Fatwa Empat Imam Madzhab Tentang Terorisme dan Pemberontakan
KEPUTUSAN DAN FATWA EMPAT IMAM MADZHAB
DAN ULAMA MASYHUR UMMAT ISLAM
TENTANG TERORISME DAN PEMBERONTAKAN
Setelah
dalil-dalil dalam literatur hadits dikaji secara komprehensif, maka
saya mencoba untuk mengupas pandangan para imam madzhab yang empat.
Tujuan dari bab ini adalah untuk menjelaskan bahwa perkara yang sedang
saya bahas bukanlah perkara baru sejak 14 abad yang lalu. Jadi, apa yang
sedang saya jelaskan bukanlah penyimpangan keyakinan jumhur ‘ulama.
Imâm Abu Hanifah berkata dalam bukunya, al-Fiqh al-Absath, berkaitan dengan perlawanan terhadap para teroris,
فَقَاتِلْ
أَهْلَ الْبَغْيِ لاَ بِالْكُفْرِ. وَ كُنْ مَعَ الْفِئَةِ الْعَادِلَةِ.
وَ لاَ تَكُنْ مَعَ أَهْلِ الْبَغْيِ. فَإِنْ كَانَ فِي أَهْلِ
الْجَمَاعَةِ فَاسِدُوْنَ ظَالِمُوْنَ، فَإِنَّ فِيْهِمْ أَيْضًا
صَالِحِيْنَ يُعِيْنُوْنَكَ عَلَيْهِمْ، وَ إِنْ كَانَتِ الْجَمَاعَةُ
بَاغِيَةً فَاعْتَزِلْهُمْ وَ اخْرُجْ إِلَى غَيْرِهِمْ. قَالَ اللهُ
تَعَالى: ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗﮘ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ
“Perangilah
para pembelot, bukan karena kekufuran mereka. Bergabunglah bersama
kelompok yang adil dan jangan bergabung bersama para pembelot. Sekalipun
di dalam jamaah itu terdapat kelompok yang suka berbuat zalim dan
kerusakan, maka sesungguhnya di kalangan mereka juga terdapat
orang-orang saleh yang akan membantu kalian memerangi mereka. Jika
jamaah itu melakukan pembelotan juga, maka menjauhlah dari mereka dan
pindahlah ke jamaah yang lain. Allah SWT berfirman,”Bukankah bumi Allah
itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” “Sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. [QS. 29:52]”[1]
11.2. Imam al-Thahawi
Imâm terkenal dari Madzhab Hanafî, Imâm Abû Ja’far al-Thahâwî berkata,
لاَ
نَرَى السَّيْفَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ إِلاَّ مَنْ وَجَبَ
عَلَيْهِ السَّيْفُ، وَ لاَ نَرَى الْخُرُوْجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَ
وُلاَةِ أُمُوْرِنَا، وَ إِنْ جَارُوْا، وَ لاَ نَدْعُوْ عَلَيْهِمْ، وَ لاَ تَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ
“Kami
tidak melihat ada orang yang (layak) dihunuskan pedang terhadap
seseorang dari umat Nabi Muhammad, kecuali bagi orang yang pantas
mendapatkannya. Kami juga tidak melihat bahwa dibolehkannya membelot
dari imam dan pemerintahan kami sekalipun mereka lalim dan juga tidak
mengajak untuk melawan mereka dan melakukan pembangkangan terhadap
mereka.”[2]
Ibnu Abî al-‘Izz al-Hanafî menjelaskan pernyataan Imam al-Thahâwî di atas sambil mengutip hadits yang diriwayatkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Auf bin Mâlik, bahwa Rasulullah Saw., bersabda, “Jika
kalian mendapatkan sesuatu yang dibenci dari penguasa, kalian harus
membenci perilakunya itu, tapi kalian tidak boleh tidak mematuhinya.” Ibnu Abî al-‘Izz juga mengutp sebuah perintah hadits, “jangan kalian mencabut keta’atan padanya.” Beliau menjelaskan,
فَقَدْ
دَلَّ الْكِتَابُ وَ السُّنَّةُ عَلَى وُجُوْبِ طَاعَةِ أُوْلِي الأَمْرِ
مَا لَمْ يَأْمُرُوْا بِمَعْصِيَةٍ. فَتَأَمَّلْ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ﴾ لِأَنَّ
أُولِي الأَمْرِ لاَ يُفْرَدُوْنَ بِالطَّاعَةِ، بَل يُطَاعُوْنَ فِيْمَا
هُوَ طَاعَةُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ. وَ أَعَادَ الْفِعْلَ مَعَ الرَّسُوْلِ
صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ لِأَنَّهُ
هُوَ مَعْصُوْمٌ. "وَ أُوْلُوْ الأَمْرِ" لاَ يُطَاعُ إِلاَّ فِيْمَا هُوَ
طَاعَةُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ. وَ إِمَّا لُزُوْمُ طَاعَتِهِمْ (وَ إِنْ
جَارُوْا) فَلِأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى الْخُرُوْجِ عَنْ طَاعَتِهِمْ
مِنَ الْمَفَاسِدِ أَضعَافَ مَا يَحْصُلُ مِن جُوْرِهِمْ
“Al-Kitab
dan As-Sunnah sungguh telah menunjukkan atas kewajiban taat kepada
pemerintahan selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, ”Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara
kalian.” Sesungguhnya pemerintahan itu tidak ditaati secara mutlak.
Mereka ditaati dalam kebijakan yang selaras dengan ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya. Allah mengulang-ulang kata kerja taat bersama Rasul
karena beliau ma’shûm (terjaga dari kesalahan). Pemerintahan itu ditaati
sepanjang mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun keharusan taat
kepada mereka sekalipun lalim, karena dampak dari pembelotan akan lebih
besar dari dampak kelaliman mereka.”[3]
11.3. Imam Malik
Imam Sahnûn menulis dalam al-Mudawwana,
قَالَ
مَالِكٌ فِي الإِبَاضِيَّةِ وَ الْحَرُوْرِيَّةِ وَ أَهْلِ الأَهْوَاءِ
كُلِّهِمْ: أَرَى أَنْ يُسْتَتَابُوْا، فَإِنْ تَابُوا وَ إِلاَّ
قُتِلُوْا. قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ، وَ قَالَ مَالِكٌ فِي الْحَرُوْرِيَّةِ
وَ مَا أَشْبَهَهُمْ: إِنَّهُمْ يُقْتَلُوْنَ إِذَا لَمْ يَتُوْبُوْا،
إِذَا كَانَ الإِمَامُ عَدْلاً، فهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّهُمْ إِنْ
خَرَجُوْا عَلَى إِمَامٍ عَدْلٍ يُرِيْدُوْنَ قِتَالَهُ وَ يَدْعُوْنَ
إِلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ دُعُوْا إِلَى الْجَمَاعَةِ وَ السُّنَّةِ، فَإِنْ
أَبَوْا قُوْتِلُوْا. قَالَ: وَ لَقَدْ سَأَلْتُ مَالِكًا عَنْ أَهْلِ
الْعَصَبِيَّةِ الَّذِيْنَ كَانُوْا بِالشَّامِ، قَالَ مَالِكٌ: أَرَى
الإِمَامَ أَنْ يَدْعُوَهُمْ إِلَى الرُّجُوْعِ إِلَى مُنَاصَفَةِ الْحَقِّ
بَيْنَهُمْ، فَإِنْ رَجَعُوْا وَ إِلاَّ قُوْتِلُوْا
“Imam
Malik berpendapat mengenai kelompok Ibadhiyyah, Haruriyyah, dan semua
pengikut hawa nafsu, ”Aku berpendapat bahwa mereka harus diajak untuk
bertaubat. Jika
mereka bertaubat, maka mereka dibiarkan dan jika menolak, mereka
(harus) diperangi.” Ibnu Al-Qasim berkata,”Mengenai kelompok Haruri dan
sejenisnya, Imam Malik berpendapat, ”Mereka diperangi jika tidak mau
bertaubat dan jika imam adil.” Ini menunjukkan kepada Anda bahwa jika
mereka membelot dari imam yang adil dan juga bermaksud memeranginya
serta mengajak kepada kelompok mereka, maka mereka terlebih dahulu harus
diajak kembali kepada jamaah. Jika mereka menolak, maka mereka harus
diperangi.” Ibnu Al-Qasim berkata lagi, ”Sungguh, aku telah bertanya
kepada Imam Malik mengenai kelompok yang melakukan maksiat yang berada
di Syam. Beliau menjawab, ”Aku berpendapat bahwa imam harus mengajak
mereka kembali ke dalam jamaah dan menegakkan keadilan di antara mereka.
Jika mereka mau kembali, maka mereka harus dibiarkan dan jika tidak,
maka mereka harus diperangi.”[4]
11.4. Imâm al-Syâfi’î
Mengenai teroris, Imâm al-Syâfi’î berkata,
لَوْ
أَنَّ قَوْمًا كَانُوْا فِيْ مِصْرٍ أَوْ صَحْرَاءَ فَسَفَكُوْا
الدِّمَاءَ وَ أَخَذُوْا الأَمْوَالَ، كَانَ حُكْمُهُمْ كَحُكْمِ قُطَّاعِ
الطَّرِيْقِ وَ سَوَاءٌ كَانَتِ الْمُكَابَرَةُ فِي الْمِصْرِ أَوِ
الصَّحْرَاءِ وَ لَوِ افْتَرَقَا، كَانَتِ الْمُكَابَرَةُ فِي الْمِصْرِ
أَعْظَمُهُمَا.
فَإِذَا
دُعِيَ أَهْلُ الْبَغْيِ فَامْتَنَعُوْا مِنَ الإِجَابَةِ فَقَاتِلُوْا
... فَإِنَّمَا أُبِيْحَ قِتَالُ أَهْلِ الْبَغْيِ مَا كَانُوا
يُقَاتِلُوْنَ، وَ هُمْ لاَ يَكُوْنُوْنَ مُقَاتِلِيْنَ أَبَدًا إِلاَّ
مُقْبِلِيْنَ مُمْتَنِعِيْنَ مُرِيْدِيْنَ. فَمَتَى زَايَلُوْا هَذِهِ
الْمَعَانِيَ فَقَدْ خَرَجُوْا مِنَ الْحَالِ الَّتِيْ أُبِيْحَ بِهَا
قِتَالُهُمْ، وَ هُمْ لاَ يَخْرُجُوْنَ مِنْهَا أَبَدًا إِلاَّ إِلَى أَنْ
تَكُوْنَ دِمَاؤُهُمْ مُحَرَّمَةً كَهِيَ قَبْلُ
“Jika
ada suatu kaum (sekumpulan umat manusia), baik di perkotaan ataupun di
pedalaman padang pasir, kemudian mereka menumpahkan darah dan merampas
harta, maka mereka dihukumi dengan hukum perompak. Sama saja, apakah
pembangkangan itu dilakukan di perkotaan ataupun di pedalaman. Akan
tetapi yang lebih besar bahayanya adalah yang dilakukan di perkotaan.[5]
Jika
para pembuat keonaran menolak ajakan kembali, maka perangilah mereka
itu. Kelompok bughât (terroris) itu boleh diperangi bila mereka
memerangi. Mereka tidak disebut memerangi kecuali apabila melakukan
perlawanan, pembangkangan dan kudeta. Ketika semua itu tidak dilakukan
oleh mereka, maka mereka tidak dalam keadaan boleh diperangi. Darah
mereka terjaga seperti sebelum mereka menjadi pembelot sepanjang mereka
tidak keluar dari hal-hal di atas.”[6]
11.5. Imam Ahmad bin Hanbal
Kehidupan
para Imam yang satu ini telah menggambarkan pikiran-pikiran moderat,
mampu mengontrol diri, toleransi, serta sikap harmoni untuk menjaga
orang dari kekacauan, terorisme, dan pertumpahan darah. Meski tekanan
dahsyat dan kesulitan hebat, termasuk dipenjara dan dicaci, Imâm Ahmad
bin Hanbal tidak memprovokasi ummat Islam agar secara massif memberontak
dengan senjata kepada pemerintahan dzalim di masanya. Beliau tersiksa
penjara gara-gara mempertahankan doktrin agama yang sangat masyhur,
bahwa al-Quran itu firman Allah, bukan makhluk Allah. Menyatakan
al-Quran firman Allah, sebagai makhluk-Nya merupakan kesesatan luar
biasa hebatnya yang dihadapi ummat saat itu.
Keyakinan
bahwa al-Quran adalah makhluk Allah dinyatakan oleh penganut ekstrim
mu’tazilah yang pada saat itu telah menguasai pemerintahan.
Mu’tazilah—pewaris khawarij secara intelektual—juga memiliki pengaruh
besar di dalamnya. Karena alasan inilah, banyak ummat Islam terkenal
menderita hebat secara serius, akibat tindakan kesewenangan yang
diberlakukan pemerintah kepada mereka.
Imâm
Ahmad adalah salah seorang yang merasakan penderitaan ini selama masa
yang sangat kacau itu. Dia disiksa dan dicaci, namun ia melarang umat
Islam waktu itu untuk melakukan pemberontakan bersenjata melawan
pemerintah. Contoh kesabaran, kegigihan, dan ketabahannya ini telah
tercatat rapi dalam beragam buku terkenal. Di antaranya adalah al-Sunnah, karya Abû Bakar al-Khalâl yang telah mencatat secara baik kehidupan dan peristiwa penting yang telah dialaminya.
Abû al-Hârits meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Imâm Ahmad bin Hanbal tentang gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang terjadi di Bagdad.
Penguasa ‘Abbâsiyah di bawah pengaruh kuat orang-orang Mu’tazilah,
telah menciptakan bahaya serius terhadap umat Islam secara umum, namun
ketika Imâm Ahmad dipinta untuk bergabung dalam front pemberontak melawan pemerintah, dia berkata,
سُبْحَانَ
الله، الدِّمَاءَ، الدِّمَاءَ، لاَ أَرَى ذَلِكَ وَ لاَ آمُرُ بِهِ،
اَلصَّبْرُ عَلَى مَا نَحْنُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْفِتْنَةِ يُسْفَكُ
فِيهَا الدِّمَاءُ، وَيُسْتَبَاحُ فِيهَا الأَمْوَالُ، وَ يُنْتَهَكُ
فِيهَا الْمَحَارِمُ
“Subhanallah,
darah, darah. Aku tidak berpendapat boleh menumpahkan darah dan tidak
pula memerintahkannya. Bersikap sabar dengan kondisi yang ada lebih baik
daripada terjadi fitnah yang menimbulkan pertumpahan darah,
dihalalkannya merampas harta serta dilanggarnya hal-hal yang
diharamkan.”[7]
Beberapa orang masih memaksa dan berkata, “Bukankah kita diwajibkan berjihad untuk melawan kedzaliman ini?.” Mendengar hal ini, beliau menjawab, “Tentu
saja, kekacauan ini akan berakhir pada waktunya. Tapi jika pedang telah
dihunuskan, pembunuhan adalah hasilnya dan pintu damai serta
kemaslahatan akan tertutup.”
Ketika
pemberontakan menemukan momentumnya pada masa Khalîfah al-Watsîq
Billâh, para fuqahâ bersama-sama menghadap Imâm Ahmad dan melaporkan
situasi telah semakin memburuk. Beliau bertanya kepada mereka apa yang
merea inginkan. Kemudian mereka mengutarakan bahwa kedatangan mereka
adalah untuk mencari bimbingan dan nasihat, karena sikap pemerintah
semakin memuakkan. Para fuqahâ ini ingin bergabung dalam front
pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Khalifah. Kemudian Imâm Ahmad
menasihati mereka agar tetap bersabar. Kemudian beliau berkata, “Meski
situasi semakin memburuk dari sekarang, kalian harus merubah pikiran dan
jangan pernah ingin melawan otoritas pemerintah.” Beliau juga berkata,
عَلَيْكُمْ
باِلنَّكِرَةِ بِقُلُوْبِكُمْ، وَ لاَ تَخْلَعُوْا يَدًا مِن طَاعَةٍ، وَ
لاَ تَشُقُّوْا عَصَا الْمُسْلِمِيْنَ، وَ لاَ تَسْفِكُوْا دِمَاءَكُمْ وَ
دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ مَعَكُمْ. أُنْظُرُوْا
فِيْ عَاقِبَةِ أَمْرِكُمْ، وَ اصْبِرُوْا حَتىَّ يَسْتَرِيْحَ بَرٌّ،
أَوْ يُسْتَرَاحَ مِنْ فَاجِرٍ. لاَ، هَذَا خِلاَفُ الآثَارِ الَّتِي
أُمِرْنَا فِيْهَا بِالصَّبْرِ
“Kalian
wajib mengingkari dengan hati, tetapi jangan melakukan pembangkangan.
Jangan memecah belah persatuan umat Islam. Jangan menumpahkan darah
kalian dan darah umat Islam bersama kalian. Perhatikanlah
akibat keputusan kalian. Bersabarlah hingga orang baik beristirahat dan
merasa nyaman dari orang jahat. Jangan melakukan pembelotan karena
bertentangan dengan hadits-hadits yang menyuruh kepada kita agar
bersabar.”[8]
11.6. Imam Sufyan al Tsauri
Beberapa
pihak mengatakan bahwa beliau pernah mengeluarkan fatwa yang mendukung
perlawanan bersenjata melawan Khalîfah Hârun al-Al-Râsyid, tapi ia
mendesak mereka untuk tetap bersabar dan menghindari kekacauan. Dia
berkata,
كَفَيْتُكَ هَذَا الأَمْرَ، وَ نَقَّرْتُ لَكَ عَنْهُ. اجْلِسْ فِي بَيْتِكَ
“Aku akan memberi penjelasan yang cukup terhadap masalah ini dan membahasnya untukmu. Duduklah di rumahmu.”[9]
11.7. Imâm al-Mâwardî
Imam
al-Mâwardî menulis lengkap persoalan pemberontakan dan teroris kemudian
mengatakan bahwa para pemberontak harus dilawan hingga mereka mengakui
kembali keabsahan pemerintah yang berkuasa. Dia mengistinbat
argumentasinya dari Surat Al-Hujurât,
“Dan
apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap
(golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu,
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.”[10]
Imâm al-Mâwardî berkata,
فِيْ قَوْلِهِ ﴿ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ﴾ وَجْهَانِ : أَحَدُهُمَا بَغَتْ بِالتَّعَدِّي فِي الْقِتَالِ، وَ الثَّانِي بَغَتْ بِالعُدُوْلِ عَنِ الصُّلْحِ. وَ قَوْلُهُ ﴿ ﮦ ﮧ ﮨ ﴾ يَعْنِيْ بِالسَّيْفِ رَدْعًا عَنِ الْبَغْيِ وَ زَجْرًا عَنِ الْمُخَالَفَةِ. وَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ﴾ حَتَّى تَرْجِعَ إِلَى الصُّلْحِ الَّذِي أَمَرَ اللهُ تَعَالَى بِهِ، وَ هُوَ قَوْلُ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ. ﴿ﮮ ﮯ ﮰ﴾ أَيْ رَجَعَتْ عَنِ الْبَغْيِ.
Firman-Nya, ”Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain,” memiliki dua makna. Pertama, salah satu kelompok memerangi. Kedua, salah satu kelompok menolak perdamaian. “maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu,” yaitu dengan pedang sebagai tindakan preventif dari pembelotan dan pembangkangan. Firman-Nya, “sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,” sehingga mereka kembali ke jalan perdamaian yang Allah perintahkan. Ini adalah pendapat Said bin Jubair. “Jika golongan itu telah kembali,” yaitu kembali dari pembelotan.”[11]
11.8. Imam al Sarakhsi
Beliau dikenal sebagai fuqahâ dari Madzhab Hanafî. Dia mengatakan bahwa menghancurkan pemberontakan adalah perbuatan yang sah. Dia berkata,
فَحِينَئِذٍ
يَجِبُ عَلَى مَنْ يَقْوَى عَلَى القِتَالِ أَنْ يُقَاتِلَ مَعَ إِمَامِ
الْمُسْلِمِيْنَ الْخَارِجِيْنَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوْا الَّتِيْ تَبْغِيْ ﴾، وَ
الأَمْرُ حَقِيْقَةً لِلْوُجُوْبِ، وَ لِأَنَّ الْخَارِجِيْنَ قَصَدُوْا
أَذَى الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَاطَةَ الأَذَى مِنْ أَبْوَابِ الدِّيْنِ، وَ
خُرُوْجُهُمْ مَعْصِيَةٌ، فَفِي الْقِيَامِ بِقِتَالِهِمْ نَهْيٌ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَ هُوَ فَرْضٌ، وَ لِأَنَّهُمْ يُهَيِّجُوْنَ الْفِتْنَةَ
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْفِتْنَةُ نَائِمَةٌ لَعَنَ
اللهُ مَنْ أَيْقَظَهَا فَمَنْ كَانَ مَلْعُوْنًا عَلَى لِسَانِ صَاحِبِ
الشَّرْعِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ يُقَاتَلُ مَعَهُ
“Oleh
karena itu, maka wajib bagi yang mampu berperang untuk berperang
bersama imam melawan kelompok pembelot berdasarkan firman-Nya,” Jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu.” Perintah itu
wajib. Juga karena para pembelot memiliki tujuan melakukan penganiayaan
terhadap umat Islam dan melanggar salah satu kaidah agama [12]
Pembelotan mereka adalah salah satu bentuk kemaksiatan. Memerangi
mereka adalah bentuk mencegah kemungkaran yang merupakan kewajiban
karena mereka telah mengobarkan fitnah (kerusakan). Nabi SAW bersabda,
”Fitnah itu tidur. Allah melaknat orang yang membangunkannya.
Barangsiapa yang dilaknat oleh Pemilik Syariat (Allah), maka dia harus
diperangi.”[13]
11.9. Imâm al-Kasani
Penulis
kitab fikih bermadzhab Hanafi, Badâ’î al-Sanâ’î ini mengatakan bahwa
teroris harus dibunuh untuk menghilangkan kekacauan dan konflik
berdarah,
لِأَنَّهُمْ
سَاعُوْنَ فِيْ الأَرْضِ بِالْفَسَادِ فَيُقْتَلُوْنَ دَفْعًا لِلْفَسَادِ
عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ. وَ إِنْ قَاتَلَهُمْ قَبْلَ الدَّعْوَةِ لاَ
بَأْسَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ الدَّعْوَةَ قَدْ بَلَغَتْهُمْ لِكَوْنِهِمْ فِي
دَارِ الإِسْلاَمِ، وَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَيْضًا وَ يَجِبُ عَلَى كُلِّ
مَنْ دَعَاهُ الإِمَامُ إِلَى قِتَالِهِمْ أَنْ يُجِيْبَهُ إِلَى ذَلِكَ
وَ لاَ يَسَعُهُ التَّخَلُّفُ إِذَا كَانَ عِنْدَهُ غِنًى وَ قُدْرَةٌ؛
لِأَنَّ طَاعَةَ الإِمَامِ فِيْمَا لَيْسَ بِمَعْصِيَةٍ فَرْضٌ، فَكَيْفَ
فِيْمَا هُوَ طَاعَةٌ
“Karena
sesungguhnya mereka melakukan kerusakan di muka bumi, maka mereka harus
dibunuh untuk mencegah kerusakan di muka bumi. Jika imam memerangi
mereka sebelum diadakan seruan, maka hal itu tidak mengapa karena seruan
telah sampai kepada mereka di wilayah negara Islam dan juga dari
sebagian umat Islam lainnya. Menjadi kewajiban juga bagi umat Islam
lainnya untuk memenuhi seruan imam untuk memerangi mereka. Tidak pantas
untuk tidak berperan serta, jika memiliki kemampuan fisik dan materi
karena taat kepada imam pada selain maksiat adalah sebuah kewajiban. Terlebih lagi jika merupakan ketaatan (kebaikan).”[14]
11.10. Imâm al-Marghinani
Sebuah
topik penting dalam pendapat beliau adalah pertanyaan hingga kapan
perang melawan teroris ini harus dilakukan. Beliau berkata,
إِذَا
تَغَلَّبَ قَوْمٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى بَلَدٍ، وَ خَرَجُوْا مِن
طَاعَةِ الإِمَامِ، دَعَاهُمْ إِلَى الْعَوْدِ إِلَى الْجَمَاعَةِ، و
كَشَفَ عَنْ شُبْهَتِهِمْ لِأَنَّ عَلِيًا فَعَلَ ذَلِكَ بِأَهْلِ
حَرُوْرَاءَ قَبْلَ قِتَالِهِمْ، وَ لِأَنَّهُ أَهْوَنُ الأَمْرَيْنِ وَ
لَعَلَّ الشَّرَّ يَنْدَفِعُ بِهِ، فَيَبْدَأُ بِهِ وَ لاَ يَبْدَأُ
بِقِتَالٍ حَتَّى يَبْدَؤُوْهُ، فَإِنْ بَدَؤُوْهُ قَاتَلَهُمْ حَتَّى
يُفَرِّقَ جَمْعَهُمْ
“Apabila
suatu kaum dari umat Islam berhasil menguasai suatu wilayah, kemudian
mereka membelot dari imam, maka imam harus menyeru mereka untuk kembali
kepada jamaah dan menjelaskan kekeliruan mereka. Hal ini dikarenakan Ali
pernah melakukan hal itu terhadap kelompok Harura sebelum memerangi
mereka. Juga hal ini merupakan tindakan yang paling mudah dilakukan dan
diharapkan kejahatan terhindar dengannya. Imam harus terlebih dulu
mengawali dengannya (seruan) dan imam tidak boleh memulai peperangan
sebelum mereka memulainya. Jika mereka memulainya, maka imam harus memerangi hingga mampu mengahancurkan kekuatan mereka.”[15]
11.11. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi
Dalam magnum opus-nya, al-Mughnî, beliau menulis sebuah bab tentang melawan pemberontak. Dengan mengutip pandangan ahli hadis, dia berkata,
ذَهَبَتْ
طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيْثِ إِلَى أَنَّهُمْ كُفَّارٌ
مُرْتَدُّوْنَ، حُكْمُهُمْ حُكْمُ الْمُرْتَدِّيْنَ وَ تُبَاحُ دِمَاؤُهُمْ
وَ أَمْوَالُهُمْ. فَإِنْ تَحَيَّزُوْا فِيْ مَكَانٍ وَ كَانَتْ لَهُمْ
مَنَعَةٌ وَ شَوْكَةٌ، صَارُوْا أَهْلَ حَرْبٍ كَسَائِرِ الْكُفَّارِ، وَ
إِنْ كَانُوْا فِيْ قَبْضَةِ الإِمَامِ استَتَابَهُمْ كَاسْتِتَابِهِ
الْمُرْتَدِّيْنَ. فَإِن تَابُوْا وَ إِلاَّ ضُرِبَتْ أَعْنَاقُهُمْ، وَ كَانَتْ أَمْوَالُهُم فَيْئًا لاَ يَرِثُهُمْ وَرَثَتُهُمُ الْمُسْلِمُوْنَ
“Sekelompok
para ulama ahli hadits telah berpendapat bahwa mereka adalah
orang-orang yang telah kafir dan murtad. Hukum atas mereka adalah hukum
yang berlaku atas orang-orang yang murtad dan harta serta darah mereka
menjadi halal. Jika mereka menduduki suatu wilayah serta memiliki
kekuatan militer dan kekuasaan, maka mereka menjadi kelompok yang boleh
diperangi, seperti orang-orang kafir. Jika mereka masih dalam wilayah
imam, maka mereka harus diajak bertaubat seperti terhadap orang-orang
yang murtad. Jika mereka bertaubat, maka mereka dibiarkan dan jika
tidak, maka mereka boleh dipenggal lehernya. Harta mereka merupakan
harta rampasan perang yang tidak bisa diwariskan dan dimiliki oleh umat
Islam.”[16]
11.12. Imam al Nawawi
Beliau menyebutkan bawa para sahabat telah mengeluarkan Ijmâ’ (konsesus) bahwa para pemberontak hitu harus dibasmi,
قاَلَ
العُلَمَاءُ: وَ يَجِبُ قِتَالُ الْبُغَاةِ، وَ لاَ يُكَفَّرُوْنَ
بِالْبَغْيِ، وَ إِذَا رَجَعَ الْبَاغِيْ إِلَى الطَّاعَةِ قُبِلَتْ
تَوْبَتُهُ، وَ تُرِكَ قِتَالُهُ، وَ أَجْمَعَتِ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ عَلَى قِتَالِ الْبُغَاةِ
“Para ulama berkata,”Wajib memerangi kaum pembelot, tetapi tidak dianggap kafir karena pembelotannya. Apabila
seorang pembelot kembali kepada ketaatan kepada imam, maka
pertaubatannya diterima dan tidak boleh diperangi. Para sahabat telah
bersepakat untuk memerangi para pembelot.”[17]
Beliau juga menjelaskan sikap mayoritas ulama, bahwa mereka sepakat untuk memerangi para pemberontak. Beliau berkata,
أَطْلَقَ
الْبَغَوِيُّ أَنَّهُمْ إِنْ قَاتَلُوْا فَهُمْ فَسَقَةٌ وَ أَصْحَابُ
بَهْتٍ فَحُكْمُهُمْ حُكْمُ قُطَّاعِ الطَّرِيْقِ فَهَذَا تَرْتِيْبُ
الْمَذْهَبِ وَ الْمَنْصُوْصِ وَ مَا قَالَهُ الْجَمْهُوْرُ وَ حَكَى
الإِمَامُ فِيْ تَكْفِيْرِ الْخَوَارِجِ وَجْهَيْنِ، قَالَ فَإِنْ لَمْ
نُكَفِّرْهُمْ فَلَهُمْ حُكْمُ الْمُرْتَدِّيْنَ، وَ قِيْلَ حُكْمُ
الْبُغَاةِ، فَإِن قُلْنَا كَالْمُرْتَدِّيْنَ لَمْ تَنْفُذْ أَحْكَامُهُمْ
“Imam Al-Baghawi menegaskan bahwa jika mereka memerangi, maka mereka adalah orang-orang fasik dan para pendusta. Maka
hukum atas mereka adalah hukum yang berlaku atas para perompak. Ini
adalah sesuai dengan urutan madzhab dan teks serta merupakan pendapat
mayoritas para ulama. Al-Baghawi juga menceritakan dua pendapat mengenai
pengkafiran kaum Khawarij. Beliau berkata,”Jika kita tidak mengkafirkan
mereka, maka hukum yang berlaku adalah hukum atas orang-orang murtad
dan ada juga yang mengatakan hukum atas para pembelot. Jika kita
berpendapat bahwa mereka seperti orang-orang murtad, maka hukum tersebut
tidak diberlakukan.”[18]
11.13. ‘Âlim bin al-‘Alâ’ al-Andarîthî al-Dihlawî
Beliau menulis,
يَجِبُ
أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ أَهْلَ الْبَغْيِ قَوْمٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
يَخْرُجُوْنَ عَلَى إِمَامِ الْعَدْلِ وَ يَمْتَنِعُوْنَ عَنْ أَحْكَامِ
أَهْلِ الْعَدْلِ، فَالْحُكْمُ فِيْهِمْ أَنَّهُمْ إِذَا تَجَهَّزُوْا وَ
اجْتَمَعُوْا حَلَّ لِإِمَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ أَنْ يُقَاتِلَهُمْ وَ
عَلَى كُلِّ مَنْ يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ أَنْ يَقُوْمَ بِنُصْرَةِ
إِمَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ
“Wajib
diketahui bahwa kelompok pembelot itu adalah sekelompok orang dari umat
Islam yang membelot dari imam yang adil dan menolak taat kepada hukum
wilayah imam yang adil. Jika mereka mempersiapkan diri dan menghimpun
kekuatan, maka imam berhak memerangi mereka dan wajib bagi warga negara
untuk mendukung imam dalam peperangan itu.”[19]
11.14. Imâm Ibnu Muflih al-Hanbalî
Seperti Imân al-Nawawî, Imâm Ibrâhîm bin Muflih al-Hanbalî juga mengatakan bahwa para pemberontak harus ditumpas. Beliau berkata,
أَصْلُ
مَنْ كَفَّرَ أَهْلَ الْحَقِّ وَ الصَّحَابَةَ وَ اسْتَحَلَّ دِمَاءَ
الْمُسْلِمِيْنَ فَهُمْ بُغَاةٌ فِيْ قَوْلِ الْجَمَاهِيْرِ، تَتَعَيَّنُ
اسْتِتَابَتُهُمْ، فَإِنْ تَابُوْا وَ إِلاَّ قُتِلُوْا عَلَى إِفْسَادِهِمْ لاَ عَلَى كُفْرِهِمْ
“Hukum
asal menurut mayoritas para ulama bagi kelompok pembelot yang
mengkafirkan orang-orang Islam dan para sahabat adalah mereka harus
diajak terlebih dahulu agar bertaubat. Jika mereka bertaubat, maka
mereka harus dibiarkan dan jika tidak, maka mereka harus diperangi,
dengan alasan perbuatan merusak mereka dan bukan karena kekafiran
mereka.”[20]
Lebih lanjut beliau berkata,
فَإِنْ
فَاؤُوْا وَ إِلاَّ قَاتَلَهُمْ وَ عَلَى رَعِيَّتِهِ مَعُوْنَتُهُ عَلَى
حَرْبِهِمْ، فَإِنِ اسْتَنْظَرُوْهُ مُدَّةً رَجَا فَلاَ يُمْكِنُ ذَلِكَ
فِيْ حَقِّهِمْ، فَإِنْ أَبَوُا الرَّجُوْعَ وَعِظْهُمْ وَ خَوِّفْهُمُ
الْقِتَالَ لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ دَفْعُ شَرِّهِمْ لاَ قَتْلُهُمْ، فَإِنْ
فَاؤُوْا أَيْ رَجَعُوْا إِلَى الطَّاعَةِ وَ إِلاَّ قَاتِلْهُمْ أَيْ يَلْزَمُ عَلَى الْقَادِرِ قِتَالُهُمْ لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى ذَلِكَ
”Jika
kembali kepada ketaatan kepada imam, maka mereka dibiarkan. Jika tidak,
maka imam boleh memerangi mereka dan rakyat wajib mendukung imam dalam
rangka memerangi mereka. Jika mereka meminta penangguhan untuk jangka
waktu tertentu, maka imam harus memberi tangguh, karena tujuan memerangi
mereka adalah untuk mencegah kejahatan mereka dan bukan untuk membunuh
mereka. Jika mereka kembali kepada ketaatan kepada imam, maka mereka
(harus) dibiarkan dan jika tidak, maka perangilah mereka, yaitu bagi
orang yang mampu wajib memerangi mereka berdasarkan ijma para sahabat.”[21]
11.15. Imâm Zain al-Dîn bin al-Nujaim
Beliau adalah fuqahâ dari Madzhab Hanafi yang sangat masyhur. Dalam syarah yang beliau tulis dalam kitab Kanz al-Daqâ’iq, beliau berkata,
قَوْلُهُ:
خَرَجَ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ عَنْ طَاعَةِ الإِمَامِ وَ غَلَبُوْا عَلَى
بَلَدٍ دَعَاهُمْ إِلَيْهِ وَ كَشَفَ شُبْهَتَهُمْ بِأَنْ يَسْأَلَهُمْ
عَنْ سَبَبِ خُرُوْجِهِمْ، فَإِنْ كَانَ لِظُلْمٍ مِنْهُ، أَزَالَهُ وَ
إِنْ قَالُوْا الْحَقُّ مَعَنَا وَ الْوِلاَيَةُ
لَنَا، فَهُمْ بُغَاةٌ، لِأَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَعَلَ
ذَلِكَ بِأَهْلِ حَرُوْرَاءَ قَبْلَ قِتَالِهِمْ، وَ لِأَنَّهُ أَهْوَنُ
الأَمْرَيْنِ وَ لَعَلَّ الشَّرَّ يَنْدَفِعُ بِهِ فَيَبْدَأُ بِهِ
اسْتِحْبَابًا لاَ وُجُوْبًا، فَإِنَّ أَهْلَ الْعَدْلِ لَوْ قَاتَلُوْهُمْ
مِنْ غَيْرِ دَعْوَةٍ إِلَى الْعَوْدِ إِلَى الْجَمَاعَةِ، لَمْ يَكُنْ
عَلَيْهِمْ شَيْءٌ، لِأَنَّهُمْ عَلِمُوْا مَا يُقَاتِلُوْنَ عَلَيْهِ
فَحَالُهُمْ كَالْمُرْتَدِّيْنَ وَ أَهْلِ الْحَرْبِ بَعْدَ بُلُوْغِ
الدَّعْوَةِ
“Pendapatnya
sekelompok kaum muslimin yang membelot dari ketaatan kepada imam dan
mereka menguasai satu wilayah, maka imam wajib menyeru mereka dan
menjelaskan kekeliruan mereka dengan menanyakan penyebab pembelotan
mereka. Jika dengan alasan kezaliman imam, maka imam harus menghentikan
kezalimannya. Jika mereka berkata bahwa kebenaran berada pada kami dan
kekuasaan/pemerintahan adalah milik kami, maka mereka adalah kaum
pembelot. Hal ini dikarenakan sesungguhnya Ali telah melakukan hal ini
terhadap kaum Harura sebelum memerangi mereka. Juga karena hal ini
(menyeru mereka) adalah yang mudah dilakukan dan kemungkinan kejahatan
bisa dicegah dengannya. Memulai dahulu dengan seruan itu hukumnya sunah
dan bukan wajib. Jika pemerintahan yang sah memulai peperangan sebelum
melakukan seruan untuk kembali kepada jamaah, tidaklah menjadi sebuah
dosa karena mereka mengetahui betul berhadapan dengan siapa dan karena
kondisi mereka seperti kaum murtad dan orang-orang kafir yang boleh
diperangi yang telah sampai dakwah Islam kepada mereka.”[22]
11.16. ‘Abdu al-Rahmân al-Jazîrî
Mendukung pendapat mayoritas ulama dalam buku perbandingan madzhabnya, Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-‘Arba’ah, beliau mengatakan bahwa perang merupakan perintah mutlak untuk melawan pemberontakan. Dia menulis,
وَلَوْ
خَرَجَ جَمَاعَةٌ عَلَى الإِمَامِ وَمَنَعُوْا حَقًّا لِلَّهِ أَوْ
لِآدَمِيٍّ، أَوْ أَبَوْا طَاعَتَهُ يُرِيْدُوْنَ عَزْلَهُ وَ لَوْ كَانَ
جَائِرًا، فَيَجِبُ عَلَى الإِمَامِ أَنْ يَنْذِرَ هَؤُلاَءِ الْبُغَاةُ،
وَ يَدْعُوْهُمْ لِطَاعَتِهِ، فَإِنْ هُمْ عَادُوْا إِلَى الْجَمَاعَةِ
تَرَكَهُمْ، وَ إِنْ لَمْ يُطِيْعُوْا أَمْرَهُ، قَاتَلَهُمْ بِالسَّيْفِ
“Seandainya
ada sekelompok muslim yang membelot dari imam dan menolak menunaikan
hak Allah atau hak sesama manusia atau menolak taat kepada imam dan
bertujuan menggulingkannya sekalipun lalim, maka wajib bagi imam untuk
menindak tegas mereka dan menyeru mereka kembali kepada ketaatan kepada
imam. Jika mereka kembali kepada jamaah, maka imam harus melepaskan
mereka. Jika tidak mau menaati perintah imam, maka imam boleh memerangi
mereka dengan pedang.”[23]
11.17. Kesimpulan
Kutipan
penjelasan para Imâm dan fuqahâ dari empat madzhab, cukup menggambarkan
bahwa ada kesepakatan yang sudah cukup dikenal berkaitan dengan
larangan memberontak melawan pemerintah muslim. Merupakan tanggung jawab
pemerintah untuk menegaskan otoritas dan kekuatan hukumnya, kemudian
seluruh warga Negara muslim harus memberikan dukungan penuh kepada
pemerintah dalam upaya memberantas pemberontak bersenjata.
Footnote :
[1] Abû Hanîfah, dalam Fiqhu al-Absath (dikutip oleh Zâhid al-Kautsarî dalam Majmû’ al-‘Aqîda wa ‘ilm al-kalâm, hal.606-607)
[2] Al-Thahâwî, al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah, hal. 71,72
[3] Ibnu Abî al-‘Izz al-Hanafî, Syarh al-‘Aqîdah al-Thawâwiyyah, hal. 282.
[4] Sahnûn, al-Mudawwana al-Kubrâ, 3:94
[5] Al-Syafî’î, al-Umm, 4:218.
[6] Ibid.
[7] Diriwayatkan oleh al-Khalâl dalam al-Sunnah, hal. 132 #89. Riwayat ini disampaikan dengan sanad yang shohih.
[8] Ibid., hal. 133 #90
[9] Ibid., hal. 137 #96
[10] Al-Quran, 49:9
[11] Al-Mâwardî, Ahkâm al-Shulthâniyyah, hal. 59
[12] Sebagaimana
diisyaratkan dalam hadits, “Iman memiliki tujuh puluh cabang. Paling
teratas adalah ucapan, ‘Lâ Ilâha Illa Allâh.’ Dan yang paling rendah
adalah menghilangkan duri dari jalan. Dan akhlak mulia adalah bagian
dari Iman.” (Shahih Muslim)
[13] Al-Sarakhsî, al-Mabsût, 10:124.
[14] Al-Kâsânî, Badâ’î al-Sanâ’î, 7:140.
[15] Al-Marghinânî, al-Hidâyah, hal. 573
[16] Ibnu Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî, 9:4
[17] Yahyâ al-Nawawî, Raudah al-Thalibîn, 10:50
[18] Ibid., 10-51-52
[19] ‘Âlim bin al-‘Ala al-Andarithî al-Dihlawî, al-Fatâwa al-Tâtarkhâniyyah, 4:172
[20] Ibnu Muflih, al-Mubdî, 9:160
[21] Ibid., 9:161
[22] Ibnu Nujaim, al-Bahr al-Râ’iq, 5:151
[23] ‘Abdu al-Rahmân al-Jazîrî, Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 5:419
Post a Comment