Al Hallaj Tokoh Sufi Yang Dibunuh Karena Ana Al Haq

Abad ke-3 Hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah Tasauf. Sebab pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari As-Saqathy, Al-Harits al Muhasibi, Ma’ruf al Karkhi, Abul Qasim al Junaid al Baghdadi, Sahl bin Abdullah at Tustari, Ibrahim al-Khawwas, Al Husain bin Mansur al Hallaj, Abu Bakr As Syibly dan ratusan tokoh Sufi yang lain. 

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.

Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al Haq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Masa kanak-kanak

Al Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.

Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al Hallaj.

Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr Al Makki dan juga Junaid.

Menjadi guru

Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. 

Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk pikuk duniawi.

Al Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. 

Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama  tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Di tengah pergolakan intelektual, falsafah, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul seorang ahli Sufi yang dianggap kontroversi di kalangan umum ketika itu. Bukan saja kaum Fuqaha (ahli syariat), malah sebahagian kaum Sufi pun ada yang menentangnya, Al Husain bin Mansur Al Hallaj yang mempunyai pengaruh dan meninggalkan kesan yang besar di dalam sejarah Tasauf Islam.

Al Hallaj adalah penduduk Baidha di Iran dan menempuhi alam dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As Sulamy, Al Hallaj pernah berguru pada Al Junaid al Baghdadi,  Abul Husain an Nuri, Amr al Makky, Abu Bakr al Fuwathy dan guru-guru yang lain.

Walaupun beliau ditolak oleh sebagian kecil kaum Sufi, namun dia diterima oleh banyak tokoh-tokoh besar Sufi besar seperti Abul Abbad bin Atha, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al Junaid Al Baghdadi dan Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ‘ahli hakikat’.   Bahkan, Muhammad bin Khafif menyatakan : “Al Husain bin Mansur adalah seorang alim Rabbani.”

Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al Haq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar : "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian,  seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."

Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaharuan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.

Tak pelak lagi, al Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al Hallaj, memandangnya sebagai Imam mahdi dan juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.

Pada akhirnya, keberpihakan al Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.

Al Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.  Akhirnya,  wazir khalifah, musuh bebuyutan al Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Pada akhir hayatnya, Al Hallaj dibunuh oleh pemerintah zalim ketika itu, berdekatan gerbang Ath Thaq,  pada hari Selasa di bulan Zulkaedah tahun 309H.

Pada perkembangannya, teori-teori Tasauf yang diungkapkan oleh Al Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Arabi, Al Jiily, Ibnu Athaillah As Sakandary, bahkan gurunya sendiri, Al Junaid memiliki ‘risalah’ (semacam surat-surat Sufi) yang sangat mirip dengan Al Hallaj. Sayang sekali risalah tersebut tidak diterbitkan secara meluas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj : “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al Hallaj”.

Pandangan Al Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha yang biasanya hanya membincangkan soal halal dan haram. Sementara beberapa golongan juga menilai kesalahan Al Hallaj, kerana ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal sehingga kini adalah “Ana al-Haq” yang berarti : “Akulah Kebenaran”.

Tentu sekali pandangan sedemikian menjadi heboh. Apalagi lagi jika ungkapan tersebut difahami secara sepintas lalu, atau bahkan tidak difahami sama sekali. Akibatnya, akan banyak yang mengkafirkan Al Hallaj, serta Ibnu Arabi, dengan tuduhan bahwa kedua-duanya mengamalkan "Wahdatul Wujud" atau "pantheisme".

Padahal, dalam seluruh pandangan Al Hallaj tidak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Tuhan). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatus Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan ZatNya dengan zat makhluk. Para pengkritik yang menentang Al Hallaj, menurut para tokoh Sufi, melihat hakikat hanya dari luar saja, sedangkan Al Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada umum, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada umum pula. Tentu jauh perbedaan kesimpulan yang dibuat oleh Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ mahupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Antara mereka ada yang terus mengkafirkannya, ada pula yang mendiamkan diri, namun tidak kurang pula yang langsung menerima dan menyokongnya.

Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya ‘Al Falsafatush Shufiyah fil Islam’, beliau mengatakan 3 kelompok utama tersebut adalah:

1. Mereka yang mengkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha (ahli syariat), dan kalangan mazhab Zahiriyah, seperti Ibnu Dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah, antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath Thusy dan al Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath Tharthusy, Iyyadh dan Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hambali antara lain Ibnu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan Al-Hallaj adalah Al Jubba’i dan Al Qazwiny (Mu’tazilah), Nashiruddin Ath Thusy dan pengikutnya (Imamiyah),  Al Baqillany (Asy’ariyah),  Ibnu Kamal dan Al Qaaly (Maturidiyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Amr Al Makky dan kalangan Salaf, di antaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad Ar Rifai’y dan Abdul Karim Al Jily, keduanya tidak banyak memberikan  komentar.

2. Mereka yang mendukung pandangan Al Hallaj, dari kalangan Fuqaha (ahli syariat) antara lain adalah : At Tusytari dan Al Amily (Imamiyah),  Ad Dilnajawy (Malikiyah), Ibnu Maqil dan an Nabulisy (Hambaliyah), Al Maqdisy, Al Yafi’y, Asy Sya’rany dan Al Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazali dan Ar-Razi (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filosuf pula, pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain as-Suhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’illah, As-Sulamy dan Al-Kalabadzy.

3. Kelompok yang berdiam diri dari kalangan Fuqaha (ahli syariat)  antara lain adalah Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuti (Syafi’iyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Al Hushry, Al Hujwiry, Abu Sa’id al Harawy, Al Jilany, Al Baqly, Al Aththar, Ibnu Arabi, Jalaluddin ar Rumi, Ahmad Ar Rifa’y, dan Al Jiily.

Kontroversi Al Hallaj, sebenarnya terletak dari sebahagian ungkapan-ungkapan beliau yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak mampu difahami, khususnya oleh para Fuqaha (ahli syariat). Sehingga Al Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus dibunuh. Padahal Al Hallaj sebenarnya berbicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih mendalam.

Tuduhan bahawa Al Hallaj mengamalkan Wahdatul Wujud juga adalah karena banyak yang tidak memahami puncak-puncak rohani Al Hallaj sebagaimana yang dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasauf yang mirip dengan Al Hallaj. Dan Al Hallaj tidak pernah mengaku bahawa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Al-Hallaj sentiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al Hallaj adalah situasi di mana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Al Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al Fana’, Fana’ul Fana’ dan al Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al Hallaj juga tidak pernah mengajak orang banyak untuk melakukan tindakan ‘Hulul’, sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah.

Sejarawan Al Baghdadi mengisahkan tragedi kematiannya : Ketika mereka hendak membunuh Al Husain bin Mansur Al Hallaj, para Fuqaha  dan Ulama dihadirkan, sementara Al Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga hadir di sebelah barat, tepatnya pada hari Selasa, bulan Zulkaedah minggu kedua, tahun 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
 
“Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada umum dalam sangkar besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al Hallaj mendekati saat-saat hukuman, ia membisikkan kata-kata: Wahai yang menolong kefanaan padaku… Tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakiti-Mu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam diri-Mu… Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagi-Nya”.

Sebelum meninggal dunia dengan hukuman itu, Al Hallaj mengalami hidup dari satu kurungan ke kurungan yang lain, akibat kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tergugat oleh pengaruh Al Hallaj yang semakin meluas. Boleh jadi penguasa akan terpengaruh pula oleh bahaya pengaruh Al Hallaj. Kalaupun Al Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah kerana ia adalah di luar kemampuannya. Namun, Al Hallaj adalah seorang yang sangat patuh mengamalkan Syariat, yang digambarkan, sebagai seorang yang hafiz Al Quran, tekun solat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitan sama ada beliau salah atau benar.

Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasauf. Mereka akan memahami Al Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al Hallaj. Sesiapa pun tidak akan mampu memahami Al Hallaj jika tidak pernah memahami, menghayati dan mengamalkan amalan ahli-ahli Sufi.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif yang boleh dijadikan renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari apa yang ditempuhi oleh Al Hallaj: Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah mampu berbicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah timbul dari tenggelam, dan sedar, baru ia berbicara tentang kisah rahsia tenggelam tadi. Ketika ia berbicara tentang tenggelam itu, kedudukannya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.”

“Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalahfahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahfahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”

Di antara ungkapan-ungkapan Al Hallaj:

1. “Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.”

2. “Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, kerana itu bersyukurlah pada DiriMu bukan dariku, kerana itulah sesungguhnya Syukur, bukan yang lain.”

3. “Siapa yang mengandalkan amalnya, ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.”

4. “Asma-asma Allah Taala dari segi pemahaman adalah Nama sahaja, tapi dari segi kebenaran adalah Hakikat.”

5. “Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak berlawanan.”

6. Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”

7. “Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lain.

8. “Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertutupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, kerana kemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.”

9. “Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.”

10. “Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.”

11. “Sesungguhnya Allah Taala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Zat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula ditemukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak mampu tercetus dalam imaginasi, tidak pula mampu dilihat pandangan, tidak mampu darusi kesenjangan.”

12. “Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan ZatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.”

13. Ketika ditanya tentang Tauhid, ia menjawab: “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid.”




Tidak ada komentar