmiyah digagas oleh Ja’d bin Dirham, juga orang Yahudi. Sedang Wahabi, menurut buku Catatan Sorang Mata-mata dan buku berjudul Persekongkolan Menghancurkan Islam, hadir di muka bumi berkat rekayasa Inggris melalui agen rahasianya yang bernama samaran Hempher.

Keempat, karena lebih mengedepankan akal dibanding iman dan naqi (dalil). Golongan Mu’tazilah adalah salah satu golongan yang memahami Islam dengan lebih mengedepankan akal.

Kelima, karena pengaruh filsafat Yunani yang diterjemahkan. Golongan Mu’tazilah juga termasuk golongan yang terpengaruh filsafat Yunani ini. Pengaruh ini terlihat jelas pada fikrah (pemikiran) dan pemahaman golongan ini tentang Islam.

Syaikh Ghalib bin Ali Al-‘Iwaji mempertajam penyebab perpecahan umat Islam ini dengan menambahkan beberapa sebab, yakni ;
1. Adanya ulama yang berakidah menyimpang.
2. Kebodohan yang merajalela di antara kaum muslimin.
3. Tidak memiliki standar pemahaman yang benar.
4. Adanya ikhtilaf yang didasari hawa nafsu .
5. Rasa ashabiyah (fanatic golongan).
6. Adanya hasad (kedengkian) dalam hati.
7. Adanya kecenderungan untuk menumbuhsuburkan bid’ah dan hawa nafsu.
8. Sikap mempertuhankan akal dan menomorduakan naqi (dalil).

Ketika zaman Rasulullah SAW, umat Islam bersatu karena mereka senantiasa dibimbing oleh wahyu yang diterima Rasulullah SAW, sehingga dapat satu akidah, satu fikrah, dan satu jama’ah. Jika ada perselisihan atas suatu permasalahan, dapat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Hal ini dikuatkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam buku Miftahu Sa’adah yang ditulisnya. Dalam buku ini ia mengatakan; “Sesungguhnya para sahabat yang hidup pada zaman Nabi berada dalam satu akidah, karena mereka mendapati masa-masa turunnya wahyu. Mereka dimuliakan karena persahabatannya dengan Rasul, dan dihilangkan keraguan dan prasangka dari dada mereka.

Mulai terpecahnya umat Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dipicu oleh tindakan Khalifah yang mengangkat beberapa orang kerabatnya menjadi pejabat, termasuk menjadi gubernur. Tindakan ini dimanfaatkan Abdullah bin Saba’ yang diselundupkan bangsa Yahudi untuk memecah belah Islam, untuk menghasut kaum muslimin dengan mengatakan bahwa Utsman telah melakukan praktek kolusi, dan layak untuk dipermasalahkan. Sekelompok umat muslim, termasuk di dalamnya kelompok Qura’, termakan hasutan ini, dan melalui serangkaian campur tangan Abdullah bin Saba’, Utsman pun dibunuh. Inilah peristiwa berdarah pertama yang terjadi dalam sejarah Islam dimana kaum muslimin membunuh sesamanya.

Sepeninggal Utsman, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Kerabat, sahabat dan para pendukung Utsman meminta Ali agar segera menghukum para pembunuh Utsman, namun Ali mengabaikan karena ia ingin membenahi dahulu pemerintahannya sebelum menangani kasus pembunuhan tersebut.

Tak puas pada sikap Ali, pemberontakan pun terjadi dengan dimotori Siti Aisyah dan dibantu Zubair dan Thalhah. Maka pecah lah Perang Jamal. Pemberontakan ini berhasil diredam, namun muncul pemberontakan lain yang dimotori Gubernur Syam (Syria) Muawiyah bin Abu Sufyan yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pemberontakan terjadi karena Muawiyah juga menuntut Ali agar segera menghukum para pembunuh Utsman, sehingga karena merasa ditentang, Ali memecat Muawiyah. Sebelum perang meletus, Ali sebenarnya sempat mengutus Jarir bin Abdillah Al-Bajuli untuk berunding, namun gagal karena Muawiyah ngotot agar Ali segera menghukum para pembunuh Utsman, dan bahkan menuntut agar Ali meletakkan jabatan jika memang tak mampu memenuhi tuntutannya itu. Utusan lain yang kemudian dikirim, yakni Syabats bin Aibi Al-Yarbu’I At-Tamimi, Ali bin Hatim At-Tha’I, Yazid ibn Qais Al-Arhabi, dan Ziyad bin Khasafah At-Taimi At-Tamimi, juga pulang tanpa hasil.

Perang berkecamuk selama berhari-hari, dan ketika pasukan Ali nyaris meraih kemenangan, dalam keadaan terdesak Gubernur Mesir Amru bin Ash yang menjadi sekutu Muawiyah dalam peperangan itu, mengangkat Mushaf Al-Qur’an dengan tombak sebagai tanda mengajak berdamai. Ali dan komandan pasukannya, Malik Ibnu Asytar, menolak karena ajakan itu dinilai tak pantas mengingat Mushaf Al-Qur’an adalah benda suci yang harus diperlakukan dengan baik, namun sebagian anggota pasukannya, termasuk para tokoh kelompok Al-Qura’ yang menjadi mitra koalisi dalam perang tersebut, seperti Mis’ar bin Fadki At-Tamimi, Zaid bin Hushain Ath-Thai, mendesak agar tawaran damai diterima. Kelompok ini bahkan mengancam akan memperlakukan Ali seperti yang telah mereka lakukan terhadap Utsman.

Ali menerima tawaran damai dengan terpaksa dan berniat mengutus Abdullah bin Abbas atau Malik Al-Asytar untuk melakukan perundingan damai dengan kubu Muawiyah, namun kelompok Qura’ dan anggota pasukan yang menyetujui ajakan damai, meminta agar Abu Musa Al-Asy’ari saja yang dikirim. Ali pun mengalah. Perundingan yang berlangsung di Daumah Al-Jandal ini berlangsung alot karena belangsung hingga enam bulan, mulai dari bulan Shaffar hingga Ramadhan 37 H. Kubu Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash.

Setelah perundingan selesai, kelompok Al-Qura’ yang tak lepas dari intervensi Abdullah bin Saba’, berbalik sikap. Jika semula mereka yang mendorong terjadinya tahkim (perdamaian), kini mereka menentangnya dengan dalih bahwa tahkim tersebut salah karena Ali berada pada pihak yang benar, sehingga hukum Allah terkait dengan Perang Shiffin telah jelas. Mereka meneriakkan la hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), dan meminta Ali mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya, serta mengaku kalau ia telah kafir. Mereka bahkan mendesak agar tahkim dibatalkan. Ali tentu saja menolak semua tuntutan itu, karena jika ia membatalkan tahkim, berarti ia mengingkari janji, dan ia juga tak mungkin mengakui dirinya telah kafir karena ia tidak pernah berbuat musyrik.

Marah karena semua tuntutannya ditolak, berkat dorongan Abdullah bin Saba’, kelompok Al-Qura’ dan anggota pasukan Ali yang mendukung sikap kelompok ini, meninggalkan kamp Ali di Kufah dan pergi ke desa Harura yang berlokasi tak terlalu jauh dari Kufah. Orang-orang ini kemudian dikenal sebagai golongan Al-Haruriyah, sesuai dengan nama desa yang mereka tempati. Mereka juga kemudian membentuk sebuah organisasi dan mengangkat Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi sebagai pemimpinnya. Karena meninggalkan kubu Ali, kelompok ini kemudian dikenal dengan nama golongan Al-Khawarij, bentuk jamak dari Khariji (yang keluar). Ini lah firqah (golongan) sesat pertama dalam Islam. Ini dibenarkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dengan pernyataannya, bahwa “Ahlul Bid’ah yang pertama kali keluar dari Jama’ah Muslimin adalah Firqah Khawarij.”

Firqah Khawarij dianggap sesat karena memiliki pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Di antaranya adalah;
1. Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan membunuh, adalah kafir dan selamanya masuk neraka
2. Menghalalkan darah kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka
3. Mengkafirkan Ali dan para sahabat yang mendukungnya.

(bersambung)

Tidak ada komentar