Islam di Indonesia Mengandung Bid'ah dan Kemusyrikan (2)

Dalam menyebarkan Islam, para pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat ada yang bertindak sebagai mubaligh. Sayangnya, ketika mubligh yang sesungguhnya kemudian datang, pola dakwah yang diterapkan menggunakan pendekatan sosial budaya yang tidak menghilangkan budaya setempat, meski budaya itu tidak sesuai dengan ajaran Islam (akulturasi). Tak pelak, ajaran Islam di Indonesia pun tak sesuai yang dibawa Muhammad SAW karena disisipi ritual-ritual penyembahan kepada selain Allah.
Sejarah mencatat, hingga abad ke-13, perkambangan Islam di Indonesia belum signifikan karena masih terbatas di kalangan penduduk yang bermukim di  wilayah-wilayah pesisir yang berdekatan dengan bandar-bandar. Di wilayah-wilayah pedalaman dan yang jauh dari bandar, penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatera, menganut agama Hindu dan Buddha yang masuk lebih dahulu ke Indonesia karena dibawa oleh para pedagang dari India dan musafir dari Tiongkok penganut kedua agama tersebut. Bahkan pada abad ke-4, di Jawa Barat telah berdiri kerajaan bercorak Hindu-Buddha, yakni kerajaan Tarumanagara yang kemudian, setelah melalui berbagai pergolakan, menjadi Kerajaan Sunda yang runtuh pada abad ke-16.

Candi Muara Takus peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Selain kedua kerajaan tersebut, pada abad ke-7 Indonesia memiliki kerajaan berasaskan agama Buddha yang amat besar yang berdiri di Sumatera dan beribukota di Palembang. Namanya Sriwijaya. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang amat luas, hingga Jawa Tengah dan Kamboja. Kerajaan ini runtuh pada abad ke-14.
Di penghujung abad ke-13 atau menjelang keruntuhan Sriwijaya, tepatnya pada 1293 M, di Jawa Timur berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu yang kemudian dicatat sejarah termasuk salah satu kerajaan terbesar di Indonesia; Majapahit, dengan mahapatihnya yang amat terkenal; Gajahmada. Wilayah kekuasaan kerajaan ini lebih luas lagi, karena mencakup sebagian besar wilayah Nusantara dan hampir seluruh wilayah di Semenanjung Melayu. Majapahit runtuh pada awal abad ke-16 atau pada 1500 M.  

Tokoh penyebar agama Hindu yang paling terkenal adalah Maha Resi Agastya yang di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana. Sedang penyebar agama Buddha di Indonesia adalah para musafir Buddha Pahiyen.

Penyebaran Islam di Indonesia mulai meluas setelah Sultan Mehmed I Celebi, salah seorang sultan dalam Kekaisaran Ottoman di Turki, menaruh perhatian pada penyebaran Islam di Indonesia. Sultan yang berkuasa pada 1431-1421 M ini pernah bercakap-cakap dengan para pedagang dari Gujarat yang singgah di negerinya, tentang penyebaran islam di negeri kepulauan ini. Dari para pedagang tersebut, Sultan mengetahui bahwa di Pulau Jawa telah ada penduduk yang beragam Islam, namun di pulau ini berkuasa dua kerajaan berasaskan agama Hindu dan Buddha, yakni  Majapahit dan Pajajaran, sehingga Islam hanya menyebar di kalangan keluarga pedagang dari Gujarat, Arab dan Persia yang menikahi penduduk pribumi, dan penduduk yang tinggal di sekitar pelabuhan-pelabuhan.

Mehmed I Celebi
Informasi para pedagang dari Gujarat ini menggugah Mehmed untuk berbuat sesuatu demi syiar Islam. Ia lalu mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta agar para ulama di kedua kawasan itu yang mempunyai karomah, dikirim ke Pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama sesuai yang diminta Mehmed, yang menjadi cikal bakal munculnya istilah atau sebutan Walisongo atau Walisanga di kalangan masyarakat Jawa.
Seperti tersirat dari artikel Wikipedia yang mengutip tulisan KH. Mohammad Dahlan dalam buku Haul Sunan Ampel Ke-555, sebutan atau pemahaman penduduk Pulau Jawa tentang Walisongo atau Walisanga sebenarnya keliru alias salah kaprah, karena yang disebut Walisongo atau Walisanga sebenarnya sebuah majelis dakwah yang terdiri dari beberapa angkatan. Para tokoh yang masuk dalam sebutan Walisongo pun sebenarnya tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun mempunyai ikatan kekeluargaan karena sedarah atau karena ikatan yang timbul akibat pernikahan, serta karena hubungan guru-murid. Maka, bila ada seorang anggota majelis yang wafat, posisinya digantikan oleh tokoh yang lain.
Angkatan pertama "Walisongo" berangkat ke Pulau Jawa pada 808 Hijrah atau 1404 Masehi. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim dari Turki. Dia seorang ahli mengatur negara. Dialah yang kita kenal dengan sebutan atau Sunan Gresik. Wilayah dakwahnya di Jawa bagian timur, dan wafat di Gresik pada 1419 M. Makamnya terletak 1 km dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
2. Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai, ulama ini pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
3. Syekh Jumadil Qubro dari Mesir. Dia berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Dia dimakamkan di Troloyo, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi dari Maroko. Dia juga berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Dia wafat pada 1465 M dan dimakamkan di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana Malik Isroil dari Turki, Dia ahli mengatur negara. Dia wafat pada 1435 M dan dimakamkan di Gunung Santri.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar dari Persia, Iran. Ulama ini ahli di bidang pengobatan, dan wafat pada 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7. Maulana Hasanuddin Palestina. Ulama ini berdakwah dengan berkeliling di beberapa daerah di Pulau Jawa, dan wafat pada 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
8. Maulana Alayuddin dari Palestina. Ulama ini juga berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa, dan wafat pada 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
9. Syekh Subakir dari Persia. Ulama ini ahli menumbali (metode rukyah) lahan angker yang dihuni jin-jin jahat yang gemar menyesatkan manusia. Setelah para jin menyingkir, di lahan tersebut didirikan pesantren. Dia kembali ke Persia pada 1452 M setelah "membersihkan" banyak lahan di Pulau Jawa dan mendirikan pesantren. Ulama ini wafat di negerinya. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir menetap di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Di rumah sahabat/muridnya itu hingga kini dikabarkan masih tersimpan sajadah yang terbuat dari batu kuno milik sang Syekh.
Walisongo yang dikenal masyarakat Pulau Jawa
Angkatan kedua "Walisongo" berangkat ke Pulau Jawa pada 1420-an. Untuk angkatan ini, yang berangkat hanya tiga ulama dengan tujuan menggantikan tiga ulama yang dikirimkan pada angkatan pertama, karena telah wafat. Ketiganya adalah Raden Ahmad Ali Rahmatullah yang kemudian kita kenal dengan sebutan Sunan Ampel. Ulama dari Champa, Muangthai (Thailand) Selatan ini menjejakkan kaki di Pulau Jawa pada 1421 M. Dia menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada 1419 M.
Yang kedua Sayyid Ja’far Shodiq dari Palestina. Ia menjejakkan kaki di Pulau Jawa pada 1436 M untuk menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada 1435 M. Ulama ini tinggal di Kudus, dan kemudian kita kenal dengan nama Sunan Kudus.
Yang terakhir atau yang ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau yang kita kenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Dia dari Palestina dan tiba di Pulau Jawa pada 1436 M. Dia dikirim untuk menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat pada 1435 M.

Enam "Walisongo" dari angkatan pertama dan 3 "Walisongo" angkatan kedua yang dikirim ke Tanah Jawa untuk menggantikan 3 "Walisongo" angkatan pertama yang meninggal, kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur; Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah; Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Alayuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini, maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

Hingga di sini, dari 12 ulama yang dikirim Mehmed I Celebi, masyarakat Jawa baru memiliki 4 wali. Darimanakah yang 5 lagi? Jawabannya adalah dari tanah Jawa sendiri. Mereka masuk menjadi anggota Majelis Dakwah bentukan Mehmed pada 1463-an. Mereka adalah :

1. Putra Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Namanya Raden Paku. Dia lahir di Blambangan dan menjadi anggota Majelis Dakwah karena ayahnya, Syekh Maulana Ishak, pindah ke Kerejaan Samudra Pasai. Dia lah yang kita kenal dengan sebutan Sunan Giri karena tinggal di sebuah daerah yang bernama Giri. Makamnya berada di Gresik, Jawa Timur.

2. Raden Said, putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban, Jawa Timur. Dia menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan gurunya, Syekh Subakir, yang kembali ke Persia. Dia kita kenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

3. Raden Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Dia menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan gurunya, Maulana Hasanuddin, yang wafat pada 1462. Dia kita kenal dengan nama Sunan Bonang.
Pada 1462 dan 1466, Majelis Dakwah mengangkat dua anggota baru untuk menggantikan Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi yang meninggal dunia. Namun demikian, kedua ulama yang diangkat tersebut tidak masuk dalam daftar Walisongo yang difahami masyarakat Pulau Jawa. Mereka adalah :

1. Raden Patah, putra Raja Brawijaya dari Majapahit dan murid Sunan Ampel. Konon, pendiri Kerajaan Demak yang berkuasa pada 1500-1518 ini masih berdarah Tionghoa karena ibunya keturunan Negeri Tirai Bambu tersebut. Selain dikenal dengan nama Raden Patah, dia memiliki gelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun karena nama lain Raden Patah adalah Jin Bun.

2. Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati. Dia dipilih untuk menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.

Dua Walisongo yang dikenal masyarakat Jawa, yang melengkapi jumlahnya menjadi sembilan, adalah Raden Umar Said, putra Sunan Kalijaga diangkat menjadi anggota Majelis Dakwah karena ada lagi anggota majelis yang meninggal dunia, dan Raden Qasim yang bergelar Raden Syarifuddin, putra Sunan Ampel. Raden Umar Said kita kenal sebagai Sunan Muria, sedang Raden Qasim adalah Sunan Drajat. Sayangnya, Sang Pemburu Berita belum menemukan kapan kedua ulama ini diangkat menjadi anggota Majelis Dakwah, namun dari beberapa referensi yang diperoleh diketahui kalau Sunan Drajat berdakwah dan mendirikan pesantren di Desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Hingga kini, soal apa dan bagaimana sebenarnya Walisongo memang masih menjadi perdebatan. Untuk makna kata misalnya, ada sejarawan yang mengatakan bahwa Walisongo berarti wali yang berjumlah sembilan orang, sesuai jumlah wali yang dikenal masyarakat Pulau Jawa. Selain itu, songo atau sanga dalam bahasa Jawa, berarti sembilan.

Namun demikian, ada pula pakar yang mengatakan kalau songo/sanga berasal dari bahasa Arab, tsana, yang berarti mulia. Ini relevan dengan status Majelis Dakwah yang berisi orang-orang mulia (para ulama). Apalagi karena dalam Majelis Dakwah tersebut, yang memiliki gelar sunan bukan hanya para wali yang sembilan itu, tapi hampir semua ulama yang pernah masuk dalam Majelis Dakwah. Sebagai contoh, Maulana Ishak bergelar Sunan Wali Lanang, Maulana Ahmad Jumadil Kubro bergelar Sunan Kubrawi, dan Maulana Muhammad Al-Maghrabi bergelar Sunan Maghribi. Jadi, jika mengacu pada fakta yang sebenarnya, jumlah wali di Pulau Jawa sebenarnya bisa lebih dari 12 orang! (bersambung)

Tidak ada komentar