Para Saksi Kematian Mirza Ghulam Ahmad

Mirza Ghulam Ahmad mati karena kolera pada 26 Mei 1908 atau 13 bulan 11 hari dari penandatanganan surat mubahalahnya dengan Syaikh Abul Wafa tertanggal 15 April 1907. Siapakah orangnya yang menjadi saksi kematian Mirza Ghulam Ahmad itu?

Para pengikut Mirza Ghulam Ahmad meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad mati dengan penuh ketenangan dan di akhir hayatnya, dia mengucapkan kalimat sebagai berikut :

ÙŠَا Ø­َبِÙŠْبِÙŠْ، ÙŠَا Ø­َبِÙŠْبِÙŠْ، ÙŠَا اللهُ، ÙŠَا Ø­َبِÙŠْبِÙŠْ، َا اللهُ، ÙŠَا Ø­َبِÙŠْبِÙŠْ.

“Wahai kekasihku, wahai kekasihku, wahai Allah, wahai kekasihku, wahai Allah, wahai kekasihku,”

Akan tetapi, marilah kita lihat, sejauh mana kejujuran mereka (para pengikut Mirza Ghulam Ahmad) dalam pengakuan mereka ini. Mari kita bandingkan dengan pengakuan orang-orang dekat Mirza Ghulam Ahmad yang menyaksikan detik-detik terakhirnya.

1. Saksi Pertama ; Mira Nashir Nuwab, pengikut Mirza Ghulam Ahmad, yang merupakan mertuanya. Dia telah menulis sebuah buku yang berjudul, ”Hayat Nashir; Kehidupan Nashir” yang menceritakan tentang detik-detik terakhir kehidupan Mirza Ghulam Ahmad, menantunya. Dia telah menulis di halaman 14 dari bukunya sebagai berikut, ”Sampai pada saat Mirza Ghulam Ahmad dibawa ke Lahore, yang merupakan tempat di mana dia menuju akhirat, sampai detik itu, aku terus menemaninya. Pada malam harinya di mana Mirza Ghulam Ahmad mengeluh sakit, pada saat itu aku telah pergi dari tempatku (menemani Mirza Ghulam Ahmad) dan pergi ke kamar untuk tidur. Kemudian aku terbangun pada saat Mirza Ghulam Ahmad mengerang kesakitan. Ketika aku tiba di hadapannya, aku pun bisa melihat keadaannya. Pada saat itu, dia berkata kepadaku, ”Tuan Mira, aku terserang wabah kolera!” Setelah Mirza Ghulam Ahmad mengatakan hal itu, aku tidak bisa mengerti lagi apa yang dia katakan. Keadaannya terus seperti ini sampai pukul 10 pagi besok harinya di mana dia meninggal dunia.”

2. Saksi Kedua ; Mirza Basyir Ahmad, anak Mirza Ghulam Ahmad yang telah menerangkan keadaan bapaknya, Mirza Ghulam Ahmad di dalam kitabnya, Siratul Mahdi, jilid 1, hal. 9 sampai hal. 11. Inilah petikannya, ”Mirza Basyir Ahmad menceritakan bahwa sampai tanggal 25 Mei 1908, keadaan Mirza Ghulam Ahmad terlihat baik-baik saja, maksudnya di hari Senin sore. Pada malam harinya, setelah shalat Isya, aku (Mirza Basyir Ahmad) pulang ke rumah dan aku lihat bapakku (Mirza Ghulam Ahmad) sedang duduk di kursi bersama ibunda saya tercinta, keduanya sedang makan malam. Terus aku pun pergi ke kamar untuk tidur. Tetapi di akhir malam, sebelum subuh, aku terbangun. Aku terbangun dengan sendirinya karena mendengar suara derap kaki orang-orang dan suara gaduh mereka di sekitarku. Kemudian aku melihat bapakku sedang sakit parah; terserang wabah kolera. Keadaannya terlihat gelisah dan para dokter dan orang-orang yang hadir di sekelilingnya, disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatu di semua penjuru ranjangnya. Akan tetapi, keadaannya tetap gelisah sampai terbit fajar (Subuh). Ketika fajar Subuh telah menyingsing, bapakku bertanya, ’Apakah waktu Subuh telah tiba?’ Kemudian bapakku bertayamum sambil berbaring di atas kasurnya, kemudian shalat Subuh. Akan tetapi, baru beberapa saat, bapakku jatuh pingsan, sehingga tidak bisa menyelesaikan shalatnya. Setelah siuman, bapakku bertanya kembali, ’Apakah waktu shalat Subuh telah tiba?’ Maka orang-orang pun menjawab bahwa waktu shalat Subuh telah tiba. Kemudian bapakku berniat shalat kembali. Akan tetapi, aku tidak tahu, apakah bapakku bisa menuntaskan shalatnya, ataukah tidak. Pada saat itu, keadaanya semakin parah. Pada pukul 8:00 atau 8:30 pagi, dokter menanyakan rasa sakit yang sedang dirasakan bapakku. Akan tetapi, bapakku tidak kuasa untuk menjawabnya. Akhirnya, bapakku diberi sehelai kertas dan balpoin. Bapakku berusaha untuk menuliskan sesuatu dan berusaha untuk bangun dari kasurnya. Bapakku bertelekan dengan tangan kirinya, akan tetapi bapakku tidak kuasa untuk menulis sesuatu, walau hanya dua atau empat kata sampai balpoinnya terpeleset di atas kertas tersebut karena rasa lemah yang sangat yang sedang menderanya. Kemudian bapakku kembali berbaring di atas kasurnya. Pada pukul 09:00 pagi, keadaan bapakku bertambah parah, terlihat sedang sakaratul maut. Tetapi, sakaratul maut bapakku ini tidak mengeluarkan suara, hanya nafas bapakku seperti tertahan, kemudian berhembus. Pada saat itu, aku berada di ranjang bagian atas (dekat kepala). Pada saat itu, dokter Muhammad Husein Syah Al-Lahore telah memberinya obat. Akan tetapi, keadaan bapakku tetap tidak membaik. Kemudian bapakku kembali sakaratul maut dan nafasnya yang terputus-putus terasa lama, sampai akhirnya bapakku menghembuskan nafasnya yang terakhir dan bertemu dengan Allah.”

3. Saksi Ketiga ; Nushrat Jihan, isteri Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Basyir Ahmad menambahkan di dalam kitabnya, Siratul Mahdi jilid 1 hal. 11 sebagai berikut, ”Ketika isteri Mirza Ghulam Ahmad menggambarkan detik-detik terakhir dari kehidupan Mirza Ghulam Ahmad (MGA), maka istri Mirza berkata tentang toilet darurat yang disiapkannya untuk Mirza di samping tempat tidur kematiannya, di mana Nushrat Jihan (isteri MGA) berkata sebagai berikut, ”Sejenak kemudian, Mirza Ghulam Ahmad terserang lagi kolera. Tapi kali ini, badannya sangat lemah, sehingga ia tidak kuat untuk pergi ke WC. Maka aku (Nushrat Jihan) berdiri di dekat ranjangnya, di mana ia (MGA) berjongkok di sana untuk buang air besar (di toilet darurat). Lalu dia pun bangkit dan berbaring (kembali) di atas ranjangnya, dan kemudian aku memijati kakinya. Tetapi, badannya sangat lemah. Sejurus kemudian, MGA terkena serangan kolera lagi (rasa mulas yang menyakitkan), dan kemudian muntah. Setelah dia (MGA) selesai dari muntahnya, dia mencoba untuk berbaring kembali. Tetapi, karena badannya sudah lemah, dan kelemahan kali ini sangat-sangat lemah, sehingga kedua tangannya tidak kuat lagi (berpegangan), maka MGA pun terjengkang ke belakang dan kepalanya membentur kayu ranjangnya,’ ” (Siratul Mahdi, jilid 1, hal. 11).

Allah Azab Mirza, Mati Di WC kena Kolera

Ajaran Ahmadiyah banyak mendapat penentangan dari para ulama di India. Di antara ulama yang terdepan menentangnya adalah Asy-Syaikh Tsana`ullah Al-Amru Tasri. Karena geram, Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan pernyataan pada tanggal 15 April 1907 yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Tsana`ullah. Namun anehnya tantangan mubahalah ini justru dialami oleh Ghulam ahmad sendiri.

Di antara bunyinya: “…Engkau selalu menyebutku di majalahmu (‘Ahlu Hadits’) ini sebagai orang terlaknat, pendusta, pembohong, perusak… Maka aku banyak tersakiti olehmu… Maka aku berdoa, jika aku memang pendusta dan pembohong sebagaimana engkau sebutkan tentang aku di majalahmu, maka aku akan binasa di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.

Aku umumkan bahwa jika engkau tidak mati semasa aku hidup dengan hukuman Allah yang tidak terjadi kecuali benar-benar dari Allah seperti mati dengan sakit tha’un, atau kolera berarti AKU BUKAN RASUL DARI ALLAH…

Aku berdoa kepada Allah, wahai penolongku Yang Maha Melihat, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, Yang mengetahui rahasia qalbu, bila aku ini adalah pendusta dan perusak dalam pandangan-Mu dan aku berdusta atas diri-Mu malam dan siang hari, ya Allah, maka matikan aku di masa hidup Ustadz Tsana`ullah. Bahagiakan jamaahnya dengan kematianku –Amin–.

Wahai Allah, jika aku benar dan Tsana`ullah di atas kesalahan serta berdusta dalam tuduhannya terhadapku, maka matikan dia di masa hidupku dengan penyakit-penyakit yang membinasakan seperti tha’un dan kolera atau penyakit-penyakit selainnya…. Akhirnya, aku berharap dari Ustadz Tsana`ullah untuk menyebarkan pernyataan ini di majalahnya. Kemudian berilah catatan kaki sekehendaknya. Keputusannya sekarang di tangan Allah.

Penulis, hamba Allah Ash-Shamad, Ghulam Ahmad, Al-Masih Al-Mau’ud. Semoga Allah memberinya afiat dan bantuan. (Tabligh Risalat juz 10 hal. 120)

imageApa yang terjadi? Setelah berlalu 13 bulan 10 hari dari waktu itu, justru Ghulam Ahmad yang diserang ajal. Doanya menimpa dirinya sendiri.

Putranya Basyir Ahmad menceritakan: Ibuku mengabarkan kepadaku bahwa Hadrat (Ghulam Ahmad) butuh ke WC langsung setelah makan, lalu tidur sejenak. Setelah itu butuh ke WC lagi. Maka dia pergi ke sana 2 atau 3 kali tanpa memberitahu aku. Kemudian dia bangunkan aku, maka aku melihatnya lemah sekali dan tidak mampu untuk pergi ke ranjangnya. Oleh karenanya, dia duduk di tempat tidurku. Mulailah aku mengusapnya dan memijatnya. Tak lama kemudian, ia butuh ke WC lagi. Tetapi sekarang ia tidak dapat pergi ke WC, karena itu dia buang hajat di sisi tempat tidur dan ia berbaring sejenak setelah buang hajat. Kelemahan sudah mencapai puncaknya, tapi masih saja hendak buang air besar. Diapun buang hajatnya, lalu dia muntah. Setelah muntah, dia terlentang di atas punggungnya, dan kepalanya menimpa kayu dipan, maka berubahlah keadaannya.” (Siratul Mahdi hal. 109 karya Basyir Ahmad)

Mertuanya juga menerangkan: “Malam ketika sakitnya Hadhrat (Ghulam Ahmad), aku tidur di kamarku. Ketika sakitnya semakin parah, mereka membangunkan aku dan aku melihat rasa sakit yang dia derita. Dia katakan kepadaku, ‘Aku terkena kolera.’ Kemudian tidak bicara lagi setelah itu dengan kata yang jelas, sampai mati pada hari berikutnya setelah jam 10 pagi.” (Hayat Nashir Rahim Ghulam Al-Qadiyani hal. 14)
Pada akhirnya dia mati tanggal 26 Mei 1908.

Sementara Asy-Syaikh Tsana`ullah tetap hidup setelah kematiannya selama hampir 40 tahun. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala singkap tabir kepalsuannya dengan akhir kehidupan yang menghinakan, sebagaimana dia sendiri memohonkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kini siapa yang sadar dan bertobat setelah tersingkap kedustaannya?

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar