Fatwa Baru Dari Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Tentang Syiah

(Fatwa Syaikh Yusuf ini Jawaban atas 3 Pertanyaan)
(Jawaban Syaikh Yusuf yang Pertama)

PERBEDAAN ANTARA MADZHAB SUNNI DENGAN MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH
(diterjemahkan oleh ust Dudung Ramdani, Lc Ketua Harian Ar-Risalah Institute)

PERBEDAAN ANTARA MADZHAB SUNNI DENGAN MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH

Pertanyaan :

Yang terhormat, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi -hafidhahullah-

Saya bermaksud mengajukan sebuah pertanyaan kepada Anda, semoga Anda bisa menjawabnya dengan terusterang yang bisa melegakan dada dan menghilangkan keraguan.

Kami di Mesir tidak mengenal madzhab yang lain kecuali madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah yang terdiri dari empat madzhab yang sudah dikenal yang dipimpin oleh para imam. Di antaranya oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad. Penduduk Mesir menganut tiga madzhab yang pertama. Madzhab Malik di daerah Sha’id dan sebagian kota yang ada di pinggir laut Merah, dan madzhab Syafi’ie dianut oleh sebagian besar penduduk pinggiran laut Merah, dan madzhab Hanafi hanya dianut oleh beberapa orang tertentu saja yang diwarisi dari zaman kekhalifahan Utsmaniyah.

Kami sama sekali tidak kenal yang namanya Syi’ah sedikit pun. Hal ini dikarenakan kami tidak pernah bersinggungan dengan mereka. Setahu saya, di Mesir tidak pernah ditemukan ada orang Syi’ah walaupun hanya seorang. Yang kami tahu bahwa mereka itu hanya orang-orang yang berlebihan di dalam mencintai dan fanatik terhadap Ahlul Bait. Sedangkan kami warga Mesir sebagaimana yang engkau ketahui cinta juga terhadap Ahlul Bait. Sebab kami memiliki beberapa situs Ahlul Bait yang biasa dikunjungi dan ada beberapa perayaan yang sering dirayakan. Misalnya terhadap Al-Husain, Zainab di Kairo, Ahmad Al-Badawi di Tanta dan yang lainnya.

Belum pernah sama sekali ada para ulama dari kalangan Ahlu Sunnah yang memuji Syi’ah ataupun mencelanya. Oleh karena itu, seluruh rakyat Mesir bersikap masa bodoh terhadap Syi’ah ini, baik dari sisi akidahnya maupun pemikiran-pemikirannya. Sampai kami dikagetkan di akhir-akhir tahun ini bahwa sebagian warga Mesir sudah ada yang meninggalkan madzhab Sunninya dan kemudian mereka beralih menjadi pengikut madzhab Syi’ah. Sebagian mereka ada yang giat menulis di koran-koran, ada juga yang menyebarkan selebaran, ada juga yang menulis buku yang berisi pandangan-pandangan miring terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah yang ujungnya mengajak masuk ke dalam madzhab Syi’ah. Setahu kami bahwa madzhab Syi’ah ini berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah yang kami fahami. Setelah beberapa kali pertemuan, kami tahu dari orang-orang yang berkata bahwa orang-orang itu (antek Syi’ah) bekerja karena bantuan finansial dari Iran. Mereka selalu menyerang Ahlu Sunnah, baik dahulu maupun sekarang. Sehingga hal ini membuat kami bingung, karena kami tidak mempunyai basic pengetahuan untuk membela pada saat orang-orang Syi’ah sangat terlatih di dalam menyebarkan berbagai macam tuduhan dan merubah-rubah perkataan dan bahkan mereka menciptakan kebohongan-kebohongan. Semua ini dilakukan dalam rangka perang terhadap Ahlu Sunnah yang masih disibukkan dengan urusan diri dan perutnya dan perpecahan internal yang terjadi.

Apakah memang ada perbedaan yang mendasar antara Sunni dan Syi’ah? Apa bentuk perbedaan ini? Bagaimana sikap Syi’ah yang sebenarnya terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat? Dan bagaimana kedudukan imam yang 12 orang itu?

Mengapa para ulama Ahlu Sunnah membiarkan kami tanpa dibekali pengetahuan walaupun hanya sekelumit, yang wajib diketahui oleh seorang Sunni tentang Syi’ah?

Saya yakin bahwa para ulama mempunyai tanggung jawab yang besar di hadapan Allah SWT dan di hadapan umat. Demikian juga Anda, Anda mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, sebab umat sudah percaya dengan ilmu Anda, dan percaya dengan seluruh nasihat Anda, keberanian dan semangat Anda terhadap agama Islam ini.

Saya mohon, - demikian juga seluruh teman-teman saya – mendapatkan penjelasan yang sangat jelas atas masalah ini. Sehingga semuanya jelas, hati menjadi tenang dan Allah SWT akan memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.

Harapan kami, semoga Anda tidak menyepelekan masalah ini atau terlambat menjawabnya.
Semoga Allah SWT melindungi Anda, juga membimbing langkah Anda.

Dr. Abdullah Salim (Dosen perguruan tinggi)

Jawaban:
Segala puji bagi Allah SWT, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya dan juga kepada seluruh umatnya yang mengikuti petunjuknya. Amma ba’du, 

Sungguh, saudara telah mengupas dengan tegas di dalam surat ini, yaitu tentang luka yang kami diamkan sejak lama dan kami baru berusaha untuk membalutnya dengan perban agar darah luka itu berhenti mengalir. Atau kami baru berusaha untuk memberi obat pereda sakit yang tidak akan membasmi bakteri ke akar-akarnya. Sejak lama pula, kami telah mewanti-wanti untuk tidak membahas topik ini untuk menghindari perpecahan golongan atau membangunkan fitnah yang sedang tertidur. Kami sengaja membiarkan saudara-saudara kami dari Ahlu Sunnah agar lalai, tidak mempunyai wawasan yang cukup tentang hal ini. Padahal di sisi lain, ada kader-kader yang sedang disiapkan dan dilatih untuk menyebarkan madzhab Syi’ah di kalangan Ahlu Sunnah. Ketika ada kesempatan, dengan cepat para kader Syi’ah ini langsung memanfaatkannya. Mereka pun menebarkan jaring-jaringnya dari atas kuda mereka. Ada saja orang yang terperangkap ke dalam jaring mereka ini! Memang benar jika mereka itu (orang-orang Syi’ah) jumlahnya hanya sedikit. Akan tetapi jumlah yang sedikit bisa menjadi banyak jika terbuka kesempatan dan sebab-sebab ke arah sana (bertambah pengikut) masih ada. Tanggung jawab pertama ada di tangan kami sebagai para ulama Ahlu Sunnah yang mana kami telah berjanji di hadapan Allah SWT bahwa kami akan senantiasa menjelaskan kebenaran dan tidak akan menyembunyikannya.
Kewajiban ini menjadi kuat ketika bahaya sudah menjadi-jadi di hadapan kita dalam bentuk jaringan terorganisir yang dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai semangat tinggi, bukan hanya sekedar pegawai biasa. Tangan mereka membawa bermilyar-milyar dolar untuk memuluskan tujuan ini dan di belakang mereka ada negara ideologis, kuat dan makmur yang membiayainya.

Saya telah mengikuti berbagai seminar pendekatan antara Sunni dan Syi’ah di Rabbat-Maroko, Bahrain, Damaskus dan Doha. Saya juga pernah berkunjung ke Iran dan bertemu dengan presiden Iran, seorang cendikiawan bernama DR. Muhammad Khatami. Saya juga telah bertemu dengan banyak Mullah dan Ayatullah di beberapa kota di Iran. Pada semua kesempatan ini, saya selalu menekankan kepada mereka beberapa perkara penting, di antaranya:

Pernyataan tegas dari pihak Syi’ah bahwa Al-Qur`an itu (sebagaimana yang tertera di mushaf kaum muslimin saat ini) adalah firman Allah SWT yang diturunkan (untuk manusia). Al-Qur`an ini terpelihara, tidak ada pengurangan dan tidak ada penambahan sedikitpun. Tidak ada hal-hal rancu di dalamnya.
Berhenti mencela para sahabat. Karena para sahabat lah yang telah menukil Al-Qur`an untuk kita, meriwayatkan As-Sunnah, melakukan penaklukan damai dan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji mereka.
Berhenti melakukan penyebaran sebuah madzhab di sebuah negara yang dihuni pemeluk madzhab tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dari Libanon, ”Berhenti menyebarkan faham sebuah madzhab di negara bermadzhab lain”.

Mengakui hak-hak minoritas, baik Sunni maupun Syi’ah.

Walaupun saudara-saudara kami dari Syi’ah membenarkan ucapan saya ini secara teori, akan tetapi mereka tidak menepati janji mereka dalam prakteknya. Khususnya poin nomor 3, yaitu berhenti melakukan penyebaran madzhab Syi’ah di negeri-negeri Sunni. Kami melihat mereka bersikap masa bodoh. Mereka menerobos masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan kekaguman Ahlu Sunnah atas sikap Syi’ah di bidang politik dan militer. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai alat propaganda.

Dahulu Mesir merupakan negara yang seratus persen dihuni oleh Ahlu Sunnah. Demikian juga dengan Sudan, Libya, Al-jazair, Tunis, Maroko, dan Mauritania. Tidak ada Syi’ah di sana walaupun hanya seorang, meski dahulunya Mesir dan Afrika Utara dikuasai oleh Daulah Bani Fathimiyah (Daulah Syi’ah). Akan tetapi hal ini tidak membuat rakyat Mesir menjadi penganut Syi’ah walaupun ada banyak iming-iming materi yang ditawarkan kepada rakyat Mesir. Pada saat itu, di Mesir ada slogan seperti ini, ”Barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan menerima satu dinar dan kacang!” Maksudnya barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan mendapatkan satu Dinar uang emas dan hadiah kacang-kacangan atau gandum (sembako).

Pada saat Shalahuddin Al-Ayyubi berkuasa di Mesir, penganut madzhab Sunni di Mesir adalah 100 %. Pada saat itu, Al-Azhar menjadi mercusuar madzhab Sunni sampai beberapa abad lamanya. Sampai akhir tahun-tahun yang penuh ujian ini, orang-orang dikagetkan – sebagaimana yang dikatakan oleh penanya-, ada orang yang terang-terangan mengaku sebagai Syi’ah dan mendakwahkannya! Tentu, masalah ini perlu diklarifikasi dan inilah saatnya dan jangan sampai terlambat. Pada saat inilah saya berkewajiban menjawab pertanyaan saudara penanya.

Apakah ada perbedaan yang mendasar antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah? Apa saja bentuknya?

Kami jawab: Kami melihat bahwa ada dari sebagian orang-orang Syi’ah yang tidak mempunyai perbedaan yang mendasar dengan kami (Ahlu Sunnah). Baik dalam masalah ushul maupun di dalam masalah furu’. Contohnya adalah Syi’ah Zaidiyyah yang tersebar di Yaman. Mereka mengakui kitab-kitab Ahlu Sunnah seperti Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Kutubus Sittah (Kitab 6 Imam) yang lainnya, juga Al-Muwaththa, Musnad Imam Ahmad dan seluruh para pengarang kitab hadits. Sebagian kitab-kitab Syi’ah Zaidiyah sama dengan kitab-kitab Ahlu Sunnah, baik di dalam hal sumber maupun isinya. Contohnya kitab Ar-Raudhu An-Nadhir yang menjelaskan seluruh hadits kumpulan Imam Zaid bin Ali RA. Tapi terdapat pula perbedaan di dalam cabang-cabang akidah, seperti perbedaan yang terdapat antara Ahlu Sunnah dengan Mu’tazilah. Akan tetapi Syi’ah Zaidiyyah tidak pernah mencela para sahabat dan juga mereka meyakini bahwa Al-Qur`an tidak terjadi pengurangan maupun penambahan dan lain-lainnya.

Perbedaan yang dimaksud di dalam pembahasan kali ini adalah perbedaan antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah. Karena mereka itulah, ada sebuah pertanyaan yang menuntut agar dibedakan antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah. Jawabannya, sudah jelas dan gamblang.  

Di dalam masalah fiqih dan furu, secara praktis tidak ada perbedaan mencolok antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah atau Ja’fariyah. Perbedaan fiqih kita dengan mereka sama halnya dengan perbedaan antara madzhab-madzhab yang ada di kalangan Ahlu Sunnah. Kita lihat Imam Asy-Syaukani menyebutkan madzhab Ahlul Bait di dalam kitabnya Nailul Authar. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari kalangan Sunni yang keberatan atas hal ini. Karena tidak ada perbedaan yang mendasar di antara madzhab-madzhab tersebut.

Akan tetapi, secara fiqih ada beberapa bentuk amaliyah munkarah (perbuatan munkar) yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Misalnya masalah ucapan tasyahud di dalam adzan yang ditambah menjadi 3, dengan ucapan, ”Aku bersaksi bahwa Ali Wali Allah!” benar para ulama Syi’ah telah sepakat bahwa penambahan ini tidak ada dasarnya di dalam ajaran (fiqih) mereka. Akan tetapi hal ini dibiarkan saja karena mereka takut orang-orang awam akan marah besar!

Sesungguhnya perbedaan yang mendasar di antara kedua madzhab ini (Sunni dan Syi’ah) adalah perbedaan di dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh karena itu, sebutan untuk perbedaan ini adalah perbedaan di antara dua golongan, yaitu Ahlu Sunnah di satu sisi dan Syi’ah di sisi yang lainnya. Perbedaan ini bukan di antara dua madzhab fiqih.

Sikap Ahlu Sunnah terhadap firqah Syi’ah terbagi ke dalam tiga golongan.
1. Golongan Sunni yang Mengkafirkan Syi’ah 
Kelompok pertama yaitu orang-orang yang mengafirkan Syi’ah dan menganggap mereka telah murtad dari Islam. Inilah pendapat orang-orang salafi secara umum. Apalagi kelompok salafi yang berlebihan, bukan hanya mengkafirkan Syi’ah tapi juga mengkafirkan kelompok Ahlus Sunnah lainnya yang fahamnya berseberangan dengan mereka atau orang-orang yang biasa melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bisa ditakwilkan.

Di antara penulis yang menuliskan masalah ini secara ilmiah yaitu buku yang ditulis oleh Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib, seorang ahli sejarah dan pentahqiq senior yang juga direktur Majalah Al-Fath dan Majalah Az-Zahra yang mengusung tema pemurnian Islam di zamannya. Beliau juga adalah pimred harian Al-Ikhwan Al-Muslimun dan majalah Al-Azhar untuk beberapa periode.

Ustadz Al-Khathib telah menulis bukun berjudul, “Al-Khuthuth Al-’Aridhah allati Qama ’Alayha Din Al-Syi’ah” (Dasar-dasar yang Dipegang oleh Agama Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah). Buku ini mengupas permasalahan yang sangat penting tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap Al-Qur`an bahwa Al-Qur`an telah dirubah-rubah dan dikurang-kurangi. Penulis Syi’ah yang menulis buku tentang perubahan di dalam Al-Qur`an adalah Fashlu Al-Khithab fi Itsbati Tahrif Kitabi Rabbil Arbab (yang dimaksud dengan kitab adalah Al-Qur`an) karya An-Nuri Ath-Thabrasi yang kematiannya selalu diperingati secara meriah oleh orang-orang Syi’ah dan dikuburkan di dekat kuburan Imam Ali RA.    

Beliau menjelaskan tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap As-Sunnah dan terhadap para sahabat, ajaran Taqiyyah dan beberapa hal lainnya. Singkat kata, madzhab Syi’ah ini mempunyai perbedaan yang sangat jauh dengan madzhab Ahlu Sunnah.

Ustadz Muhibbuddin Al-Khathib juga menulis beberapa buku dan artikel yang berisi pembelaan terhadap para sahabat. Seperti buku yang berisi resensi dan catatan penting beliau terhadap buku yang ditulis oleh Abu Bakar bin Al-Araby tentang para sahabat yang berjudul, Al-‘Awashim min Al-Qawashim. Buku lainnya yaitu tentang catatan beliau terhadap buku Al-Muntaqa dari kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi. Beliau juga menulis buku dengan judul, Bersama Generasi Pertama. Buku ini berisi penjelasan dan pembelaan tentang kedudukan para sahabat di dalam Islam, jihad serta upaya mereka di dalam membela sang Penutup para nabi. 

Beberapa saat setelah itu, muncullah buku ulama Pakistan yang sangat terkenal, yaitu Ihsan Ilahi Zhahir yang memperluas pembahasan buku Al-Khathib tersebut. Beliau berargumentasi dengan buku-buku Syi’ah sendiri, juga melakukan pembantahan terhadap tuduhan-tuduhan Syi’ah. Sampai akhirnya beliau syahid ditembak di salah satu pertemuan yang beliau hadiri. Orang-orang Syi’ah lah yang berada di balik aksi penembakan beliau ini.

Saya berpendapat bahwa di dalam masalah ini terdapat sikap berlebihan menghukumi orang-orang Syi’ah secara umum. Terutama mengenai masalah pengkafiran-pengkafiran yang mencap orang lain telah murtad dari Islam- adalah masalah yang sangat berbahaya. Sejak lama, saya telah menulis sebuah buku dengan judul, “Zhahirat Al-Ghuluww fi At-Takfir” Sikap Berlebihan di Dalam Mengafirkan Orang Lain. Saya melihat bahwa yang harus dilakukan di dalam masalah ini adalah bersikap hati-hati, melakukan penelitian terlebih dahulu dan bermusyawarah sebelum mencap orang lain dengan cap kafir. Bagaimana pula halnya dengan mengafirkan sebuah jamaah (perkumpulan seperti Syi’ah) yang terdiri dari puluhan juta orang?!

Selagi ada celah untuk perkataan atau perbuatan itu ditakwil yang bisa mengeluarkan musuhnya dari kekafiran, maka seyogyanya seorang alim menempuh hal itu. Sebab tidak boleh mengkafirkan orang lain kecuali dengan indicator pasti yang tidak bisa ditafsirkan kecuali dengan mencapnya sebagai orang kafir, seperti telah mengucapkan sesuatu atau melakukan perbuatan kufur yang nyata. Kami berpendapat bahwa sikap moderat adalah, ”Sesungguhnya mereka mengafirkan orang secara umum dan tidak mengafirkan orang per orang (tertentu saja) kecuali dengan banyak syarat.”

Pada bagian buku saya ini terdapat pembahasan tentang fatwa takfir dan syarat-syaratnya. Fatwa ini adalah fatwa saya yang lama. Silahkan dikaji kembali.

Memang ada hadits tentang perpecahan umat Islam sehingga terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Namun hadis itu masih tetap menggolongkan firqah-firqah yang sesat dan celaka itu sebagai bagian umat Islam ini, dan tidak mengeluarkan mereka darinya, ketika beliau bersabda, ”UMMATKU akan terpecah belah!”

Saya juga ingin mengatakan, sesungguhnya dari kalangan orang-orang Syi’ah ada yang ekstrim dan suka mengkafirkan Ahlu Sunnah. Kami telah menukil sebagian perkataan mereka itu di beberapa forum. Bahkan di antara mereka ada yang berani mengafirkan para sahabat. Ada juga yang berani mengafirkan umat Islam seluruhnya, kecuali yang tidak kafir hanya Syi’ah, seperti yang tercantum di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyah karya Syaikh Nikmatullah Al-Musawi Al-Jazairi.

2. Orang-orang Sunni yang Melihat Syi’ah dari Sisi Politik Semata

Kelompok kedua adalah kebalikan dari kelompok pertama yang suka mengafirkan Syi’ah. Kelompok ini tidak pernah melihat Syi’ah dari sisi akidah dan pokok-pokok ajaran mereka yang bertentangan dengan akidah mayoritas umat Islam. Mereka ini tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ajaran atau keyakinan mereka terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat. Mereka juga tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ucapan mereka yang mengatakan bahwa para Imam mereka adalah orang-orang maksum, mengetahui hal gaib yang tidak diketahui oleh para nabi dan ucapan mereka bahwa Imamah adalah pokok ajaran Syi’ah yang barangsiapa menolaknya, maka dia dicap kafir. Kelompok ini juga tidak memperhatikan Syi’ah dalam hal tingkah laku mereka yang menyimpang. Misalnya peristiwa peringatan wafatnya Al-Husain RA setiap tahunnya dengan cara menampar pipi, merobek-robek kantong baju, juga memukul dada dan punggung sampai berdarah-darah. Ritual ini terus diamalkan sampai lebih dari tiga belas abad lamanya. Mereka juga beriman bahwasanya Al-Mahdi itu ada dan sekarang sedang bersembunyi di Sirdab dan belum keluar dari persembunyiannya sejak 11 abad yang lalu. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi sunnatullah pada usia manusia.

Kelompok Sunni ini tidak menghiraukan semua akidah Syi’ah yang batil ini. Kelompok ini hanya melihat sisi politiknya saja sebagai buah dari Revolusi Imam Khumaeni. Di antara yang menonjol adalah Iran berani menantang Amerika Serikat dan anak emasnya Israel. Hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok pejuang Hizbullah (Syi’ah) di Libanon yang perang melawan Israel pada musim panas tahun 2006 M.

Oleh sebab itulah, kita harus diam saja dan jangan membicarakan madzhab mereka (Syi’ah) dan akidah mereka. Juga strategi mereka untuk menumpas masyarakat Sunni dengan persiapan dana jutaan bahkan milyaran dollar Amerika yang ditunjang dengan orang-orang yang sudah terlatih dan siap berperang, pada saat Ahlu Sunnah tidak memiliki pertahanan sedikit pun. Realita ini persis dengan pertanyaan yang ditanyakan oleh saudara penanya, ”Sesungguhnya para ulama Ahlu Sunnah tidak membekali ilmu yang memadai untuk membendung Syi’ah dan mereka membiarkan dada para pengikut Ahlu Sunnah terbuka sehingga menjadi sasaran empuk anak panah dari kanan maupun dari kiri.”

Saya melihat di sini bahwa kita harus bisa membedakan mana siasat politik mereka dan mana ajaran atau akidah mereka. Kita hanya mendukung dari sisi politik mereka melawan Amerika dan Israel. Kita juga hanya mendukung Iran dari sisi pengembangan nuklir dan kita akan menolak segala bentuk intervensi  atas hak mereka di dalam pengembangan reaktor nuklir. Kita juga berdiri dengan segala kekuatan kita untuk melawan Amerika jika mereka melakukan serangan militer terhadap Iran. Inilah yang saya terangkan dengan sangat jelas, alhamdulillah. Saya katakan, ”Kita akan melawan Amerika jika Iran diserang!” Ucapan saya ini telah disiarkan oleh stasiun tv milik Iran. Mereka memuji saya dalam hal ini dan mengucapkan ucapan terimakasihnya melalui telepon. Perlu dicata, saya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang saya anggap sebagai kebenaran!

Saya pun mendukung tentara Hizbulloh pada saat mereka perang melawan Israel. Saya juga telah membantah fatwa salah satu ulama senior Saudi yaitu Syaikh Jibrin di dalam program TV Aljazeera yang bertajuk “Syariah dan Kehidupan”. Di dalam buku ini pun ada fatwa mengenai masalah ini.

Yang jelas,  resistensi kita terhadap ajaran Syi’ah tetap ada, dan sikap kita tidak berubah terhadap pokok-pokok ajaran mereka. Demikian pula sikap saya tetap tegas menolak segala bentuk penyebaran ajaran Syi’ah ke tengah-tengah Ahlu Sunnah!

3. Kelompok Pertengahan
Di antara kedua kelompok yang telah disebutkan, ternyata ada satu kelompok yang moderat. Kelompok ini hanya berseberangan dengan Syi’ah dari sisi keyakinan dan pokok-pokok ajaran mereka dan juga tingkah laku serta slogan ciri khas mereka. Misalnya ada tiga syahadat di dalam adzan mereka atau peringatan wafatnya Husein di hari Asyuro setiap tahunnya. Padahal yang diajarkan di dalam As-Sunnah bahwa kita tidak boleh bertakziyah setelah tiga hari sejak wafatnya seseorang. Akan tetapi kelompok ini tidak sampai mengkafirkan Syi’ah dengan kufur yang nyata dan besar, kecuali untuk beberapa hal yang tidak bisa ditakwil dan dihukumi kafir untuk pelakunya.  

Posisi kita adalah bergabung dengan kelompok yang tidak mengkafirkan Syi’ah ini secara mutlak. Namun, kelompok pertengahan ini berbeda pandangan secara tajam dengan Syi’ah di beberapa masalah utama, di antaranya:

1. Sikap Syi’ah terhadap Al-Qur`an.
Sikap mereka terhadap Al-Qur`an seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan Al-Qur`an yang kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur`an adalah firman Allah SWT. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al-Qur`an ini dihafal oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al-Qur`an di dalam masalah pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al-Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al-Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”

Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak mengafirkan orang yang telah mengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan pengurangan terhadap Al-Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia sebagai orang kafir!

Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al-Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al-Bukhari bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan lalu didistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”

2. Sikap Syi’ah terhadap As-Sunnah 
       
Definisi As-Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah SAW yang telah dimaksum oleh Allah SWT dan Dia perintahkan umat Islam untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An-Nur [24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,” (QS An-Nur [24]: 56). “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS An-Nisa [04]: 59). “Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An-Nisa [04]: 80). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi batasan As-Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah SAW dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya, sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah SAW melainkan juga sunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Mereka telah menambahkan perintah Al-Qur`an untuk taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah SWT sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah karena telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan hafalan.

Oleh karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari, Muslim dan kutub sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al-Muwatha, Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.

3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah SAW telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat telah berkhianat terhadap Rasulullah SAW yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang mereka miliki.

Yang mengherankan, apakah mungkin para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali RA –sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya ini. Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah SAW?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al-Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah SAW, tapi mengapa justru Al-Hasan mengalah dan memberikan jabatan khalifah ini kepada Muawiyah? Mengapa Al-Hasan melakukan hal ini, padahal ini merupakan perintah dari Allah SWT? Dan mengapa justru Rasulullah SAW di dalam haditsnya (hadits ramalan Rasulullah SAW) memuji sikap Al-Hasan ini?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka!

Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah SWT sebutkan di dalam beberapa surat Al-Qur`an. Seperti di akhir surat Al-Anfal, surat At-Taubah, surat Al-Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al-Hasyr dan surat-surat lainnya.

Demikian pula As-Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah Rasulullah SAW.

Juga apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal Al-Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah menukil As-Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau kepada umat ini.
Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah SWT dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.

4. Imamah Ali dan keturunannya yang berjumlah 12 imam merupakan pokok ajaran mereka. Barangsiapa yang menolak, maka dia dicap kafir.
Di antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah SWT, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah SWT iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah SWT. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al-Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.

Atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas nama Allah SWT dan rasul-Nya.

Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali RA. Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah SAW.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa dia mempunyai nas wasiat dari Allah SWT dan Rasul-Nya.

Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.

Syaikh Muhammad ‘Arfah seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al-Azhar pada zamannya telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata : ”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah SAW wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin Babwaih Al-Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu adalah pengarang kitab yang berjudul, Man La Yahdhuruhul Faqih, salah satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia berkata, ”Kami berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi mereka menolak Nabi Muhammad SAW.”  Dia juga berkata di dalam Risalat Al-I’tiqadat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah SAW), artinya dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku, artinya dia telah menolak rububiyah Allah SWT.”

Rasulullah SAW telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya  kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi. Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku; barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”
Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir adalah Al-Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata, ”Barangsiapa yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]

5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali
Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali menjadi khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai ciri khas kaum muslimin, ”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy-Syura [42]: 38).
Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah SWT harus menentukan siapa orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan menakhodai umat ini.

Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”

Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana mungkin Allah SWT akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk membimbing kami!” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal ini.

6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia
Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioritas (merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah SWT.  Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan langit.

Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam AS. Mereka semua diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali dengan taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Sesungguhnya manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya meraih ridha-Nya. Allah SWT berfirman, ”Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,” (QS Al-Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah SWT menyebutkan bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al-Mizan yang tidak akan menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan melanggar batasan-batasan Allah SWT dan hak-hak manusia.

Hanya Rasulullah SAW saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al-An’am [06]: 124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.

Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku berhak menduduki sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al-Qur`an/As-Sunnah), ternyata mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia pada umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di bidang fiqih, seperti Muhammad Al-Baqir dan Ja’far Ash-Shadiq seperti imam-imam fiqih lainnya.

7. Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahwa para ahli kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, bisa membuat miskin dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun sengsara.

Saya (Syaikh Yusuf Al-Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para ulama Syi’ah.

Hal ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka (para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam ini! Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.

8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah   

Sesungguhnya Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani merubah alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman terjadinya futuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencoba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam sebagai figur  untuk mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya.  
 
Sedangkan sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah buku dengan judul, Sejarah Kita yang Diselewengkan. Buku ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata, ”Yusuf Al-Qardhawi ini wakil Allah SWT atau wakil Bani Umayyah?”[2]

9. Ajaran Taqiyyah
Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi (bermuamalah) dengan orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.

Mereka berdalih dengan firman Allah SWT, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian, seperti firman Allah SWT, ”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An-Nahl [16]: 106).

Pengecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.

Akan tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah mereka karena para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash-Shadiq bahwasanya dia telah berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, ”Allah SWT telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.”  [3]

Pendapat para ulama senior Al-Azhar tentang Syi’ah
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengatakan bahwa semua penjelasan saya tentang Syi’ah ini bukan semata-mata pendapat saya sendiri. Akan tetapi merupakan pendapat para ulama senior Al-Azhar terhadap Syi’ah. Seperti Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (mantan Mufti Mesir), Syaikh Muhammad ‘Arfah (anggota Lembaga Ulama Senior dan mantan ketua divisi Bimbingan dan Penerangan), Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq (mantan Mufti Mesir dan Grand Syaikh Al-Azhar), Syaikh Athiyah Shaqer (ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir (Wakil Syaikh Al-Azhar dan mantan Menteri Waqaf Mesir).

Akan tetapi karena keterbatasan tempat, tidak memungkinkan bagi saya untuk menyebutkan seluruh perkataan para ulama senior tersebut yang berkompeten di dalam masalah ilmu dan memiliki peranan di dalam melakukan perbaikan di dalam hidup mereka. Tidak pernah ada tuduhan yang diarahkan kepada mereka, baik tuduhan fanatisme maupun tuduhan konservatif (tertutup).

Syaikh Makhluf telah menyebutkan macam-macam Syi’ah. Di antaranya: Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah yang berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW telah membuat wasiat bahwa Ali harus menjadi khalifah setelah beliau wafat. Karena Ali adalah ahli waris beliau. Kelompok Syi’ah ini berani mencela para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar. Bahkan mereka juga berani mengafirkan para sahabat. Mereka juga berkeyakinan bahwa imamah itu hanya terbatas kepada imam mereka yang berjumlah dua belas orang yang mereka yakini kemaksumannya dan mereka meyakini Imam Mahdi akan muncul ke dunia ini, dsb.

Syaikh Makhluf berkata, ”Ajaran Islam tidak pernah mengajarkan keyakinan seperti ini, baik secara global maupun secara terperinci. Tidak ada orang yang maksum selain para nabi dan rasul. Juga tidak ada ajaran yang menyatakan bahwa imamah itu hanya terbatas di Ahlul Bait atau hanya terbatas dua belas imam saja. Juga Rasulullah SAW tidak pernah memberikan wasiat kepada Ali, baik dengan nash yang terang maupun samar. Islam juga tidak mengenal istilah Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu yang diyakini oleh Syi’ah sedang bersembunyi dan masih hidup di bumi sampai sekarang yang akan muncul di akhir zaman. Juga tidak boleh mengkultuskan orang lain selain para rasul. Juga tidak ada keterangan yang memerintahkan untuk pergi berziarah ke Karbala dan Najaf, dan memuliakan kedua kota tersebut. Juga tidak ada perintahnya untuk menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung. Justru yang ada adalah perintah untuk shaum di hari Asyuro.”

Inilah perkataan Syaikh Makhluf yang didukung oleh perkataan para ulama senior yang lainnya. Hal ini seperti yang telah dinukil oleh Dr. Muhammad Yusri di dalam bukunya yang berisi kumpulan fatwa-fatwa ini dengan judul, Himpunan Fatwa Ulama Senior Al-Azhar tentang Syi’ah dan Sekte-sektenya. Buku ini diedit oleh dua orang profesor Al-Azhar yaitu Muhammad Al-Khasyu’i dan ‘Abdul Aziz Quraisyi. Buku ini adalah kumpulan fatwa ilmiyah yang lengkap dengan kutipan dari referensi kitab-kitab Syi’ah dan bukan dari kitab musuh-musuh Syi’ah. Pesan saya kepada saudara saya sesama muslim jika Anda ingin mencari kebenaran, saya persilahkan untuk membaca buku himpunan fatwa ulama tersebut.
Akan tetapi dari buku ini, saya hanya akan mengutipkan perkataan Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir. Beliau adalah seorang tokoh yang sudah terkenal akan keterbukaan beliau terhadap dunia ini. Beliau telah banyak melakukan kunjungan ke berbagai negara Islam di seluruh dunia. Beliau juga pernah menjadi perwakilan (utusan) Al-Azhar di India. Di sana, beliau menulis buku tentang sejarah Islam di India. Beliau juga merupakan Pimpinan Redaksi Majalah Al-Wa’ie Al-Islami di Kuwait. Beliau juga mengeluarkan pandangan-pandangan dan tulisan-tulisannya yang terbaru (up to date), sehingga beliau tidak pernah dituduh sebagai ulama jumud atau fanatik.

Pendapat Dr. Abdul Mun’im An-Namir, mantan Menteri Waqaf Mesir tentang Syi’ah
   
Beliau telah mencantumkan di dalam bukunya yang berjudul, Syi’ah dan Al-Mahdi yang berisi dialog beliau dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri, seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syi’ah.

Beliau berkata, ”Bismillaahir rahmaanir rahiim, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog yang terjadi antara saya dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran yang sering menjadi utusan Pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai macam muktamar (konferensi) dan seminar tentang Islam. Beliau adalah ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Ternyata, sejak masih muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota suci Syi’ah di Irak. 

Pertemuan ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di areal Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang terletak kurang lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang disponsori Pemerintah setempat dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan dengan tanggal 9-13 April 1988 M.  Seminar ini dihadiri banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam, misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M)

Di sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri. Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.

Di hari keduanya saat break seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa telah terjadi perubahan terhadap Al-Qur`an dan para sahabat yang telah mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpim setelah Rasulullah SAW wafat.”

Saya jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian. Saya pun menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab Fashlul Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbaab. Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah, Syaikh Husein An-Nuuri Ath-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini. Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzhalimi kalian, karena semua yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini dikuburkan di Najaf, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syi’ah, di dekat kuburan Imam Ali Al-Murtadha.”

Beliau berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab ini di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah.”

Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu? Mengapa pula kalian tidak mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian mendistribusikan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran madzhab kalian. Apakah ada sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syi’ah pada saat ini (Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syi’ah adalah tidak benar, seperti kitab An-Nuur Ath-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para sahabat yang telah mengumpulkan Al-Qur`an bahwa mereka itu telah merubahnya. Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan dicetak ulang. Apakah kalian berat melaksanakan ini semua?” 

Kalian tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka dari tuduhan bahwa telah Al-Qur`an telah dirubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah merubah-rubah Al-Qur`an. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan ini?

Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal kami tidak pernah mengatakan seperti ini.” 

Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada Fathimah setelah wafat orang tuanya (Rasulullah SAW). Adalah Ali RA sebagai pencatat wahyu tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari disebut dengan Mushaf Fathimah.”

Saya baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara peringatan lahirnya Fathimah. Imam Khumaini berkata, ”Sesungguhnya saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti Fahimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafiy.” Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para isteri pembesar Iran.

Kitab Al-Kaafiy yang ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syi’ah yang sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal ini lah yang memaksa saya pergi ke kota Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syi’ah. Di sana saya bisa melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.

Saya telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan tentang turunnya wahyu kepada Fathimah dan mushafnya secara jelas. Apakah dengan ini saya dianggap telah melukai dan menzhalimi kalian gara-gara saya melampirkan seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut teksnya?

Beliau berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!” 

Saya bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian mendistribusikan kitab ini (kitab Al-Kaafiy) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah menerjemahkanya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang yang faham bahasa Inggris di Barat dan di Timur! Saya sendiri mempunyai cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa dikatakan jika kitab Al-Kaafiy ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab kalian telah berupaya keras dan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda madzhab kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”

Beliau berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat. Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”

Saya jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat Israiliyat dan hadits-hadits yang tidak shahih. Akan tetapi sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat, hadits-hadits palsu dan hadits-hadits yang tidak shahih. Dibandingkan dengan kalian, kami lihat kalian terus memperbaharui cetakannya dan kemudian kalian mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai negara! Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang sangat kuat?”

Di hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari kalangan para ulama yang memberitahu saya bahwa Syaikh Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke RS Sulthan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan jantung ini. Akhirnya, saya buru-buru pergi ke RS untuk melihat kondisinya. Di RS, saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di usus dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Pak Menteri bersalaman dengan kami. Di RS saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar keduanya (Pak Menteri dan Syaikh) leluasa bercengkrama.

Pada hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu An-Nur mengajak saya untuk menjenguk Syaikh di RS. Pada saat tiba di RS, kami melihat kamar Syaikh telah kosong dari para penjenguk. Teman saya ini mengajak saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”

Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini membutuhkan sebuah fatwa syariah Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”

Saya katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keamanan kota suci (Mekah) perlu fatwa, padahal sudah ada nash yang jelas yang menguatkan akan keamanan kota suci. Misalnya firman Allah SWT, ”Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman kepada seluruh makhluk yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan, dan juga dilarang beradu pendapat (adu mulut) di areal tersebut, apakah setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran, kemudian mereka melakukan demontrasi meneriakkan yel-yel nama Khumaini, mereka memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang terlihat beringas. Hasil dari ini semua sudah bisa diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”

Wahai saudaraku... sengaja saya menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang yang kita sering bermuamalah dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya!

Kitab Kasyful Asrar karya Imam Khumaini dan Tuduhannya terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab

Di depan saya ada kitab yang berisi dialog antara Ruhullah Khumaini dengan penentangnya dari kalangan Ahlu Sunnah. Imam Syi’ah ini berdalil bahwa keyakinan imamah adalah benar dan wajib diimani oleh setiap muslim. Beliau melanjutkan dengan perkataannya di bawah ini:
”Keyakinan harus menolak Abu Bakar adalah perintah Al-Qur`an. Beliau mulai berbicara dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur`an tentang mewariskan tahta kekuasaan. Di antaranya, ”Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud,” (QS An-Naml [27]: 16), ”Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku  seorang anak dari sisi-Mu, yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya‘qub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai,” (QS Maryam [19]: 5-6) dan ayat-ayat lainnya. Dari sini beliau berdalih bahwa ajaran mereka adalah benar bahwa Ali RA akan menerima warisan kekuasaan dari Rasulullah SAW.”

Kemudian beliau juga mengutip dalil-dalil bahwa Abu Bakar telah melanggar nash Al-Qur`an, kemudian dia sesuaikan dengan hawa nafsunya dan berupaya untuk menjauhkan Ahlul Bait dari pemerintahan. Abu Bakar juga telah menzhalimi Ahlul Bait di dalam kehidupan ini ketika dia membuat sebuah hadits yang berbunyi, ”Kami sekalian para nabi tidak mewariskan apa-apa. Yang kami tinggalkan hanya sedekah.”
Kemudian beliau di halaman 114 menjelaskan penyimpangan Umar bin Khaththab dari Al-Qur`an. Ia (Khumaini) telah menyebutkan beberapa kejadian lalu menafsirkannya sesuai dengan keinginannya. Misalnya kejadian pada saat Rasulullah SAW menyuruh Umar agar menulis sebuah surat dan lain-lainnya. Penulis juga mencantumkan ucapan Umar dalam kisah ini. Setelah penulis mencantumkan sumber rujukannya, dia berkata, ”Kisah ini menguatkan bahwa kebohongan itu berasal dari Umar bin Khaththab sang penipu!”

Kemudian di paragraf berikutnya penulis mengatakan beberapa ucapan Umar bin Khaththab dalam masalah ini, ”Sesungguhnya ucapan-ucapan itu berdiri di atas dasar kebohongan dan berasal dari perbuatan kufur dan zindiq!” (hal. 116). Masih di halaman yang sama dari buku tersebut, penulis membuat sub judul, ”Kesimpulan Kami tentang Masalah Ini,” kemudian dia menulis di bawahnya, ”Dari semua bahasan yang telah lalu, jelaslah bahwa penyimpangan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab terhadap Al-Qur`an menurut kaum muslimin bukan masalah penting.” Penulis berdalil tentang masalah ini bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khaththab tidak pernah mau mendengarkan pendapat orang lain. Keduanya juga tidak mau lengser dari jabatannya, juga Ahlu Sunnah tidak siap untuk melengserkan keduanya, walaupun Umar bin Khaththab berkata, ”Sesungguhnya Allah SWT, malaikat Jibril dan nabi telah salah menurunkan ayat ini.” Hal ini sama sebagaimana kaum muslimin juga berusaha untuk mendukung inovasi dan perubahan yang terjadi (disebabkan Umar) di dalam agama Islam. (hal. 117).

Sampai seperti ini Imam Khumaini menulis tentang Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Dia menuliskan semua ini pertama-tama untuk para pengikutnya untuk menanamkan keyakinan seperti ini terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Sudah jelas, keyakinan ini kita tolak dan kami berlindung kepada Allah SWT dari orang yang mempercayainya. Oleh karena itu, jangan heran apa yang dikutip dari ucapan Imam Khumaini dalam karya-karyanya bahwasanya dia menyebut Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dengan sebutan Al-Jibt dan Thaghut. Dia juga menamai keduanya dengan sebutan Dua Berhala Quraisy. Dia dan jemaahnya berkeyakinan bahwa melaknat Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Aisyah dan Hafshah akan mendatangkan pahala dari Allah SWT. Demikianlah, tuduhan ini juga mereka alamatkan kepada Utsman bin Affan. [4]  
   
Jangan heran, inilah pendapat Imam Khumaini tentang Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat yang lainnya, sampai dia membuat sebuah doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT secara berjamaah yang dinamai dengan Doa Dua Berhala Quraisy. Mereka selalu membaca doa ini,

بسم الله الرحمن الرحيم، اللهم صل على محمد و آل محمد..اللهم العن صنمي قريش و طاغوطيهما و إفكيها وابنيهما الذين خالفا أمرك و أنكرا وحيك و جحدا إنعامك و عصيا  رسولك و قلبا دينك و حرفا كتابك و أحبا أعداءك و جحدا آلاءك و عطلا أحكامك و أبطلا فرائضك و ألحدا في آياتك و عاديا أولياءك و واليا أعداءك و خربا بلادك و أفسدا عبادك، اللهم العنهما و أتباعهما و أولياءهما و أشياعهما و محبيهما فقد خربا بيت النبوة  و ردما بابه و نقضا سقفه و ألحقا سماءه بأرضه و عالية بسافله و ظاهره بباطنه واستأصلا أهله و أبادا أنصاره و قتلا أطفاله و أخليا منبره من وصيه و وارث عمله، و جحدا إمامته و أشركا بربهما فعظم ذنبهما و خلدهما في سقر و ما أدلراك ما سقر لا تبقي و لا تذر، اللهم اللهم العنهم بعدد كل منكر أتوه و حق أخذوه و منبر علوه و منافق ولوه و ولي آذوه و طريد آووه و صادق طردوه و كافر نصروه و إمام قهروه و فرض غيروه و أثر أنكروه و شر آثروه و دم أراقوه و خير بدلوه و كفر نصبوه و كذب دلسوه و إرث غصبوه و فيء اقتطعوه و سحت أكلوه و خمس استحلوه و باطل أسسوه و جور بسطوه.

“Dengan nama Allah yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Ya Allah, semoga selawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad.. Ya Allah, kutuklah dua orang Berhala Quraisy dan Thagutnya, juga kedua anaknya, yang mereka berdua itu telah melanggar perintah-Mu, menolak wahyu-Mu, mengingkari nikmat-Mu, bermaksiat kepada Rasul-Mu, merubah agama-Mu, merubah wahyu-Mu, mencintai musuh-musuh-Mu, menolak karunia-Mu, mencabut hukum-hukum-Mu, menolakperintah-perintah-Mu, melencengkan ayat-ayat-Mu, memusuhi wali-wali-Mu, bersikap loyal kepada musuh-musuh-Mu, menghancurkan negeri-Mu, menghancurkan hamba-hamba-Mu. Wahai Allah, laknatlah keduanya dan juga para pengikutnya, para pemimpinya, para pendukungnya dan para pecintanya. Keduanya telah menghancurkan rumah kenabian, merobohkan pintunya, mencabut atapnya, tanahnya dilekatkan ke atasnya, yang atas ke bawah dan yang bawah ke atas. Mereka mengusir penghuninya, menganiaya para pendukungnya, membunuh anak-anaknya dan membiarkan mimbar beliau kosong dari pewarisnya (yaitu Ali), mereka menyangkal imamah Ali, keduanya telah menyekutukan Rabbnya. Oleh karena itu, perbesarlah dosa mereka, kekalkanlah mereka berdua di neraka Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Wahai Allah laknatlah mereka karena sejumlah kejahatan yang telah mereka lakukan, hak yang telah mereka rampas, mimbar yang telah mereka hinakan, munafik yang telah mereka dukung, menolong orang-orang yang menyakitinya (Ali), dan orang jujur yang telah mereka usir, orang kafir yang telah mereka bantu, imam yang telah mereka hinakan, hukum yang telah mereka rubah, utang nyawa yang telah mereka tolak, kejahatan yang telah mereka sebarkan, darah yang telah mereka tumpahkan, kebaikan yang telah mereka rubah, dan kekufuran yang telah mereka dirikan, kedustaan yang telah mereka lakukan, hak waris yang telah mereka rampas, harta fa’i yang telah mereka potong, harta riba yang telah mereka makan, zakat seperlima yang telah mereka halalkan, kebatilan yang telah mereka dirikan dan keburukan yang telah mereka bentangkan.”

Tidak sampai di sini, mereka juga meneruskan doa ini dengan membaca,
اللهم العنهما بعدد كل آية حرفوها و فريضة تركوها و سنة غيروها...اللهم العنهما في مكنون السر و ظاهر العلانية لعنا كبيرا...دائما دائبا سرمدا لا انقطاع لأمده و لا نفاد لعدده لعنا يعود أوله و لا ينقطع آخره...اللهم العنهم و محبيهم و مواليهم و المسلمين لهم و المائلين إليهم...و الناهقين باحتجاجهم و المقتدين بكلامهم و المصدقين بأحكامهم.  [قل أربع مرات] : اللهم عذبهم عذابا يستغيث منه أهل النار...آمين يا رب العالمين.

“Wahai Allah, laknatlah mereka dengan seluruh ayat yang telah mereka rubah, hukum yang telah mereka tinggalkan dan sunnah yang telah mereka rubah…Wahai Allah, laknatlah mereka berdua di tempat tersembunyi dan tempat terbuka dengan laknat yang besar…selama-lamanya, terus-menerus yang tidak bisa terputus waktunya dan tidak akan habis hitungannya dengan laknat yang akan berbalik laknat yang pertamanya dan tidak akan terputus laknat yang terakhirnya…(terus bersambung). Wahai Allah, laknatlah mereka dan juga  para pecintanya, kaum muslimin dan orang-orang yang pro kepada mereka…Juga orang-orang yang menyambung lidah argumen mereka dan orang-orang yang meniru ucapan mereka, orang-orang yang membenarkan hukum mereka.” (Ucapkanlah sebanyak 4X, “Wahai Allah, adzablah mereka dengan adzab yang penduduk neraka saja berlindung dari adzab tersebut…Aamiin wahai Rabb seluruh alam semesta).

Doa ini semua diarahkan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat yang mengikuti keduanya!

Saya berlindung kepada Allah dari kebencian seperti ini. Doa apa yang mereka sisakan bagi orang-orang yang ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya!? Wahai Allah yang Maha Menjaga! Mereka telah bersikap tidak senonoh, sampai-sampai mereka berdoa kepada Allah SWT dengan doa seperti ini!

Ketahuilah bahwa Ali telah menikahkan putrinya (Ummu Kultsum binti Ali dari Fathimah, saudara perempuannya Al-Hasan dan Al-Husein) kepada Umar bin Khaththab. Apakah Imam Ali menilai Umar seperti yang mereka (orang-orang Syi’ah) nilai? Lantas mengapa justru Ali menikahkan Umar bin Khaththab dengan putrinya?

Saya yakin jika pendapat Imam Khumaini terhadap kami yang sangat menghormati Khulafaur Rasyidun dan para sahabat lainnya, pada saat ini pendapatnya masih jelas, yaitu dia menganggap kita adalah orang-orang kafir yang layak mendapatkan laknat dari Allah SWT!

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa kekuasaannya dia ingin mengekspor revolusinya ke negara-negara Arab. Yang dia inginkan bukan hanya revolusi dalam bidang hukum saja, akan tetapi ingin sesuai dengan madzhabnya. Dia ingin menggiring kita dari kekufuran (Ahlus Sunnah menurut dia) kepada Islam cara dia dan madzhabnya (Syi’ah)! Kemudian kita semua berdoa bersama-sama melaknat dua berhala Quraisy: Abu Bakar dan Umar bin Khaththab agar kita mendapatkan pahala dari Allah SWT!

Inilah yang akan dipaksakan kepada kita, jika Iran menang dalam perangnya melawan Irak. Kemudian dia dan pasukan tentaranya ingin menguasai negara-negara Arab -semoga Allah SWT tidak mentaqdirkan hal ini-. Insya Allah, akan ada penjelasan lengkapnya tentang topik ini.

Profesor Ahmad Amin telah menulis beberapa sifat khusus Imam Syi’ah yang beliau nukil dari kitab Al-Kaafiy, karya Al-Kulaini yang merupakan kitab utama madzhab Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah.[5] Beliau menyebutkannya sebagai berikut :

Mereka berkeyakinan bahwa imam mereka menerima wahyu, meski cara pewahyuannya berbeda dengan nabi dan rasul.

Barangsiapa yang tidak mempunyai imam, maka dia akan menjadi orang sesat dan barangsiapa mati dalam keadaan tanpa imam, maka matinya dalam keadaan kafir dan munafiq. Telah berkata Imam Ridha, ”Manusia itu adalah hamba sahaya kami dalam hal ketaatan.”

Para imam adalah cahaya Allah, yang Allah SWT telah berfirman tentang mereka, ”Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur'an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan,” (QS At-Taghabun [64]: 8). Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini bukan Al-Qur`an, tetapi para imam Syi’ah.

Para Imam Syi’ah adalah tiangnya bumi agar bumi tidak bergoyang.
Para Imam adalah suci dari dosa-dosa, tidak mempunyai cela dan banyak ilmunya.
Seluruh perbuatan umat manusia akan diperlihatkan kepada Nabi dan kepada para Imam Syi’ah.
Para Imam Syi’ah adalah tempat berpijaknya Risalah Allah SWT; tempat Allah SWT menyimpan rahasia-Nya di bumi dan titipan-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
Para Imam memiliki seluruh kitab Allah SWT yang diturunkan kepada para rasul dan mereka memahaminya dengan bahasa kitabnya masing-masing.

Tidak ada yang bisa menguasai ilmu Al-Qur`an, kecuali para Imam Syi’ah. Yaitu dengan cara mendapatkan warisan dari Imam Ali RA.

Para Imam mengetahui perkara yang telah lalu dan yang akan terjadi. Tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sedikit pun. Sesungguhnya Allah SWT tidak mengajarkan kepada Nabi-Nya sedikit pun ilmu, kecuali setelah Allah SWT menyuruh Ali agar mengajarinya. Kemudian ilmu ini diwariskan kepada seluruh Imam Syi’ah.

Rasulullah SAW didampingi oleh sebuah ruh yang sangat besar melebihi malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini sekarang menemani para Imam Syi’ah.

Para malaikat akan memasuki rumah para Imam Syi’ah. Para malaikat akan menginjakkan kakinya di karpet para imam dan mereka memberitahukan sesuatu kepada para Imam.
Bumi ini semuanya adalah untuk para Imam. Dan Ahlul Bait adalah orang-orang yang akan mewarisi bumi ini. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah  (tertulis) di dalam Adz-Dzikir (Lauh Mahafuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh,” (QS Al-Anbiya [21]: 105). Adapun yang dimaksud dengan hamba-hamba-Ku yang saleh adalah  para Imam Syi’ah.

Inilah ajaran yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah di dalam kitab-kitab mereka. Kecuali Syi’ah Ismailiyyah mempunyai perbedaan sedikit dengan Syi’ah Imamiyah. Akan tetapi, bisa saja di dalam ajaran Syi’ah Ismailiyyah ada ajaran-ajaran yang lebih jauh penyimpangannya, sehingga diakui oleh ajaran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.

(Jawaban Syaikh Yusuf yang Kedua)
SIKAP SAYA YANG SEBENARNYA
DI DALAM MUKTAMAR PENDEKATAN ANTAR MADZHAB DI DOHA QATAR
(1-3 Muharram 1428 H/20-22 Januari 2007 M)

Pertanyaan :
Yang terhormat Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi.

Assalamu ’Alaikum Wr. Wb.
Kami orang-orang Syi’ah di Iran telah menganggap Anda sebagai seorang da’i yang pertama kali mendengungkan ajakan kepada persatuan umat dan pendekatan antara madzhab-madzhab dan golongan-golongan yang ada. Anda juga dianggap sebagai salah seorang da’i yang melawan para penyebar fitnah, para penyeru kepada perpecahan madzhab, golongan, ras dan lain-lainnya.

Saya merasa yakin jika Anda telah merasakan penghormatan yang agung dari para pemimpin di Republik Islam Iran. Dimulai dari Presiden Republik Islam Iran, Sayyid Muhammad Khatami yang telah menyambut Anda di kantornya. Seluruh media cetak, radio dan televisi telah menyiarkan kunjungan Anda dengan luar biasa. Semuanya menyiarkan tentang pentingnya kunjungan Anda ini.

Demikian juga Ayatulloh telah menyambut Anda di Teheran, di Qum, di Masyhad, di Asfahan dan di seluruh kota yang Anda kunjungi di Teheran.

Akan tetapi kami dikagetkan dengan fatwa Anda yang baru, yang berbeda dengan fatwa Anda sebelumnya (yang terdahulu). Di dalam fatwa terbaru Anda itu berisi tuduhan miring terhadap Syi’ah, terhadap ide pendekatan madzhab dan tuduhan terhadap muk-tamar pendekatan madzhab dan juga meragukan keputusan muktamar tersebut. Fatwa ini ditanggapi oleh orang-orang Iran secara khusus dan penganut Syi’ah secara umum. Fatwa Anda ini adalah kebalikan dari fatwa Anda sebelumnya, juga atas ide-ide Anda tentang persatuan dan pendekatan yang terdahulu yang telah diketahui oleh masyarakat luas.
Hal inilah yang menjadikan segelintir orang-orang Syi’ah di sini (Iran) dan di berbagai negara, akhirnya menghujat dan mengkritik Anda secara berlebihan, yang jauh dari sopan santun.

Surat saya ini ditujukan kepada Anda Syaikh Yusuf Al-Qardhawi sebagai tokoh persatuan Islam dan ulama besar umat Islam bagi seluruh golongan dan madzhab. Bukan sebagai figur yang dimiliki oleh sekelompok orang atau aliran tertentu saja. Saya berharap Anda bisa menjelaskan kepada kami dan seluruh orang yang mengajukan pertanyaan: Bagaimana sikap Anda yang sebenarnya di Muktamar Doha? Apakah sikap Anda ini telah berubah hanya untuk satu poin saja atau apa? Kami masih berbaik sangka kepada Anda.

Hormat saya,

Muhammad Ali
(Penanya dari Iran)

Jawaban:
Segala puji bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga beliau dan para sahabat juga orang-orang yang setia kepada beliau. Amma ba’du :Di sini saya ingin menjelaskan beberapa masalah yang menjelaskan sikap saya yang sebenarnya terhadap masalah pendekatan antar madzhab dan golongan di dalam Islam sebagai berikut :

Sesungguhnya saya sangat mengharapkan persatuan ahlul qiblat yaitu seluruh kaum muslimin yang menjadi umat Islam. Sedangkan adanya (persatuan) umat Islam menurut saya ini adalah benar-benar nyata, bukan angan-angan kosong.[6] Sesungguhnya perpecahan umat menjadi banyak golongan dan madzhab yang bermacam-macam masih bisa disebut sebagai satu umat. Karena di antara mereka itu masih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Rabbnya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama, akidah Islamnya sama, masa depannya sama, musuhnya sama dan kepentingannya juga sama.

Sesungguhnya saya melawan para penganjur perpecahan di antara umat Islam. Baik itu perpecahan golongan, madzhab, suku (ras) dan yang lainnya. Saya melihat bahwa orang-orang yang mengendalikan isu perpecahan adalah musuh-musuh Islam yang mempunyai semboyan ”Pecah belah dan taklukkan!” (divide et impera).

Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab, saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:

Kesepakatan untuk tidak mencaci para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar.
Dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain). 

Memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut adalah madzhab yang sah.

Saya telah menyampaikan sebuah makalah di Muktamar Pendekatan Madzhab di Kerajaan Bahrain yang saya terbitkan setelah itu berjudul, Mabaadi’ fi At-Taqriib bayna Al-Madzaahib Al-Islaamiyyah, ”Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam” yang berisi macam-macam teori saya agar usaha pendekatan ini berjalan di atas dasar yang kokoh dan tiang yang kuat.

Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha pendekatan (pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada di dalam diri saya kepada seluruh kaum muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama, ”Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187).

Saya pun telah menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar di depan para wartawan di Kairo sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan yang kemudian saya jelaskan kembali di Muktamar Doha, Qatar.

Sebenarnya saya takut jika seluruh ucapan yang telah saya sampaikan di dalam Muktamar Doha, Qatar itu akan dirubah atau ditafsirkan tidak sesuai dengan yang saya maksud, walaupun ceramah saya itu direkam. Oleh karena itu, saya bermaksud mencatatnya tertulis dengan pena saya sendiri dan saya sendiri yang akan mendistribusikannya. Inilah penjelasan saya kepada umat, demi membela kebenaran dan untuk menghancurkan kebatilan.

Oleh karena itu, tidak pantas saudara-saudara saya dari kalangan para ulama Syi’ah dan seluruh murid-muridnya mengutuk saya atas penjelasan saya ini. Walaupun ada sebagian dari mereka yang menyebut saya dengan sebutan “Syaikh Tho’ifiy”, Syaikh Sektarian! Pada saat ini dan selamanya insya Allah, saya tidak akan menjadi ulama sekte tertentu! Yang saya inginkan adalah menjadi ulama milik umat seluruhnya dan khususnya bagi Islam. Saya melihat bahwa sikap fanatik yang dibenci adalah seseorang lebih mengedepankan (kepentingan) golongan di atas umat, atau mendahulukan kepentingan madzhab di atas Islam atau mengedepankan kitab-kitab madzhab di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Mereka sepertinya telah melupakan seluruh sikap saya yang selayaknya jangan dilupakan. Misalnya bantahan saya terhadap fatwa Syaikh Jibrin yang merupakan anggota dari Lembaga Ulama Senior di Kerajaan Saudi Arabia yang memfatwakan tidak boleh mendukung Hizbullah pada perang melawan Israel dan jangan bersikap pro kepadanya walaupun hanya dalam bentuk doa!

Pada saat itu, saya sedang berlibur di Kairo. Secara tiba-tiba, saya ingin membantah perkataan Syaikh Jibrin melalui siaran Al-Jazeera. Saya pun membantah seluruh perkataan Syaikh Jibrin dengan dalil-dalil syar’i dan dalil-dalil ilmiyah. Saya pun tergerak untuk menuliskannya menjadi sebuah buku dan kemudian mendistribusikannya. Seluruh tulisan saya ini dilampiri dengan seluruh fatwa-fatwa saya.


Di bawah ini, ringkasan dari seluruh kata sambutan saya dan kata penutupan saya di Muktamar Pendekatan antar Madzhab di Doha, Qatar. Ini dilakukan agar orang yang hidup itu hidup dengan bukti yang nyata dan agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang nyata.[7]:

Sebenarnya Ahlu Sunnah lah yaitu mayoritas kaum muslimin yang telah mengajukan ide pendekatan madzhab dan mereka telah menerimanya dengan lapang dada. Uniknya, bahwa hal ini diawali dari Kairo dan yang menjadi pelopornya adalah para sesepuh Al-Azhar, seperti Syaikh Abdul Majid Salim, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Muhammad Al-Madani, Syaikh Abdul Aziz Isa dan lain-lain. Pendapat mereka ini didukung oleh Imam Hasan Al-Bana.

Di kota Kairo, kota tempat Universitas Al-Azhar berdiri yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan Islam, ternyata di sana telah didirikan sebuah Lembaga Pendekatan Madzhab. Lembaga atau Yayasan ini dipimpin oleh seorang ulama Ja’fari yang masyhur yaitu Syaikh Taqiyuddin Al-Qummi yang berafiliasi kepada Lembaga Ilmiyah di Qum. Lembaga ini menerbitkan majalah Ar-Risalah sebagai sarana bagi para ulama senior Ahlu Sunnah untuk menuangkan tulisannya. Di dalam majalah tersebut, Syaikh Syaltut telah menulis makalahnya di dalam masalah tafsir yang telah dikumpulkan sehingga menjadi 10 jilid pertama.

Kantor Pusat Ikhwan Al-Muslimin di Kairo pada zaman Hasan Al-Bana pernah menyambut kedatangan Syaikh Al-Qummi.
Demikian juga Kantor Pusat Ikhwan Al-Muslimin pada zaman Ustadz Hasan Al-Hudhaibi –pemimpin kedua- setelah beberapa tahun kemudian pernah juga menyambut kedatangan seorang ulama Syi’ah yang sudah dikenal luas. Akan tetapi dia bukan dari Lembaga Ilmiyah di Qum. Justru dia adalah dari kalangan para pejuang Syi’ah yaitu: Nuwab Shafawi (pemimpin Jemaat Fidayin Islam) yang menjadi oposisi kekuasaan Syah Iran dan Syah pun benci kepadanya.

Pada tahun 60-an yang lampau, Syaikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syaikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut.

Fatwa Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman mereka, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.

Di samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam serupa. Sebaliknya, tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal ini. Justru kami melihat sebaliknya.

Antara Mayoritas dan Minoritas    
 
Sepanjang sejarah mereka, Syi’ah itu hanya sebagai minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas Ahlu Sunnah. Mereka hidup dengan aman, damai, bisa merekrut anggota, mencetak buku-buku, berdakwah membela madzhab mereka dan menyebarkannya di tengah-tengah mayoritas Ahlu Sunnah. Tidak ada seorang pun yang menyakiti mereka atau ingin melenyapkan etnis mereka, walaupun di dalam buku-buku mereka tercantum ajaran jahat mereka yang menyakitkan Ahlu Sunnah sampai mereka mengkafirkan Ahlu Sunnah dan menganggap Ahlu Sunnah telah murtad dari Islam, sampai imam-imam Ahlu Sunnah yang empat pun tidak luput dari cercaan mereka!

Seperti itu lah kondisi mereka hidup di zaman Daulah Abbasiyah, pada era pertama dan era keduanya. Juga seperti itu pula mereka hidup di zaman Utsmaniyah, hanya saja di antara mereka dengan Bani Shafawiyyin terdapat perseteruan. 

Bahkan seperti itu pula mereka hidup pada zaman kita sekarang ini di bawah bendera Wahabiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Syi’ah. Demikian pula orang-orang Syi’ah di wilayah timur Kerajaan Saudi Arabia, mereka bisa melaksanakan ritual keagamaan dan dakwah mereka. Tidak ada terbersit sedikit pun negara Wahabi ini untuk memusnahkan mereka atau memotong kuku mereka!

Seperti itu pula mereka hidup di Teluk Arab secara umum, walaupun seluruh penguasa di Teluk adalah Ahlu Sunnah. Akan tetapi mereka bisa mengumpulkan kekayaan, mendapatkan tempat di masyarakat, dan bisa ikut berpartisipasi di bidang politik. Di antara mereka ada yang menjadi anggota dewan, menteri, duta besar, direktur perusahaan, rektor di universitas, dekan fakultas dan menjadi tokoh masyarakat.

Dari dahulu kala, Ahlu Sunnah, walaupun mereka merupakan mayoritas umat Islam, mereka tidak pernah mencoba untuk menumpas Syi’ah atau mempersempit ruang gerak mereka, baik di dalam syiar keagamaan maupun literatur/buku-buku mereka. Walaupun syiar-syiar agama mereka bertabrakan dengan syiar Ahlu Sunnah. Misalnya ucapan mereka di dalam adzan mereka: ”Aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah!” Sedangkan Ahlu Sunnah tidak mengenal syahadat kecuali syahadatain.[8]

Apabila seperti ini sikap mayoritas Ahlu Sunnah, baik dahulu maupun sekarang, mengapa kita melihat ada minoritas Syi’ah yang mengancam keselamatan Sunni, melecehkan dan memprovokasi secara terang-terangan dan dengan cara yang bisa membuat marah orang yang lembut dan bijak sekalipun? Andai saja seluruh cita-cita mereka tercapai dan bisa meluapkan amarah mereka dan melakukan revolusi, tentu akan menjadi sebuah petaka yang sangat besar dan keburukan yang akan terus menerus berlangsung.

Apakah Ada Perbedaan Prinsip Sehingga Kita Perlu Pendekatan Madzhab?
Makna taqrib (pendekatan) adalah jika di sana ada sebuah perbedaan di antara kedua belah pihak dan kita ingin mendekatkan salah satu dari keduanya atau masing-masing pihak mendekatkan diri kepada temannya.

Apakah di antara golongan atau sekte yang bermacam-macam ini ada perbedaan mendasar sehingga kita harus mengadakan dakwah untuk mendekatkan di antara mereka? Khususnya di antara dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah?
Yang benar bahwa perbedaan itu memang ada, baik dalam tataran pemikiran, praktik, maupun perpolitikan.

Contoh perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya sebagai furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam Ahlul Bait).

Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam setelah Ali RA.

Dalil Imamah Syi’ah
Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi jilid 2 hal. 18).

Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, ”Islam itu dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: ”Manakah di antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far menjawab, ”Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, ”Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).

Di dalam masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata, ”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).

Bahkan pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik perbedaan yang paling mendasar. Perbedaan lainnya, karena sudah diketahui bahwa Syi’ah itu mengadopsi madzhab Mu’tazilah di dalam masalah ilahiyyat (teologi). Orang-orang Mu’tazilah adalah kelompok yang telah menghilangkan sifat-sifat yang wajib disematkan kepada Allah, seperti sifat: ilmu (mengetahui), iradah (berkehendak), qudrah (berkuasa) dan sifat-sifat yang lainnya. Orang-orang Mu’tazilah berkata, ”Allah itu Dzat-Nya adalah Maha Tahu, akan tetapi Allah SWT tidak mempunyai sifat yang namanya ilmu. Allah SWT itu Dzat-Nya adalah Maha Kuasa, akan tetapi Dia tidak mempunyai sifat yang namanya qudrah (berkuasa), dan lain-lainnya.

Telah terjadi pertentangan yang sengit di antara Mu’tazilah dengan Ahlu Sunnah di dalam permasalahan ini. Ahlu Sunnah menamai Mu’tazilah dengan sebutan Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang telah menafikan sifat-sifat Allah SWT. Sedangkan Mu’tazilah telah menuduh Ahlu Sunnah yang berwujud dalam madzhab Asya’irah dan Maturidiyyah di zaman mereka bahwa mereka (Ahlu Sunnah) itu adalah orang-orang yang telah menetapkan adanya berbagai hal yang qadim bersama Dzat Allah SWT!  

Semua Ahlu Sunnah telah menganggap Mu’tazilah sebagai kelompok yang telah mengada-ada di dalam agama Islam (bid’ah) di dalam masalah akidah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan adalah di neraka. Di antara sesuatu yang telah disepakati adalah: Bid’ah ucapan lebih berat (dosanya) daripada bid’ah perbuatan. Bid’ah akidah lebih berat daripada bid’ah perbuatan. Sedangkan pelaku bid’ah dianggap sebagai orang fasiq. Fasiqnya hanya sebatas fasiq takwil, bukan dianggap sebagai fasiq tingkah laku dan perbuatan.

Hal ini bermakna bahwa Syi’ah di dalam pandangan Ahlu Sunnah adalah sebagai para pelaku bid’ah di dalam masalah akidah. Akan tetapi pandangan umum Ahlu Sunnah adalah bahwa Ahlu Sunnah tidak mengafirkan para pelaku bid’ah di dalam masalah akidah. Ahlu Sunnah tidak mengafirkan Mu’tazilah, Murji`ah dan tidak juga Jabariyah. Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengafirkan Khawarij. Padahal ada sebuah hadits yang shahih bahwasanya Khawarij adalah orang-orang yang keluar dari agama Islam seperti anak panah yang lepas (melesat) dari busurnya. Akan tetapi Ahlu Sunnah tetap menganggap mereka masih berada di dalam Islam selama mereka masih mengatakan tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan mereka masih melaksanakan shalat ke arah kiblat.

Akan tetapi ada di antara para ulama Ahlu Sunnah yang memaafkan para mujtahid jika mereka salah. Baik salah dalam masalah ushuluddin maupun di dalam masalah furu (cabang), di dalam masalah akidah  maupun di dalam masalah perbuatan selama mereka masih layak berijtihad dan selama ia masih mengerahkan seluruh kemampuannya di dalam mencari kebenaran, namun dia belum mendapatkan bimbingan ke arah itu. Inilah kemampuannya dan Allah SWT tidak pernah membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Justru menurut pandangan Ahlu Sunnah bahwa seorang mujtahid akan mendapatkan satu pahala atas usahanya. Sedangkan Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan pahala bagi siapa saja yang telah beramal saleh. Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah dan para ulama yang sepakat dengan beliau.

Akan tetapi Syi’ah -terutama dari kalangan ekstrimnya-mereka itu tidak saja membid’ahkan Ahlu Sunnah atau menganggap fasik Ahlu Sunnah, akan tetapi mereka jelas-jelas mengkafirkan Ahlu Sunnah dan menganggap Ahlu Sunnah telah murtad dari Islam!

Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).

Apabila mayoritas Ahlu Sunnah di dalam akidah memakai mazhab Asya’irah sebagaimana maklum, dengan mengikuti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) yang sangat terkenal, maka sesungguhnya madzhab Asya’irah di dalam pandangan orang-orang Syi’ah sebagaimana yang digambarkan oleh Syaikh Al-Jazairi bahwa Asy’ari tidak mengenal tuhan secara benar. Karena dia dan para pengikutnya mengenal tuhan dengan cara yang salah. Oleh karena itu, tidak ada perbedaannya antara pemahaman mereka (Asy’ariyyah) dengan pemahaman orang-orang kafir.  Karena Asy’ari dan para pengikutnya figur paling buruk dalam masalah mengenal Sang Pencipta, dibandingkan dengan orang-orang musyrik dan nashara. Kami (orang-orang Syi’ah) telah benar-benar jauh dan berpisah dari mereka (pengikut Asy’ari) di dalam masalah rububiyyah. Karena tuhan kami (Syi’ah) adalah Dzat yang mempunyai sifat azali sedangkan rabb mereka (Ahlu Sunnah) adalah rabb yang sifat azali-Nya ada delapan buah!

Yang dimaksud oleh orang-orang Syi’ah dengan sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Asya’irah dan Maturidiyyah adalah sebagai berikut : al-ilmu, al-iradah, al-qudrah, al-hayat, as-sam’u, al-bashar, al-kalam. Kemudian ditambah oleh Al-Maturidiyah satu sifat yaitu sifat at-takwin (membentuk dan mencipta).

Adapun bantahan Al-Jazairi di sini adalah sebagaimana yang telah dijawab oleh Mu’tazilah dahulu. Orang-orang Mu’tazilah mengatakan: Sesungguhnya orang-orang Nashara telah kafir karena mereka telah menetapkan tiga keazalian. Bagaimana halnya dengan orang yang telah menetapkan ada delapan keazalian? Akan tetapi pemaparan dan bantahan atas perkataan ini tidak bisa dijelaskan di sini karena masuk ke dalam pembahasan ilmu kalam.

Pendekatan Antar Madzhab atau Antar Golongan?
Di antara siapa kah pendekatan yang diharapkan itu akan terjadi?
Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam Islam.

Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah.

Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok agama).

Tidak ada seorang pun dari ulama umat ini yang membuat keributan hanya gara-gara perbedaan fikih furu’. Karena para sahabat saja di antara mereka pernah terjadi perbedaan, demikian juga di kalangan para tabiin. Demikian juga para imam yang menjadi rujukan pun berbeda pendapat di antara mereka. Akan tetapi setiap dari mereka tidak menyalahkan yang lainnya. Yang berbeda itu hanya pendapat mereka saja, akan tetapi hati mereka menyatu. Para imam (imam madzhab) saling bertukaran mengimami shalat. Sehingga di antara mereka itu ada yang berkata, ”Pendapat saya ini benar, tapi bisa saja salah dan pendapat yang lain salah, tapi bisa saja benar.” Bahkan ada kelompok ulama yang membenarkan pendapat seluruh para mujtahid di dalam masalah furu’. Mereka berpendapat bahwa bisa saja pendapat yang benar itu ada beberapa macam. Mereka ini yang di dalam ilmu ushul fikih disebut dengan kelompok ”Al-Mushowwibah”.

Saya sendiri pernah shalat dan di belakang saya shalat beberapa orang ulama Syi’ah. Hal ini terjadi pada saat saya berkunjung ke Iran pada tahun 1998. Demikian juga saya  pernah shalat di belakang mereka (orang-orang Syi’ah) di masjid mereka di Madrasah Imam Khumaini di Qum pada saat shalat berjamaah.

Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah  inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah dan lain-lainnya.

Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas itu lebih tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.

Apabila dasar penamaan firqah/golongan adalah berdasarkan hadits masyhur yang menyatakan tentang perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan yang kesemuanya masuk neraka kecuali hanya satu golongan saja, maka menurut saya hadits tersebut tidak kuat, baik dalam sanad (rangkaian periwayat hadits) maupun matannya (isi hadits). Saya telah menjelaskan hal ini di dalam buku saya yang berjudul, ”Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang.” Saya telah menjelaskan seluruh pendapat para ulama terhadap para perawi hadits tersebut. Sebagian ulama tidak menerima hadits tersebut. Di antara mereka itu ada Ibnu Hazm, Ibnu Az-Zubair, Ibnu Al-Wazir, Asy-Syaukani dan ulama-ulama lainnya.

Imam Ibnu Hazm telah berkata, ”Sesungguhnya kata-kata tambahan ’semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan’ adalah palsu.” Imam Ibnu Al-Wazir berkata, ”Hati-hati dengan kata-kata tambahan ’semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan’ karena kata-kata tersebut disusupkan oleh orang-orang mulhid.” [9]

Akan tetapi hadits tersebut sudah menyebar dan dijadikan sebagai dasar di dalam buku-buku firqah dan kitab “Al-Farqu bayna Al-Firaq” (Perbedaan di antara Firqah-firqah). Di antara mata pelajaran yang pernah kami pelajari di fakultas Ushuluddin adalah buku yang berjudul, ”Sejarah Sekte-sekte dalam Islam”. Ada banyak orang yang ingin mencoba menghitung golongan yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan ini sampai bersusah payah.
Yang penting dicatat, bahwa hadits tersebut secara jelas menyandarkan seluruh golongan itu –sampai yang menyimpang sekalipun- kepada umat Islam ini, dengan sabda nabi ”umatku ini akan terpecah...” Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk mencap kafir golongan-golongan yang ada ini, kecuali dengan dalil-dalil syar’i yang qath’i.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa konsentrasi (seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang aktif dalam pendekatan itu) untuk mengajarkan fikih perbandingan di beberapa universitas Islam bukankah sebuah cara untuk menyelesaikan problem perpecahan atau perbedaan sekte, dan bukan pula mata kuliah tersebut yang bisa mendorong kepada pendekatan yang hakiki baik dalam bentuk dekoratif atau hanya sebatas ucapan saja. Justru hal ini sangat jauh dari yang diharapkan sebagaimana yang akan kita lihat nanti.

Makna Pendekatan yang Kami Inginkan        
Apa yang dimaksud dengan kalimat ’pendekatan’ ketika kita mengucapkannya?
Apakah yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu setiap jemaah wajib menanggalkan seluruh keyakinannya yang paling pokok dan bersikap mengalah untuk mendapatkan simpati dari golongan yang berbeda dengannya?

Atau dengan ungkapan lainnya yaitu orang Syi’ah bersikap mengalah dari ajaran, dan akidah Syi’ahnya demi menjaga perasaan Ahlu Sunnah?! Atau seorang Sunni bersikap mengalah dari keyakinannya, pemikiran dan pokok-pokok akidahnya agar orang-orang Syi’ah mau mendekatinya dan mau duduk di sampingnya?!

Saya yakin bahwa hal ini belum pernah terbetik di dalam pikiran salah seorang dari dua golongan tersebut, baik Sunni maupun Syi’ah. Karena masing-masing dari keduanya (Sunni dan Syi’ah) tidak akan bersikap mengalah dari akidah mereka demi tujuan apa pun. Karena yang namanya akidah sebuah agama bisa membuat seseorang rela berkorban di jalannya, baik dengan jiwanya, hartanya, keluarganya, negaranya dan apa saja yang dia sayangi.

Pendekatan yang diharapkan adalah pendekatan di antara para penganut keya-kinan, madzhab atau golongan antara satu dengan yang lainnya dengan menanamkan sikap toleransi di antara mereka dan memperbanyak titik persamaan di antara mereka jika memungkinkan. Di dalam buku Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang, saya telah menyusun beberapa kaidah-kaidah pendekatan di antara orang-orang yang berbeda faham. Sama dengan yang telah saya susun di dalam buku yang lain berjudul,  Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam, ada sepuluh prinsip atau kaidah yang bisa jadi acuan untuk mendekatkan dan mendamaikan di antara golongan.

Di antara yang telah saya katakan di pembukaan buku ini bahwa yang dimaksud dengan pendekatan itu bukan sikap mengalah seorang Sunni dari faham Sunninya yang kemudian dia masuk ke dalam madzhab Syi’ah dan bukan pula seorang penganut Syi’ah bersikap mengalah dari faham Syi’ahnya dan kemudian dia masuk ke dalam faham Sunni. Karena bukan hal yang mudah bagi seorang penganut madzhab untuk melepaskan madzhabnya hanya karena makalah yang dia baca, khutbah yang didengarnya, hasil penelitian atau seminar yang dia hadiri. Hal ini dikarenakan madzhab telah ada sejak dahulu kala, seorang anak mewarisinya dari orang tua mereka, cucu mewarisinya dari kakeknya, generasi sekarang mewarisinya dari generasi sebelumnya, anak kecil tumbuh dewasa dengan madzhab tersebut dan orang dewasa memegang madzhab tersebut sampai dia tua.
Sesungguhnya yang diharapkan dari adanya dialog dan pendekatan di sini adalah membersihkan udara dari hal-hal yang mengotorinya yang bisa menyebabkan perpecahan, buruk sangka dan hilangnya kepercayaan di antara kedua golongan yang bisa menimbulkan kehancuran umat -jika terus-menerus terjadi- sebagaimana yang tercantum di dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Kehancuran zatul bain itu adalah alat cukur. Bukan untuk mencukur rambut, akan tetapi untuk mencukur agama.” (HR Ahmad di dalam Al-Musnad, hadits no. 1412).

Saya sendiri tidak bisa menilai, baik Sunni maupun Syi’ah ada yang suka mencukur agamanya sebagaimana pisau cukur mencukur rambut. Justru masing-masing dari kedunya itu ingin agar agamanya tetap terjaga.[10]

Pendekatan yang Diharapkan: Bukan yang Berdasar kepada Ajaran Taqiyyah
Sesungguhnya pendekatan yang diharapkan adalah bukan yang berdiri di atas dasar Taqiyyah seperti yang ditetapkan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Syi’ah. Karena jika dasar Taqiyyah ini dijadikan sebagai dasar di dalam bermuamalah di antara para dai (muballigh dll), tidak akan menciptakan kepercayaan dan ketenangan di antara sesama mereka. Terutama untuk Ahlu Sunnah. Karena sangat mungkin apa yang kebetulan saya alami adalah karena Taqiyyah! Sebab Taqiyyah –dalam pandangan Syi’ah- membolehkan seseorang untuk menampakkan sesuatu yang berbeda dari yang disembunyikannya, atau engkau menampakkan sesuatu tetapi engkau tidak beriman sama sekali terhadap hal yang engkau tampakkan tersebut.

Dasar adanya taqiyyah adalah diambil dari Al-Qur`an Al-Karim dari firman Allah SWT, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali,” (QS Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, Al-Qur`an menyebutkan Taqiyyah dalam konteks menghadapi orang-orang kafir dan bukan terhadap sesama kaum muslimin! (kecuali jika benar Syi’ah telah menganggap Ahlu Sunnah sebagai bukan muslim, alias kafir)
Allah SWT telah menjadikan Taqiyyah ini sebagai keringanan dengan alasan darurat, “kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” Sesuatu yang dibolehkan karena faktor darurat dan atas dasar pengecualian, maka hukumnya tidak boleh dijadikan sebagai dasar atau kaidah yang baku dan tetap untuk sebuah hukum syara’, pendidikan atau tingkah laku. Sebagaimana yang tercantum di dalam firman Allah SWT, “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),” (QS An-Nahl [16]: 106).

Pendekatan yang Diharapkan: Pendekatan yang Menjauhi Klaim Takfir
Oleh karena itu, kita tidak boleh menyeru kepada pendekatan atau penggabungan -apalagi persatuan- sementara sebagian kita masih ada yang mengkafirkan golongan lain dan kitab-kitabnya mencantumkan hal itu dengan sangat jelas. Bagaimana mungkin saya akan meletakkan tangan saya di atas tanganmu dan saya menganggap kamu sebagai saudara saya dan engkau pun menganggap saya sebagai saudaramu, padahal di dalam keyakinan hatimu engkau yakin bahwa antara saya dengan kamu itu tidak ada hubungan apa-apa dan faktor yang menyatukan kita pun hanya khayalan. Adapun faktor yang berbeda di antara kita sangatlah banyak dan besar sekali. Sesungguhnya orang musyrik, Yahudi dan Nashrani lebih dekat hubungan mereka denganmu daripada dengan saya?!

Sesungguhnya faham mengkafirkan orang lain adalah faham yang sangat berbahaya dan jauh panggang dari pendekatan. Sesungguhnya orang yang mengkafirkan seseorang itu menjadikan dirinya keluar dari Islam dan tercabut dari umat. Bagaimana mungkin dia (orang yang dikafirkan) akan mendekatinya?

Faham mengafirkan orang lain sudah ada di kedua belah pihak (Sunni dan Syi’ah) dan bukan hanya ada di Ahlu Sunnah saja sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Syi’ah. Justru orang-orang Syi’ah sangat keterlaluan dalam hal mengafirkan golongan lain melebihi Ahlu Sunnah. Kami telah menyebutkan contohnya sebelum ini. Ada juga contoh-contoh yang lebih buruk lagi, terutama yang berkaitan dengan penolakan imamah dan kemaksuman imam.
Sungguh menarik, orang yang tidak pernah sama sekali mengkafirkan golongan lain adalah Ali bin Abi Thalib RA. Beliau tidak pernah mengkafirkan orang-orang yang ikut peristiwa Jamal (Perang Unta), dan juga beliau tidak mengkafirkan orang-orang yang ikut perang Shiffin yang mana mereka itu memerangi Ali dan membencinya. Bahkan beliau juga tidak mengkafirkan Khawarij yang telah mengkafirkan dirinya dan oleh sebab itu mereka membunuh Ali sebagai syahid. Ali pernah ditanya tentang Khawarij, “Apakah mereka itu orang-orang kafir?” Ali menjawab, “Mereka lari dari kekufuran”. Beliau ditanya lagi, “Apakah mereka masuk ke dalam orang-orang munafiq?” Ali menjawab, “Orang-orang munafiq itu tidak pernah mengingat Allah SWT kecuali hanya sedikit”. Ali ditanya, “Lantas siapakah mereka itu?” Ali menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita kemarin yang telah berbuat berlebihan hari ini terhadap kami”. Ali tidak lebih hanya mengatakan bahwa para penentangnya melakukan bughat. Alangkah jelas, jujur dan adilnya Ali bin Abi Thalib. Harus seperti ini lah sikap seorang mukmin apabila dia marah, yaitu kemarahannya tidak membuat dirinya keluar dari kebenaran dan apabila rela, kerelaannya tidak memasukkan dirinya ke dalam kebatilan!

Pendekatan yang Diharapkan: Pendekatan yang Mengacu kepada Faham Moderat

Semestinya kita mengambil slogan para pengusung faham moderat dari kedua belah pihak. Seperti faham yang dicetuskan ulama rujukan Syi’ah yang masyhur yaitu Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah di kitab tafsirnya dan di beberapa bukunya yang lain dimana beliau membantah riwayat-riwayat dusta tentang para sahabat, juga di dalam tafsir Al-Qur`an, yang ia bantah dengan ilmu manthiq ilmiyah dan tegas yang bersumber kepada sumber yang benar dan akal yang jelas.

Kami sangat prihatin ketika kami menemukan ada sebagian orang-orang Syi’ah yang secara khusus membantahnya dan menjelekkan pendapat-pendapatnya dan mereka menuduhnya dengan tuduhan yang tidak pantas, sampai ada sebuah situs di internet  yaitu www.dholal.net memberikan komentar atas makalah-makalahnya juga pendapat-pendapat Syaikh Fadhlullah penuh dengan penistaan, bantahan dan penolakan.

Contoh riwayat dusta yang dibantah oleh Syaikh Fadhlullah adalah bahwa Fathimah Az-Zahra RA meninggal dunia sebagai syahid karena dibunuh. Adapun yang membunuhnya adalah Umar bin Khaththab. Umar telah menyeretnya ke pintu rumah (pintu rumah Fathimah) sehingga punggung Fathimah tertusuk paku. Maka Umar lah yang menjadi penyebab kematian Fathimah. Pintu yang manakah yang terdapat pakunya? Apakah pintu di zaman mereka (Umar dan para sahabat yang lainnya) seperti ini (dipaku)? Yang benar bahwa pintu zaman para sahabat adalah hanya sebatas pembatas kain yang dijulurkan. Lantas, bagaimana mungkin suaminya Fathimah yaitu Ali hanya diam saja atas targedi pembunuhan ini? Padahal beliau adalah sosok penunggang kuda yang pemberani dan pedang Islam yang sangat tajam. Bahkan, bagaimana mungkin setelah itu Umar menjadi menantu Ali? Karena Ali menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kultsum kepada Umar yang dia (Ummu Kultsum) itu adalah putri Fathimah juga!

Saya sangat gembira pada saat ini, sebab saya bisa menuliskan kata-kata mutiara yang telah diucapkan oleh tokoh Syi’ah yaitu Ustadz Kamil Muruwwah, pendiri surat kabar Al-Hayat di Libanon. Beliau pernah berkunjung ke tempat kami di Qatar di awal-awal tahun tujuh puluhan yang lalu. Beliau bertemu dengan saya dan beberapa ulama dan da’i di Qatar. Kami membicarakan masalah perbedaan di antara Sunni dan Syi’ah dan kemungkinan adanya pendekatan di antara dua golongan: Apakah pendekatan ini bisa terjadi ataukah sesuatu yang mustahil terjadi? Juga tentang pengalamannya di bidang jurnalistik, politik, dan berbaurnya kedua golongan ini?

Ternyata jawaban orang Syi’ah ini penuh dengan kata-kata bijak. Dia berkata, ”Kita adalah umat yang bersatu pada zaman Rasulullah SAW. Tidak ada Sunni dan tidak ada juga Syi’ah atau yang lainnya sampai Allah SWT menurunkan firman-Nya, ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu,” (QS Al-Maidah [05]: 3). Kemudian terjadilah perbedaan pendapat setelah turun ayat ini. Maksudnya setelah agama ini sempurna, dan nikmat Allah SWT telah sempurna diberikan kepada umat Islam, barulah terjadi perbedaan pendapat.”
Kami berbeda pendapat setelah itu. Yaitu kami berbeda pendapat di dalam masalah sejarah; siapa yang lebih berhak dari siapa? (siapa yang lebih berhak atas kekhalifahan, Ali atau Abu Bakar, pent), dan lain-lainnya. Semua ini adalah masalah sejarah masa lalu yang kemudian membuat kita berbeda pendapat dan membuat kita bercerai-berai. Hanya Al-Qur`an dan ajaran Islam yang agung lah yang menyatukan kita yang kita yakini bahwa Allah SWT telah menyempurnakannya untuk kita. Allah SWT menyempurnakan nikmat-Nya dan meridhai Islam sebagai agama untuk kita.”

Inilah ucapan ulama Syi’ah tersebut. Ucapannya sungguh benar! Karena seluruh perbedaan pendapat di antara kita terjadi setelah agama Islam ini sempurna dan Al-Qur`an tidak turun lagi. Perbedaan ini hanya berkisar di dalam masalah sejarah yang kita sendiri tidak menyaksikannya dan tidak ikut serta di dalamnya. Cukup lah bagi kami firman Allah SWT, ”Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).

Agar Usaha Pendekatan Ini Berbuah Manis
Di sini saya ingin menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa taqrib (usaha pendekatan) ini -agar membuahkan hasil- yaitu harus dilakukan dengan keterusterangan dan terbuka, huruf-hurufnya diberi harakat, tangan diletakkan (diusapkan) ke atas luka yang masih berdarah, membuka kebenaran yang ditutup-tutupi yang bisa merapuhkan pondasi pendekatan ini dan juga membuang seluruh hambatan di antara kedua kelompok yang sulit diatasi.

Saya sendiri telah membahas masalah ini di dalam buku saya yang berjudul, Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam yang membuat saya harus membahas kembali poin-poin yang berkaitan dengan masalah ini. Walaupun saya sendiri sebenarnya tidak suka dengan pengulangan. Akan tetapi, metode pengulangan bisa menguatkan pemikiran (jadi hafal), oleh karena itu tidak apa-apa.

Di antara prinsip yang saya tekankan itu adalah:

1. Masing-masing kita (Sunni dan Syi’ah) tidak saling mengkafirkan. Karena mengkafirkan seorang muslim adalah dosa besar.
Tidak boleh seorang muslim bersikap berlebihan di dalam masalah ini, kecuali jika sudah jelas kekufurannya dan ada bukti-buktinya (dalil-dalil pendukungnya) dari Allah SWT. Hukum asalnya bahwa siapa saja yang telah mengucapkan tidak ada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad itu adalah utusan-Nya, maka dia itu adalah muslim. Kalimat ini telah melindungi darah dan hartanya dan Allah SWT yang akan menghisabnya kelak, sebagaimana telah tercantum di dalam sebuah hadits.[11] Barangsiapa yang telah masuk Islam dengan yakin, maka dia tidak akan murtad kecuali dengan yakin pula. Sedangkan keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh karaguan. Bagaimana mungkin seorang muslim mengafirkan sesama muslim? Padahal dia terlihat shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan haji, membaca Al-Qur`an dan berzikir kepada Allah SWT. Bukankah semua ini menjadi tanda atas keislamannya?

Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang-orang Ahlu Sunnah yang suka mengkafirkan orang lain. Mereka mengafirkan orang-orang Syi’ah dan mencap mereka murtad karena alasan-alasan yang mereka miliki. Akan tetapi mereka (Ahlu Sunnah yang suka mengkafirkan) itu tidak hanya mengafirkan orang-orang Syi’ah saja. Mereka juga mengkafirkan orang-orang Ahlu Sunnah yang berseberangan faham dengan mereka, termasuk mengkafirkan para ulamanya. Bisa saja jilatan api takfir mereka ini mengena kepada diri saya atau mengena kepada saudara-saudara saya. Akan tetapi, ada juga orang-orang yang dikenal suka mengkafirkan orang lain dari kalangan Syi’ah. Mereka mengkafirkan orang lain dengan mengacu kepada kitab-kitab rujukan mereka. Sebagian besar dari mereka itu mengkafirkan Ahlu Sunnah, baik secara umum maupun secara rinci. Sebagian dari mereka ada yang mengganggap najis Ahlu Sunnah dan menganggap lebih kufur daripada orang-orang musyrik, orang-orang Yahudi dan Nashrani. Oleh karena itu, kepada orang-orang Syi’ah yang menginginkan pendekatan ini harus menolak faham saling mengkafirkan ini dan ulama Syi’ah yang suka mengafirkan ini jangan dijadikan sebagai rujukan.

2. Harus membuang jauh-jauh faham Taqiyyah yang merupakan faham utama orang-orang Syi’ah di dalam ajaran mereka.
Karena masuknya faham Taqiyyah di dalam perjanjian yang besar ini bisa merontokkan kepercayaan atas semua yang disampaikan dan disepakati. Karena bisa saja semua ini (dilakukan) dalam rangka bertaqiyyah!

3. Di antara keterus terangan yang diharapkan adalah kita mengakui fakta yang ada di muka bumi, seperti yang sedang terjadi di Irak yaitu adanya gengster yang bernama “Para Pencabut Nyawa”.
Dengan entengnya mereka membantai manusia. Mereka membantai setiap orang yang bernama Umar atau Utsman! Mereka menyembelih orang-orang di dalam rumah mereka sendiri. Mereka juga menculik orang-orang dari keluarganya. Setelah itu, orang-orang melihat kepala orang-orang yang diculik tersebut sudah tergeletak di jalan. Dan yang paling sadis yaitu bekas-bekas penyiksaan masih terlihat jelas di tubuh korban yang bisa membuat bulu kuduk merinding. Islam telah melarang kaum muslimin melakukan mutilasi terhadap mayat orang-orang musyrik pada saat peperangan. Nah, bagaimana mungkin kita membolehkan untuk memutilasi tubuh kaum muslimin yang masih hidup bukan pada waktu perang?

4. Melarang orang-orang Syi’ah yang berusaha untuk menerobos masyarakat Sunni dengan cara menyebarkan faham Syi’ah ke tengah-tengah mereka.
Padahal aktifitas ini tidak dianjurkan oleh para ulama dari kedua belah pihak. Misalnya Imam Muhammad Mahdi Syamsuddin, Ketua Dewan Tertinggi Syi’ah di Libanon yang telah melemahkan faham ini dan menolaknya dengan keras. Beliau juga telah menjelaskan sikapnya dengan sangat jelas.

5. Menghentikan sikap media massa yang menyerang Ahlu Sunnah dan mendakwahkan ajaran Syi’ah secara terang-terangan lewat saluran-saluran udara yang sangat banyak dan didanai oleh Syi’ah.
Tidak ada keraguan lagi bahwa saluran-saluran udara ini bertujuan untuk menjelekkan citra Islam Sunni yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin di dunia. Saluran ini sangat dikenal bagi orang-orang yang suka menontonnya.

Pihak yang Menolak Pendekatan Madzhab
Di sini saya ingin menjelaskan sebuah fakta kepada semuanya yang tidak boleh disembunyikan. Yaitu bahwa pada saat ini, ide pendekatan madzhab ini banyak ditolak orang. Jadi ide ini sedang diuji.

Sesungguhnya ide pendekatan madzhab, para penganjur, kelompok-kelompok dan yayasan yang mengusung ide ini sedang menghadapi ujian yang sangat berat pada saat ini, yang mungkin saja faham ini akan hancur jika orang-orang yang beriman, baik pribadi maupun yayasan-yasannya tidak menyadari hal ini.

Ide pendekatan madzhab ini sedang ditolak masyarakat. Mungkin saja keberadaan ide ini akan diakui di alam nyata. Bisa menunaikan tugasnya sesuai tugasnya. Bisa mengalahkan para pengusung perpecahan sekte dan fanatisme jahiliyah yang bisa menyulut huru-hara dan menyebabkan kebakaran (kekacauan). Atau bisa saja melemah, apinya padam, jemaahnya bercerai berai sehingga hanya tinggal kenangan atau hanya menjadi buah bibir saja.

Seluruh kaum muslimin mengharapkan realisasi beberapa poin dari para pengusung ide pendekatan madzhab ini, di antaranya:

1. Berusaha untuk memadamkan huru-hara di Irak yang memicu perang antar sekte yang tidak ada ujung pangkalnya. Huru-hara ini susah dipadamkan ketika sudah berkobar.

Apinya membesar sehingga menyebar ke mana-mana. Dalam perang ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Justru semua pihak menjadi pihak yang kalah, walaupun mereka menyangka bahwa mereka lah pihak yang menang. Justru pemenangnya adalah Zionis (Israel), beserta Amerika dan sekutunya yang memusuhi Islam, kaum muslimin dan peradabannya. Padahal dahulunya bangsa Irak adalah bangsa yang bersatu di dalam negara yang satu, di bawah pemerintahan yang sama sejak beberapa abad lamanya. Satu klan dan satu keluarga bahkan terdiri dari 2 golongan Sunni-Syi’ah, sehingga terjadi hubungan perkawinan satu sama lain. Itu semua berjalan secara alamiah. 

Apa yang terjadi pada hari ini? Apakah zaman pemerintahan sekuler sebelum ini lebih toleran dan tidak bersikap keras dari pada partai-partai yang kini berafiliasi kepada agama? Contohnya Dewan Tertinggi Revolusi, atau Kelompok Ash-Shadra (pimpinan Muqtadha Ash-Shadr), Partai Dakwah dan perkumpulan-perkumpulan Syi’ah yang lainnya yang dituduh oleh banyak orang bahwa mereka memiliki pasukan yang dipersenjatai yang dengan mudahnya membantai semua orang yang bernama Abu Bakar, Umar, Utsman atau Aisyah. Setiap orang yang bernama seperti ini, maka mereka akan langsung dibunuh. Sebagian besar korbannya disiksa dengan beragam siksaan terlebih dahulu sebelum mereka dibunuh. Padahal, dahulu para sahabat saja belum pernah merasakan siksaan seperti ini dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir.

Sesungguhnya geng “Para Pencabut Nyawa” membantai Ahlu Sunnah di dalam rumah mereka, di atas tempat tidur mereka atau menculiknya dan kemudian kepala si korban dibuang di jalan-jalan atau di rumah-rumah kosong. Mereka membantai Ahlu Sunnah setiap harinya mencapai puluhan bahkan ratusan korban. Kepada siapakah mereka (para pelaku kejahatan ini) dinisbahkan? Mereka itu memakai seragam polisi lengkap beserta senjata kepolisian (pistol). Mereka juga memakai lencana kepolisian. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjegal upaya mereka ini. Sebagian besar para korban yang ditawan oleh mereka dimasukkan ke dalam penjara milik pemerintah!

2. Menghentikan program penyebaran madzhab di sebuah negara yang dihuni oleh madzhab tertentu.
Inilah yang saya jelaskan di depan saudara-saudara saya di Iran pada saat kunjungan saya ke sana tahun 1998. Hal ini juga senada dengan yang diserukan oleh para ulama Syi’ah yang terhormat, seperti Muhammad Mahdi Syamsuddin, Ketua Dewan Tertinggi Syi’ah di Libanon dan Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, ulama senior rujukan Syi’ah.

Saya juga telah menyampaikan kepada ulama rujukan Syi’ah di Iran ketika saya berkunjung ke sana bahwasanya usaha pendekatan ini tidak akan terjadi di antara kita (Sunni dan Syi’ah), jika orang-orang Syi’ah berusaha untuk menyimpangkan akidah para pengikut kami (Ahlu Sunnah). Atau kami (Ahlu Sunnah) berupaya untuk menyimpangkan akidah para pengikut Syi’ah. Usaha ini bisa merusak hubungan baik di antara kita dan menimbulkan ketakutan serta hilangnya kepercayaan di antara kita.

Kemudian, apa yang mendorong orang-orang Syi’ah memaksakan diri ingin masuk ke dalam sebuah negara yang dihuni mayoritas Sunni yang penduduknya bermadzhab Syafi’iyyah, Malikiyyah atau madzhab yang lainnya sehingga secara perlahan-lahan sebagian penduduknya -dengan cara-cara Syi’ah- masuk ke dalam ajaran Syi’ah? Saya bertanya kepada kalian, “Berapa banyak yang kalian targetkan? Sepuluh atau dua puluh orang? Seratus atau dua ratus orang atau bahkan seribu atau dua ribu orang?” Hal ini mungkin saja terjadi dengan cara-cara yang sangat halus, sebagaimana yang dilakukan oleh Misionaris Kristen ke negara-negara berpenduduk muslim.

Akan tetapi pada saat masyarakat Sunni mengetahui hal ini, maka mereka akan membenci dan memusuhi kalian dan mereka akan menumpahkan amarahnya kepada kalian. Mereka juga akan melaknat kalian dan akan melontarkan tuduhan-tuduhan, baik yang benar maupun yang tidak benar. Akhirnya, suasana di masyarakat penuh dengan kebencian dan pergolakan.

Pada saat itu, sahabat kami Ayatullah At-Taskhiri juga hadir dan beliau menguatkan pendapat saya ini. Beliau berkata, ”Engkau benar!” Kemudian beliau menceritakan kisah yang terjadi pada saat Revolusi “Inqadz” di Sudan yang menandakan sangat berbahaya jika faham Syi’ah disebarkan ke tengah-tengah mayoritas Ahlu Sunnah.

Demikian juga sebaliknya, yaitu sangat berbahaya jika faham Ahlu Sunnah disebarluaskan di negara-negara yang dihuni mayoritas Syi’ah. Masih ada yang melakukan hal ini secara perorangan. Akan tetapi jumlah mereka amat terbatas. Akan tetapi, ajaran Syi’ah ini disebarluaskan terprogram dengan memakai strategi. Ada tim suksesnya, misionarisnya, didukung dana, dilengkapi berbagai macam kegiatan, ada target dan fasilitas lain yang mendukungnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi setiap orang yang terkait peristiwa Revolusi Iran yang mana efeknya terasa sampai ke luar Iran.

3. Ajaran yang berkaitan dengan mencerca para sahabat. Saya telah sampaikan dan akan terus saya sampaikan bahwa kita tidak mungkin akan saling mendekat dengan semboyan persatuan umat, selama itu diamalkan.

Sebab ada jurang menganga di antara kita mengenai penilaian terhadap para sahabat. Terutama terhadap para sahabat yang masuk ke dalam kategori orang-orang Muhajirin dan Anshar generasi pertama yang telah Allah SWT ridhai dan mereka pun ridha terhadap Allah SWT, yang mana Allah SWT telah menyiapkan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

Hal ini telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an, ”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung,” (QS At-Taubah [09]: 100). Sampai saat ini, ayat ini masih terus memuji para sahabat. Bahkan ayat ini diikuti oleh ayat lain, ”Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” Tidak diragukan lagi bahwa di antara orang-orang yang disebut sebagai ”orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin,” yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah dan Zubair.

Tentang mereka ini lah Allah SWT menurunkan firman-Nya, ”Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka terbunuh atau mati, sungguh, Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi rezeki yang terbaik. Sungguh, Dia (Allah) pasti akan memasukkan mereka ke tempat masuk (surga) yang mereka sukai. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun,” (QS Al-Hajj [22]: 58-59). Juga firman-Nya, ”(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar,” (QS Al-Hasyr [59]: 8). Mereka itulah yang dicap sebagai orang-orang yang benar menurut nash Al-Qur`an. Di dalam Al-Qur`an, Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar kita selalu bersama orang-orang yang benar, ”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar,” (QS At-Taubah [09]: 119).

Mereka itu adalah orang-orang yang berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW di bawah pohon untuk rela mati di jalan Allah SWT. Maka turunlah firman Allah SWT, ”Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat,” (QS Al-Fath [48]: 18). Mereka juga adalah orang-orang yang ikut berjihad di perang Badar, Uhud, Tabuk dan perang-perang yang lainnya. Mereka juga adalah orang-orang yang mendapat persaksian dari Al-Qur`an, ”Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman,” (QS Al-Anfal [08]: 74). Mereka juga adalah orang-orang dimaksudkan oleh firman Allah SWT, ”Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (QS Al-A’raf [07]: 157). Mereka jugalah yang dimaksud oleh Al-Qur`an, ”Dan jika mereka hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu. Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (Al-Anfal [08]: 62-63).

Mereka itu para sahabat yang Allah SWT dengan perantaraan mereka telah menolong Rasulullah SAW dan Allah SWT memuliakan Islam melalui usaha mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang Al-Qur`an bersaksi kepada mereka semua bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan di sisi Allah SWT, walaupun bagi orang-orang yang terdahulu ada karunia yang mereka peroleh lebih dahulu. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah SWT, ”Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik,”  (QS Al-Hadid [57]: 10).

Sampai-sampai para sahabat yang bersikap keliru di dalam peperangan, seperti sebagian sahabat yang melarikan diri dari perang Uhud setelah mendengar berita bahwa Rasulullah SAW telah wafat, namun Allah SWT telah memaafkan mereka. Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi pertemuan  (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun,” (QS Ali Imran [03]: 155). Mereka juga, orang-orang yang diberi kesaksian oleh ayat terakhir dari surah Al-Fath [48] yang berbunyi, ”Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang  sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya,” (QS Al-Fath [48]: 29).

Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kesaksian dari Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah SAW, juga mendapat kesaksian dari sejarah yang belum pernah dicapai oleh orang lain sebelum mereka.

Kita juga menyaksikan bahwa mereka lah yang telah menghafalkan untuk kita kitab suci Al-Qur`an dan kemudian mereka nukil untuk kita dalam keadaan utuh tanpa perubahan sedikitpun.

Mereka juga adalah orang-orang yang telah meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW untuk kita, juga sunnahnya, baik ucapan, perbuatan maupun keputusan Rasulullah SAW. Mereka juga telah menukilkan untuk kita semua sejarah Rasulullah SAW secara terperinci yang belum pernah dilakukan bagi seorang nabi sebelum beliau atau bagi seorang yang mulia sebelum beliau.

Mereka juga adalah orang-orang yang berjasa menyampaikan agama Islam ke seluruh penjuru dunia dan melakukan serangkaian futuh (penaklukan secara damai) dan mereka berjuang dengan pedang mereka melawan orang-orang yang menjajah manusia. Sehingga Allah SWT pun memberikan kemenangan untuk mereka ketika melawan Kisra (Raja Persia) dan Kaisar (Raja Romawi) demi tersebarnya keadilan Allah SWT di muka bumi.

Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan cahaya kenabian dan mereka pun belajar dari cahaya kenabian ini (cahaya kenabian = Rasulullah SAW). Mereka mencontohnya di dalam seluruh sunnahnya dan petunjuk-petunjuknya. Karena di dalam diri Rasulullah SAW bagi mereka benar-benar ada suri tauladan yang baik. Mereka itu adalah sebaik-baik murid bagi sebaik-baik guru. Oleh karena itu mereka disebut dengan Para Sahabat Rasulullah SAW.

Mereka itu, menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, sejarah dan ilmu manthiq merupakan generasi yang paling baik yang pernah dicatat oleh sejarah. Tidak diragukan lagi! Karena mereka adalah murid-murid penghulu umat manusia, para sahabat adalah buah dari pendidikan beliau, dan generasi yang beliau bina dengan tangannya sendiri. Barangsiapa yang mencela mereka, maka seolah-olah telah mencela guru mereka, yaitu Rasulullah SAW. Terlebih lagi mencela para sahabat yang sangat dekat dengan beliau. Imam Malik telah berkata terhadap orang-orang yang mencela para sahabat, ”Mereka itu sebenarnya ingin mencela Rasulullah SAW, tapi mereka tidak bisa melakukannya. Akhirnya, mereka mencela para sahabat Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, ’Dia itu orang jahat!’ karena jika orang shalih, maka teman-temannya pun akan orang shalih pula!”[12]

Oleh karena itu, tidak mungkin bisa dilakukan pendekatan antara Sunni dan Syi’ah. Sebab ajaran kebencian ini masih menjadi sikap mereka terhadap para sahabat Rasulullah SAW.
Memang benar, tidak mungkin kita akan bersatu. Ketika saya mengatakan, ”Abu Bakar semoga Allah SWT meridhainya. Umar semoga Allah SWT meridhainya.” Sedangkan engkau (Syi’ah) berkata, ”Abu Bakar semoga Allah SWT melaknatnya. Umar semoga Allah SWT melaknatnya.” Ingat, alangkah besarnya jurang perbedaan antara kalimat ‘semoga Allah SWT meridhainya’ dengan kalimat ‘semoga Allah SWT melaknatnya’.

Tulisan ini saya akhiri dengan doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang  yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang,” (QS Al-Hasyr [59]: 10). 



(Jawaban Syaikh Yusuf yang Ketiga)
MENCACI PARA SAHABAT

Pertanyaan :
Yang terhormat, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hafizhahullah.

Assalaamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Kami mengenal Anda sebagai salah satu ulama yang menyerukankan pendekatan di antara golongan dan madzhab di dalam Islam. Terutama antara madzhab Sunni dengan Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah. Di sini kami ingin bertanya kepada Anda dengan sebuah pertanyaan yang sangat jelas, yang mana kami sangat mengharapkan jawaban dari Anda dengan jawaban yang jelas pula, tidak hanya berdiplomasi. Pertanyaannya yaitu: Apakah mungkin akan terjadi pendekatan antara kedua golongan (Sunni dan Syi’ah), yang mana Syi’ah sangat membenci para sahabat dan bahkan berani mencaci dan melaknat mereka, terutama terhadap sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Zubair dan Thalhah. Oleh karena itu, orang-orang Syi’ah tidak mau menamai anak mereka dengan nama-nama ini, kecuali dibolehkan bagi seorang perempuan yang tidak mempunyai anak dan yang lainnya.
Bagaimana hukum mencaci para sahabat yang telah dijadikan Allah SWT sebagai penolong rasul dan agama-Nya? Apakah masuk ke dalam kategori perbuatan kufur? Hal ini dikarenakan bertentangan dengan nash Al-Qur`an yang telah memuji para sahabat.

Pembahasan ini merupakan sebab terjadinya perpecahan di antara kami dengan mereka (orang-orang Syi’ah). Kami harapkan, Anda bisa menerangkan kebenaran hal ini. Karena Anda telah mendapatkan anugerah ilmu, kekuatan dan hujjah dari Allah SWT. Juga Anda menguasai sejarah dan perkembangan masa kini, juga mempunyai keberanian di dalam menyampaikan kebenaran.
Semoga Allah SWT senantiasa menambahkan taufik-Nya kepada Anda.
Wassalaamu ’Alaikum Wr. Wb.

Hasan Ali Abdullah
Dari Kuwait

Jawaban :
Segala puji bagi Allah SWT. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, amma ba’du :

Saya ucapkan terimakasih kepada Saudara penanya atas pertanyaannya yang sangat penting. Pertanyaan ini menyangkut masalah sensitif antara kami dengan Syi’ah. Karena inilah sikap mereka (orang-orang Syi’ah) terhadap para sahabat. Mereka sangat membenci para sahabat dan menuduh para sahabat dengan tuduhan keji. Topik ini merupakan topik yang selalu hangat dibicarakan dalam acara-acara pendekatan madzhab antara Sunni dengan Syi’ah. Topik ini merupakan salah satu dari 2 topik pembahasan yang membuat ketegangan antara kami dengan Syi’ah sejak bulan Ramadhan 1429 H/September 2008. Saya pernah membahas topik ini dengan para ulama mereka setiap kali kami bertemu dengan mereka. Semuanya ternyata setuju dengan pendapat yang saya ajukan, namun realitas menyatakan sebaliknya. Saya tidak ingin mengatakan jika mereka (para ulama Syi’ah) mengatakan hal ini adalah sebagai bentuk Taqiyyah.

Akan tetapi saya melihat jika ajaran Syi’ah yang dominan selalu melampaui seluruh ucapan ulama Syi’ah di berbagai forum. Ini imbas dari sejarah yang panjang. Inilah wujud realitas yang dipenuhi kebencian dan dendam kesumat.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa siapa saja orangnya yang sudah mengenal madzhab Syi’ah, maka dengan mudah dia akan memahami sikap Syi’ah terhadap para sahabat, terutama terhadap para sahabat senior.

Karena ajaran pokok madzhab Syi’ah yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Rasulullah SAW telah tegas menyatakan Ali sebagai penggantinya (menjadi Khalifah) setelah beliau wafat. Akan tetapi para sahabat telah bersekongkol untuk menyembunyikan kebenaran ini. Dengan sengaja, mereka telah durhaka terhadap Rasulullah SAW. Para sahabat –menurut Syi’ah- telah menyakiti Rasulullah SAW yang telah berwasiat untuk menjaga keluarganya dengan baik.

Sedangkan kita ketahui bahwa para sahabat senior adalah para sahabat yang paling dekat dengan beliau, paling dicintai, paling banyak berinfaq, paling dipuji, sebab terdapat banyak hadits yang menerangkan keutamaan mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa inilah buah dari pembinaan dan pendidikan Rasulullah SAW. Juga sebagai hasil dari perhatian serius beliau terhadap ucapan dan perbuatan para sahabatnya. Misalnya saja penjelasan wahyu yang terdapat di dalam Al-Qur`an yang memuji seluruh perbuatan baik para sahabat dan menegur seluruh perbuatan kurang baik dari mereka. Tujuannya agar para sahabat introspeksi dan bertaubat kepada Allah SWT dan memperbaiki perbuatan mereka. Sampai akhirnya mereka disebut, ”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” (QS Ali Imran [03]: 110). Mereka akhirnya menjadi figur umat pertengahan yang Allah SWT jadikan sebagai saksi atas seluruh umat manusia.

Mereka berhak mendapatkan gelar ini sampai Al-Qur`an dari langit ketujuh turun, berisi pujian atas mereka. Yaitu orang-orang yang ikut hijrah, mereka pergi meninggalkan rumah dan harta benda mereka karena mencari keridhaan Allah SWT. Mereka menolong agama Allah dan rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Juga orang-orang Anshar yang menjadi penolong Rasulullah SAW dan dakwahnya dengan jiwa dan harta mereka. Mereka lah yang disebutkan di dalam Al-Qur`an, ”Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada  mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Inilah gambaran Ahlu Sunnah terhadap para sahabat. Gambaran ini bersandar kepada Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, dan kenyataan sejarah yang sangat berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat. Gambaran ini sangat bertolak belakang 100% dengan gambaran orang-orang Syi’ah. Karena gambaran mereka tidak mengacu kepada Al-Qur`an, As-Sunnah, sejarah dan fakta yang benar. Inilah gambaran yang telah dijelaskan oleh syaikh kami, Abul Hasan Ali An-Nadawi di dalam makalah pendeknya dengan judul, ”Dua Gambaran yang Bertolak Belakang.”

Kesimpulan terhadap gambaran pertama dari orang-orang Syi’ah, “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak benar di dalam mendidik murud-muridnya. Beliau telah ditipu oleh mereka, dan murid-murid beliau telah mengkhianati gurunya dengan cara menyia-nyiakan wasiat kepemimpinan setelah beliau wafat. Mereka juga berkhianat kepada keluarga beliau, menzalimi Ahlul Bait di dalam masalah kepemimpinan dan membuat konspirasi terhadap Ahlul Bait”.

Kesimpulan terhadap gambaran kedua dari Ahlu Sunnah, “Sesungguhnya  Rasulullah SAW adalah guru yang paling baik. Beliau memahami betul seluruh murid-muridnya. Beliau sangat dekat dengan mereka dan memberikan sinyal kepemimpinan setelah beliau wafat dengan cara penunjukan imam di dalam shalat dan lain-lainnya.”

Masalah ini yang membuat kami Ahlu Sunnah sering berbenturan dengan orang-orang Syi’ah. Kami Ahlu Sunnah mengatakan: Abu Bakar dan Umar -semoga Allah SWT meridhai keduanya-, sedangkan orang-orang Syi’ah mengatakan: Abu Bakar dan Umar -semoga Allah SWT melaknat keduanya-. Kami Ahlu Sunnah mengatakan: Aisyah -semoga Allah SWT meridhainya-, sedangkan orang-orang Syi’ah mengatakan: Aisyah -semoga Allah SWT melaknatnya-. Padahal Aisyah ini telah Allah SWT sucikan di dalam firman-Nya di dalam surah An-Nur.

Saya sangat sedih ketika terjadi peristiwa di Beirut pada tahun 2008, pada saat pasukan Hizbulloh memasuki rumah-rumah Ahlu Sunnah sambil berteriak, ”Semoga Allah SWT melaknat tiga orang!” Tiga orang yang mereka maksudkan adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan. Cerita ini saya dengar dari orang-orang yang bisa dipercaya, karena mereka menyaksikannya sendiri.

Saya telah menulis di dalam buku saya yang berjudul, ”Dasar-Dasar di Dalam Dialog dan Pendekatan di Antara Madzhab-madzhab dan Golongan di Dalam Islam.” Di dalam buku tersebut saya telah membuat sepuluh kaidah dan dasar-dasar di dalam dialog atau pendekatan antara dua madzhab. Di antaranya, menjauhi kata-kata provokasi. Yaitu, segala sesuatu yang bisa memprovokasi orang lain, membuat orang lain marah dan perbuatan yang menantang orang lain yang tidak bisa dibenarkan. Di antara bentuk-bentuk provokasi itu adalah mencerca para sahabat.

Di sini saya ingin menukil sebagian yang saya tuliskan di sana, karena mengandung ibrah dan pelajaran, juga mengandung penjelasan yang kuat atas setiap para pembangkang dan orang-orang sombong.

Di antara yang sudah saya katakan, masalah mencaci para sahabat oleh orang-orang Syi’ah tetap menjadi persoalan, terutama menghina para sahabat senior. Yaitu para sahabat yang ketika Rasulullah SAW wafat, beliau telah ridha terhadap mereka. Misalnya Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman RA dan sepuluh orang sahabat yang telah dijamin masuk surga, seperti Thalhah, Zubair, para sahabat yang ikut hijrah dan pertama-tama beriman kepada Rasulullah SAW, yang mana saat itu orang-orang Mekah mendustakan beliau. Justru para sahabat beriman di saat orang-orang menolak beliau. Oleh karena itu,  Allah SWT memuji mereka semuanya di dalam Al-Qur`an. Allah SWT ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah SWT. Allah SWT berfirman, ”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung,” (QS At-Taubah [09]: 100).

Contoh lainnya, Aisyah binti Abu Bakar yang telah disucikan oleh Allah SWT dari tujuh lapis langit. Mengenai Aisyah ini telah turun sebuah ayat di dalam surat An-Nur [24] yang berbunyi, ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula),” (QS An-Nur [24]: 11).

Demikian juga dengan para sahabat yang lainnya yang levelnya di bawah para sahabat senior. Akan tetapi mereka sangat gembira karena bisa menemani Rasulullah SAW. Mereka semua ini berada di dalam kebaikan, sebagaiman firman Allah SWT, ”Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal milik Allah semua pusaka langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Hadid [57]: 10).

Inilah poin yang sangat sensitif antara kami Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Karena tidak mungkin antara kita akan terjadi pendekatan. Karena saya berkata, ”Abu Bakar -semoga Allah SWT meridhainya-. Sedangkan engkau (Syi’ah) mengatakan, ”Abu Bakar -semoga Allah SWT melaknatnya.- Coba perhatikan, ada berapa perbedaan antara ucapan ridha terhadap seseorang dengan ucapan laknat?

Saya pernah berdialog dengan beberapa orang para ulama Syi’ah yang saya tahu mereka itu adalah para ulama yang bijaksana. Saya katakan kepada mereka, ”Sesungguhnya masalah ini adalah batu sandungan utama di dalam proses pendekatan antara dua madzhab. Oleh karena itu, para cendekiawan Syi’ah harus menahannya atau paling kurang memperkecil efeknya. Karena jika hal ini dibiarkan sesuai dengan tabiat orang-orang awam yang dipenuhi dendam dan kebencian, maka akan memakan setiap rumput hijau dan yang kering, dan sangat wajar jika tidak ada kesempatan bagi para ulama di dalam menjelaskan prospek persatuan dan proses pendekatan madzhab.”

Sebenarnya saya katakan bahwa para cendekiawan Syi’ah seperti Ayatullah Muhammad Ali At-Taskhiri dan Ayatullah Wa’izh Zadeh dan yang lainnya mereka sangat setuju dengan hal ini. Mereka meyakinkan kepada saya bahwa cara pandang seperti ini (tidak mencaci para sahabat, ed.) mulai menguat dan menyebar di kalangan Syi’ah sedikit demi sedikit. Sampai-sampai kurikulum pendidikan yang baru di Iran di beberapa bukunya menyebutkan tentang sejarah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab yang dipenuhi dengan pujian dan kemuliaan.

Saya katakan kepada mereka, ”Inilah yang harus dikembangkan di dalam yayasan/lembaga pendidikan milik pemerintah dan juga di dalam pendidikan keluarga secara khusus. Karena pengetahuan masyarakat Syi’ah banyak mengandung ilusi, hal-hal yang berlebihan dan takhayul. Semua ini tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Akan tetapi menurut orang-orang awam, hal ini merupakan kebenaran dan akidah mereka.”

Sebenarnya, masalah yang sangat membahayakan ini perlu dihilangkan dan dijelaskan untuk membersihkan semua debu-debu kekisruhan. Atau paling tidak untuk membentuk sikap positif dan bijaksana terhadap permasalahan ini.

Awas, Jangan Mencela Para Sahabat!
Saya ingin menjelaskan masalah ini di hadapan saudara-saudara saya dari madzhab Syi’ah. Saya sendiri tidak bermaksud lain dari ini semua kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT, berkhidmat kepada Islam dan umat Islam.

Pertama, Sesungguhnya  semua kejadian yang dialami oleh para sahabat, seperti perbedaan pendapat sampai terjadinya huru-hara, semua ini sudah menjadi sejarah (masa lalu) dan telah digulungkan lembaran sejarahnya, baik yang manis maupun yang pahitnya.

Yang buruk dan yang baiknya, kelak, Allah SWT akan menanyai para sahabat dan Dia akan memberikan pahala atas seluruh perbuatan dan niat mereka. Yang layak bagi kita adalah menyerahkan semua ini kepada Allah SWT dan tidak perlu repot-repot kita menghitung-hitungnya. Sebab Allah SWT telah berfirman, ”Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).

Karena alasan ini pula, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab, ”Dengan darah mereka itulah Allah SWT membersihkan tangan-tangan kita. Oleh karena itu, janganlah kita mengotori lidah kita dengan masalah ini!”

Kedua, di antara kaidah toleransi di antara para pemeluk agama yang berbeda yaitu sesungguhnya  orang-orang yang sesat di antara kita akan dihisab atas kesesatannya dan orang-orang kkafir akan dihisab atas kekkafirannya adalah tugas Allah SWT dan bukan tugas kita. Dan hisab ini tempatnya yaitu di akhirat dan bukan di dunia ini. Allah SWT telah berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu,” (QS Al-Hajj [22]: 17). Allah SWT juga telah berfirman kepada Rasulullah SAW, ”Karena itu, serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, “Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar  berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah  (kita) kembali,” (QS Asy-Syura [42]: 15). Apabila sikap seperti ini adalah sikap terhadap pemeluk agama yang berbeda-beda, lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang seagama dengan kita?

Ketiga, sesungguhnya yang layak bagi kita di sini adalah membiarkan orang-orang yang berselisih faham tersebut dan menyerahkannya kepada niat mereka masing-masing. Karena mereka telah sampai (merasakan) atas apa yang mereka persembahkan (lakukan di dunia).
Terhadap para sahabat tersebut, jika kita anggap mereka telah berbuat dosa, maka tentunya mereka akan tetap mendapatkan pahala karena telah menemani Rasulullah SAW, atau pahala jihad mereka bersama beliau yang mana beliau bisa memberikan syafaat kepada mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Umar di dalam masalah Hathib bin Abi Balta’ah yang mana dia telah memata-matai kaum muslimin atas perintah orang-orang Quraisy sebelum Futuh Mekah. Berkatalah Umar kepada Rasulullah SAW, ”Biarkanlah saya memancung lehernya, karena dia adalah orang munafiq!” Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Dia itu termasuk yang ikut dalam perang Badar. Apakah engkau tahu wahai Umar, barangkali saja Allah SWT memaafkan para pejuang perang Badar.” Beliau pun bersabda, ”Kerjakanlah apa yang ingin kalian kerjakan, sungguh aku telah memaafkan kalian.” 

Imam Al-Qurthubi telah berkata di dalam tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an,
“Tidak boleh menyandarkan sebuah kesalahan tertentu kepada salah seorang dari sahabat, karena mereka semua telah berijtihad atas apa yang mereka lakukan dan yang mereka inginkan hanya Allah SWT. Sedangkan mereka itu adalah imam kita dan kita akan dianggap beribadah (berpahala) jika tidak membicarakan perselisihan mereka. Kita semua hanya menceritakan kebaikan-kebaikan mereka saja, karena mereka telah menemani Rasulullah SAW dan juga karena ada larangan mencaci para sahabat ini dari Rasulullah SAW. Demikian juga karena Allah SWT telah memaafkan dan meridhai mereka.

Ada sebuah riwayat dengan banyak jalur dari Rasulullah SAW bahwasanya Thalhah adalah seorang syahid. Andai saja dia pergi ke medan perang itu karena faktor maksiat, tentu orang yang terbunuh pada peperangan tersebut tidak akan disebut mati syahid. Demikian pula seandainya dia pergi ke medan perang karena faktor salah persepsi. Karena yang disebut mati syahid itu tidak akan terjadi kecuali jika terbunuh di dalam ketaatan. Maka urusan mereka itu wajib disikapi seperti yang telah kami terangkan.

Di antara yang menjadi dalil hal ini, yaitu sebuah riwayat shahih dan sudah tersebar dari Ali bahwasanya pembunuh anaknya Shafiyyah[13] adalah di neraka. Karena Ali pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Berilah kabar gembira pembunuh putra Shafiyyah dengan api neraka!”[14]

Jika memang seperti ini, maka ada sebuah keterangan yang menerangkan bahwa Thalhah dan Zubair tidak bermaksiat atas perintah jihad. Karena jika seperti ini, mana mungkin Rasulullah SAW berkata kepada Thalhah sebagai syahid? Dan juga beliau tidak mengatakan bahwa pembunuh Zubair akan masuk neraka.

Demikian pula dengan orang yang tidak ikut perang tidak karena salah persepsi, dan justru karena kebenaran yang menuntut mereka agar berjihad. Apabila seperti ini, maka kita tidak boleh melaknat atau memfasiqkan mereka dan menghilangkan keutamaan dan jihad mereka.

Sebagian para ulama ditanya perihal darah yang telah ditumpahkan oleh para sahabat (peperangan di antara para sahabat). Maka dia menjawab, ”Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).

Demikian pula ada sebagian para ulama yang ditanya tentang hal tersebut (peperangan di antara para sahabat). Maka dia menjawab, ”Itulah darah yang Allah SWT telah menyucikan tangan saya dari darah tersebut. Maka aku tidak mau mengotori lidahku dengan masalah ini.” Maksudnya berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam kesalahan atau salah memberikan penilaian terhadap para sahabat.

Ibnu Furik berkata, ”Di antara para ulama ada yang berkata bahwa pertikaian yang terjadi di antara para sahabat adalah seperti pertikaian yang terjadi antara saudara-saudara Yusuf dengan Yusuf. Tetapi saudara-saudara Yusuf ini tidak membuat Yusuf tersingkir dari kepemimpinan dan kenabian (Nabi Yusuf tetap menjadi Nabi dan Raja Mesir). Demikian pula halnya dengan pertikaian yang terjadi di antara para sahabat.”

Al-Muhasibi berkata, ”Adapun dalam masalah darah (peperangan), kami kesulitan untuk menilai hal ini dikarenakan faktor perselisihan mereka (para sahabat)”. Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya tentang masalah peperangan di antara para sahabat. Beliau berkata, “Peperangan di antara para sahabat Rasulullah SAW itu kita tidak mengetahuinya. Mereka mengetahuinya dan kita tidak. Mereka berijma dan kita mengikutinya dan mereka berselisih faham, kita diam.” Al-Muhasibi berkata, “Kami pun berkata sama dengan perkataan Al-Hasan Al-Bashri. Kami tahu jika para sahabat lebih tahu daripada kami atas perkara yang mereka hadapi. Kami  hanya mengikuti apa yang menjadi kesepakatan mereka. Kami diam atas apa yang mereka perselisihkan. Kami tidak membuat-buat opini. Karena kami tahu jika mereka telah berijtihad dan menginginkan Allah SWT (lillahi ta’ala). Kalau begitu, mereka itu tidak dituduh macam-macam dalam Islam ini. Kami hanya memohon taufiq kepada-Nya.”[15]

Keempat, Sesungguhnya kewajiban kita dari sisi yang lain adalah harus menghadapi masa saat ini, daripada kita sibuk memikirkan masa lalu kita. Karena zaman kita sekarang ini penuh dengan berbagai macam musibah dan malapetaka yang menghadang para penggiat kebaikan (para reformis). Musibah ini harus kita hadapi; kita kerahkan segenap pikiran, hati dan anggota tubuh kita. Terutama pada saat ini yang sedang mewabahnya Zionisme dan kesombongan Amerika. 

Saya pernah mendengar bantahan Syaikh Muhammad Al-Ghazali terhadap seseorang yang mendebatnya tentang masalah kejadian yang dialami para sahabat. Dia mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak berbobot, ”Siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, Abu Bakar atau Ali?”

Syaikh menjawab, ”Abu Bakar telah wafat, demikian pula Ali. Begitu pula kekhalifahan, kerajaan Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah runtuh. Sampai kekhalifahan benar-benar tercabut dari negara-negara Islam. Sehingga kita semua dipimpin oleh orang-orang asing. Bukan Abu Bakar dan bukan Ali. Sampai kapan kita memperdebatkan masalah ini?”

Kelima, Sesungguhnya persoalan mencaci  para sahabat pada dasarnya dari kacamata Islam sangatlah tidak terpuji. Karena seorang muslim itu bukan tipe pencela atau pelaknat. Al-Qur`an saja melarang kita mencaci  berhala, karena khawatir bisa memancing emosi orang-orang musyrik. Akhirnya mereka mencaci  Allah SWT, sebagai bentuk pembelaan atas tuhan-tuhan mereka. Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan,” (QS Al-An’am [06]: 108).

Siapa saja yang membaca Sunnah Rasulullah SAW, maka dia akan menemukan ada banyak hadits yang melarang perbuatan mencaci. Misalnya di dalam kitab Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir ada beberapa hadits yang semuanya melarang perbuatan mencaci. Dimulai dari hadits nomer 7309 sampai dengan hadits nomer 7322. Di antaranya:

لا تسبوا أصحابي فو الذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ما بلغ مد أحدهم و لا نصيفه.
”Janganlah kalian mencaci  para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau saja ada salah seorang dari kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala) infaqnya ini tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengah mud (infaq para sahabat).” (Muttafaq Alaih)

لا تسبوا الأموات، فإنهم أفضوا إلى ما قدموا.
”Janganlah kalian mencaci  orang-orang yang sudah meninggal dunia, sebab mereka telah sampai kepada apa yang mereka persembahkan.” (HR. Al-Bukhari)

لا تسبوا الدهر، فإن الله هو الدهر.
”Janganlah kalian mencaci  zaman, sebab Allah lah zaman.” (HR. Muslim)

لا تسبوا الديك فإنه يوقظ للصلاة.
”Janganlah kalian mencaci  ayam jago, sebab dia (suka) membangunkan manusia untuk shalat.” (HR Ahmad)

لا تسبوا الريح، فإنها من روح الله.
”Janganlah kalian mencaci  angin, sebab angin adalah karunia Allah.” (HR Ahmad)

لا تسبي الحمى، فإنها تذهب خطايا بني آدم.
”Janganlah kalian (para ibu) mencaci  demam, sebab demam bisa menghilangkan dosa-dosa anak Adam.” (HR Muslim)

Saya sangat takjub dengan hadits yang berbunyi,

لا تسبوا الشيطان، وتعوذوا بالله من شره.
”Janganlah kalian mencaci setan. (tapi) berlindunglah kalian kepada Allah dari keburukannya.” (HR Tamam Ar-Razi di dalam kitab Al-Fawaid dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no.2422).

Sampai kepada setan pun, kita dilarang mencacinya. Tetapi kita diharuskan untuk berlindung kepada Allah SWT dari keburukannya. Sebab perbuatan mencaci itu adalah perbuatan negatif, sedangkan berlindung kepada Allah SWT dari keburukan setan adalah perbuatan positif.

Orang-orang Barat mengatakan, ”Daripada mencaci  gelap, lebih baik nyalakan lilin.” Maksudnya bahwa mencaci gelap tidak akan merubah suasana. Yang terbaik adalah engkau menyalakan sesuatu yang bisa menerangi jalanmu di kegelapan, walaupun hanya dengan nyala lilin yang sangat kecil.

Kemudian perbuatan cela mencaci itu tidak ada dasar tanggung jawabnya. Karena mencaci hal-hal buruk dan orang-orang kafir itu bukan sesuatu yang dianggap wajib di dalam Islam. Maksudnya jika hal ini tidak dikerjakan, maka akan mendapatkan hukuman dari Allah SWT.
Sebagian para imam (imam yang empat) berkata, ”Andai saja ada seseorang yang berumur panjang, kemudian dia tidak pernah mencaci  Fir’aun, Abu Jahal atau Iblis, maka orang ini tidak akan dihisab apa-apa di hari Kiamat atas sikapnya ini. Akan tetapi jika dia pernah melaknat seseorang yang tidak pantas dilaknat, walaupun hanya satu kali, tentu dia akan dihisab di hadapan Allah SWT di hari Kiamat: Mengapa engkau melaknatnya?”

Oleh karena itu,  Imam Al-Ghazali berkata, ”Orang mukmin itu bukan pencela. Maka tidak diperbolehkan lisan ini mengeluarkan kata-kata laknat, kecuali kepada seseorang yang mati di dalam kekufuran, atau terhadap orang-orang dengan sifat-sifat tertentu tanpa merinci orang-orangnya (dengan jelas). Menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah SWT adalah lebih baik. Kalau tidak bisa, maka diam akan lebih menyelamatkan.”

Makki bin Ibrahim berkata, ”Kami pernah bersama Ibnu Aun. Maka mereka menceritakan kisah Bilal bin Abi Bardah. Maka mereka pun mulai melaknatnya, sedangkan Ibnu Aun hanya diam saja. Maka orang-orang berkata, ”Wahai Ibnu Aun, kami hanya membicarakan perbuatan yang dia lakukan padamu!” Ibnu Aun menjawab, ”Sesungguhnya ada dua kalimat yang akan keluar dari catatan amalku di hari Kiamat, yaitu tidak ada tuhan selain Allah, dan semoga Allah melaknat si fulan. Aku lebih suka kalimat tidak ada tuhan selain Allah yang keluar dari buku catatan amalku, daripada kalimat semoga Allah melaknat si fulan!”
Ibnu Umar berkata, ”Manusia yang dibenci oleh Allah adalah orang yang suka mencaci dan mencaci.”[16]  

Kemudian perbuatan mencaci  para sahabat sangat tidak pantas bagi seorang muslim. Karena para sahabat mempunyai hubungan dengan Rasulullah SAW. Karena para sahabat adalah teman-teman beliau dan mereka juga adalah lulusan dari madrasah beliau. Mereka langsung belajar dari Rasulullah SAW dan mereka juga menerima cahaya kenabian. Mereka juga menyaksikan turunnya Al-Qur`an dan menjadi pelaku sejarah. Merupakan hal yang wajar jika kemudian mereka menerima cahaya kenabian. Barangsiapa mencaci  murid-murid terdekat seorang guru, maka seolah-olah dia itu mencaci  guru mereka!

Oleh karena itu, para tabiin adalah orang-orang yang dekat dengan para sahabat dari sisi keutamaan mereka. Karena para tabiin ini telah belajar langsung dari para sahabat. Adapun orang-orang yang jauh dari tabiin ini, maka mereka pun jauh dari cahaya kenabian. Setiap zaman semakin jauh dari zaman yang lainnya.

Sebagaimana Rasulullah SAW telah memuji mereka para sahabat, baik secara umum maupun secara khusus di banyak hadits-haditsnya, sampai mencapai derajat mutawatir.
Sejarah lah yang telah menjadi saksi yang jujur atas keutamaan mereka. Mereka lah yang telah menghafal Al-Qur`an dan menukilkannya kepada kita secara mutawatir. Dan mereka juga yang telah meriwayatkan sunah Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan maupun kesepakatan-kesepakatan beliau.

Mereka juga lah yang telah melakukan pembebasan negeri lain dengan damai dan menyebarkan agama Islam sampai ke seluruh penjuru dunia. Andai bukan karena mereka, tentu sekarang ini kita semua bukanlah kaum muslimin. Mereka lah yang telah mengajarkan Islam kepada umat lain setelah mereka belajar langsung dari Rasulullah SAW.

Barangsiapa yang mau membaca sejarah mereka, maka dia akan menemukan sejarah para pemberani yang berakhlak yang tidak ada tandingannya di umat ini. Yang mana mereka dijadikan sebagai figur  di dalam membentuk sebuah generasi. Ini lah yang terangkum di dalam kitab Hayatu Shahabah yang terdiri dari beberapa jilid karya Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi.

Buku ini sebagai tambahan atas kitab-kitab yang mengupas sejarah para sahabat, seperti Al-Isti’aab fii Ma’rifatil Ashaab, Asadul Ghaabah fii Ma’rifatish Shahaabah dan Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah.

Saya sarankan untuk membaca kitab Muhibuddin Al-Khathib yang berjudul, Ma’ar Ra’iil Al-Awwal dan penjelasan kitab Jiil Qur`ani Farid karya Sayyid Quthb di dalam kitabnya Ma’aalimu fith Thariiq. Dan kitab Abqariyyaat (orang-orang jenius) karya Abbas Al-‘Aqqad dari kalangan para sahabat dan kitab Akhbaar ’Umar karya Syaikh Ali Ath-Thanthawi.


Adapun tuduhan mengkafirkan Syi’ah dengan dalih sikap mereka terhadap para sahabat, saya sendiri tidak berpendapat seperti itu. Karena mencap kkafir orang yang telah mengucapkan tidak ada tuhan selain Allah, adalah sebuah urusan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang ulama. Karena ucapan tahlil ini melindungi seseorang dari kekafiran. Saya adalah termasuk dari kalangan yang melarang dengan keras mengkafirkan orang lain. Walaupun tuduhan Syi’ah terhadap para sahabat itu sangat keji, tetapi tuduhan mereka itu tidak secara qath’i menjadikan diri mereka sebagai orang-orang kafir. Semua keraguan di dalam masalah ini harus ditafsirkan demi kebaikan seorang muslim yang wajib membawa dirinya ke arah kebaikan.

Kami hanya bisa mendoakan mereka, semoga Allah SWT memberikan mereka petunjuk-Nya kepada kebenaran dan Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka, karena Dia adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Sumber : Buku berbahasa Arab, karya Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dengan judul Fataawaa Mu’aasharah, (Fatwa-fatwa Kontemporer), juz ke-4, penerbit Darul Qalam Kuwait, hal. 275-298.
Penerjemah : Dudung Ramdani, Lc


[1]  Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri!
[2]  Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An-Nafis.
[3]  Lihat kitab Al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz-Dzahabi hal. 68.
[4]  Lihat kitab Kasyful Asraar hal. 107. Juga lihat kitab Syahadat Khumaini fii Ashaabi Rasuulillaah karya Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah, mantan khatib Masjidil Aqsha yang dicetak oleh Penerbit Daar Ummar Yordania.
[5]  Silahkan merujuk ke kitab Dhuha Islam (Cahaya Islam), hal. 3 cetakan pertama.
[6]  Di dalam sebuah kitab yang berjudul, Umat Islam; Adalah Nyata dan Bukan Angan-angan. Didistribusikan oleh Pustaka Wahbah di Mesir dan Yayasan Ar-Risalah di Libanon.
[7]  Lihat buku kami yang berjudul, Penjelasan tentang Pendekatan antar Madzhab dan Golongan di Dalam Islam, hal. 8-39, penerbit Pustaka Wahbah Kairo cetakan pertama tahun 2008.
[8]  Para ulama Syi’ah telah menyatakan bahwa syahadat ini tidak dikenal oleh mereka. Akan tetapi mereka membiarkan hal ini terjadi, dengan alasan takut orang-orang awam bergolak (terguncang).
[9]  Lihat buku, Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang, hal. 34-39 cetakan Dar Asy-Syuruq tahun 2001.
[10] Lihat buku, Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam, hal. 12 cetakan Pustaka Wahbah, Kairo.
[11] Hadits ini diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih: Al-Bukhari di dalam Bab Zakat, hadits no. 1400, Muslim di dalam Kitab Iman, hadits no. 21. Imam Ahmad di dalam Al-Musnad, hadits no. 8544, Abu dawud di dalam Bab Zakat, hadits no. 1556, At-Tirmidzi di dalam Kitab Iman, hadits no. 2607, An-Nasai di dalam Bab Zakat, hadits no. 2443 dan Ibnu Hibban di Kitab Fitnah, hadits no. 3927 dari Abu Hurairah RA.
[12] Silahkan merujuk ke kitab yang berjudul, As-Shaarim Al-Masluul, karya Ibnu Taimiyyah, juz 1 hal. 581.
[13] Yang dimaksud dengan putra Shafiyyah adalah Zubair bin Al-Awwam. Shafiyyah adalah bibi Rasulullah SAW.
[14] HR Ahmad di dalam Al-Musnad, hal. 618 dari Ali RA. Pentakhrij hadits ini berkata bahwa sanad hadits ini adalah hasan. HR Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, kitab Ma’rifatush Shahaabah, juz 3/414. beliau berkata, “Hadits ini shahih dari Amirul Mu`minin Ali”. Walaupun Ahmad dan Al-Hakim tidak mengeluarkan hadits ini dengan sanad seperti ini. Adz-Dzahabi menyetujui pula hadits ini. HR Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabir, juz 1/123 dan di dalam Al-Ausath juz 7/130.
[15] Tafsir Ath-Thabari, juz 16 hal. 321-322, cetakan Darul Kutub Al-Mishriyyah, Mesir.
[16] Ihya Ulumuddin 3/125-126, cetakan Darul Ma’rifat Beirut.

Tidak ada komentar