Tadzkirah Pedoman Ahmadiyah Atau Bukan?

Di dalam sebuah buku yang berjudul “Bukan Sekedar Hitam Putih Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah,” oleh M.A. Suryaman,  penulis menyantumkan kata sambutan dari Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia H. Abdul Basit dan diberi kata pengantar oleh M. Dawam Rahardjo dengan judul, Gerakan Ahmadiyah Dalam Krisis, penulis di halaman 61 mencantumkan sebuah judul tulisannya dengan judul, “Masalah Pembajakan Al-Qur’an dan Kitab Tadzkirah,” mengatakan, “Tuduhan bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melakukan pembajakan Al-Qur’an adalah sebuah tuduhan yang mengada-ada dan jelas tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan itu didasarkan pada perkataan bahwa orang Ahmadiyah mempunyai kitab suci sendiri yang bernama Tadzkirah. Tidak diragukan lagi bagi Jemaat Ahmadiyah bahwa tidak ada kitab suci lain kecuali Al-Qur’an, dan nama Tadzkirah yang disebut-sebut sebagai kitab suci baru muncul sekitar tahun 1992 ketika salah seorang penulis buku yang terbit di Indonesia yaitu M. Amin Djamaluddin mengarang buku berjudul “Ahmadiyah & Pembajakan Al-Qur’an. Jadi, istilah kitab suci yang melekat pada buku Tadzkirah memang diciptakan oleh M. Amin Djamaluddin, bukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Di dalam literatur-literatur Ahmadiyah apa pun, sejak masa hidup Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. (1835-1908) sampai dengan hari ini, tidak pernah ditemukan istilah kitab suci untuk Tadzkirah.” (silahkan baca buku karangan M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah & Pembajakan Al Qur’an, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002).

Jawaban :
Aneh memang. Apakah penulis (M.A. Suryaman) belum pernah membaca kitab Tadzkirah? Di dalamnya dengan jelas tercantum tulisan,

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله محمد وآله وأصحابه أجمعين
تذكرة
يعني
وحي مقدس
رؤيا وكشوف حضرة مسيح موعود عليه الصلاة والسلام

“Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillah rabbil alamin wash shalatu was salamu ‘ala rasulihi muhammadin wa alihi wa ashhabihi ajmain, tadzkirah ya’ni wahyun muqaddasun, ru’ya wa kusyuf hadhrat masih mau’ud alaihish shalatu was salam.”

Artinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam atas utusan-Nya Muhammad, keluarga dan para sahabat semuanya. TADZKIRAH, yaitu wahyu yang suci, berisi mimpi-mimpi dan kusyuf (vision) Hadhrat Masih Mau’ud alaihis salam.”
Kalau bukan kitab suci, mengapa dituliskan kalimat, “wahyun muqaddasun?” yang artinya, “wahyu yang suci?” Ucapan penulis benar-benar racun yang terlihat seperti susu. Saya khawatir, saudara-saudara saya yang awam akan masuk ke dalam aliran sesat Ahmadiyah karena ucapan penulis buku ini. Padahal si penulis Tadzkirah saja, yaitu Mirza Ghulam Ahmad telah jelas-jelas mencantumkan wahyu palsunya di dalam bukunya itu yang berbunyi,

إنا أنزلناه قريبا من القاديان وبالحق أنزلناه وبالحق نزل صدق الله ورسوله
وكان أمر الله مفعولا

“Sesungguhnya Kami (Allah SWT) telah menurunkannya (Tadzkirah) dekat di Qadiyan. Dengan haqlah Kami menurunkannya dan dengan haq pula Tadzkirah turun. Maha Benar Allah dan Rasul-Nya dan urusan Allah itu pasti akan terjadi.”(Tadzkirah, cet. Tahun 1956 hal. 76, 369, 377 dan 637).

Mirza Ghulam Ahmad meniru gaya bahasa Al-Qur`an untuk Tadzkirahnya. Tujuannya agar susunannya mirip dengan Al-Qur`an dan gaya bahasa ayat Tadzkirah ini jelas-jelas meniru dan membajak Al-Qur`an. Eh….sekarang ada pengikutnya yang tidak mengakui kitab Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah dan justru mengaku-aku bahwa Al Qur'an tetap sebagai kitab suci jemaat Ahmadiyah. Lha Sembilan wali aja yang lebih dulu ada dari Mirza Ghulam Ahmad nggak pernah ngaku sebagai Nabi, emang sih ada yang ada juga sih yang melenceng seperti Syekh Siti Jenar dengan pahamnya yang kontroversial yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti (ruh Tuhan manjing dalam tubuh manusia)

Kalau begitu, untuk apa si Nabi Palsu membuat Tadzkirah kalau bukan untuk dijadikan sebagai pedoman para pengikutnya? Kalau mengaku Al-Qur`an sebagai kitab suci, seharusnya seluruh jemaat Ahmadiyah bertaubat dan tinggalkan jauh-jauh ajaran sesat Ahmadiyah. Karena Al-Qur`an hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan bukan kepada Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi atau utusan Allah SWT. Matinya saja di dalam WC karena kutukan dari Allah SWT, setelah dia mengajak bermubahalah dengan seorang ulama India yang bernama Syaikh Abul Wafa.

Tidak ada komentar