SUATU ketika dalam diskusi di kantor Institute
for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), DR. Adian
Husaini salah seorang cendekiawan muslim Indonesia menceritakan
lawatannya selama 22 hari di Inggris. Ia menjelaskan bagaimana geliat
perkembangan liberalisme dan keilmuan di Negeri Lady Diana tersebut.
Namun yang menarik adalah ketika beliau sampai pada pengalaman
bercengkarama dengan warga Yahudi dan Sinagog-sinagog yang ada disana.
DR. Adian menceritakan bagaimana orang
Yahudi begitu serius mengkaji pemikiran. Mereka rela menetap puluhan jam
di perpustakaan hanya untuk belajar ilmu pengetahuan. Mereka makan di
perpus, minum di perpus, dan mandi pun juga disana. Begitu kenang DR.
Adian.
Jika kita meneliti lebih jauh,
sebenarnya kecintaan Yahudi terhadap ilmu menjadi wajar untuk mereka
lakukan. Fakta bahwa Yahudi adalah bangsa minoritas - dan memiliki
sejarah tertindas - membuat mereka tidak berbuat banyak selain
mempertahankan diri mereka. Mulai dari memperbanyak keturunan, bergerak
dalam bidang ekonomi, sampai pada satu tahapan melemahkan pemikiran
kelompok-kelompok di sekitar mereka. Namun cara itu tidak akan dapat
dilakukan tanpa proses internalisasi ajaran Yahudi betul-betul menyatu
terhadap generasi mereka.
Proses internalisasi itu setidaknya
dimulai dari bagaimana mereka mempelajari kitab-kitab Yahudi seperti
taurat, talmud, mishnah, siddur, dan lain sebagainya. Tiap
hari-khususnya hari sabtu- mereka disibukkan dengan mendaras teks-teks
Yahudi. Pendidikan ini biasanya dipimpin oleh seorang rabbi yang sudah
menguasai teologi Yahudi secara baik.
Satu hal penting untuk dikuasai Yahudi
adalah bahasa. Rahel Halabe, seorang praktisi pendidikan Bahasa Ibrani
yang terkenal di kalangan Yahudi pernah menulis sebuah buku pengantar
bahasa Ibrani berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“. Menariknya, mayor pendidikan Halabe justru Sastra dan Bahasa Arab di Hebrew University, Israel.
Dalam tulisannya, Halabe menjelaskan
betapa pentingnya penguasaan bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi.
Halabe beralasan, bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi, tidak saja
semata-mata menjadi tuntutan teologis tapi bahasa Ibrani adalah
representasi kultur atau budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
identitas seorang Yahudi. Halabe kemudian mendelegasikan tulisan Ibrani
modern dalam metode pendidikannya. Hal ini tidak saja untuk memudahkan
jalan mereka menguasai percakapan bahasa Ibrani dan literatur modern
Ibrani, tetapi juga untuk mendukung studi mereka tentang teks-teks
teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah.
“Introducing young students to
modern Hebrew literature will not only ease their way into Hebrew
conversation and modern Hebrew literature, but will support their study
of the classical texts: Bible, Siddur, Mishnah and more. In fact,
studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of
modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic
traditions,” jelasnya.
Akhirnya ketika semua proses itu telah
usai, pada gilirannya, Yahudi pun akan memetik hasilnya. Hasil itu
adalah berupa generasi dewasa Yahudi yang terpelajar sekaligus
menghargai warisan dan budaya mereka. Ya, bukan budaya yang lainnya.
“In fact, studying classical Hebrew
will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so
much from its layered linguistic traditions. A rich program offering
both past and present will help produce educated adult Jews who are
well-read and appreciative of their heritage and culture.”
Dan ketika orang-orang Yahudi
betul-betul menguasai konsep ajaran agamanya, barulah mereka akan lebih
serius “menjajah” ajaran agama lain. Hal ini betul-betul terjadi tak
lama setelah Yahudi berhasil melakukan invasi ke Palestina yang kemudian
memunculkan Israel sebagai negara mereka.
Salah satu contoh kasus untuk mewakili
kajian ini adalah dengan berdirinya Arabic and Islamic Studies di Hebrew
University of Jerusalem atau bisa disingkat sebagai jurusan Studi Islam
adan Arab. Dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi, Herry Nurdi
mengatakan bahwa Kajian Islam di Hebrew University sendiri digagas
bersamaan dengan keberhasilan zionisme merampas tanah Palestina. Mereka
menilai cara menguasai Palestina sebagai representasi islam dengan
mengenali agama orang Palestina itu sendiri, yakni Islam.
Bisa dikata, Kajian tentang Islam dan
Arab sendiri adalah salah satu kajian tertua di Hebrew University of
Jerusalem yang mulanya bernama the School of oriental studies. Namun
meski didirikan hanya oleh lima orang Yahudi, jurusan ini kemudian
berkembang menjadi jurusan favorit di kampus tersebut. Dan kini tercatat
sudah memiliki 32 Profesor dalam bidang Sastra Arab beserta Sejarah
Peradaban Islam.
Dan dari Universitas tua di Israel
inilah lahir para cendekiawan-cendekiawan Yahudi yang mempromosikan
ajaran liberalisme dan bertindak sebagai orientalisme yang sejalan
dengan misi kolonialisme, yakni menjajah Islam.
Apakah
setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang
tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang
(di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu
bunuh? (QS al-Baqarah [2]: 87).
KEBENCIAN kaum Yahudi terhadap umat
Islam selalu menjadi sebuah perbincangan serius di dalam Al Qur’an.
Allah berkali-kali menjelaskan sifat kaum ini yang sungguh tidak rela
ketika Islam tumbuh menjadi agama yang benar. Salah satu misi tersebut
kini banyak diemban oleh para orientalis Yahudi. Salahsatunya adalah
Abraham Geiger (1810-1874).
Bisa dikata Geiger adalah orang yang
pertama kali mengatakan Al Qur’an dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu
apa judul essainya hingga kemudian memenangkan kompetisi masuk
Universitas Bonn tahun 1832? Sangat provokatif, yakni “Apa Yang Diambil
Muhammad Dari Yahudi”. Essai ini langsung diseleksi Professor Georg B.
F. Freytag dari Fakultas Oriental Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun
Setahun kemudian essai tersebut lantas diterbitkan dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”.
Seperti dikuti dari buku Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Studi
Qur’an, (dalam tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki
pengaruh signifikan. Geiger mengutip sebagian kata dalam Al Qur’an yang
identik dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam,
Ahbar, darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut.
Geiger juga berpendapat Qur’an terpengaruh ketika mengemukakan, (a)
hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin (b) peraturan-peraturan
hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger
berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas
dari agama Yahudi.
Senada dengan Geiger, seorang Yahudi
lainnya bernama Joseph Horovitz juga menulis dua buah tulisan untuk
menyatakan peran Bahasa Yahudi dibalik redaksi Qur’an, yakni sebuah buku
berjudul Das koranische Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (1925).
Pandangan Geiger ini kemudian diikuti
oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph
Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian
historis-kritis ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman
Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld
(2010).
Pesan yang ingin Geiger sampaikan adalah
bahwa Qur’an bukanlah sebuah kitab yang suci dan menuding bahwa pada
dasarnya Nabi Muhammad bukanlah seorang yang ummi. Pandangan ini banyak
ditekankan oleh Geiger.
Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang
Yahudi Jerrnan kelahiran Prussia, juga memfokuskan betapa pentingnya
melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang mendapat gelar doktor ketika berusia 24 tahun, menulis disertasi doktoralnya dengan judul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung,
Berlin 1878 (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan
untuk Penelitian Al-Qur’an). Delapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis
Beitrage zur Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir
Al-Qur’an). Ia juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).
Menurut Hirshfeld, Muhammad bisa membaca
dan menulis. Dalam pandangan Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara
Ibrani tatkala berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan
Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Sulit dipercaya, tegas
Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika ia berusia di atas 50
tahun. Selain itu, Hirshfeld berpendapat banyaknya nama-nama dan
kata-kata yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an menunjukkan Muhammad
salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak
memiliki skill (The disfigurement of many Biblical narnes and words
mentioned in the Qur’an is due to misreadings in his own notes rnade
with unskillful hand).
Pernyataan Geiger, Horovitz dan
Hirschfeld sudah jauh-jauh hari dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah
SWT dalam surat Al Fushilat ayat 44 berfirman, “Dan jika Kami
jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah
mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah
(patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu
adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan
bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena ia adalah bahasa
yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok
untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu
Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu
bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu
malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang
paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya
pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an
menjadi sempurna dari segala sisi.”
Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal
muasal kosakata Qur’an bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak serta
merta bahwa Al Qur’an berasal dari bahasa lain, karena kosakata asing
tersebut sudah terarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam
konsep pra-Islam, berbeda dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini
disebabkan Islam membawa makna baru. Islam telah meluruskan,
mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan
Kristen,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.
Hal senada juga dikatakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam,
pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang
dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa
sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan
al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam
bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah,
Haji, maupun nikah. Itulah yang membedakan Al Qur’an dan kitab suci
lainnya.
Karenanya, seperti dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah, menjelaskan
mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa
Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya
dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur
tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat
digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan mungkin mencoba
diselarsakan dalam konteks bahasa Ibrani dengan menjadikan agama Yahudi
sebagai induknya. Karenanya, tuduhan dari Geiger, Horovitz dan Hirshfeld
bahwa Al Qur’an menjiplak kata-kata dalam Yahudi menjadi gugur dengan
sendirinya.
SEORANG
psikolog terlihat resah. Ia diberitahu ada psikolog muslim yang baru
saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak
sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang
memiliki anak berusia tiga tahun.
Rupanya anak ini memiliki kebiasaan
tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan,
juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya.
Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia
mengatakan bahwa tingkah laku sang anak adalah normal. Dengan ilmu
psikologinya, ia menganalisa bahwa perangai itu disebabkan karena anak
sedang menjalani tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal.
“Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog
muslim kepada sang ibu.
Mendengar cerita ini, si psikolog tadi
tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi
nasehat dengan kata-kata seperti itu. Bagaimana tidak? Nasihat psikolog
muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud.
Sigmund Freud (1856-1938) adalah
psikolog Yahudi yang menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang
anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan
kotoran. Hal itu sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya
berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber
kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru
sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari
mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak
terlihat, tapi manusia sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya
makbul.
Kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik
Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan
Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah
seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas
Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu, secara lantang ia
membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim atas sekularisme yang (secara tidak sadar) melanda mereka.
Kata akademisi yang bulan lalu
mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak”
sengaja dipakai karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba
saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup
orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan
dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak
sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR.
Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul Dilema Psikolog Muslim.
Rupanya inflitrasi teori dari seorang
pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul
menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang
digariskannya pada teori (maaf) penis envy (kecemburuan penis) miliknya.
Menurut Freud, anak perempuan pada usia
tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang
menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya
anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci
dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka
tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria.
Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi,
anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa
dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan.
Tidak hanya itu, Freud juga menguliti
kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak
wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya
dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak
perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian
menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan
Kompleks Oedipus.
Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita
membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian
psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak
perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau
gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang
penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah
Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu
mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide
sinting Freud.
Rupanya ide Freud tidak semanis seperti yang ia bayangkan. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times
mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model
paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada
tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi,
ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan
menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia
seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan
terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak
berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri
orangtuanya.
Bahkan Ibrahim al-Jamal, dalam bukunya Penyakit-penyakit hati
menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu
kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam
kompleks Oedipus. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini
berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya.
Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang
seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami
problem-problem psikologis.
Inilah gambaran orang yang tidak
memiliki iman. Bahwa manusia seperti dikebiri oleh nafsu jasmaninya.
Padahal, dalam tiap diri manusia telah tertancap sebuah fitrah. Ia
diberi bekal untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.
Bahkan dengan kesungguhannya ia bisa melawan sifat buruknya.
“(yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)”
Saya
bertemu dengan salah seorang kandidat Doktor Filsafat di Belgorad State
University. Beliau menjelaskan pengalaman-pengalaman uniknnya selama
tinggal di Rusia. Khususnya pandangannya terhadap seks bebas di Negeri
Beruang Merah tersebut.
Pria 40 tahunan itu mengatakan pada saya
bahwa Rusia untuk urusan seks tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Karena sepanjang hubungan itu dilakukan suka sama suka, maka tidak akan
menuai masalah. Problem baru terjadi ketika cinta dilakukan dengan
adanya unsur pemaksaan. “Seperti pemerkosaan,” katanya.
Makanya tidak heran meski ada lembaga
pernikahan, tapi gelombang perzinahan betul-betul massif di Rusia. Rusia
bukan negeri tanpa agama, tapi mereka bukanlah negara yang menjadikan
agama sebagai sumber undang-undang. Kristen sendiri di Rusia bisa jadi
mati layaknya di negara Eropa pada umumnya.
Mendengar pernyataan dari Kandidat
Doktor Filsafat di Rusia itu, kita tentu ingat nama seorang Tokoh Yahudi
bernama Lawrence Kohlberg (1927-1987). Bagi anda yang aktif dalam
bidang pendidikan maupun psikologi tentu tidak asing mendengar nama
professor di Amerika Serikat tersebut. Ia adalah tokoh kunci di balik
maraknya program pendidikan Karaktker.
Perspektif Karakter dalam terminologi
Kohlberg memang sangat bermasalah. Bagi pendidikan karakter, anak yang
melakukan hubungan seks tidak tergolong dosa sepanjang itu dilakukan
dengan penuh tanggung jawab. Artinya, jika seorang perempuan hamil
karena hubungan haram tersebut, maka sang pacar siap untuk menjadi
ayahnya. Jadi Kohlberg mau mengatakan bahwa yang jadi masalah bukan
hubungan zina-nya, tapi bentuk tanggung jawabnya. Dalam pemahaman Islam,
tentu ini bermasalah.
Islam mengajarkan siapapun yang
melakukan perzinahan tanpa didahului hubungan pernikahan, maka dia
tergolong dosa besar. Terlepas ia mau bertanggungjawab atau tidak.
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân (belum
menikah), maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini
adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
(cambuk)”. [An-Nûr/24:2].
Sedangkan pelaku perzinahan yang sudah
menikah akan dikenakan hukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati.
Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum
muslimin. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an
meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan.
Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan
al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau
adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan
kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila
zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami
tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka
sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah
turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah
untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân),
bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan
sendiri”.
Kohlberg sendiri memilki rekam jejak
dalam nuansa zionis yang kuat. Ketika perang dunia kedua berakhir tahun
1945, Kohlberg melakukan perjalanan ke Eropa untuk menuntaskan misi
pembentukan Negara Israel raya. Dia kemudian mengajukan diri untuk
membantu menyelundupkan pengungsi Yahudi keluar dari Eropa dengan
melalui blokade Inggris ke Palestina. Atas keberaniannya itu, Kohlberg
sempat ditangkap dan ditahan di Siprus. Sebab pengiriman bangsa Yahudi
ke Palestina termasuk kejahatan Internasional kala itu. Namun barisan
militer Yahudi, Haganah, berhasil menyelamatkan Tokoh Pendidikan
Karakter ini. Kohlberg pun berhasil bebas dan kembali ke Amerika pada
tahun 1948.
Kohlberg sendiri menemukan ‘ilham’ dalam
merancang pendidikan karakter dari Sistem Kibbutz di Israel. Sistem
Kibbutz adalah sistem yang lebih mirip sistem dalam konsep komunisme.
Mengenai hal ini, Karl Marx pernah berkata bahwa “ideologi dari para
pendiri Kibbutz sangat dipengaruhi oleh sosialisme dan zionisme. Dasar
pendiriannya dipengaruhi oleh dua dasar ideologi ini: pengalaman pahit
dengan antisemitisme yag terjadi di diaspora. Mereka juga dipengaruhi
oleh sistem kemasyarakatan patriakhalis yang diwarisi dari Eropa Timur.
Dari dasar inilah para pendiri Kibbutz mempraktikkan di dalam
pemukiman-pemukiman mereka. Mereka menganut sistem tidak ada kelas dalam
masyarakatnya. Masing-masing dari anggotanya ‘memberikan apa bisa dia
perbuat’ dan ‘akan mendapatkan akan apa yang dia perlukan” (Wikipedia)
Memang pada intinya sistem Kibbutz ini
sangat kental mewarnai konsep pendidikan Karakter bahwa baik-buruk suatu
nilai ditentukan dalam sebuah konsep yang disepakati manusia secara
bersama-sama. Jadi Hukum Tuhan tidak berlaku. Persis seperti negara
komunis.
Oleh karena itu, sangat wajar sekali
jika Profesor Dadang Hawari, dalam dialog dengan saya beberapa waktu
lalu, mengatakan betapa hancurnya Amerika Serikat sebagai sebuah negara.
Karena perzinahan, homoseks, lesbianisme menjamur dimana-mana atas nama
kebebasan melaksanakan Hak Asasi Manusia. Ya hak asasi untuk bebas dari
aturan Tuhan.
“Jadi
saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai
cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak,
sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di
Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka
akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang
mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan
untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970
di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang
ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman
pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika
yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan
nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada
giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi
Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi
setelah ia berhasil mengarang “The Feminine Mystique“. Buku
yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam
masyarakat industri. Di situ, Friedan mengkritik habis peran ibu rumah
tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari
penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique
berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan ia digadang-gadang
sebagai pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah
menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya
adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini.
Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat
yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani
yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul
pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai
alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam
tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki
karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun
juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan
adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein
sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New
York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja
milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik,
“Tidak pernah jelas apakah
pengaturan ini seharusnya meringan beban ganda perempuan (keluarga dan
pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini
dilaksanakan?”
Henry Makow dalam tulisannya Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Society telah
menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu
feminisme. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit
telah menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda
elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order.
Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA
melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti
elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller,
Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di
London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga
ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa
perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and
Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya
dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan
masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam
karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami
dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan
ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi
(pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan
dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai,
begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah
kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku
yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis
impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah
saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus
anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu
peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara
sosial, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang
bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.
Walhasil, Feminisme adalah penipuan
besar-besaran yang dilakukan terhadap masyarakat oleh elit
pemerintahnya. Hal itu dirancang untuk memperlemah struktur sosial dan
budaya Amerika dalam rangka mengenalkan New World Order sebagai sebuah
fasisme yang ramah. Para pendukungnya adalah orang-orang berlagak suci
yang menjadi kaya dan berpengaruh darinya. Mereka meliputi golongan
pendusta dan timpang moral yang bekerja untuk elit dalam beragam
kapasitas: pemerintahan, pendidikan, dan media. Para penyamar ini harus
dibongkar dan dicemooh.
Besar,
berbadan kokoh, dengan rerimbunan pohon mengelilinginya. Itulah
gambaran Universitas tertua di Israel: Hebrew University. Ia didirikan
di tanah haram. Tanah sah milik bangsa Palestina yang terang-terangan
dicuri demi Israel Raya. Tak heran dari kampus tua ini lahir bejibun
aktor pendukung Zionisme Israel. Kurikulum pun dirancang sedemikian rupa
demi menelurkan sederetan orientalis yang angkuh. Ada yang merusak, ada
pula yang merombak. Sasarannya adalah tatanan dunia Islam; dari ilmu
hingga budaya.
Salah satu nama yang jarang dikenal atas
keberhasilan Hebrew dalam merusak studi Islam adalah Joseph Horovits.
Judah Magnes, Orientalis Yahudi keturunan Jerman yang merintis lahirnya
Islamic Studies di Hebrew ini melihat bakat intelektualitas Horovits
yang mampu menggabungkan Studi Islam dan Yahudi secara teologis. Atas
pengaruh Judah Magnes pula, Horovits terpilh menjadi dewan pimpinan di
universitas yang berdiri tahun 1918 tersebut.
Herry Nurdi dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi
menjelaskan bahwa Horovits sejatinya adalah seorang Yahudi ortodoks
dari seorang rabbi di Frankurt. Karirnya dalam dunia orientalisme
sebenarnya dimulai sepanjang tahun 1907 hingga 1914. Kala itu ia menjadi
direktur dalam proyek Islamic Inscription Departement di
bawah pemerintahan India. Kemampuannya menjadi orientalis terus terasah
hingga dalam perjalanannya ke Frankfurt ia mengirim memorandum kepada
Judah Magnes agar segera membentuk Institute of Arabic and Islamic
Studies; ya insitut yang kelak akan menjadi Universitas yang disegani di
dunia Arab; Hebrew.
Horovits juga menyarankan agar pimpinan
insitut sebaiknya dimpimpin oleh Sarjana Yahudi dari Amerika atau Eropa
dan berharap beberapa pelajaran yang dikaji diantaranya tafsir, hadits,
fiqih, dan sejarah Islam. Horovits kemudian menyertakan delapan daftar
nama Yahudi orientalis yang ia sarankan untuk memimpin proyek ini,
termasuk dirinya sendiri.
Pada tahun 1926, Judah Magnes akhirnya
menyetujui Horovits sebagai Direktur yang dapat mengendalikan operasi
institut kajian Islam ini dari jauh, di Eropa tepatnya. Dan pada 22
April 1926, berlangsung pertemuan pertama guru-guru Yahudi membahas
rencana besar ini di Jerusalem. Mereka di antaranya adalah Horovits,
Magnes, Billig, Mayer, Baneth, dan Ginsberg. Di Jerusalem itulah mereka
mulai menyusun dan merancang rencana kerja penelitian. Billig ditugaskan
untuk mengkoordinasi rencana-rencana penelitian dibantu dua orang
asistennya. Dan Horovits ditugaskan untuk melakukan kajian sastra klasik
Arab.
Salah satu proyek ambisius Horovits adalah menerbitkan Ansab Al-Ashraf of Baladhuri,
sebuah proyek yang disebut Horovits sebagai sebuah metode memahami Al
Qur’an. Tapi hingga kini, proyek prestisius ini tak kunjung usai. Dari
10 jilid yang direncanakan, baru rampung dua jilid saja.
Salah satu murid Horovits yang kemudian
“menjadi” atas tempaannya adalah SD. Goiten. Ia langsung datang ke
Israel dari Berlin pada tahun 1928. Di Israel, Goiten mengajar ilmu-ilmu
Bible dan kelak menjadi salah satu orientalis Yahudi yang sangat
proaktif mengeluarkan karya-karyanya yang cukup sengit menyerang Islam.
Sejak awal Hebrew University memang
mencoba untuk membahas Islam dalam dua tema besar. Pertama, kekayaan
peradaban Islam; terutama pada zaman pertengahan dan kedua menyelami
bahasa-bahasa Arab klasik yang nantinya akan digunakan sebagai senjata
untuk menyerang sumber-sumber Islam seperti Al Qur’an dan ajaran di
dalamnya. Semua ini harus mereka pelajari dengan tujuan menaklukan dunia
Islam demi kejayaan Israel Raya.
Muhammad Al Bahiy, seperti dikutip oleh Mohammad Natsir Mahmudi dalam bukunya Orientalisme Al Qur’an di Mata Barat,
juga menyiratkan hal senada. Ia mengemukakan ada dua motivasi para
orientalisme yang sangat terkait erat pada misi politis terhadap umat
Islam.
Pertama, tidak terlepas pada dominasi untuk memperkokoh Imperialisme Barat atas Negara-negara Islam. Kedua,
memperkuat semangat Perang Salib dengan mengatasnamakan kajian Ilmiah
dan kemanusiaan. Ya nyanyian lazim para pelantun Zionisme dengan
cita-cita membangun dunia tanpa agama dan hanya menyisakan Yahudi
sebagai nilai yang pantas dianut. Sebagaimana termaktub dalam protocol of Zion pasal 14.
“Diupayakan di dunia ini hanya satu
agama, yaitu agama Yahudi (inti ajaran agama Yahudi adalah pemujaan
materi atau paham materialisme, pen). Oleh karena itu segala keyakinan
lainnya harus dikikis habis. Kalau dilihat di masa kini, banyak orang
yang menyimpang dari agama. Pada hakekatnya kondisi seperti itulah yang
menguntungkan Yahudi. Di masa akan datang masyarakat dunia akan
berduyun-duyun memasuki agama Musa yang menundukkan mereka berada di
bawah telapak kaki Yahudi. Pada saat itu, suara kritikan hanya tertuju
kepada agama selain Yahudi. Orang tak akan berani menelanjangi agama
kita. Karena rahasia yang terkandung dalam ajaran agama Yahudi sangat
dalam, dan ajarannya selalu diperjuangkan oleh pendeta-pendeta kita.
Segala karya tulis yang mengkritik agama kita tidak diperkenankan terbit
dan tersebar di masyarakat. Kita terus berjuang menyebar-luaskan
tulisan sastra picisan di masyarakat negara adidaya.” (Pizar0/Habis)
Sumber: islampos.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar