Misteri Invasi Bashrah di Akhir Zaman

Situasi memanas setelah Iraq, Palestina dan Iran sekarang. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti akan terjadi penyerbuan bangsa Qanthura’ terhadap Bashrah, sebuah negeri kaum muslimin yang berada di tepi sungai Dajlah.



Dari Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah telah bersabda :

يَنْزِلُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي بِغَائِطٍ يُسَمُّونَهُ الْبَصْرَةَ عِنْدَ نَهْرٍ يُقَالُ لَهُ دِجْلَةُ يَكُونُ عَلَيْهِ جِسْرٌ يَكْثُرُ أَهْلُهَا وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُهَاجِرِينَ قَالَ ابْنُ يَحْيَى قَالَ أَبُو مَعْمَرٍ وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ. فَإِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ جَاءَ بَنُو قَنْطُورَاءَ عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْأَعْيُنِ حَتَّى يَنْزِلُوا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ فَيَتَفَرَّقُ أَهْلُهَا ثَلَاثَ فِرَقٍ فِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَالْبَرِّيَّةِ وَهَلَكُوا وَفِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ لِأَنْفُسِهِمْ وَكَفَرُوا وَفِرْقَةٌ يَجْعَلُونَ ذَرَارِيَّهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ وَيُقَاتِلُونَهُمْ وَهُمْ الشُّهَدَاءُ

“Akan ada segolongan kaum dari umatku yang menetap di sebuah daerah yang mereka namakan Bashrah, di sisi sebuah sungai yang disebut Dijlah (Dajlah), dan di atas sungai itu ada sebuah jembatan. Penduduk daerah itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah. [Perawi Muhammad ibnu Yahya berkata: Abu Ma’mar meriwayatkan dengan mengatakan: negeri-negeri kaum muslimin].

Kelak di akhir zaman Bani Qanthura’ yang berwajah lebar dan bermata sipit akan datang menyerbu, sehingga mereka mencapai tepian sungai Dajlah. Pada saat itulah penduduk daerah itu akan terpecah menjadi tiga kelompok. Satu kelompok mengikuti ekor sapi (menuntun binatang mereka) dan menyelamatkan diri ke pedalaman, Mereka akan binasa. Satu kelompok lainnya memilih menyelamatkan dirinya dengan jalan memilih kekafiran. Adapun kelompok terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan bertempur melawan musuh. Mereka itulah orang-orang yang akan mati syahid.”[1]

Dalam lafal yang lain diterangkan bahwa sisa-sisa kelompok umat Islam yang berperang ini akan mampu mengalahkan Bani Qanthura’:

فَيَتَفَرَّقُ الْمُسْلِمُونَ ثَلَاثَ فِرَقٍ فَأَمَّا فِرْقَةٌ فَيَأْخُذُونَ بِأَذْنَابِ الْإِبِلِ وَتَلْحَقُ بِالْبَادِيَةِ وَهَلَكَتْ وَأَمَّا فِرْقَةٌ فَتَأْخُذُ عَلَى أَنْفُسِهَا فَكَفَرَتْ فَهَذِهِ وَتِلْكَ سَوَاءٌ وَأَمَّا فِرْقَةٌ فَيَجْعَلُونَ عِيَالَهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ وَيُقَاتِلُونَ فَقَتْلَاهُمْ شُهَدَاءُ وَيَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى بَقِيَّتِهَا.

“Adapun satu kelompok yang terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan mereka maju berperang menyongsong musuh. Orang-orang yang terbunuh di antara mereka adalah orang-orang yang mati syahid, dan Allah akan melimpahkan kemenangan kepada mereka melalui orang-orang yang tersisa.”[2]

Bashrah, daerah di pantai Teluk Persia; terletak di sebelah selatan pertemuan Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Saat ini, kota Bashrah masuk di kawasan negara Irak. Kota ini dibangun di zaman Umar bin Khattab, tahun 14 H. Kota ini didesain oleh Utbah bin Ghazwan Al-Mazini, bangunannya dan tata letak kotanya. Beliau menjadikan Basrah sebagai markas untuk penaklukan kota Al-Ubulah, Maisan, Ahwaz, dan Persia.  Utbah bin Ghazwan Al-Mazini pernah berkhotbah dengan khtbah yang sangat terkenal, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Ada yang mengatakan bahwa di masa pemerintahan Uthbah bin Ghazwan, terdapat tujuh ribu masjid. Namun, banyak masjid yang tidak diaktifkan, sehingga kegiatan kaum muslimin banyak yang hanya dilakukan di Masjid Jami`. Di Bashrah juga terdapat sungai yang dikenal dengan nama “Sungai Al-Ubulah”, yang panjangnya 12 mil, dan ini merupakan jarak antara Bashrah dengan Ubulah. Di sebelah kanan dan kiri, terdapat kebun yang memanjang mengelilingi sungai tersebut.

Nabi menyebutkan daerah tersebut dengan nama Bashrah, mengingat di luar kota Baghdad tepatnya di dekat pintu gerbang masuk kota Baghdad terdapat sebuah tempat yang disebut Bab Bashrah, pintu gerbang Bashrah. Jadi Nabi menunjuk kota Baghdad dengan menyebutkan satu bagian darinya. Beliau menyebut nama Basrah, namun yang beliau maksudkan adalah Bab Bashrah, pintu gerbang Bashrah. Secara geografis, kota Bashrah terletak sekitar 545 km ke arah selatan dari Baghdad.  Kota ini dekat dengan pesisir pantai Teluk Arab. (Ar-Raudh Al-Mi’thar, no. 105)


Siapa Sebenarnya Bani Qanthura?

Hadits-hadits shahih yang menerangkan hal ini, antara lain adalah:
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah  bersabda,

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ التُّرْكَ قَوْمًا وُجُوهُهُمْ كَالْمَجَانِّ الْمُطْرَقَةِ يَلْبَسُونَ الشَّعَرَ وَيَمْشُونَ فِي الشَّعَرِ

“Kiamat tidak akan terjadi sehingga kaum muslimin berperang melawan bangsa Turk, yaitu sebuah kaum yang wajah mereka bagaikan perisai yang berlapis, mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu, dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu.”[3]

Hadits di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bani Qanthura adalah bangsa Turk. Imam al-Bukhari sendiri menempatkan hadits shahih ini dalam bab “Qital al-Turk”, perang melawan bangsa Turk. Begitu pula imam Ahmad, Abu Daud, Abu Bakr bin Syaibah, dan para ulama lain menempatkan hadits tentang Bani Qanthura’ di atas dalam kumpulan hadits yang membahas perang umat Islam melawan bangsa Turk. Salah seorang perawi dalam riwayat Ahmad, yaitu al-‘Awwam bin Hausyab dengan tegas menyimpulkan hal ini. Bangsa Turk yang dimaksudkan dalam hadits ini, wallahu a’lam bi-shawab.

Dalam menjelaskan tentang pasukan yang akan menyertai Dajjal, al Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa “Menurut lahirnya  wallahu a’lam  yang dimaksud dengan Tark itu adalah pembantu-pembantu Dajjal.”[4]. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari Abu Hurairah: “Tidaklah datang kiamat sehingga kamu memerangi bangsa Khauz dan Kirman dari orang-orang Ajam yang wajahnya merah, hidungnya pipih (pesek), ma­tanya sipit, wajahnya seperti tembaga, dan sepatunya beludru.“[5]. Penjelasan di atas menyebutkan bahwa kelak bangsa Turk atau bani Qanthura juga termasuk yang akan bergabung dengan pasukan Dajjal di akhir zaman. Ini semakin menguatkan bahwa Bani Qanthura atau bangsa Turk bukanlah penduduk Turki  yang mayoritas beragama Islam.

Jika mereka bukan penduduk negara yang hari ini dikenal dengan nama Republik Turki ini, lantas siapa gerangan bangsa Turk yang akan memerangi kaum muslimin di akhir zaman tersebut?

Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud menulis bahwa riwayat imam Muslim dengan lafal ‘mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu, dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu’ secara tegas menunjukkan bahwa pakaian mereka terbuat dari bulu, demikian pula halnya dengan alas kaki (sandal dan sepatu) mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnu Dihyah dan para ulama yang lain, model pakaian seperti ini disesuaikan dengan iklim lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka tinggal di daerah-daerah yang diselimuti oleh salju-salju yang sangat tebal.

Selain ciri-ciri fisik dan geografis sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits-hadits di atas, bangsa Turk adalah bangsa yang disatukan oleh bahasa induk yang sama, yaitu Bahasa Altaic. Bahasa Altaic adalah induk bahasa-bahasa yang dipergunakan di kawasan yang luas di Eurasia, sejak dari Turki di Barat sampai ke Laut Okhotsk di Timur. Mayoritas pakar bahasa menjelaskan bahwa rumpun bahasa Altaic terdiri dari tiga kelompok bahasa cabang; bahasa Turki, bahasa Mongolia, dan bahasa Tungusi. Sebagian pakar bahasa menyebutkan bahwa yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Altaic adalah bahasa Korea, bahasa Jepang, dan adakalanya bahasa Ainu, bahasa yang digunakan oleh sejumlah kecil masyarakat di Jepang bagian Utara.

Dari penjelasan ini, tentu tidak lagi mengejutkan kita apabila para ulama menyebutkan bahwa negeri yang didiami oleh bangsa Turk merupakan sebuah negeri yang sangat luas, dinisbahkan kepada nama bangsanya, negeri Turkistan. Wilayahnya membentang dari negeri Khurasan bagian Timur hingga negeri Cina bagian Barat, dan melintang dari daerah utara India hingga mencapai ujung dunia (kutub utara).[6]

Secara nash syar’i tidak ada dalil yang shahih yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan pendapat mana yang lebih benar. Pun secara sejarah sulit untuk membuktikan silsilah nasab sebuah bangsa besar yang telah berkembang, menyebar, dan mendiami sebuah kawasan bumi yang begitu luas, sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun sebelum masehi ini. Barangkali karena alasan ini pula, para pakar hadits dan sejarah sekaliber Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Atsir al-Jazri, Yaqut al-Yamawi, Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan lain-lain tidak menyebutkan pendapat mana yang lebih kuat.

Dari berbagai hadits shahih yang menyebutkan ciri-ciri fisik dan kondisi geografis negeri bangsa besar Turk ini, setidaknya para pakar hadits dan sejarah telah bisa meraba-raba suku bangsa dan negeri mana saja yang tergolong dalam keluarga besar bangsa dan negeri Turk. Sekali lagi, pendapat mereka adalah berdasar ijtihad dan hipotesa semata, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat sangatlah terbuka.

Kemenangan yang Sulit

Rasulullah sendiri menjelaskan bahwa Bashrah pada saat itu akan menjadi salah satu negeri tujuan hijrah kaum muslimin.

يَكْثُرُ أَهْلُهَا وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُهَاجِرِينَ – قَالَ أَبُو مَعْمَرٍ: وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ-

Penduduk negeri itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri kaum muhajirin [atau negeri-negeri kaum muslimin].

Ketika Mereka Terpecah menjadi Tiga Golongan

Saat menghadapi musuh yang sangat kuat dan melakukan serangan mendadak ini, umat Islam akan terpecah menjadi tiga golongan:

Pertama, golongan yang lebih mengutamakan keselamatan nyawa, keluarga, dan harta kekayaannya atas keselamatan agama. Mereka akan melarikan diri ke pedalaman dengan membawa seluruh harta kekayaan yang mampu mereka bawa, utamanya hewan ternak. Mereka justru akan menemui kebinasaan di daerah-daerah pedalaman.

Kedua, golongan hipokrit-munafik yang membelot kepada pihak yang berada di atas angin. Mereka adalah golongan yang menjalankan agama dengan perhitungan untung-rugi. Di satu sisi mereka melihat perjuangan membela Islam dan kaum muslimin akan membawa resiko bagi nyawa, harta, dan keluarga. Di sisi lain, bergabung dengan barisan bani Qanthura’ merupakan jalan pintas untuk meraih keselematan dan keuntungan. Mereka pun akhirnya menanggalkan keislaman mereka, memilih kekafiran, meminta jaminan keamanan kepada musuh, dan bergabung dalam barisannya.

Ketiga, golongan pejuang yang rela mempersembahkan harta dan nyawa mereka demi tegaknya panji Islam dan selamatnya anak keturunan kaum muslimin. Kedatangan musuh yang sangat tiba-tiba dengan kekuatan dahsyatnya, plus kabur dan murtadnya dua pertiga umat Islam tidak menyiutkan nyali mereka. Justru mereka meyakininya sebagai kebenaran janji Allah dan Rasul-Nya.

Mereka menempatkan seluruh anak-istri di belakang punggung mereka. Mereka bertempur dengan gigih berani, menahan laju gempuran pasukan bani Qanthura’. Di antara mereka akan banyak yang gugur sebagai syuhada’. Dengan izin Allah kaum muslimin yang tersisa akan mampu meraih kemenangan dan menghancurkan musuh.[7]

___________________
Catatan Kaki :
[1]. HR. Abu Daud: Kitab al-malahim bab fi al-Bashrah no. 3752, Ahmad, Musadad, Abu Daud al-Thayalisi, dan Ibnu Hiban. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dan sanadnya baik dalam Shahih Sunan Abi Daud, Misykat al-Mashabih: Kitab al-fitan no. 5432, dan Shahih al-Jami’ al-Shaghir no. 8107.
[2]. HR. Ahmad, Abu Daud al-Thayalisi, Ahmad bin Mani’, dan Abu Bakr bin Syaibah Al-hafizh al-Bushairi dalam Ittihaf al-Khairah al-Maharah bi-Zawaid al-Masanid al-‘Asyrah menyatakan para perawinya tsiqah.
[3]. HR. Bukhari: Kitab al-jihad wa al-siyar no. 2711, Muslim: Kitab al-fitan wa asyrath al-sa’ah no. 2912, dan Abu Daud: Kitab al-malahim no. 3749, dengan lafal Muslim.
[4] An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 117
[5] Shahih Bu­khari, Kitab Al-Manaqib, Bab ‘Alamatin Nubuwwah Fil Islam 6: 604
[6]. Lihat Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 10/393 dan Mu’jam al-Buldan 1/409-410.
[7]. Perpecahan umat Islam Bashrah menjadi tiga kelompok saat menghadapi serangan bani Qanthura’ di akhir zaman ini, juga digambarkan oleh Ibnu Taimiyah saat menerangkan kondisi kaum muslimin di Syam saat mendengar berita penyerbuan tentara Mongol ke Damaskus tahun 702 H. Dalam Majmu’ Fatawa, 28/416-417, beliau menuturkan, “Dalam menghadapi fitnah (penyerangan tentara Mongol) ini, masyarakat terpecah menjadi tiga golongan: Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapatkan kemenangan) yaitu kelompok yang berjihad melawan para penyerang yang berbuat kerusakan, Ath-Thaifah Al-Mukhalifah (kelompok musuh) yaitu kaum agresor dan ‘sampah-sampah’ kaum muslimin yang bergabung ke dalam barisan mereka, dan Ath-Thaifah Al-Mukhadzilah (kelompok yang melemahkan semangat) yaitu umat Islam yang hanya berpangku tangan dan enggan berjuang melawan musuh, sekalipun ke-Islaman mereka benar (tidak murtad dengan memihak musuh).” 

Tidak ada komentar